Selasa, 26 April 2022

,

 


Jumhur ulama, termasuk madzhab Syafii di dalamnya, menyampaikan bahwa untuk zakat fitrah tidaklah sah menggunakan qīmah (uang). Hal ini sebagaimana dalam riwayat-riwayat yang ada disebutkan bahwa tidak pernah disebutkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga para sahabat yang membayarkan zakat fitrah dengan uang. Memperkuat hal tersebut, sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar yg marfu';


أن رسول لله صلى الله عليه و سلم فرض زكاة الفطر صاعا من تمر أو صاعا من شعير على العبد و الحر و الذكر و الأنثى و الصغير و الكبير من المسلمين و أمر بها أن تؤدى قبل خروج الناس إلى الصلاة

"Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sho' kurma atau gandum, atas budak, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak-anak, dan orang dewasa dari kaum muslimin. Dan beliau memerintahkan untuk dibagikan sebelum manusia berangkat shalat ied."

[HR.Bukhari no. 1503]


Diqiyaskan kepada kurma dan gandum; semua bahan makanan pokok di suatu negeri. Dan tidak sah mengeluarkan zakat fitrah dengan uang;


و لا تجزئ قيمة أي لصاع الفطرة يالاتفاق عندنا فيتعين إخراج الصاع من الحب

"Dan tidak sah (zakat fitrah) dengan uang seharga satu sho' menurut kesepakatan bagi kami (ulama Syafiiyah), maka harus mengeluarkan satu sho' berupa biji."

[Fathul Mu'in, (Jakarta: Darul Kutub Islamiyah), hal.103. I'anatut Tholibin, (Surabaya: Pustaka as-Salam), (2/174)]


Hanya saja, beberapa ulama termasuk ulama Syafiiyah kontemporer memperbolehkan mengeluarkan zakat fitrah berupa uang; taqlid terhadap madzhab Hanafi yang memperbolehkannya. Dalam Fiqh Manhaji disebutkan;


إلا أنه لا بأس باتباع مذهب الإمام أبي حنيفة في هذه المسألة في هذا العصر و هو جواز دفع القيمة، ذلك لأن القيمة أنفع للفقير اليوم من القوت نفسه و أقرب إلى تحقيق الغاية المجوة

"Hanya saja tidak masalah mengikuti madzhab Abu Hanifah dalam masalah ini di zaman ini; yaitu mengeluarkan zakat fitrah berupa uang. Karena hal tersebut lebih bermanfaat bagi orang fakir daripada bahan makanan pokok itu sendiri, dan lebih merealisasikan tujuan pensyariatan zakat tersebut."

[Fiqh Manhaji, (Mesir: Darul Alamiyah), (1/137)]


Namun, yang harus diperhatikan adalah; jika mengikuti pendapat madzhab Hanafi dalam masalah ini, hendaknya juga mengikuti mereka dalam masalah takaran sho'-nya. Supaya tidak terjadi talfiq (menggabungkan pendapat dan mengeluarkan pendapat baru yang tidak ada ulama yang berpendapat demikian). Adapun ukuran satu sho' dalam madzhab Hanafi sebagaimana yg dilansir oleh dewan fatwa Yordania;


وذهب أبو حنيفة إلى أن الصاع يساوي ثمانية أرطال بالرطل العراقي أي أن المد يساوي رطلان

"Dan madzhab Abu Hanifah; satu sho' sama dengan 8 ritl dengan ritl Irak. Dan 1 mud setara dengan 2 ritl."

[Lihat baca disini]


Berbeda dengan madzhab Syafii yang menyatakan bahwa satu sho' adalah 5 1/3 ritl, karena 1 sho' = 4 mud, dan 1 mud = 1 1/3 ritl.

[Hasyiyah Baijuri ala Fathil Qorib, (Mesir: Darul Alamiyah), (1/562)]


Adapun konversi sho' madzhab Hanafi ke satuan kontemporer (kilogram) maka ada beberapa versi:

1. Versi Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam bukunya Fiqh Islamiy wa Adillatuhu, satu sho' Hanafi setara 3,8 kg. Beliau berkata:


والصاع عند أبي حنيفة ومحمد ثمانية أرطال بالعراقي، والرطل العراقي مئة وثلاثون درهماً، ويساوي 3800 غراماً

"Dan satu sho' menurut Abu Hanifah dan Muhammad (bin Hasan) adalah 8 ritl Irak. 1 ritl = 130 dirham, yang setara dengan 3800 gram (atau 3,8 kg)."

