Selasa, 14 Mei 2024

,

Mentalqin mayit setelah dikuburkan dari sudut pandang fikih Islam, maka kita katakan. bahwa jumhur ulama dari 4 madzhab menyampaikan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang dianjurkan. Hal ini dilandasi beberapa riwayat dari para sahabat, dan diantaranya adalah riwayat dari sahabat Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu anu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan seraya berkata;

إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمُ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ ليَقُلْ: يَا فُلَان بْنَ فُلَانَةَ. فَإِنَّهُ يَقُولُ: أَرْشِدْنَا رَحِمَكَ اللهُ، وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ، فَلْيَقُلْ: اذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيتَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيرًا يَأْخُذُ وَاحِدٌ مِنْهُمْا بِيَدِ صَاحِبِهِ وَيَقُولُ: انْطَلِقْ بِنَا مَا نَقْعُدُ عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتَهُ، فَيَكُونُ اللهُ حَجِيجَهُ دُونَهُمَا

"Jika salah seorang dari saudara kalian meninggal, maka tatalah tanah di atas kuburnya. Lalu salah seorang dari kalian hendaknya berdiri di sisi kepala kubur sembari berkata; 'Wahai fulan bin fulanah.' Maka mayit akan mengatakan; 'Berikan kami panduan semoga Allah merahmatimu.' Akan tetapi kalian semua yang hidup tidak merasakannya. Lalu hendaknya -pentalqin- mengatakan; 'Ingat, engkau keluar dari dunia dengan dua kalimat syahadat laa ilaha illallahu wa anna muhammadan abduhu wa rasuluhu, dan kau ridho Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai nabi, Al-Quran sebagai imam.' Maka malaikat Munkar serta Nakir salah satu dari keduanya memegang tanggan mayit dan mengatakan; 'Mari berkumpul bersama orang-orang yang sudah ditalqin hujjahnya.' Maka Allah menjadi hujjah baginya." [HR.At-Thobroni dalam Ad-Du'a dan Mu'jam Kabir, dan selainnya ]


Jika dikatakan, bahwa hadits ini adalah lemah, maka tidak bisa diamalkan ! Maka Imam Nawawi memberikan jawaban tersebut dalam ucapan beliau;

قُلْتُ: هَذَا التَّلْقِينُ اسْتَحَبَّهُ جَمَاعَاتٌ مِنْ أَصْحَابِنَا، مِنْهُمُ: الْقَاضِي حُسَيْنٌ، وَصَاحِبُ (التَّتِمَّةِ) وَالشَّيْخُ نَصْرٌ الْمَقْدِسِيُّ فِي كِتَابِهِ (التَّهْذِيبِ) وَغَيْرُهُمْ، وَنَقَلَهُ الْقَاضِي حُسَيْنٌ عَنْ أَصْحَابِنَا مُطْلَقًا. وَالْحَدِيثُ الْوَارِدُ فِيهِ ضَعِيفٌ، لَكِنَّ أَحَادِيثَ الْفَضَائِلِ يُتَسَامَحُ فِيهَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنَ الْمُحَدِّثِينَ وَغَيْرِهِمْ. وَقَدِ اعْتُضِدَ هَذَا الْحَدِيثُ بِشَوَاهِدَ مِنَ الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ، كَحَدِيثِ (اسْأَلُوا اللَّهَ لَهُ التَّثْبِيتَ) وَوَصِيَّةُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ (أَقِيمُوا عِنْدَ قَبْرِي قَدْرَ مَا تُنْحَرُ جَزُورٌ، وَيُقَسَّمُ لَحْمُهَا حَتَّى أَسْتَأْنِسَ بِكُمْ، وَأَعْلَمَ مَاذَا أُرَاجِعُ بِهِ رُسُلَ رَبِّي) رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي (صَحِيحِهِ) وَلَمْ يَزَلْ أَهْلُ الشَّامِ عَلَى الْعَمَلِ بِهَذَا التَّلْقِينِ مِنَ الْعَصْرِ الْأَوَّلِ، وَفِي زَمَنِ مَنْ يُقْتَدَى بِهِ.

"Aku katakan, talqin ini dianjurkan oleh banyak dari para ulama di madzhab kami, diantaranya; Qodhi Husain, penulis kitab At-Tatimmah, Syaikh Nashir Al-Maqdisi dalam kitabnya At-Tadzhib, dan selain mereka. Qodhi Husain menukil pendapat ini dari para ulama madzhab secara mutlak. Dan hadits dalam masalah ini adalah dhoif, akan tetapi hadits-hadits fadhilah amal semacam ini diberikan keringanan oleh para ulama ahli hadits dan selainnya. Dan menguatkan hadits tersebut, syawahid (penguat) dari hadits-hadits yang shahih seperti hadits ((Mintalah keteguhan kepada Allah bagi mayit itu)), serta wasiat Amr bin 'Ash ((Tunggulah di kuburanku seukuran waktu kalian memotong unta hingga dibagikan dagingnya, supaya aku bisa tenang bersama kalian, dan aku mengetahui apa yang aku jawab ketika datang utusan malaikat dari Rabb-ku)) hadits riwayat Muslim dalam shahihnya. Dan para penduduk Syam juga telah mengamalkan talqin ini sejak abad pertama, di zaman manusia yang bisa dijadikan panutan (generasi salaf)." [Roudhotut Tholibin (2/138) ]


Dalam literatur klasik dari semua mazhab pun, kita akan dapati bagaimana mereka juga menganjurkan talqin mayit ini. Dalam madzhab Syafii misalnya, Imam Ar-Rofii mengatakan;

ويستحب أن يلقن الميت بعد الدفن 

"Dan dianjurkan mentalqin mayit setelah dikuburkan." [ Al-Aziz Syarah Al-Wajiz. (5/242) ]


Imam An-Nawawi mengatakan;

وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُلَقَّنَ الْمَيِّتُ بَعْدَ الدَّفْنِ،  فَيُقَالُ: يَا عَبْدَ اللَّهِ ابْنَ أَمَةِ اللَّهِ، اذْكُر مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا، شَهَادَةَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَأَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ، وَأَنَّ النَّارَ حَقٌّ، وَأَنَّ الْبَعْثَ حَقٌّ، وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَا رَيْبَ فِيهَا، وَأَنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُورِ، وَأَنَّكَ رَضِيتَ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، وَبِالْكَعْبَةِ قِبْلَةً، وَبِالْمُؤْمِنِينَ إِخْوَانًا.

"Dan disunnahkan mentalqin jenazah setelah dikuburkan, dan mengatakan; 'Wahai hamba Allah anak hamba Allah, ingat kau keluar dari dunia dengan dua kalimat syahadat, dan surga adalah benar, neraka adalah benar, kebangkitan adalah benar, dan kiamat akan datang tidak ragu lagi, dan Allah akan membangkitkan orang dari kuburnya. Dan engkau ridho Allah menjadi Rabb, Muhammad menjadi nabi, Al-Quran menjadi penunjuk, Ka'bah menjadi kiblat, orang mukmin menjadi saudara." [ Roudhotut Tholibin. (2/138) ]


Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshori mengatakan;

وقال شيخ الإسلام زكريا الأنصاري في "أسنى المطالب" (1/ 329): [قال بعضهم: وقوله صلى الله عليه وآله وسلم: «لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ» دليلٌ عليه -أي: على التلقين-؛ لأن حقيقة الميت: مَن مات، أما قبل الموت -أي: وهو ما جرى عليه الأصحاب كما مر- فمجازٌ] اهـ.

"Sebagian ulama mengatakan, bahwa hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam ((Talqinlah orang yang mati diantara kalian dengan kalimat laa ilaaha illallahu)) menjadi dalil pensyariatan talqin (setelah meninggal -edt) karena kata mayyit secara asal bahasa adalah orang yang sudah mati. Adapun talqin sebelum meninggal -dan ini pendapat ulama Syafiiyyah- maka kata mayyit dimaknai secara majaz." [ Asna Al-Matholib. (1/329) ]


Bahkan Al-Hafidz As-Sakhowi As-Syafii menulis kitab khusus dalam masalah ini dengan judul Al-Idhoh wa At-Tabyiin bi Masalah At-Talqin (hal.185), beliau mengatakan setelah menyebutkan penguat-penguat terhadap hadits talqin mayit setelah mati dan sah beramal dengan hadits tersebut; 

فهذه أحد عشر عاضدًا يعتضد بها حديثُ أبي أُمامة رضي الله عنه، وتُقوِّي الاستدلال به على استحباب التلقين

"Maka ini adalah 11 penguat yang menguatkan hadits Abu Umamah radhiyallahu anhu, dan memperkuat sisi pendalilan dengannya untuk keanjuran talqin mayit."


Adapun dari kalangan ulama bermadzhab Hanafi, maka diantaranya adalah Imam Abu Ishaq As-Shoffar Al-Hanafi (w.534 H) dalam kitabnya Talkhis Al-Adillah li Qowaid At-Tauhid mengatakan; 

قول المعتزلة: التلقين لا يكون بعد الموت؛ لأن الإحياء بعد الموت عندهم مستحيل، ويؤولون التلقين الذي في الحديث على التلقين عند الموت، وعند أهل السنة والجماعة هذا الحديث محمول على حقيقته؛ لأنه الله تعالى يحييه، على ما جاءت به الآثار

"Ucapan orang-orang Mu'tazilah bahwa talqin tidak berlaku setelah kematian, karena sisi hidup setelah kematian jenazah menurut mereka adalah kemustahilan. Dan mereka mentakwil talqin yang ada dalam hadits, itu dilakukan sebelum mati. Adapun ahlussunnah wal jamaah, memandang hadits tersebut berlaku sesuai hakikat lafadz (setelah mati -edt) karena Allah berkuasa untuk menghidupkannya, sebagaimana ada dalam riwayat-riwayat."


Juga Al-Allamah As-Syaranbalaaliy Al-Hanafi (w.1069 H) juga mengatakan dalam kitabnya Marooqi Al-Falaah (hal.560); 

(وتلقينُه) بعدما وُضع (في القبر مشروعٌ)؛ لحقيقة قوله صلى الله عليه وآله وسلم: «لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ شَهَادَةَ أن لَا إلَهَ إلَّا الله» أخرجه الجماعة إلَّا البخاري، ونُسِبَ إلى أهل السنة والجماعة، (وقيل: لا يُلَقَّنُ) في القبر، ونُسِب إلى المعتزلة

"Dan mentalqin jenazah setelah diletakkan dalam kubur adalah disyariatkan. Sesuai hakikat sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam ((Talqinlah mayat kalian dengan syahadat laa ilaaha illallahu)), hadits diriwayatkan oleh banyak ahli hadits kecuali Bukhari. Dan pendapat ini dinisbatkan sebagai pendapat ahlussunnah wal jamaah. Dan ada yang berpendapat, tidak disyariatkan talqin setelah dikubur, dan ini dinisbatkan kepada Mu'tazilah."


