Selasa, 14 Mei 2024

,

Mentalqin mayit setelah dikuburkan dari sudut pandang fikih Islam, maka kita katakan. bahwa jumhur ulama dari 4 madzhab menyampaikan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang dianjurkan. Hal ini dilandasi beberapa riwayat dari para sahabat, dan diantaranya adalah riwayat dari sahabat Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu anu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan seraya berkata;

إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمُ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ ليَقُلْ: يَا فُلَان بْنَ فُلَانَةَ. فَإِنَّهُ يَقُولُ: أَرْشِدْنَا رَحِمَكَ اللهُ، وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ، فَلْيَقُلْ: اذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيتَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيرًا يَأْخُذُ وَاحِدٌ مِنْهُمْا بِيَدِ صَاحِبِهِ وَيَقُولُ: انْطَلِقْ بِنَا مَا نَقْعُدُ عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتَهُ، فَيَكُونُ اللهُ حَجِيجَهُ دُونَهُمَا

"Jika salah seorang dari saudara kalian meninggal, maka tatalah tanah di atas kuburnya. Lalu salah seorang dari kalian hendaknya berdiri di sisi kepala kubur sembari berkata; 'Wahai fulan bin fulanah.' Maka mayit akan mengatakan; 'Berikan kami panduan semoga Allah merahmatimu.' Akan tetapi kalian semua yang hidup tidak merasakannya. Lalu hendaknya -pentalqin- mengatakan; 'Ingat, engkau keluar dari dunia dengan dua kalimat syahadat laa ilaha illallahu wa anna muhammadan abduhu wa rasuluhu, dan kau ridho Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai nabi, Al-Quran sebagai imam.' Maka malaikat Munkar serta Nakir salah satu dari keduanya memegang tanggan mayit dan mengatakan; 'Mari berkumpul bersama orang-orang yang sudah ditalqin hujjahnya.' Maka Allah menjadi hujjah baginya." [HR.At-Thobroni dalam Ad-Du'a dan Mu'jam Kabir, dan selainnya ]


Jika dikatakan, bahwa hadits ini adalah lemah, maka tidak bisa diamalkan ! Maka Imam Nawawi memberikan jawaban tersebut dalam ucapan beliau;

قُلْتُ: هَذَا التَّلْقِينُ اسْتَحَبَّهُ جَمَاعَاتٌ مِنْ أَصْحَابِنَا، مِنْهُمُ: الْقَاضِي حُسَيْنٌ، وَصَاحِبُ (التَّتِمَّةِ) وَالشَّيْخُ نَصْرٌ الْمَقْدِسِيُّ فِي كِتَابِهِ (التَّهْذِيبِ) وَغَيْرُهُمْ، وَنَقَلَهُ الْقَاضِي حُسَيْنٌ عَنْ أَصْحَابِنَا مُطْلَقًا. وَالْحَدِيثُ الْوَارِدُ فِيهِ ضَعِيفٌ، لَكِنَّ أَحَادِيثَ الْفَضَائِلِ يُتَسَامَحُ فِيهَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنَ الْمُحَدِّثِينَ وَغَيْرِهِمْ. وَقَدِ اعْتُضِدَ هَذَا الْحَدِيثُ بِشَوَاهِدَ مِنَ الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ، كَحَدِيثِ (اسْأَلُوا اللَّهَ لَهُ التَّثْبِيتَ) وَوَصِيَّةُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ (أَقِيمُوا عِنْدَ قَبْرِي قَدْرَ مَا تُنْحَرُ جَزُورٌ، وَيُقَسَّمُ لَحْمُهَا حَتَّى أَسْتَأْنِسَ بِكُمْ، وَأَعْلَمَ مَاذَا أُرَاجِعُ بِهِ رُسُلَ رَبِّي) رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي (صَحِيحِهِ) وَلَمْ يَزَلْ أَهْلُ الشَّامِ عَلَى الْعَمَلِ بِهَذَا التَّلْقِينِ مِنَ الْعَصْرِ الْأَوَّلِ، وَفِي زَمَنِ مَنْ يُقْتَدَى بِهِ.

"Aku katakan, talqin ini dianjurkan oleh banyak dari para ulama di madzhab kami, diantaranya; Qodhi Husain, penulis kitab At-Tatimmah, Syaikh Nashir Al-Maqdisi dalam kitabnya At-Tadzhib, dan selain mereka. Qodhi Husain menukil pendapat ini dari para ulama madzhab secara mutlak. Dan hadits dalam masalah ini adalah dhoif, akan tetapi hadits-hadits fadhilah amal semacam ini diberikan keringanan oleh para ulama ahli hadits dan selainnya. Dan menguatkan hadits tersebut, syawahid (penguat) dari hadits-hadits yang shahih seperti hadits ((Mintalah keteguhan kepada Allah bagi mayit itu)), serta wasiat Amr bin 'Ash ((Tunggulah di kuburanku seukuran waktu kalian memotong unta hingga dibagikan dagingnya, supaya aku bisa tenang bersama kalian, dan aku mengetahui apa yang aku jawab ketika datang utusan malaikat dari Rabb-ku)) hadits riwayat Muslim dalam shahihnya. Dan para penduduk Syam juga telah mengamalkan talqin ini sejak abad pertama, di zaman manusia yang bisa dijadikan panutan (generasi salaf)." [Roudhotut Tholibin (2/138) ]