[Lihat baca disini]


2. Versi Laziz NU Kendal, satu sho' Hanafi setara 4,1 kg atau 4,2 kg. Dalam situsnya, dilansir;


الصاع عندهم أربعة أمداد، والمد عندهم رطلان، فيكون الصاع عندهم ثمانية أرطال، وسبق أن عرفنا أن المد عند الحنفية يساوي 1072 جراماً، وبناء على هذا فيكون وزن الصاع عندهم بالكيلو جرام على النحو الآتي: – 4 أمداد × 1072 جرام = الصاع بالجرام = 4288 جرام. فيكون مقدار الصاع عندهم بالكيلو جرام أربعة كيلو جرامات و 288 جرام

"1 sho' menurut mereka (madzhab Hanafi) setara 4 mud, 1 mud = 2 ritl, maka 1 sho' = 8 ritl. Dan sudah kita ketahui satu mud Hanafi setara 1072 gram. Oleh karenanya berdasarkan hitungan ini, 1 sho' Hanafi dalam hitungan kilo adalah;

4 mud x 1072 gram = 4288 gram (4,288 kg)."

[Lihat Baca disini]


3. Versi Muhammad Dzulkifli dalam tahqiqnya terhadap kitab Minhajut Tholibin, 1 sho' Hanafi setara 3.261 gram atau 3,2 kg.

[Minhajut Tholibin, Tahqiq Muhammad Dzulkifli, (Jakarta: Darul Kutub Islamiyah), hal.81]


Kesimpulan, jika ingin mengeluarkan zakat fitrah berupa uang, maka harus seharga bahan makanan pokok dengan berat di atas. Dan yang paling berhati-hati adalah kita mengambil versi kedua, yaitu 4,2 kg. 


Wallahu A'lam

Kota Santri Jombang, 25 Ramadhan 1443 H

Abu Harits al-Jawi

Kamis, 21 April 2022

,
TANYA
Assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh
Bismillah, saya ingin menanyakan apa hukum seorang muslim yang mempelajari hukum islam agar bisa mengelak ketika berbuat dosa? Atau apa hukum seseorang yg berbuat kesalahan dan berlindung dengan dalih Allah Maha Pemaaf? Atau bagaimana pandangan bagi seorang muslim yang sengaja belajar agama untuk mencari cela atas dosanya? Sama halnya seperti seseorang yang belajar hukum untuk menjadi pengacara dan membela mereka yg bersalah dengan dasar segala aturan yg ada. Padahal secara gamblang si A bersalah, hanya karena pengacara paham sela hukum yang ada, sehingga si A bisa terbebas dari hukuman.

JAWAB
Waalaikumussalam warohmatullah wabarokatuh
Mempelajari ilmu adalah suatu kemuliaan dan keisitimewaan yang diberikan Allah Ta'ala kepada hamba. Karena dengan ilmu, manusia memiliki kedudukan yang lebih, di atas makhluk lainnya. Dan segala macam ilmu, asalnya adalah dari Allah Ta'ala. Sebagaimana ungkapan malaikat;

قَالُواْ سُبْحَٰنَكَ لَا عِلْمَ لَنَآ إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْعَلِيمُ ٱلْحَكِيمُ
"Mereka (malaikat) berkata; Maha Suci Engkau, tidaklah kami memiliki ilmu kecuali apa yang Engkau ajarkan pada kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Bijaksana." [QS al-Baqarah : 32]

Terlebih lagi apabila ilmu tersebut adalah ilmu agama. Ilmu tentang yang halal dan haram, juga cara beribadah kepada Allah Ta'ala. Ilmu untuk menjadi pribadi yang menghamba kepada Rabb-nya dengan baik. Maka, ilmu ini lebih memiliki keutamaan dibanding ilmu lainnya. 

Namun, patut diperhatikan. Dalam mempelajari suatu ilmu, perhatikan pula niat dan tujuan. Jika mempelajari suatu ilmu dengan tujuan yang baik, maka insyaallah akan mendapatkan kebaikan. Namun sebaliknya, jika tujuannya adalah keburukan, maka petaka yang dia dapatkan. Hal ini telah diwanti-wanti oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya;

مَنْ تعلَّمَ العلْمَ ليُباهِيَ بِهِ العلماءَ ، أوْ يُمارِيَ بِهِ السفهاءَ ، أوْ يصرِفَ بِهِ وجوهَ الناسِ إليه ، أدخَلَهُ اللهُ جهنَّمَ
"Siapapun yang belajar suatu ilmu bertujuan untuk bersombong diri dengan para ahli ilmu lainnya, atau mendebat orang-orang bodoh, atau untuk tampil dihadapan manusia, Allah Ta'ala akan masukkan dia ke dalam Jahannam."
[HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan lainnya dengan sanad yang shahih]

Maka kesimpulan jawaban dari pertanyaan tadi, bahwa tidak boleh seorang belajar ilmu untuk niat-niat yang sudah disebutkan. Karena hal tersebut tidak sesuai dengan spirit ilmu, yaitu menghilangkan kebodohan. Bukan malah menjadi alasan pembenaran kesalahan, atau yang lainnya. Dan hendaknya, seorang pembelajar ilmu, juga terus membenarkan niatnya dalam belajar. 