Adapun dari ulama madzhab Maliki, diantaranya adalah Imam Abu Bakr bin Al-Arobi Al-Maliki dalam kitabnya Al-Masalik fi Syarh Muwattho' Malik (3/520), mengatakan; 

إذا أُدخِل الميتُ قبرَه فإنه يُستَحَبُّ تلقينه في تلك الساعة، وهو مستحَبٌّ، وهو فعل أهل المدينة والصالحين والأخيار؛ لأنه مطابق لقوله تعالى: ﴿وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ﴾

"Ketika jenazah diletakkan di kuburnya, dianjurkan untuk mentalqin ketika itu, dan ini dihukumi sunnah. Dan hal ini adalah amal penduduk Madinah serta orang-orang sholih dan terpilih. Karena hal ini sesuai dengan firman Allah Ta'ala {Dan berilah peringatan, sungguh peringatan bermanfaat bagi orang beriman}."


Adapun dari ulama madzhab Hanbali, diantaranya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidho As-Shirothol Mustaqim (2/179) mengatakan;

ورُوِيَ في تلقين الميت بعد الدفن حديثٌ فيه نظر، لكن عمل به رجال من أهل الشام الأولين، مع روايتهم له، فلذلك استحبَّه أكثر أصحابنا وغيرهم.

"Dan diriwayatkan dalam masalah talqin setelah pengkuburan satu hadits yang perlu diteliti ulang kualitasnya, akan tetapi hal ini sudah diamalkan oleh penduduk Syam di masa-masa awal Islam, juga diriwayatkan oleh mereka. Oleh karenanya banyak dari ulama madzhab kita dan selainnya menganjurkan hal tersebut."

***

Sebagian ulama berpendapat, bahwa talqin mayit setelah mayit tidak disyariatkan bahkan sampai pada tingkatan bid'ah. Ini diutarakan diantaranya oleh Amir As-Shon'ani. Dalam kitabnya Subulus Salam Syarah Bulughul Maram (1/502);

وَيَتَحَصَّلُ مِنْ كَلَامِ أَئِمَّةِ التَّحْقِيقِ أَنَّهُ حَدِيثٌ ضَعِيفٌ وَالْعَمَلُ بِهِ بِدْعَةٌ وَلَا يُغْتَرُّ بِكَثْرَةِ مَنْ يَفْعَلُهُ

"Maka kesimpulan dari ucapan para ulama tahqiq (peneliti), bahwa ini adalah hadits dhoif dan mengamalkannya adalah kebid'ahan, maka janganlah tertipu dengan banyaknya manusia yang mengamalkannya."


Hal ini pun diikuti oleh sebagian ulama kontemporer, diantara Syaikh Abdul Aziz bin Baz, dalam Majmu'  Fatawa wa Maqolat (12/306) mengatakan;

بدعة وليس له أصل، فلا يلقن بعد الموت وقد ورد في ذلك أحاديث موضوعة ليس لها أصل، وإنما التلقين يكون قبل الموت

"(Hal itu) bid'ah tidak ada landasannya, maka tidak boleh talqin setelah kematian. Dan ini pun ada riwayat hadits-hadits yang maudhu' (palsu) tidak ada asal-usulnya. Yang benar talqin itu dilakukan sebelum kematian."


Demikian juga diikuti oleh Syaikh Utsaimin, Syaikh Al-Albani dan beberapa ulama lainnya.

***

Kesimpulan pribadi dalam hal, bahwa permasalahan talqin mayit setelah dikubur ini adalah murni khilaf fikih yang mu'tabar. Maka yang mengamalkan sudah sesuai dengan dalil dan pemahaman terhadap dalil oleh para ulama besar. Demikian juga yang tidak mengamalkan, maka hal itu juga tidak dipermasalahkan karena mengikuti pendapat sebagian kecil dari para ulama. Dan memang, dalil dalam masalah ini masuk dalam ranah yang debatable (sangat mungkin untuk diperdebatkan). Wallahu ta'ala a'lam.


Jombang, 15 Mei 2024

Abu Harits Danang Santoso

***

Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.


Minggu, 12 Mei 2024

,


BIOGRAFI PENULIS KITAB
Beliau adalah Imam Nawawi, Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi. Dan beliau tidak suka dijuluki muhyiddin, lahir di Nawa daerah Syam. Lalu beliau pindah ke Damaskus, dan pindah kesana serta belajar di sana. Diantara guru beliau; Al-Kamal Ishaq bin Ahmad Al-Maghribi dan beliau bermulazamah dengannya cukup lama, dan beliau adalah guru pertama sebagaimana penjelasan As-Sakhowi. Serta Abdurrahman bin Nuh Al-Maqdisi dan Abdurrahman Al-Hizari dan keduanya murid Ibnu Sholah. Serta Imam Ibnu Malik penulis Alfiyah Nahwu. Dan Imam Nawawi beliau bertemu Imam Rofii, bahkan beliau lahir 8 tahun setelah kematian Imam Rofii.

Diantaranya murid Imam Nawawi adalah; Alauddin Ibnul Aththor, dan Al-Hafidz Al-Mizzi, Al-Barizi penulis Az-Zubad, dan lainnya. Imam Nawawi wafat tahun 676 H.


KITAB MINHAJ THOLIBIN
- Secara bahasa minhaj bermakna jalan yang jelas. Dan nama minhaj adalah penamaan langsung dari penulis. Dan jika disebut berkata Nawawi dalam ashlul minhaj, yaitu minhaj dari ikhtishor muharrar. Jika disebut dalam ziyadah minhaj, maka tambahan pembahasan penulis dari ikhtishor muharrar. Jika disebut dalam minhaj, maka ada dua kemungkinan.


- Al Bujairimi berpendapat bahwa Al-Muharrar adalah ringkasan dari Al-Wajiz nya Al-Ghozali. Pendapat lain mengatakan bahwa Al-Muharrar bukanlah mukhtashor dari kitab manapun, dan ini yang lebih benar. Dan Al-Minhaj adalah ikhtishor dari Al-Muharrar.


- Tujuan ikhtishor ini adalah agar mudah dihafal, namun Imam Nawawi memberikan tambahan pendapat pribadi dalam beberapa masalah. Diantara amaliyah Imam Nawawi;


1. Tashih (membenarkan) dari pendapat yang Imam Rofii menyelisihi fuqoha madzhab, atau khilaf lainnya, dan mendudukkan yang benar dari khilaf yang terjadi.

2. Membuat urutan derajat khilaf dalam madzhab; seperti awjah atau ashoh atau adzhar dan lainnya.

3. Menambahkan beberapa masalah di luar muharrar (diisyaratkan dengan qultu atau wallahu a'lam) dan ini biasa disebut ziyadah minhaj.

4. Mengganti lafadz yang sulit menjadi lafadz yang lebih mudah.


KEDUDUKAN KITAB MINHAJ
- Berkata Imam Ibnu Malik penulis alfiyah nahwu yang juga guru Imam Nawawi;

لو استقبلت من أمري ما استدبرت لحفظت المنهاج

 "Sekiranya aku kembali ke masa lalu tentu akan akan hafal kitab Minhajut Tholibin."


- Kitab ini menjadi muqorror wajib dalam urutan pembelajaran fiqh Syafii hampir di semua negeri yang belajar madzhab. Berbeda dengan kitab lainnya. Seperti Umdatus Salik dipelajari di Hadramaut tapi tidak di Zabid. Atau Tahrir-nya Syakhul Islam dipelajari di Zabid sebelum Minhaj, tapi tidak dipelajari di Hadramaut.


- Tidak semua yang ada di Minhaj adalah mu'tamad, namun ada beberapa masalah yang bukan mu'tamad dijelaskan oleh syurroh minhaj. Diantara dijelaskan oleh Ishaq bin Muhammad bin Ibrahim Az-Zabidi murid muridnya Ibnu Hajar dalam At-Tanbihat Al-'Aniqoh.


KHIDMAH KEPADA MINHAJ
Mukhtashor (Ringkasan) dari kitab Minhaj
- Al-Wahhaj fi Ikhtishoril Minhaj oleh Ibnu Hayyan Al-Andalusi
- Manhajut Thullab oleh Syaikhul Islam >> diringkas dalam Nahjut Tholab oleh Al-Jauhari


Syarah Minhaj
- Al-Bahrun Nawwaj oleh Ibnul Imad
- Ad-Dibaj oleh Imam Zarkasyi
- Tashih Minhaj Ibnu Mulaqqin
- An-Najmul Wahhaj oleh Imam Ad-Damiri murid Isnawi
- Syarh Taqiyuddin Abu Bakr bin Ahmad bin Muhammad bin Umar (Ibnu Qodhi Syuhbah)
- Bidayatul Muhtaj (syarah ringan) dan Irsyadul Muhtaj ilal Minhaj oleh Badruddin bin Abi Bakr bin Ahmad (Ibnu Qodhi Syuhbah al-walad)
- Kanzur Roghibin karya Jalaluddin Al-Mahalli
- Tuhfatul Muhtaj oleh Ibnu Hajar
- Nihayatul Muhtaj oleh Syamsuddin Romli
- Mughnil Muhtaj oleh Khothib Syirbini .. dan lainnya


Hasyiyah Minhaj

- Hasyiyah Qolyubi dan Amirah 'ala Kanzurroghibin

- Hasyiyah Ali As-Syubromilsi 'ala Nihayah

- Hasyiyah Ar-Rosyidi 'ala Nihayah

- Hasyiyah As-Syarwani 'ala Tuhfah

- Hasyiyah Al-'Abbadi 'ala Tuhfah


Faedah dari muhadharah untuk pelajar Mahad Nawawi takhassus fiqh Syafii oleh guru kami secara daring Syaikh Said Al-Jabiri hafidzahullah

Jombang, 12 Mei 2024

Alih bahasa oleh Danang Santoso

Jumat, 03 Mei 2024

,

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;


إذا سجد أحدُكم فلا يبرُكْ كما يبركُ البعيرُ , وليضعْ يدَيْه قبل رُكبتَيْه

"Jika salah seorang dari kalian sujud maka jangan turun seperti turunnya onta. Hendaknya dia dahulukan tangannya sebelum lututnya."

[ HR.Abu Dawud (840), An-Nasai (1091), Ahmad (8955) ]


Hadits ini secara sanad dihukumi shahih sesuai kesepakatan para ahli hadits. Namun hadits ini tidak diamalkan oleh banyak ulama. Mengapa;


Pertama, hadits ini dinilai bermasalah dalam matan. Dimana dibagian awal, ada larangan turun sujud seperti turunnya onta. Namun berikutnya, perintahnya malah turun sujud seperti onta. Karena onta meletakkan kaki bagian depan terlebih dahulu baru kaki bagian belakang. Oleh karenanya, Imam Nawawi menyebut hadits Abu Hurairah ini mudhthorib (goncang matannya). Bahkan Ibnu Qoyyim dari ulama Hanabilah menyatakan haditsnya maqlub (terbalik secara matan).


