Tampilkan postingan dengan label Fikih Muamalah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fikih Muamalah. Tampilkan semua postingan

Minggu, 14 September 2025

,

Pertanyaan ;

Assalamualaikum, ustadz mau tanya terkait muamalah.

Kita beli voucher di surya mart untuk dibagikan ke anggota. Tetapi kita tidak tahu voucher itu digunakan atau tidak sama anggota. Hukum buat *****mart apabila voucher yg kita beli tidak sama dengan voucher yg dipakai oleh anggota seperti apa mohon penjelasannya?

Voucher yang kita beli tersebut ada masa expirednya selama 3 bulan dari tanggal pembelian.

Hamba Allah, Mojokerto

***

Jawaban :

Waalaikumussalam warohmatullah wabarokatuh. Bismillah wassholatu wassalamu ala Rasulillah. Amma ba'du,

Mengenai voucher belanja, kami ingin sampaikan bahwa hal tersebut hukum asalnya adalam mubah (boleh). Dan ini sudah kami tuliskan penjelasan lengkapnya disini. Namun perlu kiranya kami jelaskan detail lain dalam masalah ini;

Pertama, voucher dijual dengan harga yang sama dengan nilai pembelian yang bisa dibeli dengan voucher. Misal, seseorang beli voucer belanja seharga Rp 100.000, dan dia bisa membeli dengan voucher itu, barang dengan nilai yang sama. Maka ini tidak mengapa. Alasannya, karena hukum asal muamalah adalah mubah (mubah) sampai ada alasan pelarangan. Sedangkan disini tidak ada alasan pelarangan.

Kedua, voucher bukan untuk membeli barang, tapi sebagai pemberi manfaat untuk mendapatkan diskon barang (bithoqoh takhfidh). Maka dia memiliki dua kondisi;

1. Jika voucher diskon ini dijual dengan harga tertentu, maka ini diharamkan. Karena ada sisi ghoror (spekulasi tinggi). Dimana jika kartu dimanfaatkan, maka konsumen untung. Jika tidak dipakai, maka konsumen akan rugi.

2. Jika voucher diskon ini diberikan secara cuma-cuma, maka diperbolehkan. Karena ini sebagai bentuk pemberian (hibah) dari penjual kepada konsumen.

3. Jika voucher diberikan dengan membayar biaya cetak voucher atau kartu, maka disini ada sisi syubhat. Dan yang difatwakan, maka bentuk ketiga ini juga hendaknya dijauhi.

***
Dari sini kita tahu, bahwa secara asal model voucher yang ditanyakan di atas, masuk dalam kategori voucher pertama. Maka secara asal hukumnya diperbolehkan; baik dipakai untuk dirinya sendiri maupun diberikan sebagai hadiah kepada orang lain. Landasan dalam hal ini, adalah firman Allah ta'ala;

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ
"Dan Allah halalkan jual beli dan mengharamkan riba." [ QS Al-Baqarah ayat 275 ]

Namun, yang perlu diperhatikan juga dari pertanyaan di atas, adalah keberadaan masa berlaku dari voucher terebut. Maka ini masuk dalam kategori ghoror. Dan kalau kita merujuk kepada stadart AAOIFI (1/782), disebutkan parameter ghoror yang merusak akad adalah;

Pertama, ghoror berlaku dalam akad ekonomi bukan akad sosial.

Kedua, ghoror (spekulasi) memiliki nilai yg cukup tinggi.

Ketiga, ghoror ada dalam objek akad secara asal.

Keempat, tidak ada hajat (kebutuhan) secara syari yang membolehkannya.

Maka semua karakter ghoror yang merusak akad ini, terterapkan pada batasan masa aktif voucher yang ditanyakan. Jika tidak dipakai, sampai batas waktu yang ditentukan, konsumen akan rugi karena dia membayar uang tanpa timbal balik apapun. Sedangkan dalam hadits yang shahih, disebutkan;

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (jual beli dengan lempar batu) dan jual beli ghoror (spekulasi tinggi)." [ HR.Muslim (1513) ]

Disisi lain, dalam aturan jual beli tidak boleh ada syarat berbatas waktu. Jual beli dianggap sah jika tanpa ada batas waktu (عدم التأقيت), sebagaimana dalam kitab Al-Yaqūt An-Nafis dan kitab fikih yg lainnya.


