Kamis, 29 Februari 2024

,


Ta'addud jumat maksudya adalah pelaksanaan lebih dari satu shalat jumat di sebuah kampung atau komplek. Maka dalam madzhab Syafii, dan bahkan jumhur fuqoha dari madzhab Hanbali dan Maliki. Menyampaikan, hukum asalnya adalah terlarang pelaksanaan lebih dari satu shalat jumat di sebuah kampung. Dalilnya, adalah perbuatan di zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Dimana shalat jumat di masa beliau hanya dilaksanakan di Masjid Nabawi; padahal ada musholla-musholla lain di komplek (dūr) kabilah dalam Madīnah. Sayyidah Aisyah berkata;

كان الناس ينتابون يوم الجمعة من منازلهم و العوالي
"Bahwa manusia datang berbondong-bondong di hari jumat dari rumah-rumah mereka dan 'awālī kota Madinah ('awālī jaraknya +/- 4 mil dari Madinah)."
[ HR.Bukhari (860), Muslim (847) ]

Jika tetap dilakukan, maka ada perincian kondisi dalam hal ini;

Pertama, jika pelaksanaan karena ada kebutuhan, maka semua jumat sah. Namun disunnahkan untuk shalat dhuhur setelahnya; keluar dari khilaf sebagian ulama yang tidak memperbolehkan ta'addud jumat secara mutlak.

Kedua, jika pelaksanaan tanpa ada kebutuhan, dan dimulai secara bersamaan atau tidak diketahui mana yang lebih dulu atau ragu, maka semua shalat jumat tidak sah dan wajib shalat dhuhur.

Ketiga, jika pelaksanaan tanpa ada kebutuhan, dan diketahui mana jumat yang dikerjakan duluan. Maka shalat jumat yang duluan hukumnya sah, sedang jumat yang lain tidak sah dan wajib shalat dhuhur.
 

CATATAN

1. Larangan ta'addud jumat adalah pendapat jumhur dari madzhab Māliki, Syāfii, dan Hanbalī. Adapun madzhab Hanafī memandang; boleh ta'addud jumat meski tanpa ada kebutuhan. Sebagaimana disampaikan oleh Syaikhuna Dr.Labib Najib

2. Kami memandang -secara pribadi- berfatwa dengan madzhab Hanafī bagi masyarakat yang sudah berlaku ta'addud jumat di tempat mereka, menjadi pilihan fatwa yang memberikan maslahat. Sebagaimana hal tersebut juga kami dengar dari Syaikhna Prof. Dr. Muhammad Ibrahim Al-Asymaāwi.

Namun demikian, ketika ada orang yang ingin mengadakan jumat kedua di sebuah tempat yang sudah ada shalat jumatnya, maka kita melarangnya; sesuai pendapat jumhur. Dalam hal ini, kita berlakukan kaidah;

يغتفر في الدوام ما لا يغتفر في الابتداء
"Dimaafkan jika sudah terjadi dan tidak dimaafkan jika baru akan memulai."

Wallahu Ta'ala A'lam


Jombang, 1 Maret 2024
Abu Harits Danang Santoso Al-Jawi
#fikihjumat

🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

Senin, 26 Februari 2024

,

Jika orang yang berpuasa menelan ludahnya, maka puasanya tidak batal berdasarkan ijma' (konsensus ulama), bahkan jika dia menampungnya di dalam mulutnya terlebih dahulu kemudian menelannya, menurut pendapat yang shahih (dalam mazhab-pen).

Syarat-syarat hukum ini disebutkan dalam kitab Al-Minhaj beserta contoh-contohnya:

Syarat Pertama:

Ludah tidak bercampur dengan sesuatu yang lain, meskipun sesuatu itu suci. Jika dia menelan ludahnya yang bercampur dengan sesuatu zat yang lain, maka batal puasanya.

Syarat Kedua:

Ludah tidak keluar dari tempatnya. Tempat ludah di sini adalah mulut.

Jika ludah keluar dari mulut, meskipun hanya sampai ke bagian luar bibir, kemudian dia mengembalikannya dan menelannya,

atau dia membasahi benang dengan ludahnya dan mengembalikannya ke dalam mulutnya, maka batal puasanya dalam kedua keadaan tersebut.

Dikecualikan dari hal ini adalah jika dia mengeluarkan lidahnya dan di atasnya ada air ludah, kemudian dia memasukkan kembali lidahnya dan menelannya, maka dia tidak batal puasanya karena pangkal lidah tidak keluar dari mulut.

Hal ini dianalogikan dengan orang yang bersumpah untuk tidak keluar dari rumah, kemudian dia mengeluarkan kepalanya atau kakinya, maka dia tidak dianggap melanggar sumpahnya.

Analogi lainnya adalah orang yang beriktikaf, jika dia mengeluarkan kepalanya dari masjid, maka i'tikafnya tidak batal karena dia tetap bertumpu pada kedua kakinya di dalam masjid.

Syarat Ketiga:

Ludahnya tidak najis. Jika ludahnya terkena najis di mulutnya yang belum dicuci kemudian tercampur najis darah, maka batal puasanya jika dia menelan ludah tersebut.

Syarat Keempat:

Ludah yang ditelan adalah ludah orang itu sendiri. Jika dia menelan ludah orang lain, maka dia batal puasanya menurut kesepakatan para ulama, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Majmu'.

Wallahu A'lam

***

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/6098)
✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc

🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.
,


Dianjurkan untuk menyegerakan berbuka puasa berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,

لا يزال الناس بخير ما عجلوا الفطر
"Manusia akan selalu dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa."

Hal ini berlaku jika matahari sudah terbenam.

Namun, di wilayah yang dikelilingi gunung, malam harus sudah datang dan siang sudah pergi berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,

إذا أدبر الليل من هاهنا وأقبل النهار من هاهنا وغربت الشمس فقد أفطر الصائم
"Jika malam telah datang dari sini dan siang telah datang dari sini, dan matahari telah terbenam, maka orang yang berpuasa telah berbuka."

Menggantungkan satu perkara pada beberapa perkara berarti semua perkara tersebut harus terpenuhi.

Jika berbuka puasa diakhirkan, maka tidak apa-apa.

Hal ini berdasarkan riwayat Imam Malik, Syafi'i, dan Baihaqi dengan sanad shahih dari Humaid bin Abdurrahman,

ﺃﻥ ﻋﻤﺮ ﻭﻋﺜﻤﺎﻥ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻛﺎﻧﺎ ﻳﺼﻠﻴﺎﻥ اﻟﻤﻐﺮﺏ ﺣﻴﻦ ﻳﻨﻈﺮاﻥ ﺇﻟﻰ اﻟﻠﻴﻞ اﻷﺳﻮﺩ ﺛﻢ ﻳﻔﻄﺮاﻥ ﺑﻌﺪ اﻟﺼﻼﺓ ﻭﺫﻟﻚ ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ.


"Bahwa Umar dan Utsman bin Affan radhiyallahu 'anhuma biasa shalat Maghrib ketika mereka melihat malam yang gelap gulita, kemudian berbuka puasa setelah shalat. Hal ini terjadi di bulan Ramadhan."

Baihaqi berkata dalam kitab Al-Mabsuth,

ﻗﺎﻝ اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻛﺄﻧﻬﻤﺎ ﻳﺮﻳﺎﻥ ﺗﺄﺧﻴﺮ اﻟﻔﻄﺮ ﻭاﺳﻌﺎ ﻻ ﺃﻧﻬﻤﺎ ﻳﺘﻌﻤﺪاﻥ ﻓﻀﻴﻠﺔ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ

"Syafi'i berkata seolah-olah mereka melihat bahwa menunda berbuka puasa itu luas perkaranya (fleksibel-pen), bukan berarti mereka sengaja mencari keutamaan dalam hal itu. (menunda berbuka puasa-pen)"

Wallahu A'lam

***

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4860)
✍️ Alih bahasa Ahmad Reza Lc


🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.
,


Orang yang berpuasa wajib meniatkan puasanya pada malam hari untuk setiap puasa yang wajib, seperti puasa di bulan Ramadhan, nazar, kafarah haji, ataupun sumpah.

Hal ini berdasarkan hadits Hafshah Radhiyallahu 'Anha, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

من لم يبيت الصيام من الليل فلا صيام له

"Barangsiapa yang tidak meniatkan puasa pada malam hari, maka tidak ada puasanya baginya." Hadits ini sahih.

Al-Baihaqi meriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'Anha bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

من لم يبيت الصيام قبل طلوع الفجر فلا صيام له

"Barangsiapa yang tidak meniatkan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasanya baginya."

Al-Baihaqi berkata:
 
قال الدارقطني: إسناده كلهم ثقات.
"Ad-Darqutni berkata: "Sanad mereka semua tsiqah (terpercaya)."

Hadits ini bersifat umum tentang syarat meniatkan puasa pada malam hari karena menggunakan kalimat نكرة منفية (isim nakirah yang bersifat meniadakan-pen) yang menandakan bersifat umum.