Jika dikatakan, bahwa sebagian ulama bahasa menyebutkan kaki onta itu yang bagian depan. Maka tidak ada pertentangan dalam hadits Abu Hurairah. Maka kita katakan, ini menyelisihi yang tampak (dhohir) dari turunnya onta. Karena yang orang lihat, jelas onta turun meletakkan kaki bagian depan dulu. Entah dia tangan atau kakinya.


Jika dikatakan lagi, ada penguat dari amalan Ibnu Umra yang disebutkan Bukhari secara mu'allaq dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah. Maka kita katakan, ini adalah ijtihad Ibnu Umar, dan kita tahu dalam ushul fikih qoul shohaby ketika dia bertentangan dengan sahabat lain; gugur kehujjahannya. Apalagi ini bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang lain.


Kedua, haditsnya ini bertentangan dengan hadits Wail bin Hujr radhiyallah anhu yang secara jelas menyebutkan meletakkan lutut dahulu baru tangan. Maka ketika jatuh kehujjahan hadits Abu Hurairah, terpilihlah hadits Wail bin Hujr. Radhiyallahu 'an jami' as-shohabah.


Jika dikatakan, hadits Wail sanadnya dhoif. Maka kita katakan, bahwa kedhoifannya tidaklah parah. Dan hadits yang dhoif (dengan syarat-syaratnya), bisa dijadikan hujjah dalam fadhoil amal (amalan yg hukumnya sunnah). Buktinya, Imam Tirmidzi mengatakan setelah meriwayatkan hadits ini; dan hadits ini diamalkan oleh banyak ahli ilmu. Demikian juga Imam Abu Dawud pun tidak mengomentari hadits ini ketika meriwayatkan dalam sunan-nya yang mengisyaratkan hadits ini  bisa diamalkan sesuai kaidah beliau. Wallahu ta'ala a'lam.


✍️ Oleh Abu Harits Al-Jawi

#fikihshalat #fikihsyafii 


🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

,

 


MASALAH DELAPAN-AN

Gambaran masalahnya adalah, seorang wanita mumayyizah (bisa membedakan darah haidh dan istihadhohnya). Keluar darah hitam selama 8 hari, lalu 8 hari berikutnya darah merah, lalu 8 hari berikutnya darah hitam. Maka, haidhnya adalah 8 hari pertama. Dan darah merah 8 hari, serta darah hitamm kedua selama 7 hari adalah darah istihadhoh (dihukumi suci). Dan darah hitam kedua di hari terakhir (hari ke-8) adalah haidh baru.


Logikanya, jika hitam pertama digabung dengan merah kedua, maka tidak mungkin. Karena total hari keduanya adalah 16 hari (melebihi batas maksimal haidh 15 hari). Maka terpilih hanya hitam pertama saja.


MASALAH TUJUH-AN

Gambaran masalahnya, seorang wanita melihat darah hitam selama 7 hari, lalu darah merah 7 hari berikutnya, lalu darah hitam kedua selama 7 hari juga. Maka disini para ahli fikih khilaf;


Pendapat pertama, menyatakan bahwa haidhnya adalah 7 hari pertama (darah hitam) saja. Dan ini pendapat Ibnu Hajar. Beliau lebih melihat dari sisi perbedaan sifat.


Pendapat kedua, menyatakan bahwa haidhnya adalah 7 hari pertama darah hitam + 7 hari kedua darah merah (total 15 hari). Dan ini adalah pendapat Imam Ibnu Suraij (w.306 H) dan diikuti oleh Syamsuddin Al-Romli. Karena beliau lebih melihat dari sisi kemungkinan kedua darah itu adalah haidh; karena masih 14 hari (belum melewati batas maksimal haidh). 


Catatan: Syarat di masalah kedua ini adalah bahwa darah hitam (urutan ketiga setelah merah) itu berhenti setelah 7 hari. Jika darah terus menerus keluar sampai lewat 15 hari, maka wanita itu dihukumi ghoir mumayyizah (tidak menghukumi sesuai sifat darah). Karena syarat tamyiz diantara; darah dengan sifat kuat tidak boleh melewati batas maksimal haidh. Wallahu ta'ala a'lam.


✍️ Oleh Abu Harits Al-Jawi

#fikihdarahwanita 


📖 Al-Ibanah wal Ifadhoh. Hal,71.


🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

,


PROFIL PENULIS KITAB

Imam Abul Qosim Abdul Karim bin Muhammad bin Abdil Karim Ar-Rofii Al-Qozwini (555 H - 623 H) dan Imam Nawawi lahir 631 H, 7 tahun setelah wafatnya Imam Rofii.


Hukum kunyah dengan Abul Qosim;

Pertama, haram secara mutlak dan ini tashih madzhab

Kedua, haram jika namanya Muhammad dan ini tashih Rofii. Dalilnya hadits;

من تسمى باسمي فلا يتكنى بكنيتي

"Siapa yang bernama dengan namaku, janganlah dia berkunyah dengan kunyahku." [ HR.Abu Dawud dan lainnya ]

Ketiga, haram di zaman Nabi halal setelah wafatnya Nabi, dan ini tashih Nawawi.


• Diantara guru Imam Rofii adalah Imam Al-Imroni. Dan diantara murid beliau adalah Imam Al-Mundziri (656 H)


• Diantara karya beliau;

1. Syarh Kabir 'ala Al-Wajīz dan penulisnya menamakan Al-Azīz Syarh Al-Wajīz lil Ghozali. Sebagian ashab menghindari penyebutan Al-Azīz untuk selain Al-Quran, oleh karenanya sebagian menyebut Fathul Aziz. Ada juga yang menyebutnya dengan As-Syarh Al-Kabir.

2. Syarh Shoghīr mukhtashor Syarh Kabir dan penulis tidak memberikan nama khusus pada kitab ini.

3. Al-Mahmūd Syarah Wajiz, beliau sampai pembahasan shalat dalam 8 jilid. Oleh karenanya beliau tidak melanjutkannya, dan akhirnya menulis Al-Aziz sebagaimaina disebutkan Taj Subki.

4. Syarh Musnad Syafii. 

5. Amali Syarihah ala Mufrodat Fatihah

6. At-Tadznib faedah dalam Al-Wajiz mirip Daqoiq Minhaj-nya Nawawi

7. Al-Muharrar

8. Syarh Khutbatil Wajiz

9. Al-Ījāz fi Akhthōril Hijāz, catatan perjalanan beliau ketika haji.


PUJIAN TERHADAP KITAB AL-AZIZ

Kitab ini dicetak dalam 23 jilid, dan mendapatkan pujian dari banyak dari para ulama. Diantaranya;

• Ibnu Sholah mengatakan;

لم يشرح الوجيز مثله

"Tidak ada yang mensyarah kitab Al-Wajiz seperti kitab ini."


• Ibnu Mulaqqin mengatakan;

مرجع فقهائنا في كل الأقطار اليوم في الفتوى و التدريس و التصنيف إليه و اعتمادهم في هذه الأمور عليه

"Kitab ini sebagai referensi para ahli fikih Syafii di semua tempat hari ini, baik dalam masalah fatwa, pembelajaran, serta karya tulis. Maka semua fuqoha bersandar kepada kitab ini."


• Ibnu Sholah mengatakan;

لم يصنف مثله في مذهب من المذاهب و لم يشرق على الأمة كضيائه في ظلام الغياهب

"Tidak ada yang menulis seperti tulisan ini dalam semua madzhab yang ada. Dan tidak ada yang memberikan cahaya ilmu kepada umat Islam seperti cahaya kitab ini dalam gelapnya ketidaktahuan."


• Jalaluddin Al-Isnawi

يَا مَنْ سَمَا نَفْسًا اِلىَ نَيْلِ العُلاَ * وَ نَحَا اِلىَ العِلْمِ الغَزِيْرِ الرافِعِ

قَلِّدْ سَمِيَّ المُصْطَفَى وَ نَسِيْبََهُ * وَ الْزَمْ مُطَالَعَةِ العَزِيْزِ الرافِعِِي

"Wahai orang yang ingin mendapat kedudukan yang tinggi * Dan menuju ilmu yang tinggi tak bertepi

Ikuti orang yang senasab dengan Nabi (Imam Syafii) * Dan tekunilah mempelajari kitab Al-Aziz nya Imam Rofii


KEISTIEWAAN KITAB AL-AZIZ

Diantara keistimewaan kitab ini adalah;

1. Keagungan penulis

2. Referensi yang digunakan penulis dari kitab-kitab madzhab sebelumnya bisa dibilang lengkap. 

3. Banyaknya istidlal madzhab yang disampaikan baik dari ayat atau hadits atau lainnya.

4. Memperhatikan penjelasan kata-kata ghorib. 

5. Memperhatikan furūq (perbedaan) beberapa istilah-istilah fikih. 

6. Menyebutkan kaidah-kaidah dan dhowābit penting. 

7. Menjelaskan istilah-istilah khusus dalam madzhab.

8. Penulis berhati-hati dan benar-benar mengkroscek penukilan yang beliau lakukan.


🏷 Faedah dari muhādhoroh Syaikh Dr.Labib Najib hafidzahullah

✍️ Alih bahasa oleh Abu Harits Al-Jawi

#karyaulama #referensi


🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

Rabu, 01 Mei 2024

,

Perlu difahami dalam hal, yang mu'tamad dalam madzhab Syafii (pendapat resmi dari kebanyakan ulama madzhab) diantara syarat sahnya shalat jumat adalah jumlah 40 orang yang kesemuanya berstatus mustauthin atau mutawatthin. Yaitu seseorang yang memang berdomisil tinggal tetap disitu. Maka, orang yang statusnya hanya mukim (tinggal sementara) di suatu tempat; tidak dianggap dalam hitungan 40 orang tadi. Oleh karenanya, kalau kesemua jamaah jumat berstatus santri atau mahasiswa yang mukim sementara, tanpa ada penduduk yang berdomisili disitu dengan jumlah 40 orang. Shalat jumat yang dilaksanakan tidaklah sah. Dan mereka harus mengulang shalat dhuhur. Syamsuddin Al-Romli mengatakan;

فَلَا تَنْعَقِدُ بِغَيْرِ الْمُتَوَطِّنِ كَمَنْ أَقَامَ عَلَى عَزْمِ عَوْدِهِ إلَى وَطَنِهِ بَعْدَ مُدَّةٍ وَلَوْ طَوِيلَةً كَالْمُتَفَقِّهَةِ وَالتُّجَّارِ لِعَدَمِ التَّوَطُّنِ

"Maka tidak dianggap sah shalat jumat tanpa adanya mutawaththin (penduduk sekitar). Seperti (tidak termasuk mutawatthin) adalah orang yang mukim sementara yang akan kembali ke kampung halamannya setelah beberapa waktu. Meski waktu yang panjang; seperti pembelajar (santri atau mahasiswa) atau para pedagang. Karena mereka tidak memenuhi syarat tawatthun (tinggal tetap)." 
[ Nihayatul Muhtaj. Cetakan Darul Fikr, Beirut. (2/306) ]

Hal yang senada juga disampaikan oleh banyak dari para fuqoha madzhab dari kalangan para pensyarah, diantaranya juga penulis Busyrol Karim Syarah Masail Ta'lim (2/6). Alasan dalam hal ini, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika haji wadda beliau tidak mendirikan shalat jumat. Padahal beliau pada saat itu tinggal lebih dari batas safar (3 hari) ketika haji.