***
Kesimpulan dari pertanyaan di atas, jawabannya adalah bahwa transaksi yang dilakukan tidak sah karena ada unsur ghoror pada batas waktu (limit) yg diberikan. Wallahu ta'ala a'lam.


Mojoketo, 13 September 2025
Danang Santoso
• Alumni Mahad Aliy Al-Aimmah Malang
• Mahasiswa Mahad Nawawi Takhossus Fiqh Syafii
• Founder & Pengasuh Fiqhgram


***
Referensi : 
2. Ketetapan Dewan Fatwa Ulama Yordania, No.138 3/2010
3. Al-Ma'ayir As-Syar'iyyah. AAOIFI. Safar 1439 H/ November 2018 M.
4. www.abuharits.com
5. Al-Yāqūt An-Nafīs fi Madzhab Ibn Idrīs. Ahmad bin Umar As-Syatiri (w.1360 H)

Sabtu, 13 September 2025

,


Voucher belanja yg dimaksud adalah, sebuah kertas atau semacamnya yg diterbitkan oleh pihak-pihak tertentu, yg bisa digunakan untuk berbelanja di tempat tertentu, dengan nilai tertentu.


Sebagai contoh, fiqhgramart menerbitkan voucher belanja dengan type premium seharga Rp 500.000, dan type biasa seharga Rp 100.000. Yang nantinya, dengan voucher ini, konsumen bisa membeli barang dari fiqhgramart senilai Rp 500.000 untuk type premium, dan Rp 100.000 untuk type biasa.


***

TAKYĪF (ADAPTASI) MASALAH

Voucher semacam ini, kita anggap bahwa di pembeli voucher sudah membeli barang namun belum mengambilnya. Jadi, voucher dianggap barang, bukan dianggap uang. Sehingga, jika semisal dia menjual lagi voucher tersebut, tidak ada masalah jika dia dapat secara gratis. Baik dengan harga yg lebih mahal, harga yg sama, ataupun harga yg lebih murah.


Padanan dalam masalah ini, juga sudah terjadi di masa lampau. Dimana, sebagian pemimpin membagikan kertas, bertuliskan nama orang dan berhak untuk mendapatkan barang ini dan itu di tempat tertentu. Menurut Imam Nawawi, pemilik kupon boleh menjual kuponnya secara mutlak. Dalam kitabnya Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim (1/946) menyatakan;


الصِّكَاكَ جَمْع صَكّ وَهُوَ الْوَرَقَة الْمَكْتُوبَة بِدَيْنٍ وَيُجْمَع أَيْضًا عَلَى صُكُوك , وَالْمُرَاد هُنَا الْوَرَقَة الَّتِي تَخْرُج مِنْ وَلِيّ الْأَمْر بِالرِّزْقِ لِمُسْتَحِقِّهِ بِأَنْ يَكْتُب فِيهَا لِلْإِنْسَانِ كَذَا وَكَذَا مِنْ طَعَام أَوْ غَيْره فَيَبِيع صَاحِبهَا ذَلِكَ لِإِنْسَانٍ قَبْل أَنْ يَقْبِضهُ. وَقَدْ اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِي ذَلِكَ ; وَالْأَصَحّ عِنْد أَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ جَوَاز بَيْعهَا

"Shokāk bentuk jamak dari shokkun, yaitu secarik kertas yg ditulis padanya hutang barang. Juga dibentuk jamak dengan kata shukūk. Maksud disini, dia adalah semacam kertas yg diterbitkan oleh pemimpin untuk memberikan harta kepada yg berhak. Dimana tertulis disitu; 'untuk si fulan sekian jumlah makanan atau semacamnya'. Lalu, jika penerima kertas itu menjual kepada orang lain, sebelum dia tukarkan dengan barang yg dimaksud, maka ada khilaf diantara para ulama. Dan pendapat paling shahih menurut ulama madzhab kami; boleh dia jual."