Dalam literatur klasik dari semua mazhab pun, kita akan dapati bagaimana mereka juga menganjurkan talqin mayit ini. Dalam madzhab Syafii misalnya, Imam Ar-Rofii mengatakan;

ويستحب أن يلقن الميت بعد الدفن 

"Dan dianjurkan mentalqin mayit setelah dikuburkan." [ Al-Aziz Syarah Al-Wajiz. (5/242) ]


Imam An-Nawawi mengatakan;

وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُلَقَّنَ الْمَيِّتُ بَعْدَ الدَّفْنِ،  فَيُقَالُ: يَا عَبْدَ اللَّهِ ابْنَ أَمَةِ اللَّهِ، اذْكُر مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا، شَهَادَةَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَأَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ، وَأَنَّ النَّارَ حَقٌّ، وَأَنَّ الْبَعْثَ حَقٌّ، وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَا رَيْبَ فِيهَا، وَأَنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُورِ، وَأَنَّكَ رَضِيتَ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، وَبِالْكَعْبَةِ قِبْلَةً، وَبِالْمُؤْمِنِينَ إِخْوَانًا.

"Dan disunnahkan mentalqin jenazah setelah dikuburkan, dan mengatakan; 'Wahai hamba Allah anak hamba Allah, ingat kau keluar dari dunia dengan dua kalimat syahadat, dan surga adalah benar, neraka adalah benar, kebangkitan adalah benar, dan kiamat akan datang tidak ragu lagi, dan Allah akan membangkitkan orang dari kuburnya. Dan engkau ridho Allah menjadi Rabb, Muhammad menjadi nabi, Al-Quran menjadi penunjuk, Ka'bah menjadi kiblat, orang mukmin menjadi saudara." [ Roudhotut Tholibin. (2/138) ]


Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshori mengatakan;

وقال شيخ الإسلام زكريا الأنصاري في "أسنى المطالب" (1/ 329): [قال بعضهم: وقوله صلى الله عليه وآله وسلم: «لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ» دليلٌ عليه -أي: على التلقين-؛ لأن حقيقة الميت: مَن مات، أما قبل الموت -أي: وهو ما جرى عليه الأصحاب كما مر- فمجازٌ] اهـ.

"Sebagian ulama mengatakan, bahwa hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam ((Talqinlah orang yang mati diantara kalian dengan kalimat laa ilaaha illallahu)) menjadi dalil pensyariatan talqin (setelah meninggal -edt) karena kata mayyit secara asal bahasa adalah orang yang sudah mati. Adapun talqin sebelum meninggal -dan ini pendapat ulama Syafiiyyah- maka kata mayyit dimaknai secara majaz." [ Asna Al-Matholib. (1/329) ]


Bahkan Al-Hafidz As-Sakhowi As-Syafii menulis kitab khusus dalam masalah ini dengan judul Al-Idhoh wa At-Tabyiin bi Masalah At-Talqin (hal.185), beliau mengatakan setelah menyebutkan penguat-penguat terhadap hadits talqin mayit setelah mati dan sah beramal dengan hadits tersebut; 

فهذه أحد عشر عاضدًا يعتضد بها حديثُ أبي أُمامة رضي الله عنه، وتُقوِّي الاستدلال به على استحباب التلقين

"Maka ini adalah 11 penguat yang menguatkan hadits Abu Umamah radhiyallahu anhu, dan memperkuat sisi pendalilan dengannya untuk keanjuran talqin mayit."


Adapun dari kalangan ulama bermadzhab Hanafi, maka diantaranya adalah Imam Abu Ishaq As-Shoffar Al-Hanafi (w.534 H) dalam kitabnya Talkhis Al-Adillah li Qowaid At-Tauhid mengatakan; 

قول المعتزلة: التلقين لا يكون بعد الموت؛ لأن الإحياء بعد الموت عندهم مستحيل، ويؤولون التلقين الذي في الحديث على التلقين عند الموت، وعند أهل السنة والجماعة هذا الحديث محمول على حقيقته؛ لأنه الله تعالى يحييه، على ما جاءت به الآثار

"Ucapan orang-orang Mu'tazilah bahwa talqin tidak berlaku setelah kematian, karena sisi hidup setelah kematian jenazah menurut mereka adalah kemustahilan. Dan mereka mentakwil talqin yang ada dalam hadits, itu dilakukan sebelum mati. Adapun ahlussunnah wal jamaah, memandang hadits tersebut berlaku sesuai hakikat lafadz (setelah mati -edt) karena Allah berkuasa untuk menghidupkannya, sebagaimana ada dalam riwayat-riwayat."