Namun, sebagian fuqoha madzhab menyatakan, dalil dalam hal ini tidaklah kuat. Diantaranya Taqiyuddin As-Subki (w.756 H) dalam Al-Ibtihaj Syarah Minhajut Tholibin (manuskrip) menyatakan;

لم يقم عندي دليل على عدم انعقادها بالمقيم غير المتوطن
"Tidak ada dalil yang kuat menurut saya tentang ketidakabsahan shalat jumat yang dilakukan oleh jamaah mukim saja yang bukan mutawatthin." 
[ Lihat Busyrol Karim. Cetakan Darul Mukhtar, Surabaya. (2/6), lihat juga Hasyiyatul Jamal 'ala Fathil Wahhab. Cetakan Darul Fikr, Beirut. (2/21) ]

Hal ini pun disetujui beberapa ashab hawasyi seperti Sulaiman Al-Jamal (w.1204 H) dan Al-Qolyubi (w.1069 H), dan beliau berkata;

هَذَا مَا قَالَهُ تَبَعًا لِلْإِسْنَوِيِّ وَغَيْرِهِ وَأَطْبَقَ عَلَيْهِ الشُّرَّاحُ وَهُوَ لَا يَحْسُنُ أَنْ يَكُونَ دَلِيلًا عَلَى عَدَمِ انْعِقَادِهَا  بِالْمُقِيمِ  غَيْرِ الْمُسْتَوْطِنِ
"Dan pendapat ini (tidak sah jika hanya jamaah jumat yang mukim) mengikuti pendapat Al-Isnawi (w.772 H) dan selainnya, dan diikuti oleh kebanyakan para syurroh. Dan hal ini tidak benar dari sisi pendalilan bahwa tidak sah jumat dengan jamaah mukim tanpa mustauthin."
[ Hasyiyah Qolyubi ala Kanzur Roghibin. Cetakan Darul Fikr, Beirut. (1/317-318) ]

Alasan yang diberikan, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak melaksanakan shalat jumat. Karena memang status beliau di Haji Wada' adalah musafir bukan mukim. Buktinya beliau shalatnya dengan qoshor dan jamak. Kalau seandainya statusnya mukim, beliau tidak mungkin mengqoshor atau jamak.

Kesimpulannya, bahwa secara pribadi berdasarkan pendapat sebagian ulama madzhab maka dipersilahkan bagi jamaah mukim (seperti santri pondok atau mahasiswa) untuk melaksanakan shalat jumat, dengan syarat jika memang ada maslahat disitu. Jika tidak, maka kembali kepada pendapat mu'tamad madzhab Syafii (dan ini juga pendapat madzhab Hanbali dan Maliki). Wallahu ta'ala a'lam.

✍️ Oleh Abu Harits Al-Jawi
#fikihjumat #fikihsyafii

🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

Selasa, 30 April 2024

,


Ada tiga versi shighoh (lafadz) salam yang diriwayatkan dalam hadits saat orang hendak mengakhiri shalat.

Versi pertama, dengan mengucapkan assalamualaikum warohmatullah dua kali; ke kanan dan ke kiri. Dan ini adalah riwayat yang paling banyak dan paling masyhur. Diantaranya adalah hadits Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu;

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ، وَعَنْ شِمَالِهِ، حَتَّى يُرَى بَيَاضُ خَدِّهِ ((السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ))
"Bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam salam ke arah kanan dan kiri hingga terlihat putihnya pipi beliau -dan mengatakan- ((Assalamualaikum warohmatullah, assalamualaikum warohmatullah))."
[ HR.Abu Dawud (996), An-Nasai (1322) dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Majah (916) dari Ammar, dan lainnya ]

Versi kedua, adalah dengan mengucap 'assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh' pada salam pertama (ke kanan). Lalu mengucap 'assalamualaikum warohmatullah' tanpa tambahan 'wabarokatuh' pada salam kedua (ke kiri). Dan ini diriwayatkan dari haditsnya Wail bin Hujr radhiyallahu anhu;

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ ((السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ»، وَعَنْ شِمَالِهِ: «السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ))
"Aku shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka beliau salam ke kanan dengan mengucap ((Assalamualaikum warohmatulla wabarokatuh)). Dan ke arah kiri ((Assalamualaikum warohmatullah))."
[ HR.Abu Dawud (997) dari Wail bin Hujr ]

Versi ketiga, adalah dengan mengucap 'assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh' dua kali; ke kanan dan ke kiri. Sebagaimana dalam hadits Ibnu Mas'ud dengan tambahan lafadz;

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ خَدِّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، وَعَنْ شِمَالِهِ 
حَتَّى يَبْدُوَ بَيَاضُ خَدِّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ»
"Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa salam mengucap salam ke arah kanan hingga terlihat putih pipinya -dengan mengucap- ((Assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh)), dan ke arah kiri hingga terlihat putih pipinya -dengan mengucap- ((Assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh))."
[ HR.Ibnu Khuzaimah (728) dari Ibnu Mas'ud, Al-Adzomi mendhoifkannya ]

Demikian tiga versi bacaan salam yang ada dalam riwayat hadits. Namun, dari ketiga ini manakah yang lebih utama ?

Pendapat pertama,
dalam madzhab Syafii yang mu'tamad, yang paling afdhol adalah versi pertama tanpa tambahan wabarokatuh sama sekali. Dan ini pendapat yang kita pilih. Bahkan secara gamblang, Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar menyatakan; bahwa tidak disunnahkan menambahkan lafadz 'wabarokatuh' sama sekali, karena hal itu menyelisihi riwayat yang sudah masyhur dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Adapun riwayat tambahan yang ada, maka dihukumi syadz (menyelisih yang tsiqoh).
[ Lihat Al-Adzkar. Cetakan Darul Kutub Al-Islamiyyah, Indonesia. Hal,80-81 ]

Pendapat kedua, sebagian ulama lain berpendapat disunnahkan menambahkan 'wabarokatuh', dan ini pendapat sebagian ulama ahli hadits. Diantara adalah Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani, yang menyanggah pernyataan Imam Nawawi dalam Al-Adzkar dalam kitabnya Talfih Al-Adzkar fi takhrij Al-Adzkar; "Ada beberapa jalan periwayatan lain yang menetapkan keabsahan tambahan lafadz wabarokatuh." Bahkan secara jelas, dalam kitabnya Bulughul Maram ketika membawakan hadits tentang ini, beliau menambahkan wabarokatuh di kedua salamnya. Hal ini pun disetujui oleh Muhammad Syamsul Hal Adzim Abbadi dalam kitabnya 'Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abu Dawud.

Pendapat ketiga, pendapat yang cukup keras datang dari sebagian ulama yang menyatakan tambahan wabarokatuh dalam salam shalat adalah bid'ah. Dan ini pun terbantahkan oleh riwayat yang ada. Meski dihukumi syadz, tetap tidak bisa dikatakan amaliyahnya adalah bid'ah. Bahkan dalam Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram disebutkan; "Hadits ini memberikan faedah disunnahkan tambahan wabarokatuh dalam salam shalat, dan membatalkan pendapat yang menyatakan bahwa hal tersebut adalah bid'ah." [ Lihat Ibanatul Ahkam. Cetakan Ad-Dar Al-Alamiyyah Mesir. (1/260) ]

Point terakhir yang ingin kami sampaikan, terlepas dari khilaf ulama mengenai shighoh atau lafadz salam shalat, jumhur ulama berpendapat bahwa yang wajib atau rukun shalat adalah salam yang pertama. Adapun ucapan salam kedua adalah sunnah. Dalilnya hadits Sahl radhiyallahu anhu;

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَلَّمَ تَسْلِيمَةً وَاحِدَةً تِلْقَاءَ وَجْهِهِ
"Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengucap salam sekali dengan wajah beliau."
[ HR.Ibnu Majah dari Sahl As-Saidi (918) ]

✍️ Oleh Abu Harits Al-Jawi
#fikihhadits #fikihshalat

🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

Kamis, 25 April 2024

,

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;


مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً، فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتِ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ 

"Siapa yang mandi di hari jumat seperti mandi junub, lalu berangkat ke masjid; maka seperti kurban onta. Dan siapa yang berangkat di waktu kedua; seperti kurban sapi. Dan siapa yang berangkat di waktu ketiga; maka seperti kurban domba jantan yang bertanduk. Dan siapa yang berangkat di waktu keempat; maka seperti kurban ayam. Dan siapa yang berangkat di waktu kelima; maka seperti kurban telur. Dan jika imam sudah muncul, maka malaikat hanya mendengarkan khutbah." [ HR.Bukhari (881), Muslim (850) ]


Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;


تَقْعُدُ الْمَلَائِكَةُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ، يَكْتُبُونَ النَّاسَ عَلَى مَنَازِلِهِمْ، فَالنَّاسُ فِيهِ كَرَجُلٍ قَدَّمَ بَدَنَةً ، وَكَرَجُلٍ قَدَّمَ بَقَرَةً، وَكَرَجُلٍ قَدَّمَ شَاةً، وَكَرَجُلٍ قَدَّمَ دَجَاجَةً، وَكَرَجُلٍ قَدَّمَ عُصْفُورًا، وَكَرَجُلٍ قَدَّمَ بَيْضَةً

"Malaikat akan duduk di hari jumat di pintu-pintu masjid untuk mencatat kedudukan pahala manusia yang datang. Ada yang mendapat pahala seperti kurban onta, ada yang seperti kurban sapi, ada yang seperti kurban kambing, ada yang seperti kurban ayam, ada yang seperti kurban burung, dan ada yang seperti kurban telur." [ HR.An-Nasai (1387) ]


Dari kedua hadits ini, para ulama berkesimpulan bahwa waktu hari jumat memiliki enam pembagian yang menentukan nilai pahala yang di dapat. Namun, dalam menentukan ukuran enam waktu tersebut, maka ada dua sudut pandang dari para fuqoha.