Wallahu Ta'ala A'lam
Dijawab oleh Abu Harits al-Jawi

Rabu, 20 April 2022

,
TANYA
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Mohon izin bertanya perihal shopee affiliate. Bagaimana hukumnya jika shopee affiliate dipakai untuk pribadi ? Misal saya menggunakan 2 akun untuk shopee affiliate. Saya share link produk ke WhatsApp saya pribadi, lalu saya check out barangnya untuk mendapatkan 2 keuntungan :

1. Keuntungan dari barang tersebut saya jual lagi

2. Keuntungan dari shopee affiliate yg saya share di wa pribadi dan saya check out sendiri

Mohon dijawab, jazakallahu khayr

JAWAB
Waalaikumussalam warohmatullah wabarokatuh
Sebagaimana yang dilansir oleh website shoppe.co.id, Shopee Affiliates Program atau Program Afiliasi Shopee adalah program yang menawarkan penghasilan tambahan untuk content creators yang mempromosikan produk-produk Shopee di media sosial, seperti YouTube, Instagram, Facebook, TikTok, dan lainnya. Sobat Shopee juga diberikan kebebasan untuk berkreasi dalam pembuatan konten selama produk-produk tersebut memenuhi syarat dan ketentuan Shopee. [shopee.co.id]

Sistem shopee affiliates dan takyīf fikihnya, secara ringkas bisa dijabarkan pada beberapa point berikut;

Pertama, pihak shopee disini adalah sebagai penyewa jasa dari affiliator (orang yang ikut shopee affiliates), dimana komisi diberikan ketika affiliator berhasil menarik pembeli dari produk yang dia tawarkan melalui link khususnya.

Kedua, affiliator disini berada pada posisi ajīr atau pemberi layanan jasa. Dimana melalui akun sosial media yang dimiliki, dia mencoba menawarkan produk kepada follower atau orang lain untuk bisa membeli produk melalui link khususnya. Lebih mudahnya, sama seperti marketer. 

Ketiga, komisi yang didapatkan sudah dijelaskan oleh pihak shopee. Dimana dijelaskan bahwa komisi akan dihitung dari harga produk yang terjual dari Shopee Mall, Star+ & Star dengan besaran komisi hingga 10% dengan batas maksimum Rp10.000 untuk setiap transaksi dengan mempromosikan link produk di media sosial affiliator. [shopee.co.id]

Dari penjabaran beberap point di atas, maka shopee affiliates ini masuk dalam ranah jual beli jasa atau ijārah. Dan ini diperbolehkan oleh syariat. Adapun bila affiliator itu sendiri yang membeli produk dari yang dia pasarkan, maka juga diperbolehkan. Karena tidak ada larangan bagi seorang pemberi jasa memasarkan suatu produk untuk membeli produk tersebut. Dan kaidah dalam hukum muamalah adalah boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya;

الأصل في المعاملات الحل
"Hukum asal dalam muamalah adalah halal."

Jika dikatakan, bukankah ini berarti membeli barangnya sendiri ? Maka, kita katakan bahwa hal ini berbeda. Karena kita tidak sedang menjual produk tersebut, namun hanya memasarkan. Jadi posisi kita ketika menjadi affiliator adalah marketer, bukan seller. Jadi boleh saja, seorang marketer toko misalnya, membeli barang dari toko tersebut. Kecuali ada larangan dari pihak shopee, maka tidak boleh praktek semacam itu. Namun sebatas pengetahuan kami hingga saat ini, pihak shopee tidak melarang praktek yang ditanyakan oleh penanya. Maka kesimpulan hukumnya adalah, boleh. Dengan syarat;

Pertama, produk yang dijual adalah halal dan yang sah diperjualbelikan. 

Kedua, tetap memperhatikan ketentuan dan kesepakatan yang dibuat dengan pihak shopee. 