Namun, terdapat pengecualian untuk puasa sunnah berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

قال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم: يا عائشة هل عندكم شيء؟ فقلت: يارسول الله ما عندنا شيء

"Wahai Aisyah, apakah kamu memiliki makanan?"

Aku berkata: "Wahai Rasulullah, kami tidak memiliki makanan."

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata: "Kalau begitu, aku berpuasa."


Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim.

Tidak sah dikatakan bahwa nafyu (negasi/peniadaan) dalam kalimat "tidak ada puasa" berarti "tidak ada puasa yang sempurna" agar sesuai dengan hadits Aisyah tentang puasa sunnah.

Hal ini karena akan mendahulukan makna majaz daripada pengkhususan (تخصيص).

Pengkhususan lebih diutamakan daripada makna majaz karena mengatakan bahwa yang dinegasikan (nafyu-pen) adalah kesempurnaan adalah makna majaz.

Lebih tepat untuk mengatakan bahwa yang dinegasikan adalah keabsahan puasa.

Hadits ini bersifat umum dan puasa sunnah dikecualikan, sehingga boleh diniatkan sebelum waktu zawal. (sebelum dzuhur-pen)

Niat puasa sunnah tidak sah kecuali sebelum waktu zawal karena dalam hadits disebutkan: "Apakah kalian memiliki makanan?" ("هل عندكم غداء")

Kata "غداء" (ghadha') berarti makanan yang dimakan sebelum waktu zawal.

Niat setelah waktu zawal tidak sah, seperti yang ditegaskan oleh Syafi'i dalam kebanyakan kitabnya pada fase qaul jadid  maupun fase qaul qadim.

Wallahu a'lam.
-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dengan beberapa penyesuaian dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4848)
✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc

🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.
,


Sebelumnya telah dijelaskan bahwa niat puasa wajib harus diniatkan pada malam hari, sedangkan puasa sunnah boleh diniatkan pada siang hari sebelum waktu Zuhur.

Namun, ada puasa sunnah yang harus diniatkan pada malam hari dan ada puasa wajib yang tidak harus diniatkan pada malam hari, bahkan sah jika diniatkan pada siang hari.

Contoh untuk puasa sunnah yang harus diniatkan pada malam hari adalah puasa Ramadhan bagi anak kecil. Puasa ini hukumnya sunnah bagi mereka dan harus diniatkan pada malam hari.

Sedangkan contoh untuk puasa wajib yang tidak harus diniatkan pada malam hari adalah:

Seseorang yang berpuasa sunnah pada siang hari, kemudian dia bernazar untuk menyempurnakannya.

Maka puasanya menjadi wajib sejak dia bernazar dan sah meskipun diniatkan pada siang hari.

Wallahu A'lam
-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4855)
✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc

🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.
,


Jika seseorang mendengar adzan Subuh, maka wajib baginya untuk berhenti makan dan minum karena waktu fajar telah tiba.

Allah SWT berfirman:

‎وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر

"Makan dan minumlah kamu sampai terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar."

(QS. Al-Baqarah: 187).

Dalam sebuah hadits shahih disebutkan:

‎فكلوا واشربوا حتى يؤذن ابن أم مكتوم

"Makan dan minumlah kalian sampai adzan dikumandangkan oleh Ibnu Ummi Maktum."

Maksudnya, jika adzan telah dikumandangkan, maka janganlah makan dan minum.

Oleh karena itu, jika seseorang mendengar adzan dan tetap melanjutkan makan dengan sengaja, maka puasanya batal.

Para ulama bahkan mengatakan, bahwa jika fajar telah tiba saat seseorang sedang bersenggama dengan istrinya, maka suami wajib mencabut kemaluannya.

Jika ia tetap melanjutkan, meskipun hanya sebentar, maka puasanya batal dan ia wajib membayar kafarat.

Adapun hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda

‎ﺇﺫا ﺳﻤﻊ ﺃﺣﺪﻛﻢ اﻟﻨﺪاء ﻭاﻹﻧﺎء ﻋﻠﻰ ﻳﺪﻩ ﻓﻼ ﻳﻀﻌﻪ ﺣﺘﻰ ﻳﻘﻀﻲ ﺣﺎﺟﺘﻪ ﻣﻨﻪ

"Jika salah seorang dari kalian mendengar adzan dan di tangannya ada gelas air, maka janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya darinya."

Al-Hakim berkata:

‎ﻭﻫﺬا ﺇﻥ ﺻﺢ ﻣﺤﻤﻮﻝ ﻋﻨﺪ ﻋﻮاﻡ ﺃﻫﻞ اﻟﻌﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻳﻨﺎﺩﻯ ﻗﺒﻞ ﻃﻠﻮﻉ اﻟﻔﺠﺮ ﺑﺤﻴﺚ ﻳﻘﻊ ﺷﺮﺑﻪ ﻗﺒﻴﻞ ﻃﻠﻮﻉ اﻟﻔﺠﺮ

“ Hadits ini, jika shahih, dipahami oleh sebagian besar ulama bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengetahui bahwa adzan dikumandangkan sebelum fajar terbit (adzan pertama-pen), sehingga beliau minum sebelum fajar tiba.”

Namun, hadits ini di dhoifkan oleh beberapa ahli hadits.

Ayat dan hadits lain yang lebih kuat bertentangan dengan hadits ini,

sehingga ayat dan hadits tersebut harus didahulukan sedangkan hadits Abu Hurairah dipahami sesuai dengan penjelasan Al-Hakim.

Wallahu a'lam.

-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4844)
✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc

🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.
,

 

Ada tiga kondisi yang berkaitan dengan wanita hamil dan menyusui dalam hal puasa:

Kondisi Pertama:

Jika wanita hamil dan menyusui hanya khawatir pada diri mereka sendiri, bahwa puasa akan membahayakan mereka, tanpa membahayakan janin atau bayi,

maka mereka boleh berbuka puasa dan hanya perlu menggantinya di kemudian hari tanpa membayar fidyah.

Hal ini dikarenakan kondisinya sama dengan orang sakit, sehingga termasuk dalam firman Allah:

فمن كان مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر

"Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya) mengganti pada hari-hari yang lain."

(QS. Al-Baqarah: 184).

Syaikh Syubramilisi mengatakan:

ﻭﻳﻨﺒﻐﻲ ﻓﻲ اﻋﺘﻤﺎﺩ اﻟﺨﻮﻑ اﻟﻤﺬﻛﻮﺭ ﺃﻧﻪ ﻻ ﺑﺪ ﻣﻦ ﺇﺧﺒﺎﺭ ﻃﺒﻴﺐ ﻣﺴﻠﻢ ﻋﺪﻝ ﻭﻟﻮ ﺭﻭاﻳﺔ ﺃﺧﺬ ﻣﻤﺎ ﻗﻴﻞ ﻓﻲ اﻟﺘﻴﻤﻢ.

“Dalam menetapkan risiko tersebut, diharuskan untuk berkonsultasi dengan dokter muslim yang adil, …"

Kondisi Kedua:

Jika wanita hamil khawatir pada janinnya atau wanita menyusui khawatir pada bayinya,

maka disebutkan dalam kitab al-I'ab:

ولو كان ﺣﺮﺑﻴﺎ ﻋﻠﻰ اﻷﻭﺟﻪ ﻷﻧﻪ ﻣﺤﺘﺮﻡ ﺧﻼﻓﺎ ﻟﻤﺎ ﻳﻘﺘﻀﻴﻪ ﻛﻼﻡ اﻟﺰﺭﻛﺸﻲ.

"Meskipun bayinya non-Muslim, karena bayinya dihormati. Ini berbeda dengan pendapat Zarkasyi."

Tidak disyaratkan bahwa wanita menyusui adalah ibu kandung bayi.

Ibn Hajar berkata:

ﻭﻟﻮ ﻣﻦ ﺗﺒﺮﻋﺖ ﺑﺈﺭﺿﺎﻋﻪ ﺃﻭ اﺳﺘﺆﺟﺮﺕ ﻟﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﺗﺘﻌﻴﻦ ﺑﺄﻥ ﺗﻌﺪﺩﺕ اﻟﻤﺮاﺿﻊ ﻛﻤﺎ ﺻﺮﺡ ﺑﻪ ﻓﻲ اﻟﻤﺠﻤﻮﻉ

"Meskipun dia adalah wanita sukarela yang menyumbangkan ASI atau dipekerjakan untuk menyusui, dan meskipun ada banyak wanita yang menyusui dia."

sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Majmu’.

Dalam kondisi ini, jika mereka berbuka puasa, mereka harus mengganti puasa dan membayar fidyah satu mud makanan pokok untuk setiap hari yang ditinggalkan.

Hal ini karena mereka berbuka puasa dengan sengaja dan manfaatnya dirasakan oleh dua orang (ibu dan anak-pen).