Juga Al-Allamah As-Syaranbalaaliy Al-Hanafi (w.1069 H) juga mengatakan dalam kitabnya Marooqi Al-Falaah (hal.560); 

(وتلقينُه) بعدما وُضع (في القبر مشروعٌ)؛ لحقيقة قوله صلى الله عليه وآله وسلم: «لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ شَهَادَةَ أن لَا إلَهَ إلَّا الله» أخرجه الجماعة إلَّا البخاري، ونُسِبَ إلى أهل السنة والجماعة، (وقيل: لا يُلَقَّنُ) في القبر، ونُسِب إلى المعتزلة

"Dan mentalqin jenazah setelah diletakkan dalam kubur adalah disyariatkan. Sesuai hakikat sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam ((Talqinlah mayat kalian dengan syahadat laa ilaaha illallahu)), hadits diriwayatkan oleh banyak ahli hadits kecuali Bukhari. Dan pendapat ini dinisbatkan sebagai pendapat ahlussunnah wal jamaah. Dan ada yang berpendapat, tidak disyariatkan talqin setelah dikubur, dan ini dinisbatkan kepada Mu'tazilah."


Adapun dari ulama madzhab Maliki, diantaranya adalah Imam Abu Bakr bin Al-Arobi Al-Maliki dalam kitabnya Al-Masalik fi Syarh Muwattho' Malik (3/520), mengatakan; 

إذا أُدخِل الميتُ قبرَه فإنه يُستَحَبُّ تلقينه في تلك الساعة، وهو مستحَبٌّ، وهو فعل أهل المدينة والصالحين والأخيار؛ لأنه مطابق لقوله تعالى: ﴿وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ﴾

"Ketika jenazah diletakkan di kuburnya, dianjurkan untuk mentalqin ketika itu, dan ini dihukumi sunnah. Dan hal ini adalah amal penduduk Madinah serta orang-orang sholih dan terpilih. Karena hal ini sesuai dengan firman Allah Ta'ala {Dan berilah peringatan, sungguh peringatan bermanfaat bagi orang beriman}."


Adapun dari ulama madzhab Hanbali, diantaranya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidho As-Shirothol Mustaqim (2/179) mengatakan;

ورُوِيَ في تلقين الميت بعد الدفن حديثٌ فيه نظر، لكن عمل به رجال من أهل الشام الأولين، مع روايتهم له، فلذلك استحبَّه أكثر أصحابنا وغيرهم.

"Dan diriwayatkan dalam masalah talqin setelah pengkuburan satu hadits yang perlu diteliti ulang kualitasnya, akan tetapi hal ini sudah diamalkan oleh penduduk Syam di masa-masa awal Islam, juga diriwayatkan oleh mereka. Oleh karenanya banyak dari ulama madzhab kita dan selainnya menganjurkan hal tersebut."

***

Sebagian ulama berpendapat, bahwa talqin mayit setelah mayit tidak disyariatkan bahkan sampai pada tingkatan bid'ah. Ini diutarakan diantaranya oleh Amir As-Shon'ani. Dalam kitabnya Subulus Salam Syarah Bulughul Maram (1/502);

وَيَتَحَصَّلُ مِنْ كَلَامِ أَئِمَّةِ التَّحْقِيقِ أَنَّهُ حَدِيثٌ ضَعِيفٌ وَالْعَمَلُ بِهِ بِدْعَةٌ وَلَا يُغْتَرُّ بِكَثْرَةِ مَنْ يَفْعَلُهُ

"Maka kesimpulan dari ucapan para ulama tahqiq (peneliti), bahwa ini adalah hadits dhoif dan mengamalkannya adalah kebid'ahan, maka janganlah tertipu dengan banyaknya manusia yang mengamalkannya."


Hal ini pun diikuti oleh sebagian ulama kontemporer, diantara Syaikh Abdul Aziz bin Baz, dalam Majmu'  Fatawa wa Maqolat (12/306) mengatakan;

بدعة وليس له أصل، فلا يلقن بعد الموت وقد ورد في ذلك أحاديث موضوعة ليس لها أصل، وإنما التلقين يكون قبل الموت

"(Hal itu) bid'ah tidak ada landasannya, maka tidak boleh talqin setelah kematian. Dan ini pun ada riwayat hadits-hadits yang maudhu' (palsu) tidak ada asal-usulnya. Yang benar talqin itu dilakukan sebelum kematian."


Demikian juga diikuti oleh Syaikh Utsaimin, Syaikh Al-Albani dan beberapa ulama lainnya.

***

Kesimpulan pribadi dalam hal, bahwa permasalahan talqin mayit setelah dikubur ini adalah murni khilaf fikih yang mu'tabar. Maka yang mengamalkan sudah sesuai dengan dalil dan pemahaman terhadap dalil oleh para ulama besar. Demikian juga yang tidak mengamalkan, maka hal itu juga tidak dipermasalahkan karena mengikuti pendapat sebagian kecil dari para ulama. Dan memang, dalil dalam masalah ini masuk dalam ranah yang debatable (sangat mungkin untuk diperdebatkan). Wallahu ta'ala a'lam.


Jombang, 15 Mei 2024

Abu Harits Danang Santoso

***

Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.


Minggu, 12 Mei 2024

,


BIOGRAFI PENULIS KITAB
Beliau adalah Imam Nawawi, Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi. Dan beliau tidak suka dijuluki muhyiddin, lahir di Nawa daerah Syam. Lalu beliau pindah ke Damaskus, dan pindah kesana serta belajar di sana. Diantara guru beliau; Al-Kamal Ishaq bin Ahmad Al-Maghribi dan beliau bermulazamah dengannya cukup lama, dan beliau adalah guru pertama sebagaimana penjelasan As-Sakhowi. Serta Abdurrahman bin Nuh Al-Maqdisi dan Abdurrahman Al-Hizari dan keduanya murid Ibnu Sholah. Serta Imam Ibnu Malik penulis Alfiyah Nahwu. Dan Imam Nawawi beliau bertemu Imam Rofii, bahkan beliau lahir 8 tahun setelah kematian Imam Rofii.