Pendapat pertama, sudut pandang waktu yang sifatnya hakiki. Dalam artian bahwa ukuran jangka waktu disini adalah waktu yang memiliki batas tertentu. Dan ini sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim (6/136) dengan mengatakan;


وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ تَعْيِينُ السَّاعَاتِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ أَمْ مِنْ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَالْأَصَحُّ عِنْدَهُمْ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ ثُمَّ إِنَّ مَنْ جَاءَ فِي أَوَّلِ سَاعَةٍ مِنْ هَذِهِ السَّاعَاتِ وَمَنْ جَاءَ فِي آخِرِهَا مُشْتَرَكَانِ فِي تَحْصِيلِ أَصْلِ الْبَدَنَةِ وَالْبَقَرَةِ وَالْكَبْشِ وَلَكِنْ بَدَنَةُ الْأَوَّلِ أَكْمَلُ مِنْ بَدَنَةِ مَنْ جَاءَ فِي آخِرِ السَّاعَةِ وَبَدَنَةُ الْمُتَوَسِّطِ مُتَوَسِّطَةٌ

"Dan para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini, mengenai penentuan waktu sejak terbitnya fajar atau setelah terbitnya matahari. Dan yang shahih dalam hal ini dimulai sejak terbitnya fajar. Lalu, orang yang datang di awal waktu dari waktu-waktu dan di akhir waktunya (dalam satu jenjang waktu) akan mendapatkan keutamaan yang sama baik onta, sapi, atau kambing. Hanya saja onta bagi yang datang di awal waktu pertama lebih sempurna dari yang datang di akhir waktu pertama, demikian yang datang di pertengahan waktu pertama maka onta yang pertengahan."

Hal senada juga beliau sampaikan dalam Al-Majmu', dan ini adalah pendapat pilihan beliau.


Pendapat kedua, hitungan waktu ini bersifat nisbi (relatif). Dimana orang yang datang dibanding orang datang setelahnya, maka dia seperti kurban onta. Sedang dengan orang yg datang duluan sebelum dia, dia seperti kurban sapi. Dan orang yang di atasnya lagi, maka dia seperti kurban kambing. Begitu seterusnya, dan tidak ada batas waktu tertentu yang ada awal serta akhir sebuah waktu. Ini adalah pandangan Imam Ar-Rōfi'i dalam Syarah Al-Wajīz (2/314) yang mengatakan;


ثم ليس المراد من السَّاعات على اختلاف الوجوه الأربع والعشرين التي قسم اليوم والليلة عليها، وإنما المراد ترتيب الدرجات وفضل السابق على الذي يليه

"Lantas maksud dari waktu disini bukan hitungan 24 jam dalam pembagian satu hari. Tapi maksudnya adalah urutan derajat serta keutamaan orang yang datang terlebih dulu dibanding yang datang setelahnya."


Demikian juga dijelaskan lebih lanjut oleh Al-Khothib As-Syirbini dalam Mughnil Muhtaj (1/560);


فَكُلٌّ دَاخِلٌ بِالنِّسْبَةِ إلَى مَنْ بَعْدَهُ كَالْمُقَرِّبِ بَدَنَةً وَبِالنِّسْبَةِ إلَى مَنْ قَبْلَهُ بِدَرَجَةٍ كَالْمُقَرِّبِ بَقَرَةً وَبِدَرَجَتَيْنِ كَالْمُقَرِّبِ كَبْشًا وَبِثَلَاثٍ دَجَاجَةً وَبِأَرْبَعٍ بَيْضَةً، وَعَلَى هَذَا لَا حَصْرَ لِلسَّاعَاتِ وَالْأَوْلَى الْأَوَّلُ

"Maka setiap orang yang datang dibanding dengan orang yang datang setelahnya; dia seperti kurban onta. Sedang dibanding yang datang sebelumnya; dia seperti kurban sapi, dan dibanding dua orang sebelumnya dia seperti kurban kambing, dan tiga orang sebelumnya dia seperti kurban ayam, dan empat orang sebelumnya dia seperti kurban telur. Dan begitu seterusnya sehingga tidak ada batas tertentu dalam waktu-waktu ini."


Maka yang mu'tamad (pendapat kuat) dalam hal ini adalah pendapat Imam Nawawi, namun dengan perincian yang disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Tuhfatul Muhtaj (2/470);


وَالْمُرَادُ أَنَّ مَا بَيْنَ الْفَجْرِ وَخُرُوجِ الْخَطِيبِ يَنْقَسِمُ سِتَّةَ أَجْزَاءٍ مُتَسَاوِيَةٍ سَوَاءٌ أَطَالَ الْيَوْمُ أَمْ قَصُرَ

"Dan maksudnya antara terbitnya fajar sampai keluarnya khotib menuju mimbar dibagi menjadi enam bagian yang sama; panjang pendeknya waktu siang tidak berpengaruh dalam hal ini."


Hal yang sama disampaikan oleh Ar-Romli dalam Nihayatul Muhtaj (2/336);


فَعَلَيْهِ الْمُرَادُ بِسَاعَاتِ النَّهَارِ الْفَلَكِيَّةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً زَمَنِيَّةً صَيْفًا أَوْ شِتَاءً، وَإِنْ لَمْ تُسَاوِ الْفَلَكِيَّةَ فَالْعِبْرَةُ بِخَمْسِ سَاعَاتٍ مِنْهَا أَوْ سِتٍّ

"Maka maksud waktu-waktu siang adalah hitungan falak yaitu 12 jam baik musim panas atau musim dingin. Jika ukuran waktu falak tidak tepat dalam pembagian, maka dihitung dari awal waktu 5 atau enam jam pertama."

As-Syubromilsi mengomentari dengan mengatakan, "Ini yang mu'tamad."


Oleh karenanya, jika diasumsikan waktu siang dimulai dari pukul 06.00 wib sampai 18.00 wib, maka tinggal dibagi enam bagian. Maka bagian pertama nilainya seperti kurban onta, bagian kedua seperti kurban sapi, dan seterusnya. Wallahu Ta'ala A'lam.


✍️ Oleh Abu Harits Al-Jawi

#fikihjumat #fikihsyafii


🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

Senin, 22 April 2024

,


Bagi wanita yang mengalami istihādhoh, maka ada empat perkara yang perlu diperhatikan sebelum melakukan shalat fardhu.Yang mana secara asal kesemuanya ini hukumnya wajib dilakukan setiap kali hendak shalat wajib, dengan beberapa perincian;

Pertama, mencuci farji dan membersihkannya.

Kedua, memasukkan semacam kain ke dalam farji (dibahasakan dengan istilah hasyw). Dalam hal ini, termasuk pembalut jenis tampon atau menstrual cup. Namun, hal ini tidak perlu dilakukan jika dalam kondisi puasa; karena bisa membatalkan puasa.

Ketiga, menutup area luar farji dengan kain. Seperti pembalut yang biasa. Yang dibahasan dengan istilah 'ishōbah. Namun hal ini juga bisa tidak dikerjakan, selama hasyw sudah mencukupi.

Keempat, wudhu meskipun wudhu sebelumnya belum batal.

Lantas, apakah boleh hanya menggunakan 'ishōbah saja tanpa hasyw ? Menurut Al-Romli dalam Nihayatul Muhtaj, dibolehkan dengan syarat bahwa 'ishobah itu mampu menampung darah yang keluar.

Serta, untuk point pertama sampai ketiga; ada khilaf dalam internal madzhab Syafii sendiri. Apakah perlu ketiganya diulang di setiap shalat fardhu atau hanya ketika terlihat darah sudah penuh saja di bagian pembalut ? Mu'tamad madzhab (al-ashoh) menyatakan wajib diulang meski darah tidak tampak. Pendapat kedua menyatakan tidak wajib. Wallahu ta'ala a'lam.

Abu Harits Al-Jawi
#fikihdarahwanita

📖 Al-Ibānah wal Ifādhoh. Dr, Abdurrahman Saqqōf.

🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

Jumat, 12 April 2024

,


Berhubungan badan di siang hari Ramadhan hukumnya haram dan diperbolehkan di malam harinya berdasarkan ayat Al-Quran. (Surat Al-Baqarah ayat 187-pen)

Jika seseorang berhubungan badan di malam hari dan kemudian mencabut saat fajar terbit, maka ada dua keadaan baginya seperti yang dijelaskan dalam kitab Al-Majmu' dan lainnya:

Pertama:
Jika dia merasakan fajar saat sedang berhubungan badan dan kemudian mencabut sehingga akhir pencabutan terjadi bersamaan dengan awal terbitnya fajar, maka puasanya sah karena pencabutan menghentikan hubungan badan.

Hal ini sama dengan kasus seseorang yang bersumpah untuk tidak memakai baju dan dia sedang memakai baju, kemudian dia mencabutnya.

Kedua:
Jika fajar terbit saat dia sedang berhubungan badan dan dia mengetahui terbitnya fajar di awal waktu fajar, kemudian dia mencabutnya segera, maka dia juga tidak batal puasanya meskipun mani keluar.

Hal ini karena pencabutan menghentikan hubungan badan. dan dia tidak batal puasanya meskipun keluar mani pada saat mencabutnya.

Hal ini karena keluarnya mani tersebut dihasilkan dari aktivitas yang dibolehkan (jimak di malam hari-pen) dan hasil dari sesuatu yang dibolehkan juga dibolehkan.

Syarat pencabutan:
Pencabutan harus dilakukan dengan tujuan untuk menghentikan hubungan badan. Pencabutan tidak sah jika dilakukan dengan tujuan untuk bersenang-senang atau tanpa tujuan yang jelas.

Hal ini karena hubungan badan didefinisikan sebagai memasukkan dan mengeluarkan penis, sehingga harus ada niat untuk menghentikan pengeluaran penis.

Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4954)

✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
,


Jika seseorang makan tanpa berusaha mencari tahu, berhati-hati, atau kabar dari orang yang terpercaya, maka ada beberapa kemungkinan:

1. Jika ternyata dia makan setelah fajar terbit atau sebelum matahari terbenam, puasanya tidak sah dan dia wajib menggantinya karena dia makan di siang hari.

2. Jika ternyata dia makan sebelum fajar terbit atau setelah matahari terbenam, puasanya sah karena dia makan di malam hari.

3. Jika dia tidak yakin dan keraguannya masih berlanjut:

• Jika dia makan di akhir waktu siang (menjelang maghrib-pen), dia wajib mengganti puasanya karena asumsinya adalah siang hari masih berlangsung.

• Jika dia makan di awal waktu siang (menjelang subuh-pen), dia tidak wajib mengganti puasanya karena asumsinya adalah malam hari masih berlangsung.

Catatan:

Makan dengan terburu-buru tanpa berusaha mencari tahu atau berhati-hati adalah haram di akhir waktu siang (menjelang Maghrib-pen) karena asumsinya adalah siang hari masih berlangsung.

Sedangkan di awal waktu siang, hal itu diperbolehkan karena orang yang ragu tidak diharamkan untuk makan sampai dia yakin bahwa hari telah siang (matahari terbit-pen).

Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dengan beberapa penyesuaian dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4953)

✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
,


Jika seseorang ragu apakah matahari sudah terbenam dan dia berijtihad lalu makan, maka ada beberapa kemungkinan:

Pertama:
Jika ternyata dia makan setelah matahari terbenam, maka puasanya sah.

Kedua:
Jika ternyata dia makan sebelum matahari terbenam, maka puasanya tidak sah karena dia makan di siang hari.