Wallahu Ta'ala A'lam
Dijawab oleh Abu Harits al-Jawi
,
TANYA
Assalamualaikum wr wb
Apabila kita saat berpuasa lalu ngobrol sama temen, kemudian ngobrolnya menggunakan sebuah ungkapan. Apakah termasuk dikategorikan sebagai orang yg berkata dusta?  Misal kita dapat kurma dari seseorang. Terus ngomong ke teman kalo saya dapat kurma segede gaban. Maksudnya kurmanya itu dapat banyak bungkusnya besar beda kyak biasanya. Jazakallahu khoiron

Hamba Allah, Malang

JAWAB
Waalaikumussalam warohmatullah wabarokatuh
Tidak kita ragukan lagi perkataan dusta adalah suatu dosa yang telah dilarang Nabi ﷺ, terlebih lagi ketika bulan Ramadhan saat seseorang berpuasa. Dalam hadits yang shahih dan masyhur beliau ﷺ bersabda;

من لم يدَعْ قولَ الزُّورِ والعملَ بِهِ ، فليسَ للَّهِ حاجةٌ بأن يدَعَ طعامَهُ وشرابَهُ
"Barangsiapa yang berkata dusta dan berbuat dusta maka Allah Ta'ala tidaklah butuh dari orang tersebut untuk dia tidak makan dan minum (puasanya)."
[HR. Bukhari, Muslim, & Turmudzi]

Adapun ungkapan yang ditanyakan, yaitu kurma segede gaban, atau ungkapan yang lain yang semisal. Maka ini tidak masuk dalam kategori dusta, namun masuk dalam kategori majaz atau kiasan dalam berbahasa, dan tidaklah mengurangi pahala puasa. Sedangkan majaz atau kiasan itu diperbolehkan. Sebagaimana dalam al-Quran Allah Ta'ala berfirman;

وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا وَالْعِيرَ الَّتِي أَقْبَلْنَا فِيهَا ۖ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ
"Dan tanyakan kepada kampung itu yang kita di dalamnya, juga pada rombongan yang kami temui. Sungguh kami adalah orang-orang yang jujur."
[QS Yusuf : 82]

Disitu disebutkan majaz, yaitu ketika Allah Ta'ala menyebut 'tanyakan kepada kampung', padahal kampung tidak bisa berbicara. Namun maknanya adalah tanyakan kepada penduduk kampung. Kalaulah majaz termasuk dusta, tentu Allah Ta'ala tidak menyebutkan dalam al-Quran. 

Wallahu Ta'ala A'lam
Dijawab oleh Abu Harits al-Jawi

Senin, 18 April 2022

,
TANYA 
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh 
Ustadz afwan mau tanya. Bolehkah bayar fidyah 30hari lngsung. Sedangkan puasa blm sampai 30hari. Membayar fidyah puasa yg belum dilewati bagi ibu hamil dan menyusui
Barakallahu fiikum ustadz. Jazaakallahu khairan

Hamba Allah, Mojokerto

JAWAB 
Waalaikumussalam warohmatullah wabarokatuh
Tidak diperkenankan membayar fidyah di awal bulan untuk 30 hari secara langsung dalam madzhab Syafii. Berkata Imam Nawawi rahimahullah (w.676 H);

اتفق أصحابنا على أنه لا يجوز للشيخ العاجز والمريض الذي لا يُرجى برؤه تعجيل الفدية قبل دخول رمضان، ويجوز بعد طلوع فجر كل يوم، وهل يجوز قبل الفجر في رمضان؟ قطع الدارمي بالجواز، وهو الصواب

"Telah bersepakat para ulama Syafiiyyah bahwa tidak boleh bagi orang tua renta dan orang sakit yg tidak diharapkan kesembuhannya, untuk menyegerakan fidyahnya sebelum masuknya Ramadhan. Dan boleh mengeluarkan fidyah setiap hari selepas terbitnya fajar. Adapun sebelum fajar, apakah boleh ? ad-Darimi mengatakan boleh, dan itu yang benar."
[al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab, Imam Nawawi, (6/160]

Berkata al-Khotib asy-Syirbini rahimahullah (w.977 H);

 وليس لهم -أي الهرم والمريض- ولا للحامل ولا للمرضع تعجيل فدية يومين فأكثر، كما لا يجوز تعجيل الزكاة لعامين، بخلاف ما لو عجل من ذكر فدية يوم فيه أو في ليلته فإنه جائز

"Dan tidak boleh bagi mereka -orang tua dan sakit- demikian pula wanita hamil dan menyusui mengawalkan dalam membayar fidyah dua hari sebelulmnya atau lebih, sebagaimana tidak boleh bayar zakat langsung untuk dua tahun. Berbeda halnya jika dia membayar fidyah di hari itu atau malamnya, maka boleh."
[Mughnil Muhtaj, Khothib Syirbini, (2/176)]