Diantaranya murid Imam Nawawi adalah; Alauddin Ibnul Aththor, dan Al-Hafidz Al-Mizzi, Al-Barizi penulis Az-Zubad, dan lainnya. Imam Nawawi wafat tahun 676 H.


KITAB MINHAJ THOLIBIN
- Secara bahasa minhaj bermakna jalan yang jelas. Dan nama minhaj adalah penamaan langsung dari penulis. Dan jika disebut berkata Nawawi dalam ashlul minhaj, yaitu minhaj dari ikhtishor muharrar. Jika disebut dalam ziyadah minhaj, maka tambahan pembahasan penulis dari ikhtishor muharrar. Jika disebut dalam minhaj, maka ada dua kemungkinan.


- Al Bujairimi berpendapat bahwa Al-Muharrar adalah ringkasan dari Al-Wajiz nya Al-Ghozali. Pendapat lain mengatakan bahwa Al-Muharrar bukanlah mukhtashor dari kitab manapun, dan ini yang lebih benar. Dan Al-Minhaj adalah ikhtishor dari Al-Muharrar.


- Tujuan ikhtishor ini adalah agar mudah dihafal, namun Imam Nawawi memberikan tambahan pendapat pribadi dalam beberapa masalah. Diantara amaliyah Imam Nawawi;


1. Tashih (membenarkan) dari pendapat yang Imam Rofii menyelisihi fuqoha madzhab, atau khilaf lainnya, dan mendudukkan yang benar dari khilaf yang terjadi.

2. Membuat urutan derajat khilaf dalam madzhab; seperti awjah atau ashoh atau adzhar dan lainnya.

3. Menambahkan beberapa masalah di luar muharrar (diisyaratkan dengan qultu atau wallahu a'lam) dan ini biasa disebut ziyadah minhaj.

4. Mengganti lafadz yang sulit menjadi lafadz yang lebih mudah.


KEDUDUKAN KITAB MINHAJ
- Berkata Imam Ibnu Malik penulis alfiyah nahwu yang juga guru Imam Nawawi;

لو استقبلت من أمري ما استدبرت لحفظت المنهاج

 "Sekiranya aku kembali ke masa lalu tentu akan akan hafal kitab Minhajut Tholibin."


- Kitab ini menjadi muqorror wajib dalam urutan pembelajaran fiqh Syafii hampir di semua negeri yang belajar madzhab. Berbeda dengan kitab lainnya. Seperti Umdatus Salik dipelajari di Hadramaut tapi tidak di Zabid. Atau Tahrir-nya Syakhul Islam dipelajari di Zabid sebelum Minhaj, tapi tidak dipelajari di Hadramaut.


- Tidak semua yang ada di Minhaj adalah mu'tamad, namun ada beberapa masalah yang bukan mu'tamad dijelaskan oleh syurroh minhaj. Diantara dijelaskan oleh Ishaq bin Muhammad bin Ibrahim Az-Zabidi murid muridnya Ibnu Hajar dalam At-Tanbihat Al-'Aniqoh.


KHIDMAH KEPADA MINHAJ
Mukhtashor (Ringkasan) dari kitab Minhaj
- Al-Wahhaj fi Ikhtishoril Minhaj oleh Ibnu Hayyan Al-Andalusi
- Manhajut Thullab oleh Syaikhul Islam >> diringkas dalam Nahjut Tholab oleh Al-Jauhari


Syarah Minhaj
- Al-Bahrun Nawwaj oleh Ibnul Imad
- Ad-Dibaj oleh Imam Zarkasyi
- Tashih Minhaj Ibnu Mulaqqin
- An-Najmul Wahhaj oleh Imam Ad-Damiri murid Isnawi
- Syarh Taqiyuddin Abu Bakr bin Ahmad bin Muhammad bin Umar (Ibnu Qodhi Syuhbah)
- Bidayatul Muhtaj (syarah ringan) dan Irsyadul Muhtaj ilal Minhaj oleh Badruddin bin Abi Bakr bin Ahmad (Ibnu Qodhi Syuhbah al-walad)
- Kanzur Roghibin karya Jalaluddin Al-Mahalli
- Tuhfatul Muhtaj oleh Ibnu Hajar
- Nihayatul Muhtaj oleh Syamsuddin Romli
- Mughnil Muhtaj oleh Khothib Syirbini .. dan lainnya


Hasyiyah Minhaj

- Hasyiyah Qolyubi dan Amirah 'ala Kanzurroghibin

- Hasyiyah Ali As-Syubromilsi 'ala Nihayah

- Hasyiyah Ar-Rosyidi 'ala Nihayah

- Hasyiyah As-Syarwani 'ala Tuhfah

- Hasyiyah Al-'Abbadi 'ala Tuhfah


Faedah dari muhadharah untuk pelajar Mahad Nawawi takhassus fiqh Syafii oleh guru kami secara daring Syaikh Said Al-Jabiri hafidzahullah

Jombang, 12 Mei 2024

Alih bahasa oleh Danang Santoso

Jumat, 03 Mei 2024

,

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;


إذا سجد أحدُكم فلا يبرُكْ كما يبركُ البعيرُ , وليضعْ يدَيْه قبل رُكبتَيْه

"Jika salah seorang dari kalian sujud maka jangan turun seperti turunnya onta. Hendaknya dia dahulukan tangannya sebelum lututnya."