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma berkata:

ﻧﺴﺨﺖ ﻫﺬﻩ اﻵﻳﺔ ﻭﺑﻘﻴﺖ ﻟﻠﺸﻴﺦ اﻟﻜﺒﻴﺮ ﻭاﻟﻌﺠﻮﺯ ﻭاﻟﺤﺎﻣﻞ ﻭاﻟﻤﺮﺿﻊ ﺇﺫا ﺧﺎﻓﺘﺎ ﺃﻓﻄﺮﺗﺎ ﻭﺃﻃﻌﻤﺘﺎ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ

"Ayat ini telah dihapuskan, dan yang tersisa adalah untuk orang tua yang lemah, wanita hamil, dan wanita menyusui, jika mereka khawatir, mereka berbuka puasa dan memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari."

(HR. Abu Dawud dengan sanad hasan).

Kekhawatiran pada anak karena ASI terhenti sehingga membahayakan bayi, maka diperbolehkan untuk berbuka puasa.

Sedangkan khawatir pada kehamilan adalah takut keguguran.

Fidyah untuk wanita hamil dan wanita menyusui dibayarkan dari hartanya sendiri, meskipun dia dipekerjakan untuk menyusui.

Fidyah tidak dikalikan dengan jumlah anak karena fidyah adalah pengganti puasa,

Kondisi Ketiga:

Jika wanita hamil dan menyusui khawatir pada diri mereka sendiri dan juga pada janin atau bayi,

maka dalam hal ini mereka hanya perlu mengganti puasanya tanpa membayar fidyah.

Hal ini karena dua alasan:

Pertama:
Kekhawatiran pada anak terjadi sebagai akibat dari kekhawatiran pada diri sendiri.

Kedua:
Kekhawatiran pada anak mengharuskan fidyah seperti pada kondisi kedua, sedangkan kekhawatiran pada diri sendiri menghalangi dia dari membayar fidyah seperti pada kondisi pertama.

Ketika alasan yang mengharuskan dan menghalangi bertemu, maka yang menghalangi biasanya didahulukan.

Wallahu A’lam

***

🔗 Diterjemahkan secara bebas dengan beberapa penyesuaian dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4839)
✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc

🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

Kamis, 22 Februari 2024

,

 


Di bulan Sya’ban ini ada beberapa hal yang patutnya kita perhatikan sebagai seorang muslim. Ada amalan yang bisa kita amalkan, ada ilmu yang bisa kita terapkan, dan ada kesempatan untuk lebih matang dalam menyambut datangnya Ramadhan. Diantaranya adalah;

 

Pertama, manfaatkan bulan Sya’ban untuk kembali memurojaah dan mengulang pengetahuan kita berkenaan dengan fikih puasa dan ibadah Ramadhan. Dimana Ramadhan sudah dihadapan kita, maka sebelum beramal, persiapkan ilmu untuk beramal. Agar Ramadhan menjadi lebih bermakna dan berkesan, serta dilandaskan dengan ilmu; bukan sekedar memperkirakan sendiri.

 

Kedua, kita bisa manfaat bulan Sya’ban untuk memperbanyak puasa sunnah. Sebagaimana dalam hadits Usamah bin Zaid radhiyallahu anhuma, berkata;

يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ

“Wahai Rasulullah, sungguh aku tidak pernah melihatmu berpuasa dalam sebulan melebihi puasamu di bulan Sya’ban ?” Maka beliau pun menjawab;

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

“Itu adalah bulan dimana banyak manusia yang lalai darinya; karena terletak antara bulan Rajab dan Ramadhan. Sedangkan Sya’ban adalah bulan dimana amal-amal diangkat pada saat itu ke sisi Rabb semesta alam. Maka aku suka jika amalku diangkat dalam kondisi aku sedang puasa.”

[ HR.An-Nasai (2357), Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf-nya (9765), Ahmad dalam Musnad-nya (21753) ]

 

Dalam hadits Aisyah radhiyallahu anha beliau mengatakan;

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يَصُومُ، فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ

“Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam senantiasa berpuasa sehingga kami mengira beliau tidak pernah berbuka, dan beliau senantiasa berbuka sehingga kami mengira beliau tidak pernah berpuasa. Dan tidak pernah aku melihat beliau puasa satu bulan penuh kecuali saat Ramadhan, dan aku tidak pernah melihat beliau lebih banyak puasa dibandingkan bulan Sya’ban.”

[ HR.Bukhari (1969), Muslim (1156) ]

 

Ketiga, ketika sudah memasuki bulan Sya’ban maka hendaknya tidak berpuasa sunnah; kecuali bagi orang yang memiliki kebiasaan puasa sunnah sebelumnya atau memiliki hutang puasa. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallah anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ، فَلا تَصُومُوا -و في لفظ- فَكُفُّوا عَنِ الصَّوْمِ

“Jika sudah memasuki pertengahan Sya’ban maka janganlah berpuasa.” -dalam riwayat lain- “Tahanlah diri kalian dari berpuasa.”

[ HR.Abu Dawud (2337), An-Nasai dalam Sunan Kubro-nya (2923), dishahihkan oleh Al-Arnauth ]

Dalam riwayat Tirmidzi (738) dan beliau katakan, “hadits hasan shahih”, lafadznya;

إِذَا بَقِيَ نِصْفٌ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ تَصُومُوا

“Jika tersisa setengah bulan Sya’ban maka jangan puasa.”

 

Dan sebagaimana yang sudah disebutkan, larangan ini berlaku kecuali bagi orang yang terbiasa puasa sunnah sebelumnya dan orang yang punya hutang puasa Ramadhan. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallah radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

لا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلا يَوْمَيْنِ إِلا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا، فَلْيَصُمْهُ

“Jangan dahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya; kecuali orang yang sudah terbiasa sebelumnya maka silahkan dia berpuasa.”

[ HR. Muslim (1082) dan ini lafadznya, Bukhari (1914) ]

 

Dalam hadits Abu Hurairah juga bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلا تَصُومُوا، وَمَنْ كَانَ عَلَيْهِ صَوْمٌ مِنْ رَمَضَانَ فَلْيَسْرُدِ الصَّوْمَ فَلا يَقْطَعْ

“Jika sudah masuk pertengahan Sya’ban maka jangan puasa. Dan siapa yang masih punya hutang puasa Ramadhan, maka hendaknya tetap dia bayar puasa dan jangan putus (sampai lunas -edt).”

[ HR. Abu Awanah dalam Mustakhraj-nya (2713) ]

 

Keempat, bulan Sya’ban adalah garis terakhir bagi orang yang masih memiliki hutang puasa. Maka, bagi siapapun yang masih memiliki hutang puasa dan tidak ada udzur, wajib dia bayar di bulan Sya’ban sebelum datangnya bulan Ramadhan. Sebagaimana hadits Aisyah radhiyallahu anha beliau berkata;

كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلا فِي شَعْبَانَ

“Dahulu aku memiliki hutang puasa Ramadhan, lalu aku tidak bisa mengqadhanya kecuali ketika di bulan Sya’ban.”

 

Dan konsekuensi orang yang tidak mengqodho hingga datang Ramadhan berikutnya, padahal dia tidak memiliki udzur; maka wajib baginya untuk menambah membayar fidyah (disamping tetap harus mengqodho). Sebagaimana fatwa Abu Hurairah radhiyallah anhu;

يَصُومُ هَذَا مَعَ النَّاسِ وَيَصُومُ الَّذِي فَرَّطَ فِيهِ , وَيُطْعِمُ لِكُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

“Berpuasa bersama manusia, lalu dia qodho puasanya yang dia belum qodho, dan dia membayar fidyah.”

[ HR.Ad-Daraquthni (2344) dan dishahihkannya, Al-Baihaqi dalam Sunan Kubro-nya (8213) ]

 

Demikian juga fatwa Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma;

مَنْ فَرَّطَ فِي صِيَامِ شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى يُدْرِكَهُ رَمَضَانُ آخَرُ فَلْيَصُمْ هَذَا الَّذِي أَدْرَكَهُ , ثُمَّ لِيَصُمْ مَا فَاتَهُ وَيُطْعِمُ مَعَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

“Siapa yang tidak puasa Ramadhan sampai Ramadhan berikutnya, hendaknya dia puasa Ramadhan tersebut, lalu dia qodho, dan dia membayar fidyah.”

[ HR.Ad-Daraquthni (2347), Al-Baihaqi dalam Sunan Kubro-nya (8211) ]

 

Kelima, dianjurkan secara khusus menghidupkan malam nisfu Sya’ban dengan ibadah seperti dzikir, membaca Al-Quran, shalat sunnah, atau semisalnya. Meski dalam hal ini, ada sedikit khilaf (perselisihan pendapat) dikalangan para ulama. Landasan dalam hal ini, diantaranya hadits Muadz bin Jabal radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata;

يَطْلُعُ اللَّهُ إِلَى خَلْقِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

“Allah melihat kepada makhluk-Nya pada malam pertengahan Sya’ban, lalu Dia mengampuni seluruh dosa makhluk-Nya kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.”