Wallahu Ta'ala A'lam
Dijawab oleh Abu Harits al-Jawi

Rabu, 13 April 2022

,
KHUTBAH PERTAMA

إن الحمد لله نحمده و نستعينه و نعوذ بالله من شرور أنفسنا و من سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له و من يضلله فلا هادي له. أشهد أن لا إله إلا الله و أشهد أن محمدا رسول الله. فيآ عباد الله اتقوا الله ربكم كما أمركم به ﴿ يآيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته و لا تموتن إلا و أنتم مسلمون ﴾. و ﴿ يآيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة و خلق منها زوجها و بث منهما رجالا كثيرا و نساءً و اتقوا الله الذي تساءلون به و الأرحام إن الله كان عليكم رقيبا ﴾ أما بعد، و يآ عباد الله اتقوا الله ربكم فإن أكرمكم عند الله أتقاكم

Ma’asyiral Muslimin jamaah sidang jumat rahimakumullah
Segala bentuk puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah ﷻ , yang telah memberikan kesempatan kita untuk berjumpa dengan bulan Ramadhan tahun ini. Memebrikan kesempatan kepada untuk kembali mengabdi dan menyembah-Nya dengan berbagai macam peribadatan yang telah Dia syariatkan kepada kita. Shalawat serta salam selalu terhaturkan kepada baginda Rasulillah Muhammad ﷺ sebagai tauladan kita dalam segala aspek kehidupan dunia. Dan pada kesempatan yang singkat ini, mari kita tingkatkan kembali rasa iman dan takwa kepada Allah ﷻ .

Ma’asyiral Muslimin jamaah sidang jumat rahimakumullah
Ramadhan adalah sebuah madrasah yang Allah ﷻ ciptakan untuk kaum muslimin dalam mengolah jiwa dan raga manusia. Dalam Ramadhan kita dituntut untuk melaksanakan kewajiban puasa, yang mana dalam puasa kita dilarang makan dan minum, juga berhubungan suami istri di siang hari. Yang mana di hari-hari biasanya, hal itu semua adalah boleh, bahkan bisa bernilai sunnah jika diniatkan dengan benar. Namun, dalam puasa kita dituntut untuk menundukkan nafsu diri kita, dalam rangka mentaati perintah Allah ﷻ . Yang mana, Allah ﷻ firmankan dalam kitab-Nya yang mulia;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan (puasa tersebut) atas orang-orang sebelum kalian. Semoga kalian menjadi hamba-hamba yang bertaqwa.” [QS al-Baqarah : 183]

Ma’asyiral Muslimin jamaah sidang jumat rahimakumullah
Taqwa adalah main point atau titik utama dalam pensyariatan puasa dalam ayat di atas. Maka, taqwa ini harus bisa diwujudkan dan direalisasikan, baik ketika menjalankan puasa selama bulan Ramadhan, atau setelah kita melalui bulan Ramadhan. Jadi, taqwa bukan hanya sekedar tujuan yang didapatkan di akhir, melainkan juga harus menyertai dalam proses menuju tujuan tersebut.

Oleh karenanya, puasa bukan hanya sekedar masalah tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan suami istri, atau pembatal puasa yang lainnya.

Namun, lebih jauh dari itu, puasa adalah menahan nafsu diri kita, baik secara lahir (yang tampak) ataupun bathin (yang tidak tampak atau ruhani). Bukan hanya makan minum yang kita tahan, namun sifat-sifat tercela hendaknya juga ditahan. Demikian pula dosa-dosa dan maksiat juga hendaknya kita jauhi. Sebagaimana dalam hadits yang shahih bahwa Rasulullah ﷺ bersabda;

و إذا كان يوم صوم أحدكم فلا يرفث و لا يصخب -و في رواية: و لا يجهل- فإن سابه أحد أو قاتله فليقل؛ إني صائم

“Jika salah seorang kalian berpuasa maka janganlah dia berhubungan suami istri atau berkata keji, dan juga berucap dengan yang tidak selayaknyanya -dan dalam satu riwayat: janganlah dia berbuat bodoh-. Lalu jika ada orang yang mencelanya atau memeranginya maka katakanlah; aku sedang puasa.” [HR. Bukhari (1894) dan Muslim (1151)]

Puasa, berarti juga menahan diri dari segala perangai dan sifat buruk dan tercela. Baik berupa kata-kata kotor, atau berteriak-teriak dengan sesuatu yang tidak layak secara adat istiadat masyarakat (ash-shokhb), demikian juga dengan perbuatan-perbuatan bodoh yang tidak ada faedah baik dunia maupun akhirat. Inilah yang disebutkan dalam hadits tersebut, yang mana mungkin sebagian orang merasa hal itu adalah hal yang tidak termasuk dosa, atau hal tersebut masuk dalam ranah penjagaan muru’ah atau martabat sebagai seorang muslim, namun sekali lagi, Ramadhan adalah madrasah olah jiwa dan raga bagi hamba. Maka hal tersebut pun dilarang, apalagi yang sifatnya adalah dosa dan kemaksiatan yang disepakati. Sebagaimana dalam hadits shahih bahwa Rasulullah ﷺ bersabda;