[ HR.Abu Dawud (840), An-Nasai (1091), Ahmad (8955) ]


Hadits ini secara sanad dihukumi shahih sesuai kesepakatan para ahli hadits. Namun hadits ini tidak diamalkan oleh banyak ulama. Mengapa;


Pertama, hadits ini dinilai bermasalah dalam matan. Dimana dibagian awal, ada larangan turun sujud seperti turunnya onta. Namun berikutnya, perintahnya malah turun sujud seperti onta. Karena onta meletakkan kaki bagian depan terlebih dahulu baru kaki bagian belakang. Oleh karenanya, Imam Nawawi menyebut hadits Abu Hurairah ini mudhthorib (goncang matannya). Bahkan Ibnu Qoyyim dari ulama Hanabilah menyatakan haditsnya maqlub (terbalik secara matan).


Jika dikatakan, bahwa sebagian ulama bahasa menyebutkan kaki onta itu yang bagian depan. Maka tidak ada pertentangan dalam hadits Abu Hurairah. Maka kita katakan, ini menyelisihi yang tampak (dhohir) dari turunnya onta. Karena yang orang lihat, jelas onta turun meletakkan kaki bagian depan dulu. Entah dia tangan atau kakinya.


Jika dikatakan lagi, ada penguat dari amalan Ibnu Umra yang disebutkan Bukhari secara mu'allaq dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah. Maka kita katakan, ini adalah ijtihad Ibnu Umar, dan kita tahu dalam ushul fikih qoul shohaby ketika dia bertentangan dengan sahabat lain; gugur kehujjahannya. Apalagi ini bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang lain.


Kedua, haditsnya ini bertentangan dengan hadits Wail bin Hujr radhiyallah anhu yang secara jelas menyebutkan meletakkan lutut dahulu baru tangan. Maka ketika jatuh kehujjahan hadits Abu Hurairah, terpilihlah hadits Wail bin Hujr. Radhiyallahu 'an jami' as-shohabah.


Jika dikatakan, hadits Wail sanadnya dhoif. Maka kita katakan, bahwa kedhoifannya tidaklah parah. Dan hadits yang dhoif (dengan syarat-syaratnya), bisa dijadikan hujjah dalam fadhoil amal (amalan yg hukumnya sunnah). Buktinya, Imam Tirmidzi mengatakan setelah meriwayatkan hadits ini; dan hadits ini diamalkan oleh banyak ahli ilmu. Demikian juga Imam Abu Dawud pun tidak mengomentari hadits ini ketika meriwayatkan dalam sunan-nya yang mengisyaratkan hadits ini  bisa diamalkan sesuai kaidah beliau. Wallahu ta'ala a'lam.


✍️ Oleh Abu Harits Al-Jawi

#fikihshalat #fikihsyafii 


🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

,

 


MASALAH DELAPAN-AN

Gambaran masalahnya adalah, seorang wanita mumayyizah (bisa membedakan darah haidh dan istihadhohnya). Keluar darah hitam selama 8 hari, lalu 8 hari berikutnya darah merah, lalu 8 hari berikutnya darah hitam. Maka, haidhnya adalah 8 hari pertama. Dan darah merah 8 hari, serta darah hitamm kedua selama 7 hari adalah darah istihadhoh (dihukumi suci). Dan darah hitam kedua di hari terakhir (hari ke-8) adalah haidh baru.


Logikanya, jika hitam pertama digabung dengan merah kedua, maka tidak mungkin. Karena total hari keduanya adalah 16 hari (melebihi batas maksimal haidh 15 hari). Maka terpilih hanya hitam pertama saja.


MASALAH TUJUH-AN

Gambaran masalahnya, seorang wanita melihat darah hitam selama 7 hari, lalu darah merah 7 hari berikutnya, lalu darah hitam kedua selama 7 hari juga. Maka disini para ahli fikih khilaf;


Pendapat pertama, menyatakan bahwa haidhnya adalah 7 hari pertama (darah hitam) saja. Dan ini pendapat Ibnu Hajar. Beliau lebih melihat dari sisi perbedaan sifat.


Pendapat kedua, menyatakan bahwa haidhnya adalah 7 hari pertama darah hitam + 7 hari kedua darah merah (total 15 hari). Dan ini adalah pendapat Imam Ibnu Suraij (w.306 H) dan diikuti oleh Syamsuddin Al-Romli. Karena beliau lebih melihat dari sisi kemungkinan kedua darah itu adalah haidh; karena masih 14 hari (belum melewati batas maksimal haidh). 


Catatan: Syarat di masalah kedua ini adalah bahwa darah hitam (urutan ketiga setelah merah) itu berhenti setelah 7 hari. Jika darah terus menerus keluar sampai lewat 15 hari, maka wanita itu dihukumi ghoir mumayyizah (tidak menghukumi sesuai sifat darah). Karena syarat tamyiz diantara; darah dengan sifat kuat tidak boleh melewati batas maksimal haidh. Wallahu ta'ala a'lam.