[ HR.Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (5665), Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhid (48), dihasankan oleh Al-Albani dan dishahihkan oleh Al-Arnauth ]

 

Dalam riwayat yang lain dari hadits Aisyah radhiyallahu anha bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَيَغْفِرُ لأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعْرِ غَنَمِ كَلْبٍ

“Sesungguhnya Alah turun di malam pertengahan Sya’ban ke langit dunia, lalu Dia mengampuni banyak dari makhluknya melebihi jumlah bulu kambing.”

[ HR.Tirmidzi (739), Ibnu Majah (1389) ]

 

Sedangkan dalam hadits Ali radhiyallahu;

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا

“Jika malam nisfu Sya’ban, maka bangunlah shalat malam dan berpuasalah di siang harinya.”

[ HR.Ibnu Majah (1388) ]

 

Al-Hafidz Ibnu Rojab Al-Hanbali dalam kitabnya Lathoif Ma’arif (hal.137) mengatakan;

وليلة النصف من شعبان كان التابعون من أهل الشام كخالد بن معدان ومكحول ولقمان بن عامر وغيرهم يعظمونها ويجتهدون فيها في العبادة وعنهم أخذ الناس فضلها وتعظيمها وقد قيل أنه بلغهم في ذلك آثار إسرائيلية فلما اشتهر ذلك عنهم في البلدان اختلف الناس في ذلك فمنهم من قبله منهم وافقهم على تعظيمها منهم طائفة من عباد أهل البصرة وغيرهم وأنكر ذلك أكثر علماء الحجاز منهم عطاء وابن أبي مليكة ونقله عبد الرحمن بن زيد بن أسلم عن فقهاء أهل المدينة وهو قول أصحاب مالك وغيرهم وقالوا: ذلك كله بدعة

“Dan malam nisfu Sya’ban maka para tabi’in negeri Syam seperti Kholid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin Amir, dan lainnya mengagungkannya dan bersungguh-sungguh dalam beribadah di dalamnya. Dan kaum muslimin pun mengikuti mereka , dan ada yang mengatakan dalam hal ini ada riwayat Israiliyat. Dan ketika perkara ini menjadi masyhur di berbagai negeri; maka mulailah tampak ada perselisihan. Ada yang setuju dalam menghidupkan malam tersebut dengan ibadah seperti para ahli ibadah penduduk Basrah. Dan para ulama Hijaz mengingkari hal tersebut, seperti ‘Atho, Ibnu Abi Mulaikah, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam yang menukil dari fuqoha Madinah. Dan ini pendapat ulama Malikiyyah dan selainnya, dan mereka mengatakan; ini perbuatan bid’ah.”

 

Adapun menghidupkan malam nisfu Sya’ban dengan ibadah-ibadah khusus yang tidak ada riwayatnya sama sekali; seperti shalat alfiyah atau shalat 100 rakaat, maka tidak ada landasannya sama sekali bahkan Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab (4/56) menyebutnya dengan istilah bi’ah dan munkar (baca disini ).

 

Ketujuh, memperbanyak membaca Al-Quran. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan;

كَانَ الْمُسْلِمُونَ إِذَا دَخَلَ شَعْبَانُ أَكَبُّوا عَلَى الْمَصَاحِفِ وَأَخْرَجُوا الزَّكَاةَ وَدَعَا الْوُلَاةُ أهل السجون

“Dahulu kaum muslimin jika memasuki bulan Sya’ban, mereka fokus pada mushaf Al-Quran, mengeluarkan zakat, dan para pemimpin memanggil orang-orang yang dipenjara.”

[ Fathul Bari (13/311) ]


Wallahu Ta'ala A'lam


Jombang, 23 Februari 2024

Abu Harits Danang Santoso Al-Jawi

Selasa, 20 Februari 2024

,


Orang-orang yang diperbolehkan berbuka puasa terbagi menjadi beberapa jenis:


Pertama:

Orang yang diperbolehkan berbuka secara lahir (yang tampak) dan batin (yang tersembunyi), dianjurkan untuk tetap berpuasa. 


Contohnya seperti wanita haid yang suci di tengah hari, orang gila yang sadar, dan orang kafir yang masuk Islam. 


Mereka diperbolehkan berbuka secara lahir dan batin karena berbuka karena udzur.


Kedua:

Orang yang dilarang berbuka secara lahir dan batin, wajib untuk tetap berpuasa. 


Contohnya seperti orang yang sengaja berbuka tanpa udzur dan orang yang meninggalkan niat puasa dengan sengaja. 


Keduanya tidak diperbolehkan berbuka secara lahir dan batin, bahkan wajib berpuasa secara lahir dan batin.


Ketiga:

Orang yang dilarang berbuka secara batin saja, seperti orang yang berbuka karena menduga sesuatu yang ternyata salah. 


Contohnya seperti orang yang makan di awal hari karena menduga fajar belum terbit, kemudian ternyata makanannya tertelan setelah fajar terbit. Maka, dia wajib untuk tetap berpuasa.


Orang yang ternyata salah dalam berbuka puasanya, dibolehkan berbuka secara lahir karena hukum asal, boleh makan bagi orang yang ragu tentang terbitnya fajar.

 

Allah Subhanahu Wa Ta’ala memperbolehkan makan hingga yakin. Namun, secara batin dan realita keadaan sebenarnya, dia tidak diperbolehkan berbuka karena dia makan setelah fajar terbit. Hal ini berlaku sebelum dia yakin.


Wallahu A’lam

-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4827)

Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc


🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

,


Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk berkumur dan menghirup air berdasarkan hadits Laqith Radhiyallahu ‘Anhu: 


وبالغ في الاستنشاق إلا أن تكون صائما


"Bersungguh-sungguhlah dalam menghirup air kecuali jika engkau sedang berpuasa."

 

Dan dalam hadits lain: 

إذا توضأت فأبلغ في المضمضة والاستنشاق ما لم تكن صائما

"Jika engkau berwudhu, maka berkumurlah dan hiruplah air dengan sungguh-sungguh kecuali jika engkau sedang berpuasa."


Hadits ini disahihkan oleh Ibnu Qathan dan diriwayatkan oleh Ahmad tanpa menyebutkan berkumur.


Jika air berkumur dan menghirup air tanpa sengaja masuk ke dalam lubang badan (jauf) tanpa berlebihan melakukannya maka tidak membatalkan puasa karena hal itu terjadi karena sesuatu yang diizinkan. (hadits tentang kumur-kumur dan istinsyaq-pen)


Ketentuan tidak membatalkan puasa ini berlaku jika berkumur dan menghirup air dilakukan tanpa air masuk ke dalam lubang hidung atau mulut.


Jika berkumur atau menghirup air tidak dapat dilakukan kecuali harus menelan air, maka Ibnu Qasim berkata:


 لا يبعد حينئذ الفطر بالسبق منهما وعدم ندبهما بل حرمتهما, لأن مصلحة الواجب مقدمة على تحصيل المندوب, 

"Tidak jauh kemungkinan puasanya batal karena air tertelan dan berkumur serta menghirup air tidak disunnahkan, bahkan haram. Karena yang wajib didahulukan daripada mendapatkan yang sunnah."


Ibnu Qasim berkata: 

قال: ثم وقع البحث مع الرملي فوافق على ذلك. 

"Kemudian masalah ini didiskusikan bersama dengan Ar-Ramli dan dia setuju dengan pendapat ini."


Batasan berlebihan dalam menghirup air


Menurut kitab "At-Tuhfah," berlebihan diartikan sebagai memenuhi mulut atau hidungnya dengan air sehingga kemungkinan besar air akan tertelan.


Al-Basri berkata: 


ويظهر أن مثله ما لو كان الماء قليلا لكنه بالغ في إدارته في الفم وجذبه في الأنف إدارة وجذبا يسبق معهما الماء غالبا, وأيده ابن قاسم بظاهر كلامهم

"Kemungkinan hal yang sama berlaku jika airnya sedikit, tetapi orang tersebut berlebihan dalam memutarnya di mulut dan menariknya ke dalam hidung sehingga air kemungkinan besar akan tertelan."


Ibnu Qasim mendukung pendapat ini berdasarkan yang nampak dari pendapat para ulama.


Adapun jika:


1. Memasukkan air ke hidung atau mulut tanpa ada tujuan (wudhu-pen)

2. Air masuk ke dalam lubang hidung atau mulut karena mandi dengan tujuan menyegarkan badan (tabarud) atau membersihkan badan sebagaimana disebutkan dalam kitab At-Tuhfah

3. Air kumur-kumur dan air hirup ke hidung tertelan pada kali keempat 

4. Berlebihan dalam berkumur dan menghirup air (sehingga air masuk ke mulut atau hidung-pen)


Maka puasanya batal. 