من لم يدع قول الزور و العمل به فليس لله حاجة بأن يدع طعامه و شرابه

“Siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh dari orang tersebut dari meninggalkan makan dan minumnya (puasa).” [HR.Bukhari (1903), Abu Dawud (2362), Tirmidzi (707) dan ini lafadz beliau]

Ma’asyiral Muslimin jamaah sidang jum’at rahimakumullah
Ketika bulan Ramadhan dan kita berpuasa, janganlah hanya memperhatikan dari sisi hukum fikih saja. Kita juga harus perhatikan sisi hikmah, suluk, tazkiyatun nafs, dan penyucian jiwa yang ada di dalamnya. Bukan hanya yang penting tidak makan minum dan berhubungan suami istri saja, namun juga tidak melakukan hal-hal yang berbau maksiat dan dosa meskipun itu kecil atau dipandang remeh di mata manusia. Dan inilah makna taqwa tersebut, dimana kita berusaha menghindari sejauh mungkin dari adzab dan murka Allah, dengan cara semakin mendekatkan diri kepada Allah ﷻ . Oleh karenanya Muhammad putra sayyidina Ali radhiyallahu anhu atau yang lebih dikenal dengan nama Muhammad ibn al-Hanafiyyah rahimahullah (w.80 H) berkata;

ليصم سمعك و بصرك و لسانك و بدنك فلا تجعل يوم فطرك مثل يوم صومك

“Hendaknya berpuasa (juga) pendengaranmu, penglihatanmu, lisanmu, dan badanmu. Maka, jangan kau samakan antara hari tidak berpuasa dengan hari yang kau berpuasa.” [Fadhoil Ramadhan, Ibn Abi Dunya, hal. 68]

أقول قولي هذا و أستغفر الله و لكم و لسائر المسلمين و المسلمات و المؤمنين و المؤمنات فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم

KHUTBAH KEDUA

الحمد لله الذي هدانا لهذا و ما كنا لنهتدي لو لا أن هدانا الله، ثم الصلاة و السلام على النبي المصطفى و آله و صحابته البررة. فيآ عباد الله اتقوا الله كما أمر به ربكم في تنزيله ﴿ يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته و لا تموتن إلا و أنتم مسلمون ﴾، أما بعد

Ma’asyiral Muslimin jamaah sidang jumat rahimakumullah
Akhirnya, kita adalah hamba yang lemah. Yang tidak memiliki daya dan upaya. Tidak memiliki sedikitpun kuasa. Hanya bisa memohon, meringkuh, merunduk, dan meminta kepada Allah ﷻ sebagai Pencipta dan Penguasa semesta. Agar, kita dijadikan hamba-hamba yang sadar dengan hakikat dirinya, hakikat puasanya, sehingga gelar taqwa bisa layak tersemat kepada dirinya.

إن الله و ملائكته يصلون على النبي يآيها الذين آمنوا صلوا عليه و سلموا تسليما، اللهم صل على محمد و على آل محمد و الحمد لله رب العالمين

اللهم اغفر للمسلمين و المسلمات و المؤمنين و المؤمنات الأحياء منهم و الأموات إنك قريب مجيب الدعوات يا قاضي الحاجات

اللهم ربنا ظلمنا أنفسنا و إن لم تغفر لنا و ترحمنا لنكونن من الخاسرين

اللهم هب لنا من أزواجنا و ذرياتنا قرة أعين و اجعلنا للمتقين إماما

اللهم أرنا الحق حقا و ارزقنا اتباعه و أرنا الباطل باطلا و ارزقنا اجتنابه

اللهم تقبل منا صيامنا و قيامنا و دعاءنا و ركوعنا و سجودنا و تضرعنا

اللهم أمنا في أوطاننا و أصلح ولاة أمورنا، اللهم سدد خطاهم و اهدهم إلى صراطك المستقيم

ربنا آتنا في الدنيا حسنة و في الآخرة حسنة و قنا عذاب النار

و صلى الله على سيدنا محمد و على آله و صحبه أجمعين و الحمد لله رب العالمين

أقيموا الصلاة . . .

_
Wallahu Ta'ala A'lam
13 Ramadhan 1443 HJombang Kota Santri
Abu Harits al-Jawi

Download pdf khutbah jumat disini

Senin, 11 April 2022

,

Pernah kejadiankah kita, ketika kita berpuasa Ramadhan di negeri kita, lalu kita pergi ke negara lain, ternyata disana masih belum mulai puasa. Atau ketika di negeri kita belum puasa, lalu kita pergi ke negeri lain dan ternyata sudah mulai puasa di hari itu. Atau mungkin ketika iedul fitri, dengan masalah yang sama seperti di atas. Maka disini, kami akan memberikan rincian pada masing-masing masalah dan juga bagaimana seharusnya yang dilakukan dari sudut kacamata fiqh madzhab Syafii.