✍️ Oleh Abu Harits Al-Jawi

#fikihdarahwanita 


📖 Al-Ibanah wal Ifadhoh. Hal,71.


🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

,


PROFIL PENULIS KITAB

Imam Abul Qosim Abdul Karim bin Muhammad bin Abdil Karim Ar-Rofii Al-Qozwini (555 H - 623 H) dan Imam Nawawi lahir 631 H, 7 tahun setelah wafatnya Imam Rofii.


Hukum kunyah dengan Abul Qosim;

Pertama, haram secara mutlak dan ini tashih madzhab

Kedua, haram jika namanya Muhammad dan ini tashih Rofii. Dalilnya hadits;

من تسمى باسمي فلا يتكنى بكنيتي

"Siapa yang bernama dengan namaku, janganlah dia berkunyah dengan kunyahku." [ HR.Abu Dawud dan lainnya ]

Ketiga, haram di zaman Nabi halal setelah wafatnya Nabi, dan ini tashih Nawawi.


• Diantara guru Imam Rofii adalah Imam Al-Imroni. Dan diantara murid beliau adalah Imam Al-Mundziri (656 H)


• Diantara karya beliau;

1. Syarh Kabir 'ala Al-Wajīz dan penulisnya menamakan Al-Azīz Syarh Al-Wajīz lil Ghozali. Sebagian ashab menghindari penyebutan Al-Azīz untuk selain Al-Quran, oleh karenanya sebagian menyebut Fathul Aziz. Ada juga yang menyebutnya dengan As-Syarh Al-Kabir.

2. Syarh Shoghīr mukhtashor Syarh Kabir dan penulis tidak memberikan nama khusus pada kitab ini.

3. Al-Mahmūd Syarah Wajiz, beliau sampai pembahasan shalat dalam 8 jilid. Oleh karenanya beliau tidak melanjutkannya, dan akhirnya menulis Al-Aziz sebagaimaina disebutkan Taj Subki.

4. Syarh Musnad Syafii. 

5. Amali Syarihah ala Mufrodat Fatihah

6. At-Tadznib faedah dalam Al-Wajiz mirip Daqoiq Minhaj-nya Nawawi

7. Al-Muharrar

8. Syarh Khutbatil Wajiz

9. Al-Ījāz fi Akhthōril Hijāz, catatan perjalanan beliau ketika haji.


PUJIAN TERHADAP KITAB AL-AZIZ

Kitab ini dicetak dalam 23 jilid, dan mendapatkan pujian dari banyak dari para ulama. Diantaranya;

• Ibnu Sholah mengatakan;

لم يشرح الوجيز مثله

"Tidak ada yang mensyarah kitab Al-Wajiz seperti kitab ini."


• Ibnu Mulaqqin mengatakan;

مرجع فقهائنا في كل الأقطار اليوم في الفتوى و التدريس و التصنيف إليه و اعتمادهم في هذه الأمور عليه

"Kitab ini sebagai referensi para ahli fikih Syafii di semua tempat hari ini, baik dalam masalah fatwa, pembelajaran, serta karya tulis. Maka semua fuqoha bersandar kepada kitab ini."


• Ibnu Sholah mengatakan;

لم يصنف مثله في مذهب من المذاهب و لم يشرق على الأمة كضيائه في ظلام الغياهب

"Tidak ada yang menulis seperti tulisan ini dalam semua madzhab yang ada. Dan tidak ada yang memberikan cahaya ilmu kepada umat Islam seperti cahaya kitab ini dalam gelapnya ketidaktahuan."


• Jalaluddin Al-Isnawi

يَا مَنْ سَمَا نَفْسًا اِلىَ نَيْلِ العُلاَ * وَ نَحَا اِلىَ العِلْمِ الغَزِيْرِ الرافِعِ

قَلِّدْ سَمِيَّ المُصْطَفَى وَ نَسِيْبََهُ * وَ الْزَمْ مُطَالَعَةِ العَزِيْزِ الرافِعِِي

"Wahai orang yang ingin mendapat kedudukan yang tinggi * Dan menuju ilmu yang tinggi tak bertepi

Ikuti orang yang senasab dengan Nabi (Imam Syafii) * Dan tekunilah mempelajari kitab Al-Aziz nya Imam Rofii


KEISTIEWAAN KITAB AL-AZIZ

Diantara keistimewaan kitab ini adalah;