Hal ini karena semua tindakan tersebut tidak diperintahkan, bahkan dilarang seperti pada contoh kasus basuhan wudhu yang keempat dan saat berlebihan dalam berkumur serta menghirup air ke hidung.


Jika air dari mandi besar karena sebab haid, nifas, janabah, atau mandi-mandi yang disunnahkan maka puasanya tidak batal.


Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syihab Ar-Ramli. Putra beliau, Syams Ar-Ramli berkata: 


ومنه يؤخذ أنه لو غسل أذنيه في الجنابة ونحوها فسبق الماء إلى الجوف منهما لا يفطر, ولا نظر إلى إمكان إمالة الرأس بحيث لا يدخل شيء لعسره

"Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa jika seseorang mencuci telinganya atau semisalnya saat mandi wajib dan airnya masuk ke dalam lubang telinga, maka puasanya tidak batal. Tidak perlu juga memperhitungkan kemungkinan memiringkan kepala agar air tidak masuk karena hal itu sulit dilakukan."


Pendapat ini juga didukung oleh Al-Malibari (penulis Fathul Muin-pen). Ar-Ramli berkata: 


وينبغي كما قاله الأذرعي أنه لو عرف من عادته أنه يصل منه إلى جوفه أو دماغه بالانغماس ولا يمكنه التحرز عنه أن يحرم الانغماس, ويفطر قطعا, نعم محله إذا تمكن من الغسل لا على تلك الحالة, وإلا فلا يفطر فيما يظهر

"Sebagaimana dikatakan oleh Al-Adzra’i, jika seseorang mengetahui bahwa air akan masuk ke dalam lubang-lubang tubuhnya atau otaknya saat dia berendam, sedangkan dia tidak dapat menghindarinya, maka berendam hukumnya haram dan puasanya pasti batal. Benar, hukum ini berlaku jika dia mampu mandi dengan cara lain.  Jika tidak (hanya bisa mandi dengan berendam-pen) maka puasanya tidak batal sesuai dengan yang nampak (dari kaidah fikih-pen)"


***

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4826)

Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc


🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

,


Dianjurkan berbuka puasa dengan bilangan ganjil dari ruthab (kurma muda) atau tamar (kurma tua yang sudah kering). 


Imam Syafi'i menegaskan bahwa dianjurkan melakukan taslits (menjadikan tiga-pen) pada saat berbuka.


Dalilnya:


1. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dengan derajat hadits hasan gharib dan disahihkan oleh Daruquthni dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: 


ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻔﻄﺮ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﺼﻠﻲ ﻋﻠﻰ ﺭﻃﺒﺎﺕ ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﺗﻜﻦ ﺭﻃﺒﺎﺕ ﻓﺘﻤﻴﺮاﺕ ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﺗﻜﻦ ﺗﻤﻴﺮاﺕ ﺣﺴﺎ ﺣﺴﻮاﺕ ﻣﻦ ﻣﺎء.


"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam biasa berbuka sebelum shalat dengan ruthab (kurma muda). Jika tidak ada ruthab, beliau berbuka dengan tamar (kurma tua yang sudah kering-pen). Jika tidak ada tamar, beliau minum beberapa teguk air."


Dalam kitab "Tuhfah al-Ahwadzi" disebutkan: 


ﻭﻗﻊ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ اﻟﺮﻭاﻳﺎﺕ "ﺛﻼﺙ ﺭﻃﺒﺎﺕ ﻭﺛﻼﺙ ﺗﻤﻴﺮاﺕ" ﻗﺎﻟﻪ اﻟﺸﻴﺦ ﻋﺒﺪ اﻟﺤﻖ ﻓﻲ اﻟﻠﻤﻌﺎﺕ.أ


"Pada beberapa riwayat terdapat kalimat 'tiga kurma dan tiga tamar'." Dikatakan oleh Syaikh Abdul Haq dalam kitab "al-Lama'at".


2. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ya'la dari Anas:


 ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺤﺐ ﺃﻥ ﻳﻔﻄﺮ ﻋﻠﻰ ﺛﻼﺙ ﺗﻤﺮاﺕ ﺃﻭ ﺷﻲء ﻟﻢ ﺗﺼﺒﻪ اﻟﻨﺎﺭ.


"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam suka berbuka dengan tiga tamar atau sesuatu yang tidak dimasak dengan api." 


Namun, hadits ini memiliki kelemahan.


3. Dalil lain yang mendukung:


Keumuman anjuran sesuatu yang ganjil, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, beliau bersabda:


ﻭﺇﻥ اﻟﻠﻪ ﻭﺗﺮ، ﻳﺤﺐ اﻟﻮﺗﺮ


"Sesungguhnya Allah itu ganjil, menyukai yang ganjil."


Wallahu A’lam


-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4816)

Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc

Minggu, 18 Februari 2024

,


Dalam Shalat Tarawih, disyaratkan untuk shalat dua rakaat, dua rakaat. Tidak sah shalat empat rakaat dengan sekali salam, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Nawawi dalam kitab Al-Raudhah berdasarkan fatwa Qadhi Husain. 


Beliau (Imam Nawawi-pen) menyetujuinya (fatwa Qadhi Husain-pen) dan beralasan bahwa Shalat Tarawih menyerupai shalat fardhu.


Ibnu Rif'ah dalam kitab Al-Matlab Al-’Aly dan Al-Kifayah An-Nabih berpendapat sama, dan beralasan bahwa Shalat Tarawih adalah ibadah yang mengikuti tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, 


Sedangkan tidak ada riwayat yang menunjukkan keshahihan shalat empat rakaat dengan satu salam.


Disebutkan dalam kitab Asna Al-Matalib (karya Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari-pen):

 

ﻠﻮ ﺻﻠﻰ ﺃﺭﺑﻌﺎ ﺑﺘﺴﻠﻴﻤﺔ ﻟﻢ ﻳﺼﺢ ﻟﺸﺒﻬﻬﺎ ﺑﺎﻟﻔﺮﺽ ﻓﻲ ﻃﻠﺐ اﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﻓﻼ ﺗﻐﻴﺮ ﻋﻤﺎ ﻭﺭﺩ ﺑﺨﻼﻑ ﺳﻨﺔ اﻟﻈﻬﺮ ﻭاﻟﻌﺼﺮ


"Jika seseorang shalat empat rakaat dengan satu salam, maka shalatnya tidak sah karena menyerupai shalat fardhu dalam hal jamaah.


Oleh karena itu, shalatnya (empat rakaat sekali salam-pen) tidak boleh diubah dari yang telah diriwayatkan, kecuali Sunnah Dhuhur dan Ashar.(karena adanya riwayat yang menyebut demikian-pen)"


Adapun hadits Aisyah: 

كان يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن


"Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam shalat empat rakaat, jangan tanyakan tentang keindahan dan panjangnya," 


yang dimaksud -wallahu a'lam- adalah beliau shalat dua rakaat, kemudian duduk, lalu shalat dua rakaat lagi, dan kemudian duduk.


Qadhi Abu Thayyib meriwayatkan pendapat yang membolehkan shalat empat rakaat dengan satu salam, dan Al-Muzajjad mendukungnya dengan fatwa Nawawi tentang keshahihan menggabungkan shalat sunnah dzuhur empat rakaat dengan sekali salam, dengan satu tasyahhud atau dua tasyahhud, sebagaimana disebutkan dalam kitab Umdatul Mufti wal-Mustafti.


Pendapat ini dikuatkan oleh ayah dari Syaikhnya Syaikh kami (Muhammad bin Abdurrahma Al-Ahdal-pen) dalam kitab Umdatul Mufti yang disebutkan di atas, dan beliau mengkritik alasan Ibnu Rif'ah dan Imam Nawawi dengan argumen bolehnya menyambung shalat witir.


Wallahu A’lam


-----------

🔗 Diterjemahkan dengan bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/5816)

✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc


🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

,


Disebutkan dalam Umdatul Mufti wal Mustafti:


صرح الشيخ عز الدين بن عبد السلام في قواعده بندب النظر إلى الخطيب حال الخطبة، وتبعه باقشير الحضرمي في القلائد فقال: يسن النظر إلى الخطيب والمؤذن حال الخطبة والأذان، 


Syaikh ‘Izzudin bin Abdis Salam -semoga Allah merahmati beliau- mengungkapkan pada kitab Qawaid-nya (Qawaidul Ahkam Fi Islahil Anam -pen) tentang disunnahkannya mengarahkan pandangan kepada khatib ketika berkhutbah. 


Pendapat ini juga diikuti oleh Syaikh Baqusyair Al-Hadramy pada kitabnya Al-Qalaid, beliau -semoga Allah merahmati nya- berkata: 


Disunnahkan memandang ke arah khatib dan muadzin ketika khutbah dan adzan.