Dugaannya bahwa matahari sudah terbenam tidak dianggap berdasarkan hadits Asma' dalam Shahih Bukhari.

لما أفطروا ﻋﻠﻰ ﻋﻬﺪ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻮﻡ ﻏﻴﻢ ﺛﻢ ﻃﻠﻌﺖ اﻟﺸﻤﺲ ﻗﻴﻞ ﻟﻬﺸﺎﻡ: فأﻣﺮﻭا ﺑﺎﻟﻘﻀﺎء؟ ﻓﻘﺎﻝ: ﺑﺪ ﻣﻦ ﻗﻀﺎء.

Ketika para sahabat berbuka puasa pada zaman Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam di hari yang mendung, kemudian matahari terbit, dikatakan kepada Hisyam: "Apakah mereka harus mengganti puasanya?"

Hisyam menjawab: "Harus mengganti."

Hal yang sama juga terjadi pada zaman Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhhu. Mayoritas riwayat dari Umar Radhiyallahu ‘Anhhu menyatakan bahwa harus mengganti puasa.

Adapun riwayat Zaid bin Wahb yang menyatakan tidak perlu mengganti puasa adalah keliru, sebagaimana dikatakan oleh Al-Baihaqi.

Ketiga:
Jika dia tidak yakin dan keraguannya masih berlanjut, maka puasanya sah. Karena ijtihad adalah jalan yang syar'i untuk menetapkan hukum.

Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4952)

✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgra,
,


Jika seseorang ragu tentang terbitnya fajar dan kemudian makan, maka ada beberapa kemungkinan:

Pertama:
Jika ternyata dia makan sebelum fajar terbit, maka puasanya sah.

Kedua:
Jika ternyata dia makan setelah fajar terbit, maka puasanya *tidak sah* karena dia makan di siang hari. Anggapannya bahwa fajar belum terbit tidak dihiraukan karena anggapan tersebut jelas keliru. (yaitu kaidah fikih لا عبرة بالظن البين خطؤه)

Ketiga:
Jika dia tidak yakin tentang apa yang terjadi dan keraguannya tetap ada, maka puasanya sah karena asal hukumnya adalah malam masih berlangsung. Asal hukum ini tetap berlaku dan istiṣḥāb (penetapan hukum berdasarkan keadaan sebelumnya) merupakan hujjah (bukti) syar'i.

Syekh Syabramalisi berkata:

وﻫﻞ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺴﺆاﻝ ﻋﻤﺎ ﻳﺒﻴﻦ ﻏﻠﻄﻪ ﺃﻭ ﻋﺪﻣﻪ ﺃﻡ ﻻ؟ ﻓﻴﻪ ﻧﻈﺮ ﻭاﻷﻗﺮﺏ اﻟﺜﺎﻧﻲ - أي أنه لا يجب عليه السؤال - ﻷﻥ اﻷﺻﻞ ﺻﺤﺔ ﺻﻮﻣﻪ.

"Apakah dia wajib mencari tahu apakah dia salah atau tidak?

Ada dua pendapat tentang hal ini, dan yang lebih dekat dengan kebenaran adalah pendapat kedua, yaitu dia tidak wajib mencari tahu. Hal ini karena asal hukumnya puasanya sah."


Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4951)

✍️ Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
,


Waktu sahur dimulai dari tengah malam dan dianjurkan untuk menunda sahur hingga menjelang fajar, selama tidak ragu akan terbitnya fajar.

Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata,

ﺗﺴﺤﺮﻧﺎ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺛﻢ ﻗﻤﻨﺎ ﺇﻟﻰ اﻟﺼﻼﺓ ﻭﻛﺎﻥ ﻗﺪﺭ ﻣﺎ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﺧﻤﺴﻴﻦ ﺁﻳﺔ.

"Kami pernah sahur bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian kami bangun untuk shalat. Jarak antara sahur dan shalat kira-kira waktu membaca 50 ayat."

Imam Ar-Ramli berkata,

ﻭﻓﻴﻪ ﺿﺒﻂ ﻟﻘﺪﺭ ﻣﺎ ﻳﺤﺼﻞ ﺑﻪ ﺳﻨﺔ التأخير

"Hadits ini menunjukkan batas waktu penundaan sahur yang sesuai sunnah."

Syaikh Ba'isyan berkata,

ﻓﻤﺎ ﻳﻔﻌﻠﻪ اﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ اﻟﺘﻤﻜﻴﻦ ﻓﻲ اﻟﻤﻐﺮﺏ ﻭﺇﻳﻘﺎﻉ اﻷﺫاﻥ اﻟﺜﺎﻧﻲ ﻗﺒﻞ اﻟﻔﺠﺮ ﻣﺨﺎﻟﻒ ﻟﻠﺴﻨﺔ.
ﻗﺎﻝ اﻟﻘﺴﻄﻼﻧﻲ: ﻓﻠﺬا ﻗﻞ ﻓﻴﻬﻢ اﻟﺨﻴﺮ.

"Kebiasaan yang dilakukan orang-orang dengan menunda adzan Maghrib dan mengumandangkan azan kedua sebelum fajar adalah menyelisihi sunnah."

Al-Qastallani berkata, "Oleh karena itu, sedikit sekali kebaikan yang tersisa pada mereka."


Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4946)

✍️ Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
,


Dianjurkan bagi orang yang berpuasa, jika dia dimaki atau dicaci, untuk mengatakan:

"Aku sedang berpuasa."

Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

ﺇﺫا ﻛﺎﻥ اﺣﺪﻛﻢ ﺻﺎﺋﻤﺎ ﻓﻼ ﻳﺮﻓﺚ ﻭﻻ ﻳﺠﻬﻞ ﻓﺎﻥ ﺃﻣﺮﺅ ﻗﺎﺗﻠﻪ ﺃﻭ ﺷﺎﺗﻤﻪ ﻓﻠﻴﻘﻞ إني ﺻﺎﺋﻢ

"Jika salah seorang di antara kalian berpuasa, maka janganlah dia berkata-kata kotor dan janganlah bertengkar. Jika ada orang yang mengajaknya bertengkar atau mencacinya, maka hendaklah dia mengatakan: 'Aku sedang berpuasa'."

Apakah dia mengatakannya dengan suara pelan atau keras?

Terdapat dua pendapat dalam madzhab tentang hal ini:

Pendapat pertama:

Dia mengatakannya dengan lisannya dan orang yang mencaci mendengarnya. Hal ini bertujuan untuk mencegah orang tersebut dari mencaci lagi, dan mengingatkannya bahwa dia sedang berpuasa, serta untuk membalas perbuatannya dengan yang lebih baik.

Pendapat kedua:

Dia mengatakannya dalam hatinya, tidak dengan lisannya. Dia mengingatkan dirinya sendiri bahwa dia sedang berpuasa agar dia bersabar dan tidak membalas cacian, sehingga pahala puasanya tidak hilang.

Al-Mu'tawwali berpegang teguh pada pendapat kedua ini, dan Ar-Rafi'i meriwayatkannya dari para imam Syafiiyah.

Hal ini karena jika dia mengatakannya dengan keras, dikhawatirkan dia akan terjerumus ke dalam riya' (pamer) jika orang lain mendengarnya.

Dikatakan dalam kitab Al-Majmu':

ﻭاﻟﺘﺄﻭﻳﻼﻥ ﺣﺴﻨﺎﻥ ﻭاﻷﻭﻝ ﺃﻗﻮﻯ ﻭﻟﻮ ﺟﻤﻌﻬﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﺣﺴﻨﺎ.

"Kedua pendapat tersebut bagus, dan pendapat pertama lebih kuat. Jika dia menggabungkan keduanya, maka itu lebih baik."

Disebutkan dalam kitab At-Tuḥfah:

ﻳﻘﻮﻟﻪ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻪ ﺗﺬﻛﻴﺮا ﻟﻬﺎ ﻭﺑﻠﺴﺎﻧﻪ ﺣﻴﺚ ﻟﻢ ﻳﻈﻦ ﺭﻳﺎء ﻣﺮﺗﻴﻦ ﺃﻭ ﺛﻼﺛﺎ ﺯﺟﺮا ﻟﺨﺼﻤﻪ ﻓﺈﻥ اﻗﺘﺼﺮ ﻋﻠﻰ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﻓﺎﻷﻭﻟﻰ ﺑﻠﺴﺎﻧﻪ

"Dia mengatakannya dalam hatinya untuk mengingatkan dirinya sendiri, dan dengan lisannya jika dia tidak mengira akan terjerumus ke dalam riya', dua atau tiga kali, untuk mencegah lawannya. Jika dia memilih salah satu, maka yang lebih utama adalah dengan lisannya."

Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4940)

✍️ Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
,


Seorang yang berpuasa harus memastikan untuk menahan lidahnya dari hal-hal yang tidak dibenarkan - meskipun menahan lidah adalah kewajiban secara umum. Hal ini lebih ditekankan pada saat puasa.

Hal-hal yang termasuk dalam kategori ini adalah berbohong, ghibah, mencaci-maki, dan memaki.

Bukhari meriwayatkan:

ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺪﻉ ﻗﻮﻝ اﻟﺰﻭﺭ ﻭاﻟﻌﻤﻞ ﺑﻪ ﻓﻠﻴﺲ ﻟﻠﻪ ﺣﺎﺟﺔ ﺃﻥ ﻳﺪﻉ ﻃﻌﺎﻣﻪ ﻭﺷﺮاﺑﻪ

"Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatannya, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makan dan minumnya."

Hakim meriwayatkan dalam Sahihnya:

ﻟﻴﺲ اﻟﺼﻴﺎﻡ ﻣﻦ اﻷﻛﻞ ﻭاﻟﺸﺮﺏ ﻓﻘﻂ، اﻟﺼﻴﺎﻡ ﻣﻦ اﻟﻠﻐﻮ ﻭاﻟﺮﻓﺚ

"Puasa itu bukan hanya dari makan dan minum saja, tetapi juga dari berkata sia-sia dan dusta."

Akibat Tidak Menahan Lisan

Jika seorang yang berpuasa tidak menahan lidahnya dari hal-hal tersebut - misalnya, ghibah - maka dia berdosa karena ghibah itu sendiri, karena adanya ancaman yang keras terhadap perbuatan ghibah.

Dia juga berdosa karena melanggar anjuran untuk menjaga puasa dari hal-hal tersebut, sehingga pahala puasanya hilang ditambah dengan dosa ghibah.

Pendapat Imam Syafi'i

Imam Syafi'i berpendapat bahwa pahala puasa bisa batal karena hal ini. Oleh karena itu para ulama syafi'iyah yang lain menolak kajian yang dilakukan oleh Al-Adzra'i yang berpendapat bahwa pahalanya tetap ada dan hanya mendapat dosa maksiat saja, karena jika imam dalam sebuah madzhab sudah menyatakan dengan jelas pendapatnya dalam sebuah masalah, maka tidak perlu lagi kajian maupun analisa dalam masalah tersebut.