1. Keagungan penulis

2. Referensi yang digunakan penulis dari kitab-kitab madzhab sebelumnya bisa dibilang lengkap. 

3. Banyaknya istidlal madzhab yang disampaikan baik dari ayat atau hadits atau lainnya.

4. Memperhatikan penjelasan kata-kata ghorib. 

5. Memperhatikan furūq (perbedaan) beberapa istilah-istilah fikih. 

6. Menyebutkan kaidah-kaidah dan dhowābit penting. 

7. Menjelaskan istilah-istilah khusus dalam madzhab.

8. Penulis berhati-hati dan benar-benar mengkroscek penukilan yang beliau lakukan.


🏷 Faedah dari muhādhoroh Syaikh Dr.Labib Najib hafidzahullah

✍️ Alih bahasa oleh Abu Harits Al-Jawi

#karyaulama #referensi


🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

Rabu, 01 Mei 2024

,

Perlu difahami dalam hal, yang mu'tamad dalam madzhab Syafii (pendapat resmi dari kebanyakan ulama madzhab) diantara syarat sahnya shalat jumat adalah jumlah 40 orang yang kesemuanya berstatus mustauthin atau mutawatthin. Yaitu seseorang yang memang berdomisil tinggal tetap disitu. Maka, orang yang statusnya hanya mukim (tinggal sementara) di suatu tempat; tidak dianggap dalam hitungan 40 orang tadi. Oleh karenanya, kalau kesemua jamaah jumat berstatus santri atau mahasiswa yang mukim sementara, tanpa ada penduduk yang berdomisili disitu dengan jumlah 40 orang. Shalat jumat yang dilaksanakan tidaklah sah. Dan mereka harus mengulang shalat dhuhur. Syamsuddin Al-Romli mengatakan;

فَلَا تَنْعَقِدُ بِغَيْرِ الْمُتَوَطِّنِ كَمَنْ أَقَامَ عَلَى عَزْمِ عَوْدِهِ إلَى وَطَنِهِ بَعْدَ مُدَّةٍ وَلَوْ طَوِيلَةً كَالْمُتَفَقِّهَةِ وَالتُّجَّارِ لِعَدَمِ التَّوَطُّنِ

"Maka tidak dianggap sah shalat jumat tanpa adanya mutawaththin (penduduk sekitar). Seperti (tidak termasuk mutawatthin) adalah orang yang mukim sementara yang akan kembali ke kampung halamannya setelah beberapa waktu. Meski waktu yang panjang; seperti pembelajar (santri atau mahasiswa) atau para pedagang. Karena mereka tidak memenuhi syarat tawatthun (tinggal tetap)." 
[ Nihayatul Muhtaj. Cetakan Darul Fikr, Beirut. (2/306) ]

Hal yang senada juga disampaikan oleh banyak dari para fuqoha madzhab dari kalangan para pensyarah, diantaranya juga penulis Busyrol Karim Syarah Masail Ta'lim (2/6). Alasan dalam hal ini, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika haji wadda beliau tidak mendirikan shalat jumat. Padahal beliau pada saat itu tinggal lebih dari batas safar (3 hari) ketika haji.

Namun, sebagian fuqoha madzhab menyatakan, dalil dalam hal ini tidaklah kuat. Diantaranya Taqiyuddin As-Subki (w.756 H) dalam Al-Ibtihaj Syarah Minhajut Tholibin (manuskrip) menyatakan;

لم يقم عندي دليل على عدم انعقادها بالمقيم غير المتوطن
"Tidak ada dalil yang kuat menurut saya tentang ketidakabsahan shalat jumat yang dilakukan oleh jamaah mukim saja yang bukan mutawatthin." 
[ Lihat Busyrol Karim. Cetakan Darul Mukhtar, Surabaya. (2/6), lihat juga Hasyiyatul Jamal 'ala Fathil Wahhab. Cetakan Darul Fikr, Beirut. (2/21) ]

Hal ini pun disetujui beberapa ashab hawasyi seperti Sulaiman Al-Jamal (w.1204 H) dan Al-Qolyubi (w.1069 H), dan beliau berkata;

هَذَا مَا قَالَهُ تَبَعًا لِلْإِسْنَوِيِّ وَغَيْرِهِ وَأَطْبَقَ عَلَيْهِ الشُّرَّاحُ وَهُوَ لَا يَحْسُنُ أَنْ يَكُونَ دَلِيلًا عَلَى عَدَمِ انْعِقَادِهَا  بِالْمُقِيمِ  غَيْرِ الْمُسْتَوْطِنِ
"Dan pendapat ini (tidak sah jika hanya jamaah jumat yang mukim) mengikuti pendapat Al-Isnawi (w.772 H) dan selainnya, dan diikuti oleh kebanyakan para syurroh. Dan hal ini tidak benar dari sisi pendalilan bahwa tidak sah jumat dengan jamaah mukim tanpa mustauthin."
[ Hasyiyah Qolyubi ala Kanzur Roghibin. Cetakan Darul Fikr, Beirut. (1/317-318) ]

Alasan yang diberikan, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak melaksanakan shalat jumat. Karena memang status beliau di Haji Wada' adalah musafir bukan mukim. Buktinya beliau shalatnya dengan qoshor dan jamak. Kalau seandainya statusnya mukim, beliau tidak mungkin mengqoshor atau jamak.

Kesimpulannya, bahwa secara pribadi berdasarkan pendapat sebagian ulama madzhab maka dipersilahkan bagi jamaah mukim (seperti santri pondok atau mahasiswa) untuk melaksanakan shalat jumat, dengan syarat jika memang ada maslahat disitu. Jika tidak, maka kembali kepada pendapat mu'tamad madzhab Syafii (dan ini juga pendapat madzhab Hanbali dan Maliki). Wallahu ta'ala a'lam.