Pertama, jika kita berada di suatu negeri yang belum masuk Ramadhan, lalu kita datang ke negeri yang sudah mulai puasa Ramadhan di hari itu. Maka, ketika kita datang, kita ikut tidak makan dan tidak minum bersama mereka, namun dianggap tidak puasa di hari itu. Seperti kemarin misalnya, di Saudi puasa hari Sabtu, sedang di Indonesia puasa hari Ahad. Kalau kita safar hari sabtu ke Saudi dan mencapai sana Sabtu sore sebelum tenggelam matahari misalnya, maka kita tetap menahan makan dan minum.


Dan jika kita tinggal di tempat tersebut hingga hari raya, maka wajib bagi kita mengqodho puasa satu hari yang kita baru datang ke tempat tersebut. Karena kita datang dalam kondisi tidak sedang puasa, sedangkan negeri tersebut telah puasa. Namun, jika kita hanya tinggal beberapa hari di negeri tersebut, lalu kembali ke negeri kita, maka tidak ada kewajiban qodho, dan ikut hari raya bersama kaum muslimin di negerinya.


Kedua, jika kita berada di negeri yang sudah puasa, lalu safar ke negeri yang belum berpuasa, maka kita juga ikut tidak berpuasa. Dan tidak ada kewajiban kita untuk qodho jika jumlah hari yang kita berpuasa adalah 29 atau 30 hari. Meski tinggal disana hingga akhir Ramadhan atau beberapa hari saja.


Ketiga, jika kita tinggal di negeri yang belum hari raya, kemudian safar ke negeri yang ketika sampai ternyata sudah berhari raya. Maka kita ikut berhari raya bersama mereka, namun dengan perincian. Jika jumlah puasanya hanya 28 hari saja maka dia ikut berhari raya dan wajib qodho sehari. Sepertu misal dia berangkat dari negerinya pagi tanggal 29 Ramadhan, lalu sampai di tujuan sore dan ternyata mereka sudah berhari raya pada hari itu. Maka dia pun membatalkan puasa dan ikut hari raya, dan wajib qodho karena puasa untuknya hanya 28 hari saja. Namun jika jumlahnya 29 atau 30 maka tidak ada kewajiban untuk qodho. Yaitu ketika dia berangkat di tanggal 30 Ramadhan.


Keempat, demikian pula jika di negerinya sudah tanggal 30 Ramadhan (hari terakhir puasa), lalu datang ke negeri yang mana besoknya masih puasa karena di hari itu masih tanggal 29 Ramadhan bagi mereka (karena di negeri itu belum melihat hilal Syawwal sedang mereka berpuasa dengan istikmal 30 Sya'ban). Maka dia juga ikut berpuasa esoknya bersama mereka, yang baginya itu adalah hari ke-31.


Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

"Puasa adalah hari yang kalian semua puasa, berhari raya adalah hari yang kalian semua berhari raya, hari raya kurban adalah hari yang kalian semua berkurban." [HR. Tirmidzi dalam Sunan-nya no.697]


Imam Tirmidzi mengomentari hadits di atas dan berkata;

فسر بعض أهل العلم هذا الحديث فقال إنما معنى هذا الحديث أن الصوم و الفطر مع الجماعة و عظم الناس

"Sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini yang maknanya bahwa puasa dan hari raya itu bersama dengan mayoritas masyarakat." [Sunan at-Tirmidzi, (Mesir : Darul Alamiyah), hadits no.697]


Berkata Imam Nawawi rahimahullah;

لو شرع في الصوم في بلد ثم سافر إلى بلد بعيد لم يروا الهلال حين رآه أهل البلد الأول فاستكمل ثلاثين من حين صام فإن قلنا لكل بلد حكم نفسه فوجهان أصحهما يلزمه الصوم معهم لأنه صار منهم ...