Tidak batal puasa orang yang melakukan ghibah.  Adapun hadits yang menyebutkan bahwa

ﺧﻤﺲ ﻳﻔﻄﺮﻥ اﻟﺼﺎﺋﻢ: اﻟﻐﻴﺒﺔ ﻭاﻟﻨﻤﻴﻤﺔ ﻭاﻟﻜﺬﺏ ﻭاﻟﻘﺒﻠﺔ ﻭاﻟﻴﻤﻴﻦ اﻟﻔﺎﺟﺮﺓ

"Lima hal yang membatalkan puasa adalah ghibah, namimah (adu domba), berbohong, ciuman, dan sumpah palsu."

Maka ada dua jawaban dari Imam Syafii:

Jawaban pertama: Hadits tersebut dhaif (lemah) dan tidak bisa dijadikan hujjah.

Jawaban kedua: Maksud dari batal di sini adalah batal pahalanya, bukan batal puasanya.

Kesimpulan:

Jika seorang yang berpuasa menahan lidahnya dari hal-hal tersebut, dia akan mendapatkan dua pahala:
1. Pahala wajib karena menahan lidah dari hal-hal yang haram.

2. Pahala sunnah karena menjaga kesucian puasanya.

Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4935)

✍️ Ahmad Reza Lc
,


Dianjurkan bagi orang yang berpuasa untuk menghindari mencicipi makanan dan lainnya. Bahkan, makruh hukumnya karena dikhawatirkan makanan akan sampai ke tenggorokan.

Namun, jika seorang ibu atau orang lain membutuhkan untuk mengunyah makanan (supaya menjadi halus-pen) seperti mengunyah roti untuk anaknya, maka hal itu tidak makruh.

Begitu pula jika seorang juru masak membutuhkan untuk mencicipi masakan. Syaikh Syubramilisi berkata:

ﻭﻳﻨﺒﻐﻲ ﻋﺪﻡ ﻛﺮاﻫﺘﻪ ﻟﻠﺤﺎﺟﺔ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻋﻨﺪﻩ (شخص) ﻣﻔﻄﺮ ﻏﻴﺮﻩ ﻷﻧﻪ ﻗﺪ ﻻ ﻳﻌﺮﻑ ﺇﺻﻼﺣﻪ ﻣﺜﻞ اﻟﺼﺎﺋﻢ.

"Dan sepatutnya tidak makruh hukumnya karena kebutuhan, meskipun ada orang lain yang tidak berpuasa di dekatnya, karena orang lain tersebut mungkin tidak mengetahui cara mengolahnya seperti orang yang berpuasa."

Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4935)

✍️ Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram

Sabtu, 06 April 2024

,


Keluarnya mani karena sebab pikiran atau pandangan tidak membatalkan puasa. Diriwayatkan ada ijmak (kesepakatan ulama) tentang hal ini, bahkan jika seseorang mengulanginya (pikiran atau pandangan-pen) atau air maninya biasa keluar karena hal tersebut, karena tidak ada sentuhan langsung (مباشره) antara pikiran/pandangan dengan keluarnya mani, sehingga dihukumi sama seperti mimpi basah.

Namun, Al-Azra'i berbeda pendapat dan mengatakan bahwa puasa batal jika seseorang sudah tahu bahwa dia akan keluar mani dengan cara tersebut, kemudian tetap melakukannya dengan sengaja.

Menurut Ibnu Hajar, tidak haram mengulang pandangan meskipun khawatir akan keluar mani. Pendapat ini berbeda dengan pendapat Al-Isnawi, Syaikk Zakariya Al-Anshari, Al-Khatib, dan Ar-Ramli.

Al-Zarkasyi menyanggah pendapat yang mengharamkan tersebut berdasarkan perkataan mereka bahwa maksudnya hal tersebut (mengulang pandangan-pen) tidak haram kecuali jika keluar mani.

Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dengan beberapa penyesuaian dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4934)

✍️ Ahmad Reza Lc
Pengasub Fiqhgram
,


Termasuk yang membatalkan puasa adalah masturbasi, yaitu mengeluarkan air mani tanpa hubungan seksual, baik itu masturbasi yang haram, seperti mengeluarkannya dengan tangannya sendiri, atau masturbasi yang diperbolehkan, seperti mengeluarkannya dengan tangan istrinya.

Syarat masturbasi menjadi pembatal puasa adalah orang tersebut mengetahui hal tersebut (masturbasi membatalkan puasa-pen)  dan sengaja untuk melakukannya.

Dihukumi batal puasanya, karena jika seorang membatalkan puasa dengan hubungan badan tanpa mengeluarkan air mani, maka keluarnya air mani dengan menyentuhnya (masturbasi) ada sejenis kenikmatan, dan kasus ini lebih berhak untuk dianggap membatalkan puasa.

Tetapi bagi yang melakukan masturbasi tidak wajib untuk melakukan kafarat, karena dallil-dalil menyatakan kafarat hanya berlaku untuk hubungan seksual.
Sedangka masturbasi tidak sama dengan hubungan seksual karena tidak ada penetrasi.

Dihukumi sama seperti masturbasi, air mani yang keluar karena ciuman, sentuhan, dan pelukan tanpa ada penghalang.

Ibnu Qasim berkata:

اﻟﻮﺟﻪ ﺃﻥ ﻣﺤﻞ ﺫﻟﻚ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﻘﺼﺪ ﺑﺎﻟﻀﻢ ﻣﻊ اﻟﺤﺎﺋﻞ ﺇﺧﺮاﺝ اﻟﻤﻨﻲ ﺃﻣﺎ ﺇﺫا ﻗﺼﺪ ﺫﻟﻚ ﻭﺧﺮﺝ اﻟﻤﻨﻲ ﻓﻬﺬا اﺳﺘﻤﻨﺎء ﻣﺒﻄﻞ

"Hal tersebut (dihukumi batal puasanya-pen) selama dia tidak bermaksud mengeluarkan air maninya ketika berpelukan meskipun dengan penghalang (seperti kain atau baju-pen), tetapi jika dia bermaksud mengeluarkan air mani maka dihukumi sama seperti masturbasi yang membatalkan puasa."

Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4933)

✍️ Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
,


Jika kafarat besar wajib karena berhubungan badan saat berpuasa, maka kafarat tersebut gugur dengan tiga hal:

1. Kematian: Jika orang yang wajib kafarat meninggal dunia di siang hari, maka kafaratnya gugur.

2. Kegilaan: Jika orang yang wajib kafarat menjadi gila, meskipun kegilaan tersebut disebabkan oleh perbuatannya sendiri (seperti melompat dari tebing tinggi), maka kafaratnya gugur. Syekh Syubramilisi menyatakan kafaratnya gugur, sedangkan Syekh Al-Muzahi berbeda pendapat dalam hal ini.

3. Berpindah ke negara lain: Jika orang yang wajib kafarat berpindah ke negara lain pada hari dia melakukan hubungan badan, dan dia melihat orang-orang di sana mulai berpuasa pada waktu yang berbeda dengan negaranya, maka kafaratnya gugur.

Tambahan:

4. Haid atau nifas: Jika wanita yang wajib kafarat mengalami haid atau nifas, maka kafaratnya gugur, dengan asumsi bahwa si wanita memang wajib kafarat seperti disebutkan dalam kitab Al-Mughni.

Selain keempat hal di atas, kafarat tidak gugur:

Murtad: Jika orang yang wajib kafarat murtad pada hari yang sama, puasanya batal dan kafaratnya tidak gugur.

Safar: Jika orang yang wajib kafarat melakukan perjalanan jauh setelah berhubungan badan, kafaratnya tidak gugur. Hal ini karena perjalanan yang dilakukan di siang hari tidak membolehkan berbuka puasa, sehingga tidak berpengaruh terhadap kewajiban kafarat.

Sakit: Jika orang yang wajib kafarat sakit di siang hari, kafaratnya tidak gugur dalam madzhab Syafii. Hal ini karena sakit tidak bertentangan dengan puasa, sehingga pelanggaran terhadap kesucian puasa tetap terjadi.

Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4923)

✍️ Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
,


Seorang wanita membatalkan puasanya di bulan Ramadhan untuk menyusui anaknya karena khawatir akan kesehatan anaknya. Dia wajib mengganti puasa dan membayar fidyah. Kemudian, pada hari dia membatalkan puasanya, dia menstruasi.

Apakah fidyahnya gugur atau tetap wajib?

Para ulama menyatakan bahwa dalam kasus kafarat jima' jika kita memegang pendapat diwajibkan kafarah juga pada wanita, maka jika seorang wanita di gauli pada siang hari Ramadhan kemudian menstruasi atau nifas di hari itu, maka kafaratnya gugur.

Alasannya adalah karena menstruasi dan nifas menghalangi sahnya puasa, sama seperti gila yang juga menggugurkan kafarat dan sama hukumnya dengan kematian.

Dalam kasus ini, dapat dikatakan bahwa kewajiban fidyah gugur, dan ini lebih kuat daripada kasus jima'.

Alasannya adalah karena pada kasus menyusui lebih utama untuk gugur kafaratnya karena dia tidak melakukan pelanggaran yang dapat  membatalkan puasanya, berbeda dengan kasus jima'.

Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4921)

✍️ Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
,


Boleh bagi seorang laki-laki dan perempuan yang dalam keadaan junub pada waktu Subuh kemudian berpuasa berdasarkan dalil berikut:

QS. Al-Baqarah ayat 187:

فالآن باشروهن وابتغوا ما كتب الله لكم وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض

"...Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu. Makan dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam..."

Ayat ini menunjukkan bahwa dibolehkan berhubungan suami istri hingga waktu fajar. Karena, konsekuensi dari dibolehkan berhubungan badan hingga waktu fajar adalah bisa jadi orang tersebut berpuasa sedang dalam kondisi junub.

Juga ada Hadits Aisyah dan Ummu Salamah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah dalam keadaan junub dalam kondisi berupuasa di pagi hari :

كان رسول الله صلي الله عليه وسلم يصبح جنبا من غير حلم ثم يصوم

"...Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah di pagi hari dalam keadaan junub bukan karena mimpi kemudian beliau berpuasa." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat yang lain dari kedua shahabiyah dalam Shahih Muslim, من جماع غير احتلا من جماع غير احتلام. Karena sebab jima’ bukan karena mimpi

Sedangkan Hadits Abu Hurairah yang menyatakan:

من أصبح جنبا فلا صوم له

"Barangsiapa yang junub di pagi hari, maka tidak ada puasa baginya"
(HR. Bukhari dan Muslim) telah dihapuskan (mansukh).

Pada awal Islam, berhubungan suami istri di malam hari saat Ramadhan diharamkan bagi orang yang berpuasa, sama seperti larangan makan dan minum.

Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memperbolehkan berhubungan suami istri hingga waktu fajar, maka dibolehkan bagi orang yang junub saat memasuki waktu subuh untuk berpuasa.