✍️ Oleh Abu Harits Al-Jawi
#fikihjumat #fikihsyafii

🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

Selasa, 30 April 2024

,


Ada tiga versi shighoh (lafadz) salam yang diriwayatkan dalam hadits saat orang hendak mengakhiri shalat.

Versi pertama, dengan mengucapkan assalamualaikum warohmatullah dua kali; ke kanan dan ke kiri. Dan ini adalah riwayat yang paling banyak dan paling masyhur. Diantaranya adalah hadits Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu;

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ، وَعَنْ شِمَالِهِ، حَتَّى يُرَى بَيَاضُ خَدِّهِ ((السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ))
"Bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam salam ke arah kanan dan kiri hingga terlihat putihnya pipi beliau -dan mengatakan- ((Assalamualaikum warohmatullah, assalamualaikum warohmatullah))."
[ HR.Abu Dawud (996), An-Nasai (1322) dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Majah (916) dari Ammar, dan lainnya ]

Versi kedua, adalah dengan mengucap 'assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh' pada salam pertama (ke kanan). Lalu mengucap 'assalamualaikum warohmatullah' tanpa tambahan 'wabarokatuh' pada salam kedua (ke kiri). Dan ini diriwayatkan dari haditsnya Wail bin Hujr radhiyallahu anhu;

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ ((السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ»، وَعَنْ شِمَالِهِ: «السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ))
"Aku shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka beliau salam ke kanan dengan mengucap ((Assalamualaikum warohmatulla wabarokatuh)). Dan ke arah kiri ((Assalamualaikum warohmatullah))."
[ HR.Abu Dawud (997) dari Wail bin Hujr ]

Versi ketiga, adalah dengan mengucap 'assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh' dua kali; ke kanan dan ke kiri. Sebagaimana dalam hadits Ibnu Mas'ud dengan tambahan lafadz;

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ خَدِّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، وَعَنْ شِمَالِهِ 
حَتَّى يَبْدُوَ بَيَاضُ خَدِّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ»
"Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa salam mengucap salam ke arah kanan hingga terlihat putih pipinya -dengan mengucap- ((Assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh)), dan ke arah kiri hingga terlihat putih pipinya -dengan mengucap- ((Assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh))."
[ HR.Ibnu Khuzaimah (728) dari Ibnu Mas'ud, Al-Adzomi mendhoifkannya ]

Demikian tiga versi bacaan salam yang ada dalam riwayat hadits. Namun, dari ketiga ini manakah yang lebih utama ?

Pendapat pertama,
dalam madzhab Syafii yang mu'tamad, yang paling afdhol adalah versi pertama tanpa tambahan wabarokatuh sama sekali. Dan ini pendapat yang kita pilih. Bahkan secara gamblang, Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar menyatakan; bahwa tidak disunnahkan menambahkan lafadz 'wabarokatuh' sama sekali, karena hal itu menyelisihi riwayat yang sudah masyhur dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Adapun riwayat tambahan yang ada, maka dihukumi syadz (menyelisih yang tsiqoh).
[ Lihat Al-Adzkar. Cetakan Darul Kutub Al-Islamiyyah, Indonesia. Hal,80-81 ]

Pendapat kedua, sebagian ulama lain berpendapat disunnahkan menambahkan 'wabarokatuh', dan ini pendapat sebagian ulama ahli hadits. Diantara adalah Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani, yang menyanggah pernyataan Imam Nawawi dalam Al-Adzkar dalam kitabnya Talfih Al-Adzkar fi takhrij Al-Adzkar; "Ada beberapa jalan periwayatan lain yang menetapkan keabsahan tambahan lafadz wabarokatuh." Bahkan secara jelas, dalam kitabnya Bulughul Maram ketika membawakan hadits tentang ini, beliau menambahkan wabarokatuh di kedua salamnya. Hal ini pun disetujui oleh Muhammad Syamsul Hal Adzim Abbadi dalam kitabnya 'Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abu Dawud.

Pendapat ketiga, pendapat yang cukup keras datang dari sebagian ulama yang menyatakan tambahan wabarokatuh dalam salam shalat adalah bid'ah. Dan ini pun terbantahkan oleh riwayat yang ada. Meski dihukumi syadz, tetap tidak bisa dikatakan amaliyahnya adalah bid'ah. Bahkan dalam Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram disebutkan; "Hadits ini memberikan faedah disunnahkan tambahan wabarokatuh dalam salam shalat, dan membatalkan pendapat yang menyatakan bahwa hal tersebut adalah bid'ah." [ Lihat Ibanatul Ahkam. Cetakan Ad-Dar Al-Alamiyyah Mesir. (1/260) ]

Point terakhir yang ingin kami sampaikan, terlepas dari khilaf ulama mengenai shighoh atau lafadz salam shalat, jumhur ulama berpendapat bahwa yang wajib atau rukun shalat adalah salam yang pertama. Adapun ucapan salam kedua adalah sunnah. Dalilnya hadits Sahl radhiyallahu anhu;

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَلَّمَ تَسْلِيمَةً وَاحِدَةً تِلْقَاءَ وَجْهِهِ
"Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengucap salam sekali dengan wajah beliau."
[ HR.Ibnu Majah dari Sahl As-Saidi (918) ]

✍️ Oleh Abu Harits Al-Jawi
#fikihhadits #fikihshalat

🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.