Perlu diketahui, Imam Nawawi dalam hal ini sedang menjelaskan hadits Abu Hurairah radhiyallah anhu;

أَنَّهُ قَالَ لِمَرْوَانَ : أَحْلَلْتَ بَيْعَ الرِّبَا ، فَقَالَ مَرْوَانُ : مَا فَعَلْتُ ؟ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ : أَحْلَلْتَ بَيْعَ الصِّكَاكِ ، وَقَدْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الطَّعَامِ حَتَّى يُسْتَوْفَى ، قَالَ : فَخَطَبَ مَرْوَانُ النَّاسَ ، فَنَهَى عَنْ بَيْعِهَا

"Beliau berkata kepada Marwan; (Kau sudah menghalalkan riba). Maka Marwan berkata; (Aku tidak melakukannya ?) Abu Hurairah berkata; (Kau sudah halalkan jual beli shokāk, sedang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli makanan sampai sudah dibawah kuasanya). Lalu Marwan pun melarang orang-orang menjualnya." [ HR.Muslim (2913) ]


Yg jadi titik fokus dari hadits di atas adalah, bagaimana Abu Hurairah radhiyallahu anhu menarik kesimpulan, bahwa shokāk itu masuk jual beli barang, sehingga tidak boleh dijual sampai dia kuasai / terima barangnya terlebih dahulu. Maka dari sini kita tahu, voucher juga memiliki kesamaan dg shokāk tersebut. Sehingga takyīf fikih-nya (adaptasi fikih), voucher tersebut barang yg belum dia ambil.


***

KLASIFIKASI & HUKUMNYA

Pada dasarnya, hukum asal voucher belanja semacam ini adalah mubah (boleh). Namun jika kembangkan, dalam masalah; apakah pemilik voucher itu boleh menjual voucher-nya kepada orang lain ? Maka dalam hal ini, kita kategorikan voucher belanja ini dalam dua kategori;


Pertama, voucher tersebut didapatkan dengan membayar dengan nilai tertentu. Maka bagi pembeli voucher, dilarang menjual voucher belanjanya. Dengan harga berapapun. Karena disini, jatuhnya dia menjual barang yg belum dia pegang (barang masih ada di toko). Sedang dalam hadits disebutkan;

نَهَى النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أنْ يُبَاعَ الطَّعَامُ إذَا اشْتَرَاهُ حتَّى يَسْتَوْفِيَهُ

"Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang menjual makanan yg tidak ada disisinya." [ HR. Bukhari (2123) ]


Dalam hadits yg lain disebutkan;

نهى رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عن سلفٍ وبيعٍ، وعن شرطين في بيعٍ واحدٍ، وعن بيعِ ما ليس عندَك، وعن ربحِ ما لم يضمنْ

"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang dari; hutang dg syarat jual beli, dua syarat dalam satu jual beli, jual beli barang yg tidak ada disisinya, keuntungan tanpa ada tanggung jawab kerugian." [ HR. An-Nasai (4631) ]


Kedua, voucher itu didapatkan secara gratis. Maka sebagaimana pendapat dari fuqoha Syafiiyyah dalam penjelasan Imam Nawawi di atas. Pemilik voucher boleh menjual lagi kepada orang; baik dengan harga lebih mahal, harga sama, atau lebih murah. Karena jatuhnya disini, dia seperti menjual barang yg dihibahkan oleh orang lain.


Jika ditanya, bukankah dalam kasus kedua, barang belum berada di tangannya ? Maka kita jawab; benar, namun status barang sudah menjadi miliknya secara sempurna. Berbeda halnya dg hasil beli, pembeli belum dianggap memiliki barang secara sempurna, sampai dia terima barangnya. Wallahu ta'ala a'lam.


***

KESIMPULAN

1. Hukum asal jual beli voucher belanja adalah boleh. Dan voucher belanja berbeda dengan voucher diskon.

2. Boleh menjual lagi voucher belanja yg didapatkan secara gratis. Namun jika hasil membeli, maka tidak boleh dijual. Wallahu ta'ala a'lam.


Mojokerto, 14 September 2025

Danang Santoso

• Alumni Mahad Aliy Al-Aimmah Malang

• Santri Mahad Al-Nawawi Takhossus Fiqh Syafii

• Founder & Pengasuh Fiqhgram


***

Referensi:

1. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Al-Hajjāj. Yahya bin Syaraf An-Nawawi.