Abu Hurairah meriwayatkan hadits tersebut berdasarkan apa yang dia dengar dari Fadl bin Abbas tentang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada masa larangan awal.

Beliau tidak mengetahui tentang penghapusan larangan tersebut. Ketika dia mendengar hadits dari Aisyah dan Ummu Salamah, beliau pun kembali pada pendapat yang benar.

Oleh karena itu, jika seorang wanita selesai haid atau nifas dan waktu subuh telah masuk sebelum dia mandi, maka dia wajib berpuasa dan puasanya sah.

Namun, dianjurkan untuk mandi sebelum waktu subuh agar suci sejak awal puasa dan untuk menghindari air masuk ke lubang telinga, dubur, dan lainnya.

Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4919)

✍️ Ahmad Reza Lc
Pengasub Fiqhgram

Jumat, 05 April 2024

,

Jika seseorang shalat di awal malam (Tarawih-pen) dan melakukan witir, kemudian ingin shalat lagi di akhir malam, maka dia boleh shalat lagi sebanyak apapun dan tidak perlu mengulang witir dengan melakukan naqd, karena witir sebelumnya sudah sah.


Ini adalah pendapat madzhab kami (Syafiiyah) dan juga diriwayatkan oleh Qadhi ‘Iyadh dari mayoritas ulama.

Dasarnya adalah hadits Thalq bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu berkata,

ﺳﻤﻌﺖ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮﻝ: "ﻻ ﻭﺗﺮاﻥ ﻓﻲ ﻟﻴﻠﺔ

“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada dua witir dalam satu malam.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i).

Seseorang tidak boleh (naqd) membatalkan witirnya dengan cara shalat satu rakaat di awal ketika akhir malam untuk menjadikan witirnya yang di awal malam genap, kemudian melakukan tahajud lagi dan witir di akhir shalatnya.

Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Jamrah berkata,

ﺳﺄﻟﺖ ﻋﺎﺋﺬ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺏ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺏ اﻟﺸﺠﺮﺓ ﻫﻞ ﻳﻧﻘﺾ اﻟﻮﺗﺮ؟ ﻗﺎﻝ: ﺇﺫا ﺃﻭﺗﺮﺕ ﻣﻦ ﺃﻭﻟﻪ، ﻓﻼ ﺗﻮﺗﺮ ﻣﻦ ﺁﺧﺮﻩ.

“Aku bertanya kepada ‘Aidz bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, dan beliau adalah salah satu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Ahlu asy-Syajarah (Baitur Ridwan-pen), “Apakah witir itu bisa dibatalkan?”

Dia menjawab, “Jika kamu sudah witir di awal malam, maka jangan witir lagi di akhir malam.”

Alasan lainnya adalah witir pertama sudah sah dan tidak perlu dibatalkan setelah selesai.

Jika seseorang menjadi imam dan witir di awal malam, kemudian shalat bersama jamaah, maka dia tidak boleh witir lagi, tetapi harus memilih yang lain untuk mengimami shalat witir.

Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad sahih dari Qais bin Thalq berkata,

ﺯاﺭﻧﺎ ﻃﻠﻖ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ ﻓﻲ ﻳﻮﻡ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ، ﻭﺃﻣﺴﻰ ﻋﻨﺪﻧﺎ، ﻭﺃﻓﻄﺮ، ﺛﻢ ﻗﺎﻡ ﺑﻨﺎ اﻟﻠﻴﻠﺔ، ﻭﺃﻭﺗﺮ ﺑﻨﺎ، ﺛﻢ اﻧﺤﺪﺭ ﺇﻟﻰ ﻣﺴﺠﺪﻩ، ﻓﺼﻠﻰ ﺑﺄﺻﺤﺎﺑﻪ، ﺣﺘﻰ ﺇﺫا ﺑﻘﻲ اﻟﻮﺗﺮ ﻗﺪﻡ ﺭﺟﻼ، ﻓﻘﺎﻝ: ﺃﻭﺗﺮ ﺑﺄﺻﺤﺎﺑﻚ، ﻓﺈﻧﻲ ﺳﻤﻌﺖ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮﻝ: ﻻ ﻭﺗﺮاﻥ ﻓﻲ ﻟﻴﻠﺔ.

“Thalq bin ‘Ali mengunjungi kami di suatu hari di bulan Ramadhan, dan dia menginap di rumah kami, berbuka puasa, kemudian dia bangun bersama kami di malam hari dan witir bersama kami.

Kemudian dia turun ke masjidnya dan shalat bersama para sahabatnya. Ketika waktu witir tiba, dia mendahulukan seorang laki-laki dan berkata, “Witirlah bersama para sahabatmu, karena aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada dua witir dalam satu malam.”


Rafi’ bin Khadij ditanya tentang witir, maka beliau menjawab,

ﺃﻣﺎ ﺃﻧﺎ ﻓﺈﻧﻲ ﺃﻭﺗﺮ ﻣﻦ ﺃﻭﻝ اﻟﻠﻴﻞ ﻓﺈﻥ ﺭﺯﻗﺖ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ﺁﺧﺮﻩ ﺻﻠﻴﺖ ﺭﻛﻌﺘﻴﻦ ﺭﻛﻌﺘﻴﻦ ﺣﺘﻰ ﺃﺻﺒﺢ.

“Adapun aku, aku witir di awal malam. Jika aku diberi kesempatan untuk shalat di akhir malam, maka aku shalat dua rakaat demi dua rakaat hingga pagi hari.”

Wallahu A’lam
----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4917)

✍️ Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram

Minggu, 10 Maret 2024

,

Dianjurkan bagi orang yang berpuasa untuk berdoa saat berbuka, seperti yang diriwayatkan dalam kitab Al-Majmu':


اﻟﻠﻬﻢ ﻟﻚ ﺻﻤﺖ ﻭﻋﻠﻰ ﺭﺯﻗﻚ ﺃﻓﻄﺮﺕ

"Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka."

Abu Dawud meriwayatkan dari Mu'adz bin Zuhrah secara mursal, beliau berkata:

ﺇﻥ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻥ ﺇﺫا ﺃﻓﻄﺮ ﻗﺎﻝ: اﻟﻠﻬﻢ ﻟﻚ ﺻﻤﺖ ﻭﻋﻠﻰ ﺭﺯﻗﻚ ﺃﻓﻄﺮﺕ.

"Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ketika berbuka puasa, beliau mengucapkan: Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka."

Dalam kitab At-Tuhfah disebutkan bahwa tidak mengapa doa ini diamalkan walaupun derajatnya mursal karena termasuk dalam bab فضائل (keutamaan), dan dalam riwayat lain doa ini bersambung sanadnya.

Di dalam Sunan Abu Dawud dan An-Nasa'i, dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhu diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ketika berbuka puasa, beliau mengucapkan:

ﺫﻫﺐ اﻟﻈﻤﺄ ﻭاﺑﺘﻠﺖ اﻟﻌﺮﻭﻕ ﻭﺛﺒﺖ اﻷﺟﺮ ﺇﻥ ﺷﺎء اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ.

"Telah hilang rasa haus, dan urat-urat telah basah, dan pahala telah tetap, insya Allah Ta'ala."

Di dalam Ibnu Majah, dari Ibnu Umar bin Al-'Ash Radhiyallahu 'Anhu diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

ﺇﻥ ﻟﻠﺼﺎﺋﻢ ﻋﻨﺪ ﻓﻄﺮﻩ ﺩﻋﻮﺓ ﻣﺎ ﺗﺮﺩ

"Sesungguhnya orang yang berpuasa memiliki doa yang tidak ditolak ketika berbuka."

Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma ketika berbuka puasa, beliau mengucapkan:

اﻟﻠﻬﻢ ﺑﺮﺣﻤﺘﻚ اﻟﺘﻲ ﻭﺳﻌﺖ ﻛﻞ ﺷﺊ اﻏﻔﺮ ﻟﻲ

"Ya Allah, dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu, ampunilah aku."

Jika berbuka puasa bersama orang lain, dianjurkan untuk mengucapkan doa berikut, doa ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya dari Anas Radhiyallahu 'Anhu bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam datang kepada Sa'ad bin 'Ubadah, lalu beliau disuguhkan roti dan minyak.

Kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam makan dan berkata:

ﺃﻓﻄﺮ ﻋﻨﺪﻛﻢ اﻟﺼﺎﺋﻤﻮﻥ ﻭﺃﻛﻞ ﻃﻌﺎﻣﻜﻢ اﻷﺑﺮاﺭ ﻭﺻﻠﺖ ﻋﻠﻴﻜﻢ الملائكة

"Orang-orang yang berpuasa telah berbuka bersama kalian, dan orang-orang yang baik telah memakan makanan kalian, dan semoga para malaikat mendoakan kalian."

Doa ini diucapkan setelah berbuka puasa, sebagaimana disebutkan dalam kitab At-Tuhfah, Al-Mughni, dan An-Nihayah.

Wallahu A’lam

-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4903)

✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc
,

Diharamkan bagi orang yang berpuasa wajib untuk berciuman jika merangsang syahwatnya hingga ia takut akan keluar maninya atau bisa menarik kepada hubungan badan.


Sedangkan untuk puasa sunnah, maka tidak haram, karena dia berhak membatalkan puasanya kapan pun yang dia mau, sebagaimana pendapat Ar-Ramli.

Jika dia tidak takut akan keluar mani atau tidak khawatir terjadi hubungan badan, maka hal itu makruh baginya, demikian pula dihukumi makruh jika dia khawatir dzakarnya akan berdiri atau akan keluar cairan madzi.

Mirip dengan kasus ciuman dalam hal ini adalah setiap sentuhan pada bagian tubuh mana pun tanpa ada penghalang, seperti disebutkan dalam kitab At-Tuhfah.

Sebab Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam, memberi keringanan bagi orang yang sudah tua, tetapi tidak bagi yang muda, dan beliau menjelaskan bahwa yang tua itu bisa mengontrol syahwatnya, berbeda dengan yang masih muda.

Maka dari alasan ini dapat dipahami bahwa hukum larangan tersebut tergantung pada naiknya syahwat yang ditakutkan akan terjadi ejakulasi atau bisa menarik pada hubungan badan ataukah tidak.

Wallahu A’lam

-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4901)

✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc
,

1. Bius Lokal


Jika bius diberikan di bagian tubuh tertentu seperti tangan atau kaki, maka puasanya tetap sah. Hal ini karena akalnya masih sadar dan suntikan bius tidak membatalkan puasa. Hukumnya sama dengan menusuk tangan dengan pisau, yang tidak membatalkan puasa, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Majmu'.

Begitu pula dengan bahan-bahan bius yang terkandung di dalamnya, tidak membatalkan puasa.

2. Bius Total

Jika bius total dan berlangsung sepanjang hari, maka puasanya batal. Hal ini karena pingsan yang berlangsung sepanjang hari membatalkan puasa. Berbeda jika ia sadar sejenak di siang hari, maka puasanya tidak batal.

Wallahu A’lam

-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4900)
✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc