Sabtu, 13 September 2025

FIKIH VOUCHER BELANJA


Voucher belanja yg dimaksud adalah, sebuah kertas atau semacamnya yg diterbitkan oleh pihak-pihak tertentu, yg bisa digunakan untuk berbelanja di tempat tertentu, dengan nilai tertentu.


Sebagai contoh, fiqhgramart menerbitkan voucher belanja dengan type premium seharga Rp 500.000, dan type biasa seharga Rp 100.000. Yang nantinya, dengan voucher ini, konsumen bisa membeli barang dari fiqhgramart senilai Rp 500.000 untuk type premium, dan Rp 100.000 untuk type biasa.

***

TAKYĪF (ADAPTASI) MASALAH

Voucher semacam ini, kita anggap bahwa di pembeli voucher sudah membeli barang namun belum mengambilnya. Jadi, voucher dianggap barang, bukan dianggap uang. Sehingga, jika semisal dia menjual lagi voucher tersebut, tidak ada masalah jika dia dapat secara gratis. Baik dengan harga yg lebih mahal, harga yg sama, ataupun harga yg lebih murah.


Padanan dalam masalah ini, juga sudah terjadi di masa lampau. Dimana, sebagian pemimpin membagikan kertas, bertuliskan nama orang dan berhak untuk mendapatkan barang ini dan itu di tempat tertentu. Menurut Imam Nawawi, pemilik kupon boleh menjual kuponnya secara mutlak. Dalam kitabnya Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim (1/946) menyatakan;


الصِّكَاكَ جَمْع صَكّ وَهُوَ الْوَرَقَة الْمَكْتُوبَة بِدَيْنٍ وَيُجْمَع أَيْضًا عَلَى صُكُوك , وَالْمُرَاد هُنَا الْوَرَقَة الَّتِي تَخْرُج مِنْ وَلِيّ الْأَمْر بِالرِّزْقِ لِمُسْتَحِقِّهِ بِأَنْ يَكْتُب فِيهَا لِلْإِنْسَانِ كَذَا وَكَذَا مِنْ طَعَام أَوْ غَيْره فَيَبِيع صَاحِبهَا ذَلِكَ لِإِنْسَانٍ قَبْل أَنْ يَقْبِضهُ. وَقَدْ اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِي ذَلِكَ ; وَالْأَصَحّ عِنْد أَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ جَوَاز بَيْعهَا

"Shokāk bentuk jamak dari shokkun, yaitu secarik kertas yg ditulis padanya hutang barang. Juga dibentuk jamak dengan kata shukūk. Maksud disini, dia adalah semacam kertas yg diterbitkan oleh pemimpin untuk memberikan harta kepada yg berhak. Dimana tertulis disitu; 'untuk si fulan sekian jumlah makanan atau semacamnya'. Lalu, jika penerima kertas itu menjual kepada orang lain, sebelum dia tukarkan dengan barang yg dimaksud, maka ada khilaf diantara para ulama. Dan pendapat paling shahih menurut ulama madzhab kami; boleh dia jual."


Perlu diketahui, Imam Nawawi dalam hal ini sedang menjelaskan hadits Abu Hurairah radhiyallah anhu;

أَنَّهُ قَالَ لِمَرْوَانَ : أَحْلَلْتَ بَيْعَ الرِّبَا ، فَقَالَ مَرْوَانُ : مَا فَعَلْتُ ؟ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ : أَحْلَلْتَ بَيْعَ الصِّكَاكِ ، وَقَدْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الطَّعَامِ حَتَّى يُسْتَوْفَى ، قَالَ : فَخَطَبَ مَرْوَانُ النَّاسَ ، فَنَهَى عَنْ بَيْعِهَا

"Beliau berkata kepada Marwan; (Kau sudah menghalalkan riba). Maka Marwan berkata; (Aku tidak melakukannya ?) Abu Hurairah berkata; (Kau sudah halalkan jual beli shokāk, sedang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli makanan sampai sudah dibawah kuasanya). Lalu Marwan pun melarang orang-orang menjualnya." [ HR.Muslim (2913) ]


Yg jadi titik fokus dari hadits di atas adalah, bagaimana Abu Hurairah radhiyallahu anhu menarik kesimpulan, bahwa shokāk itu masuk jual beli barang, sehingga tidak boleh dijual sampai dia kuasai / terima barangnya terlebih dahulu. Maka dari sini kita tahu, voucher juga memiliki kesamaan dg shokāk tersebut. Sehingga takyīf fikih-nya (adaptasi fikih), voucher tersebut barang yg belum dia ambil.

***

KLASIFIKASI & HUKUMNYA

Pada dasarnya, hukum asal voucher belanja semacam ini adalah mubah (boleh). Namun jika kembangkan, dalam masalah; apakah pemilik voucher itu boleh menjual voucher-nya kepada orang lain ? Maka dalam hal ini, kita kategorikan voucher belanja ini dalam dua kategori;


Pertama, voucher tersebut didapatkan dengan membayar dengan nilai tertentu. Maka bagi pembeli voucher, dilarang menjual voucher belanjanya. Dengan harga berapapun. Karena disini, jatuhnya dia menjual barang yg belum dia pegang (barang masih ada di toko). Sedang dalam hadits disebutkan;

نَهَى النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أنْ يُبَاعَ الطَّعَامُ إذَا اشْتَرَاهُ حتَّى يَسْتَوْفِيَهُ

"Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang menjual makanan yg tidak ada disisinya." [ HR. Bukhari (2123) ]


Dalam hadits yg lain disebutkan;

نهى رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عن سلفٍ وبيعٍ، وعن شرطين في بيعٍ واحدٍ، وعن بيعِ ما ليس عندَك، وعن ربحِ ما لم يضمنْ

"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang dari; hutang dg syarat jual beli, dua syarat dalam satu jual beli, jual beli barang yg tidak ada disisinya, keuntungan tanpa ada tanggung jawab kerugian." [ HR. An-Nasai (4631) ]


Kedua, voucher itu didapatkan secara gratis. Maka sebagaimana pendapat dari fuqoha Syafiiyyah dalam penjelasan Imam Nawawi di atas. Pemilik voucher boleh menjual lagi kepada orang; baik dengan harga lebih mahal, harga sama, atau lebih murah. Karena jatuhnya disini, dia seperti menjual barang yg dihibahkan oleh orang lain.


Jika ditanya, bukankah dalam kasus kedua, barang belum berada di tangannya ? Maka kita jawab; benar, namun status barang sudah menjadi miliknya secara sempurna. Berbeda halnya dg hasil beli, pembeli belum dianggap memiliki barang secara sempurna, sampai dia terima barangnya. Wallahu ta'ala a'lam.


***

KESIMPULAN

1. Hukum asal jual beli voucher belanja adalah boleh. Dan voucher belanja berbeda dengan voucher diskon.

2. Boleh menjual lagi voucher belanja yg didapatkan secara gratis. Namun jika hasil membeli, maka tidak boleh dijual. Wallahu ta'ala a'lam.


Mojokerto, 14 September 2025

Danang Santoso

Founder & Pengasuh Fiqhgram

Tidak ada komentar:

Posting Komentar