2. Shahih Muslim. Muslim bin Al-Hajjāj (w.261 H) .

3. Sunan An-Nasaī (w.303 H). Ahmad bin Syu'aib An-Nāsaī.

4. islamqa.info

Selasa, 28 November 2023

,


PERTANYAAN

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh


Ustadz ana mau tanya. Pabrik yang sekrang ana kerja memproduksi kaleng buat kemasan bir beralkohol. Perusahaan sedang expansi ke viaetnam untuk pembangunan pabrik nya.


Pertanyaan nya, apakah saya gaji yang saya terima  masih halal walaupun saya tidak ada hubungan dengan departemen yang bersangkutan. Lalu sejauh mana tingkat keharaman nya karena pabrik hanya membuat kaleng nya saja.


Mohon saran nya stadz ana sedang galau mengenai masalah ini.

Wassalamualaikum warohmatullahi 


JAWAB

Waalaikumussalam warohmatullah wabarokatuh

Apabila di pabrik yang secara dasar amal usahanya adalah halal, seperti perusahaan pembuat botol secara umum. Lalu pabrik membuat MoU menyediakan juga botol miras. Maka perlu penjelasan dalam beberapa point berikut;


Pertama, hukum bekerja di pabrik tersebut tetap boleh karena pada dasarnya amal usahanya adalah produk halal.


Kedua, melakukan kerjasama dalam pembuatan botol miras adalah haram, maka uang yang dihasilkan dari pembuatan botol tersebut secara khusus juga uang yang haram. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

لَعَنَ اللهُ الْخَمْرَ، وَلَعَنَ شَارِبَهَا، وَسَاقِيَهَا، وَعَاصِرَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَبَائِعَهَا، وَمُبْتَاعَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ، وَآكِلَ ثَمَنِهَا

"Allah melaknat khomer, peminumnya, penuangnya, pembuatnya, orang yang minta dibuatkan, orang yang menjualnya, orang yang membelinya, orang yang membelinya, orang yang membawanya, dan orang yang dibawakan khomer kepadanya (yang minta dibelikan), dan orang yang memakan hasil penjualannya.” 

[ HR.Abu Dawud (3674), Ahmad (5716) ]


Ibnu Roslan As-Syafii berkata;

و يدخل في معنى ذلك حاضر شاربها و كاتب مبايعتها و الشاهد عليه و يدخل في ذلك كل من أعان على محرم

“Dan masuk dalam hal ini orang yang ikut hadir di tempat peminum khomer, penulis akad jual beli khomer, orang yang menjadi saksi jual beli khomer. Dan masuk dalam hal ini setiap orang yang memiliki andil dalam membantu hal yang haram tersebut.” 

[ Syarh Sunan Abi Dawud. Ibnu Roslan. (15/155) ]

Termasuk juga membantu keharaman khomer adalah orang yang membuat wadah khusus khomer.


Ketiga, jika diketahui demikian maka selama pabrik tersebut masih memproduksi botol khusus khomer untuk perusahaan khomer, uang dari sana adalah uang haram. Maka disisi ini pendapatan penanya terhukumi haram. Adapun untuk botol lainnya (yang jumlah produksinya jauh lebih besar) maka pendapatannya halal. Olehnya, gaji penanya selama pabrik memproduksi botol miras, maka masuk ranah mal mukhtalath (harta pencampuran halal dan haram).


Keempat, solusi yang ditawarkan adalah dengan mengeluarkan sebagian dari gaji yang didapat sesuai dengan perkiraan prosentasi dari hasil penjualan botol miras -selama botol miras masih diproduksi- dengan mengarahkannya untuk dana umum atau sosial. Syaikh Sholeh Al-Munajjid menyampaikan;

وإذا اختلط هذا المال الحرام بأموال أخرى حلال كصاحب البقالة الذي يبيع الدخان مع السلع المباحة ، فإنه يقدر هذا المال الحرام تقديراً باجتهاده ، ويخرجه بحيث يغلب على ظنه أنه نقى أمواله من الكسب الحرام ، والله يعوضه خيراً وهو الواسع الكريم

[ Lihat islamqa.info ]

 

Wallahu Ta’ala A’lam


Jombang, 28 November 2023 M

Dijawab oleh Abu Harits Al-Jawi

t.me/fiqhgram | abuharits.com