وبحث الشبراملسي في حواشي النهاية عدم استحباب النظر إلى الخطيب حال الخطبة، وكأنه لم يقف على كلام ابن عبد السلام، فإنه من كبار الأصحاب وممن بلغ رتبة الاجتهاد في المذهب، ومع ذلك فبحث الشبراملسي وجيه، إذ عدم الالتفات أجمع للقلب، ونحن مأمورون بالإنصات قلبا ولسانا


“ Sedangkan menurut kajian Syaikh Syubramilisi -semoga Allah merahmati beliau- pada catatan kaki kitab An-Nihayah, menyatakan tidak disunnahkan memandang ke arah khatib ketika khutbah. 


Sepertinya Syaikh Syubramilisi belum menelaah penjelasan Syaikh ‘Izzudin bin Abdis Salam. Karena Syaikh ‘Izzudin termasuk dari tokoh besar dalam madzhab Syafi’iy, beliau termasuk dalam tingkatan ulama yang sudah boleh berijtihad dalam madzhab Syafi’iy. 


Tetapi tetap, kajian yang dilakukan Syaikh Syubramilisi ada benarnya, karena dengan tidak menengok lebih bisa membuat hati khusyuk (mendengarkan khutbah -pen), sedangkan kita diperintahkan untuk diam baik hati maupun lisan (fokus mendengarkan khutbah -pen).”


Umdatul Mufti wal Mustafti (1/163)


Syaikh Al-‘Izz bin Abdissalam -semoga Allah merahmati beliau- berpendapat dalam Qawaidul Ahkam beliau setelah membuat pasal tentang hukum-hukum berkaitan panca indra manusia, dimulai dengan mata:


وأما الاستحباب: فكالنظر إلى الكعبة وإلى المصاحف وكتب العلم للقراءة وإلى الخاطبين في الخطب المشروعات والخاطبين السائلين والمجيبين، وإلى المصنوعات كلها للتفكر في القدرة ونفوذ الإرادة وبديع الحكمة، وكذلك النظر إلى منازل الهالكين للاتعاظ والاعتبار.


Adapun hukum melihat yang sunnah: seperti melihat Ka’bah atau mushaf Al-Quran atau buku-buku ilmu agama untuk membacanya. Juga sunnah melihat kepada para khatib pada khutbah-khutbah yang disyariatkan (Jumat, ‘Ied, Kusuf, Istisqa’, dsb -pen). Demikian juga melihat kepada mereka yang dikhitbah (dilamar), baik yang melamar (pria), maupun yang dilamar (perempuan). 


Disunnahkan pula melihat kepada ciptaan-ciptaan Allah supaya dapat merenungi kuasa Allah dan bahwa kehendak-Nya pasti terlaksana, serta hikmah yang indah dibalik setiap ciptaan-Nya. 


Begitu juga disunnahkan melihat kepada situs-situs kuno yang telah hancur sehingga ia dapat mengambil peringatan dan pelajaran dari mereka.


Qawaidul Ahkam Fi Mashalihil Anam (1/231)


**

📚 Adab-Adab Jumat, Syaikh Labib Najib

📚 Qawaidul Ahkam Fi Mashalihil Anam, Imam Izzudin bin Abdissalam

✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc


🔔 Klik fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

Sabtu, 17 Februari 2024

,


Jika perhitungan hisab bertentangan dengan penglihatan (rukyah), manakah yang diutamakan?

Masalah ini memiliki dua sisi:

Pertama: Sisi Penegasan

Jika perhitungan hisab menunjukkan bahwa besok adalah Ramadhan, namun kita tidak melihat hilal Ramadhan, maka kita tidak berpuasa sampai kita melihatnya.

Kita melengkapi hitungan bulan Sya’ban dan tidak mengikuti perhitungan hisab berdasarkan hadits:

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين

"Berpuasalah saat kalian melihatnya, dan berbukalah saat kalian melihatnya. Jika langit mendung,maka sempurnakanlah hitungan 30 hari."

Kedua: Sisi Penyangkalan:

Jika seorang saksi adil mengaku melihat hilal Ramadhan dan perhitungan astronomi (hisab) meniadakan kemungkinan melihatnya,

1. Menurut Al-Khatib dan Al-Ramli, perhitungan tidak diperhatikan dan kita berpuasa berdasarkan penglihatan

karena penglihatan adalah cara syar'i, berbeda dengan perhitungan astronomi (hisab).

2. Sedangkan Ibnu Hajar, mengikuti As-Subki, memberikan perincian:

Jika perhitungan astronomi (hisab) meniadakan kemungkinan melihat hilal Ramadhan, maka perhitungan tersebut diterima dengan dua syarat:

Pertama: Penyangkalan ini disampaikan oleh sekelompok astronom yang jumlahnya mencapai tingkat mutawatir (riwayat yang disampaikan oleh banyak orang sehingga tidak mungkin mereka berbohong).

Kedua: Mereka mendasarkan penyangkalan tersebut pada premis pasti dalam ilmu astronomi.

Hal ini karena dalam situasi ini, perhitungan astronomi memberikan kepastian, sedangkan penglihatan hanya memberikan dugaan.

Kepastian diutamakan daripada dugaan. Kesaksian seorang saksi pun dapat ditolak jika bertentangan dengan kepastian.

Jika salah satu dari dua syarat ini tidak terpenuhi, maka penglihatan (rukyah) diutamakan.

Wallahu A’lam

-----------
🔗 Diterjemahkan dengan bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/6567)

Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc

🔔 Klik Fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

Jumat, 16 Februari 2024

,


1. Jika seseorang berbuka puasa di bulan Ramadhan, maka wajib baginya untuk menggantinya.

2. Jika dia berbuka tanpa alasan yang benar, maka wajib baginya untuk menggantinya segera pada hari kedua Idul Fitri.

3. Jika dia berbuka dengan alasan yang dibenarkan seperti: bepergian, sakit, haid, atau nifas, maka dia juga wajib menggantinya, tetapi tidak harus segera.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala:

فمن كان منكم مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر

"Barangsiapa di antara kamu yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya mengganti) pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 185).

Ayat ini menyebutkan "hari-hari lain" secara umum tanpa membatasi waktunya setelah Ramadhan.

Sedangkan dari hadits:

Aisyah Radhiyallahu 'Anha berkata:

ﻛﺎﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﻠﻲ اﻟﺼﻮﻡ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ، ﻓﻤﺎ ﺃﺳﺘﻄﻴﻊ ﺃﻥ ﺃﻗﻀﻲ ﺇﻻ ﻓﻲ ﺷﻌﺒﺎﻥ.

"Dahulu aku memiliki hutang puasa Ramadhan, dan aku tidak bisa menggantinya kecuali di bulan Sya'ban."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Namun, seseorang tidak boleh memasuki bulan Ramadhan berikutnya sebelum mengganti puasanya,

kecuali jika dia memiliki alasan seperti sakit dan sejenisnya.

Hal ini karena Aisyah Radhiyallahu 'Anha biasa menunda mengganti puasa sampai bulan Sya'ban.

Jika menunda sampai setelah Ramadhan itu dibolehkan, maka beliau pasti akan melakukannya.

Ibn Daqiq al-Ied berkata:

ﻭﻗﺪ ﻳﺆﺧﺬ ﻣﻨﻪ: ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺆﺧﺮ ﻋﻦ ﺷﻌﺒﺎﻥ ﺣﺘﻰ ﻳﺪﺧﻞ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺛﺎﻥ.

"Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seseorang tidak boleh menunda mengganti puasa sampai bulan Sya'ban dan kemudian seseorang memasuki bulan Ramadhan berikutnya."

Jika seseorang mampu mengganti puasanya, tetapi dia menunda sampai memasuki bulan Ramadhan,

maka dia wajib melakukan beberapa hal:

1. Bertaubat dan memohon ampun kepada Allah SWT atas keterlambatannya.

2. Wajib baginya untuk berpuasa di bulan Ramadhan yang sedang berlangsung.

3. Wajib mengganti puasa yang dia tinggalkan.

4. Mengeluarkan fidyah untuk setiap hari yang dia tunda dengan memberikan satu mud (ukuran makanan) kepada orang miskin.

Berdasarkan Hadits Abu Hurairah:

ﻣﻦ ﺃﺩﺭﻙ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻓﺄﻓﻄﺮ ﻟﻤﺮﺽ ﺛﻢ ﺻﺢ ﻭﻟﻢ ﻳﻘﻀﻪ ﺣﺘﻰ ﺩﺧﻞ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺁﺧﺮ ﺻﺎﻡ اﻟﺬﻱ ﺃﺩﺭﻛﻪ ﺛﻢ ﻳﻘﻀﻲ ﻣﺎ ﻋﻠﻴﻪ، ﺛﻢ ﻳﻄﻌﻢ ﻋﻦ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ

"Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan dan dia berbuka karena sakit, kemudian dia sembuh dan tidak menggantinya sampai memasuki bulan Ramadhan berikutnya, maka dia harus berpuasa di bulan Ramadhan yang dia dapati (sekarang) dan mengganti puasanya yang tertinggal, kemudian memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari." (HR. Daruquthni)

Daruquthni dan Al-Baihaqi mensahihkan sanad hadits ini.

Al-Baihaqi berkata dalam kitab Al-Khilafiah:

"Telah sahih dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma yang senada dengan hadits ini."

Al-Mawardi meriwayatkan ijma' (kesepakatan) para sahabat tentang hal ini.

Hal ini karena enam sahabat Radhiyallahu 'Anhum mengeluarkan fatwa tentang hal ini dan tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di antara mereka.

Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama.

Wallahu A’lam


🔗 Diterjemahkan dengan beberapa perubahan dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/6552)

✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc

🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

Rabu, 14 Februari 2024

,


Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj-nya mengatakan;

بِخِلَافِ وُصُولِ الْأَثَرِ كَالطَّعْمِ وَكَالرِّيحِ بِالشَّمِّ، وَمِثْلُهُ وُصُولُ دُخَانِ نَحْوِ الْبَخُورِ إلَى الْجَوْفِ وَالْقَوْلُ بِأَنَّ الدُّخَانَ عَيْنٌ لَيْسَ الْمُرَادُ بِهِ الْعَيْنَ هُنَا
"Berbeda halnya dengan atsar seperti rasa, bau yang dicium. Dan seperti asap bukhūr ketika masuk ke tubuh (semua ini tidak membatalkan puasa karena bukan 'ain -edt). Dan pendapat yang mengatakan bahwa asap adalah 'ain bukan masuk dalam ranah 'ain disini."

Demikian juga Ar-Romli dalam Nihayatul Muhtaj mengatakan;

وَيُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّ وُصُولَ الدُّخَانِ الَّذِي فِيهِ رَائِحَةُ الْبَخُورِ أَوْ غَيْرِهِ إلَى الْجَوْفِ لَا يُفْطِرُ بِهِ وَإِنْ تَعَمَّدَ فَتْحَ   فِيهِ لِأَجْلِ ذَلِكَ وَهُوَ ظَاهِرٌ، وَبِهِ أَفْتَى الشَّمْسُ الْبِرْمَاوِيُّ لِمَا تَقَرَّرَ أَنَّهَا لَيْسَتْ عَيْنًا
"Dan dari hal tersebut maka masuknya asap yang ada bau bukhūr atau selainnya kedalam tubuh tidak membatalkan puasa; meski dengan sengaja dia membuka mulutnya untuk asap tersebut, dan ini pendapat yang kuat. Demikian juga fatwa Al-Birmāwi, karena asap bukanlah 'ain."

Sebagian berprasangka dan berkesimpulan (dibahasakan Mbah Ihsan Jampes dengan wahm) bahwa termasuk asap rokok, tidak membatalkan puasa. Berpegangan dengan ucapan Ibnu Hajar dan Ar-Romli dalam masalah asap bukhūr; dengan alasan karena dia bukan 'ain.

Seperti yang disampaikan oleh As-Syubromilsi dalam Hasyiyah Nihayah-nya (3/169) mengatakan;

يُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّ شُرْبَ مَا هُوَ الْمَعْرُوفُ الْآنَ بِالدُّخَانِ لَا يُفْطِرُ لِمَا ذَكَرَهُ مِنْ أَنَّ الْمَدَارَ عَلَى الْعُرْفِ هُنَا فَإِنَّهُ لَا يُسَمَّى عَيْنًا
"Maka dari hal ini bahwa mengkonsumsi rokok tidak membatalkan puasa, sebagaimana yang disebutkan bahwa pembatal harus berupa 'ain, sedangkan asap rokok bukan 'ain secara 'urf (adat)."

Namun hal ini tidak benar. Bahkan hampir semua ashābul hawāsyi seperti Al-Bājuri, As-Syarqōwi, Ibnu Qosīm Al-Abbādi sebagaimana dinukil As-Syarwāni dalam Hasyiyah Tuhfah, demikian juga Az-Ziyādi. Berpendapat asap rokok adalah 'ain yang membatalkan puasa. Az-Ziyādi sendiri pada mulanya menfatwakan tidak batal, namun setelah tahu bahwa asap rokok meninggalkan bekas di busa rokok, maka mengganti fatwanya dengan membatalkan. As-Syarwani dalam Hasyiyah-nya (3/401) mengatakan;

فَالْمُعْتَمَدُ بَلْ الصَّوَابُ مَا تَقَدَّمَ عَنْ شَيْخِنَا وَسَمِّ وَابْنِ الْجَمَّالِ وَغَيْرِهِمْ مِنْ الْإِفْطَارِ بِذَلِكَ وَيَأْتِي عَنْ ابْنِ زِيَادٍ الْيَمَنِيِّ مَا يُوَافِقُهُ
"Yang mu'tamad dalam masalah ini bahkan pendapat yang benar, adalah apa yang sudah dinukil dari guru kami, Ibnu Qosim, Ibnu Jamāl, dan lainnya; bahwa rokok membatalkan puasa. Demikian juga dari pendapat Ibnu Ziyād Al-Yamanī."

Wallahu ta'ala a'lam.

✍️ Abu Harits Danang Santoso Al-Jawi
#fikihtematik #fikihsyafii #faedahkajian #faedahkitab

🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

Jumat, 09 Februari 2024

,

 


Perlu kita fahami bersama, dalil-dalil dalam hadits menunjukkan secara gamblang, bahwa hukum menggambar pada asalnya adalah haram. Diantara yang menunjukkan hal tersebut, hadits Abdullah ibn Mas'ud radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;


إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
"Sesungguhnya manusia yang paling berat siksanya para hari kiamat di sisi Allah adalah para tukang gambar."
[ HR.Bukhari (5950), Muslim (2109), An-Nasai (5364) ]

Juga hadits Aisyah radhiyallahu anha bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda;


إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَر يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَيُقَالُ لَهُمْ: أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ، وَقَالَ: إِنَّ الْبَيْتَ الَّذِي فِيهِ الصُّوَرُ لَا تَدْخُلُهُ الْمَلَائِكَةُ
"Sesungguhnya pembuat gambar-gambar ini kelak akan disiksa pada hari kiamat. Dikatakan kepada mereka, 'Hidupkan apa yang dulu kalian ciptakan.' (Lalu beliau bersabda) Sesungguhnya rumah yang didalamnya ada gambar-gambar ini, malaikat tidak akan memasukinya."
[ HR.Bukhari (5961) ]

Berkata Al-Khothib As-Syirbini;

(وَيَحْرُمُ  تَصْوِيرُ حَيَوَانٍ)  لِلْحَدِيثِ الْمَارِّ؛ وَلِمَا فِيهِ مِنْ مُضَاهَاةِ خَلْقِ اللَّهِ تَعَالَى
"Dan haram hukumnya menggambar makhluk bernyawa berdasarkan hadits yang telah berlalu; karena di dalam perbuatan tersebut ada sisi menyerupai menciptakan makhluk Allah Ta'ala."
[ Mughnil Muhtaj. Al-Khothib As-Syirbini. 

Bahkan Imam Nawawi menyebutkan bahwa menggambar ini termasuk dosa besar. Dimana beliau berkata;

قال العلماء: تصوير الحيوان حرام شديد التحريم وهو من الكبائر لأنه متوعد عليه بهذا الوعيد الشديد وسواء صنعه لما يمتهن أم لغيره، وسواء كان في ثوب أو بساط أو درهم أو دينار أو فلس أو إناء أو حائط أو غيرها
"Berkata para ulama; menggambar hewan hukumnya haram dan sangat diharamkan, bahkan termasuk dosa besar. Karena pelakunya terancam dengan ancaman yang keras. Hal ini berlaku, sama saja apakah gambarnya dipakai untuk hal yang dihinakan atau dimuliakan. Dan hal ini sama saja hukumnya, apakah menggambar di pakaian, alas, mata uang, wadah, tembok, dan selainnya."
[ Syarah Shahih Bukhari. Al-Qisthilani. (8/481) ]

Namun hukum keharaman menggambar ini harus memenuhi dua syarat;

Pertama, gambar tersebut adalah gambar makhluk bernyawa (manusia dan hewan). Maka, jika gambarnya adalah benda mati; hukumnya mubah. Imam Nawawi berkata;

وأما تصوير ما ليس فيه صورة حيوان فليس بحرام
"Adapun menggambar sesuatu yang bukan makhluk bernyawa; maka tidaklah haram hukumnya."
[ Syarah Shahih Bukhari. Al-Qishthilani. (8/481) ]


Kedua, gambar tersebut digambar secara lengkap, atau tidak lengkap namun masih ada sisi kemungkinan bisa hidup ketika diwujudkan di dunia nyata. Dalilnya adalah ucapan sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma;


الصُّورَةُ الرَّأْسُ فَإِذَا قُطِعَ الرَّأْسُ فَلَيْسَ بِصُور
"Gambar adalah kepala, jika dipotong kepalanya maka bukan disebut gambar lagi (yang terlarang -edt)."
[ As-Sunan Al-Kubra, Abu Bakr Al-Baihaqi, (Beirut : Darul Kutub Al-Ilmiyyah, (7/441) ]


Al-Khothib As-Syirbini mengatakan;


قَالَ الْمُتَوَلِّي: وَسَوَاءٌ أَعَمِلَ لَهَا رَأْسًا أَمْ لَا خِلَافًا لِأَبِي حَنِيفَةَ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ -. وَقَالَ الْأَذْرَعِيُّ: إنَّ الْمَشْهُورَ عِنْدَنَا جَوَازُ التَّصْوِيرِ إذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ رَأْسٌ لِمَا أَشَارَ إلَيْهِ الْحَدِيثُ مِنْ قَطْعِ رُءُوسِهَا اهـ. وَهَذَا هُوَ الظَّاهِرُ
"Al-Mutawalli berpendapat hukumnya haram baik dengan kepala atau tanpa kepala, berbeda halnya dengan pendapat Abu Hanifah. Al-Adzra'i mengatakan; yang masyhur dalam madzhab Syafii bahwa boleh hukumnya jika tanpa kepala, sebagaimana telah diisyaratkan dalam riwayat memotong bagian kepala. (selesai nukilan) (Khothib Syirbini menyatakan -edt) Dan pendapat inilah yang tampak kuat."
[ Mughnil Muhtaj. (4/409) ]


Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan;


وَخَرَجَ بِحَيَوَانٍ تَصْوِيرُ مَا لَا رَأْسَ لَهُ فَيَحِلُّ خِلَافًا لِمَا شَذَّ بِهِ الْمُتَوَلِّي وَكَفَقْدِ الرَّأْسِ فَقْدُ مَا لَا حَيَاةَ  بِدُونِهِ
"Dan tidak termasuk dalam ucapan penulis (hayawan / makhluk bernyawa) adalah menggambar sesuatu yang tidak memiliki kepala maka menggambarnya hukumnya mubah. Berbeda dengan pendapat Al-Mutawalli yang cukup keras dalam masalah ini (tetap haram meski tanpa kepala -edt). Dan wujud gambar tanpa kepala juga berlaku hukum mubahnya pada wujud gambar yang tidak mungkin dihidupkan di dunia nyata (seperti hanya gambar kepala saja, atau kepala dan leher saja, dan semisalnya -edt)."
[ Tuhfatul Muhtaj wa Hasyiyah Syarwani wa Abbadi. (7/434) ]


Al-Bujairimi mengatakan:

وَكَقَطْعِ الرَّأْسِ هُنَا فَقْدُ كُلِّ مَا لَا حَيَاةَ بِدُونِهِ. وَقَضِيَّةُ ذَلِكَ أَنَّ فَقْدَ النِّصْفِ الْأَسْفَلِ كَفَقْدِ الرَّأْسِ؛ لِأَنَّهُ لَا حَيَاةَ لِلْحَيَوَانِ بِدُونِهِ، وَبِهِ صَرَّحَ ح ل
"Dan sama halnya menggambar tanpa kepala; menggambar sesuatu yang tidak mungkin hidup di dunia nyata. Dari penjelasan ini, maka menggambar makhluk bernyawa tanpa disertai separuh tubuhnya bagian bawahnya (hanya menggambar setengan badan atas) maka hukumnya seperti menggambar tanpa kepala. Karena tidak mungkin makhluk hidup bisa hidup hanya dengan setengah badan. Dan demikian juga yang dijelaskan oleh Al-Halabi."
[ Hasyiyah Al-Bujairimi 'ala Al-Khothib (Iqna'). (3/458) ]


Adapun hukum fotografi modern, maka yang nampak dalam masalah ini adalah boleh (namun jika tidak perlu sebaiknya dikurangi) selama bukan foto-foto yang terlarang misal seperti dengan tampaknya aurot atau pornografi; maka haram hukumnya. Meskipun dalam hal ini ada silang pendapat dari para ulama. Sebagaimana difatwakan oleh Syaikh Nuh Ali Salman (w.1432 H) mufti Yordania di zamannya, dengan alasan fotografi bukan menggambar, karena tidak dibutuhkan keterampilan khusus. [ baca disini ] Sebagian guru kami juga menyampaikan, bahwa fotografi juga mirip dengan kaca, dimana dia hanya mengabadikan suatu pantulan gambar seperti cermin.

Adapun hukum menggambar dengan bantuan aplikasi ataupun Ai (Artificial Intelligence), maka sebagian ulama menyamakan hukumnya dengan menggambar dengan tangan. Oleh karenanya berlaku hukumnya sesuai dengan syarat-syarat yang dibahas sebelumnya. Seperti yang disampaikan oleh Syaikh Sholeh Al-Munajjid;

رسم الصور عن طريق الذكاء الاصطناعي، بحيث يأمر الإنسان الجهاز برسم شيء ما، فيقوم بما يأمره به، يأخذ حكم الرسم؛ إذ لا فرق بين أن يرسم بالقلم، أو عبر الكمبيوتر، بنفسه، أو بغيره
"Gambar dengan Ai dimana manusia memerintahkan alat untuk menggambar sesuatu, maka dia melakukannya. Maka hukumnya sama dengan menggambar biasa; dimana tidak ada beda antara menggambar dengan pena, atau lewat komputer baik dia sendiri yang menggambar atau aplikasi di dalamnya."

Hal senada juga disampaikan dalam fatwa Islamweb dibawah otoritas Kantor Urusan Dakwah dan Bimbingan Islam Qatar. [ Baca disini ] Wallahu ta'ala a'lam.

Catatan:
Pembahasan disini hanya tentang hukum menggambar saja. Adapun tentang menyimpan atau memiliki atau mempergunakan gambar atau barang yang sudah ada gambarnya, maka ada perincian hukum yang lain.


Jombang, 10 Februari 2024
Abu Harits Danang Santoso Al-Jawi

,

Beliau adalah Al-Hārits ibn Asad Al-Muhāsibī Al-Bashrī. Dijuluki Al-Muhāsibī karena begitu seringnya dia bermuhāsabah terhadap dirinya. Ada juga yang mengatakan, dijuluki demikian karena dia selalu membawa kerikil yang dia gunakan untuk menghitung (hasiba-yahsibu) dzikirnya.


Beliau lahir dan besar di Bashroh, salah satu ibukota Islam di zamannya. Dan salah satu gurunya adalah Imam Syafii, dan Al-Ustādz Abu Manshūr At-Tamīmī meletakkan beliau termasuk dalam deretan thobaqoh pertama dari para ulama Syafiiyyah. Maka, Al-Hafidz Ibnu Sholāh pun mengomentarinya dan berkata;


وصحبته للشَّافِعِيّ رَضِي الله عَنهُ لم أر أحدا ذكرهَا سواهُ، وَلَيْسَ أَبُو مَنْصُور من أهل هَذَا الْفَنّ فيعتمد فِيمَا تفرد بِهِ، والقرائن شاهدة بانتفائها

"Dan kedudukan Al-Muhāsibī sebagai murid langsung Imam Syafii, tidak disebutkan oleh seorangpun kecuali hanya Abu Manshūr seorang saja. Sedangkan bukanlah beliau (Abu Manshūr) orang yang ahli dalam sisi ini (biografi) maka ucapan beliau sendiri bisa diterima meski beberapa faktor menolak status kesantrian Al-Muhāsibī terhadap Imam Syafii."


Al-Muhāsibī dikenal sebagai ahli zuhud dan tazkiyatun nafs (tasawwuf). Bahkan Al-Hāfidz Ibnu Mulaqqin memasukkan namanya dalam kitabnya Thobaqōt Auliyā' (Biografi Para Wali). Maka tak heran, karena beliau juga adalah guru dari Al-Junaid, ahli tazkiyatun nafs di zamannya. Al-Khothīb Abu Bakr mengatakan;


 أحد من اجْتمع لَهُ الزّهْد الْمعرفَة بِعلم الظَّاهِر وَالْبَاطِن، وَحدث عَن يزِيد بن هَارُون وطبقته

"(Al-Muhāsibi) seorang yang terkumpul dalam dirinya zuhud dan pengetahuan terhadap ilmu yang tampak dan ilmu yang tersembunyi. Beliau meriwayatkan dari Yazīd bin Harūn dan yang setingkat dengannya."


Beliau wafat di Baghdad tahun 243 H. Dan beliau meninggalkan beberapa karya tulis diantaranya; kitab At-Taubah, Al-Masāil fi Zuhd, Ādābun Nufūs, dan lainnya. Rahimahullah rahmatan wāsi'ah. 


✍️ Abu Harits Danang Santoso Al-Jāwi

https://linktr.ee/fiqhgram

#biografi #biografiulama #ulamasyafiiyyah


Referensi:

1. Thobaqot Syafiiyyah. Ibnu Qodhi Syuhbah As-Syafii.

2. Thobaqot Syafiiyyah. Ibnu Sholah.

3. Thobaqot Auliya. Ibnu Mulaqqin.