"Kalau seseorang memulai puasa di satu negeri, lantas safar ke negeri yang jauh yang mereka belum melihat hilal (hilal Ramadhan) ketika penduduk negeri pertama sudah melihat hilala, lalu mereka menyempurnakan hitungan Sya'ban 30 hari ketika orang tersebut sedang berpuasa. Maka jika dikatakan bahwa setiap negeri memiliki hukumnya masing-masing, ada dua wajh (pendapat madzhab); yang paling shahih orang tersebut harus ikut puasa bersama negeri yang dia safar kepadanya."
[Majmu' Syarh Muhadzdzab, (Mesir : Darul Alamiyah), (5/425)]


Intinya adalah, bahwa musafir mengikuti hitungan puasa negeri yang dia safar kepadanya, dan tidak ada kewajiban mengqodho puasa. Kecuali kalau ternyata jumlah hari yang dia berpuasa adalah 28 hari saja; karena tidak mungkin 1 bulan hijriyah memiliki 28 hari. [Mu'nisul Jalis Syarh al-Yaqut an-Nafis, Mushthofa Abu Hamzah asy-Syafii, (Mesir : Dar Tsamarot al-Ilmi), (1/412-413)]


Wallahu Ta'ala A'lam


Jombang kota santri
10 Ramadhan 1443 H / 12 April 2022 M
Abu Harits al-Jawi

Jumat, 08 April 2022

,

Baju yg berwarna merah maka ada beberapa perincian di sini.

a. Baju Merah Full Collor atau Bercorak
Yaitu baju yg warnanya hanya merah saja tanpa ada campuran warna lain. Maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Adapun dalam madzhab Syafii, dan juga madzhab yang lain adalah diperbolehkan, kecuali baju tersebut sudah menjadi ciri khas orang kafir atau orang fasiq.Dalilnya adalah hadits Al-Barra bin Azib ;

رَأَيتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ  فِي حُلَّةٍ حَمرَاءَ

" Aku melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam memakai baju merah."
[ HR. Bukhari & Muslim ]

Hullah adalah sejenis baju yang memiliki model double, ada bagian dalam dan ada bagian luar. Syaikh al-Baijuri (w.1277 H) berkata;

هذا الحديث صحيح احتج به إمامنا لحل لبس الأحمر و لو قانيا أي شديد الحمرة غير أنه يخص بلبسه أهل الفسق فحينئذ يحرم لبسه لأنه تشبه بهم (و من تشبه بقوم فهو منهم) 

"Hadits ini shahih, dan Imam Syafii berdalil dengannya tentang kebolehan memakai pakaian berwarna merah, meskipun merah yang kuat kemerahannya. Kecuali jika orang-orang fasik memakainya secara khusus, maka menjadi haram hukumnya karena menyerupai mereka (bukan karena warnanya -edt), dan dalam hadits ((Siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari mereka))."
[al-Mawāhib al-Ladunniyyah, Ibrahim al-Baijuri, Tahqiq Muhammad 'Awwamah, hal.33]

Adapun hadits Al-Barra bin Azib yang lain;

نهانا رسول الله صلى الله عليه و سلم عن المياثر الحمر

" Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang kami dari mayatsir merah.." 
[ HR. Bukhari ]

Mayatsir disini adalah kain untuk pelana yang biasanya orang 'ajam (non arab) dahulu membuatnya dari sutera, sebagaimana ucapan Abu Ubaid yang dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari;

المياثر الحمر كانت من مراكب العجم من حرير أو ديباج

"Mayatsir merah adalah (kain) digunakan untuk tunggangan orang non Arab (terbuat) dari sutera." [Fathul Bari]

Maka dari sini kita tahu, kemungkinan terkuat dari larangan di atas adalah karena bahannya bukan warna. Karena Nabi ﷺ sendiri memang melarang laki-laki memakai kain sutera. Adapun hadits Abdullah bin Amr bin Ash ;

 مَرَّ على النبي صلى الله عليه وسلم رجلٌ عليه ثوبان أحمران , فسلَّم عليه , فلم يرد عليه النبي صلى الله عليه و سلم

" Bahwasanya seseorang memakai melewati Nabi dengan memakai dua baju merah dan mengucapkan salam kepada beliau dan beliau tidak mau menjawabnya." 
[ HR. Tirmidzi ]

Maka disini Nabi ﷺ tidak menjawab salam, bukan berarti karena warna pakaian yang dipakai, namun bisa juga berkemungkinan lain. Misal, mungkin beliau dalam kondisi hadats atau yang semisal. Adapun atsar dari Ibnu Abbas ;

نهيت عن الثوب الأحمر و خاتم الذهب

" Aku dilarang memakai pakaian merah dan cincin emas.." 
[HR An-Nasaa'i]

Maka tentu boleh ini adalah madzhab dari seorang sahabat. Dan disini konteksnya adalah pandangan pribadi, karena menggunakan kata ganti bentuk tunggal (saya). Dan dalam kaidah madzhab, pendapat pribadi seorang sahabat dan bukan bentuk fatwa keumuman tidak bisa serta merta menjadi hujjah, apalagi disini bertentangan dengan perilaku Nabi ﷺ yang memakai baju merah. 

b. Baju Diwarnai Merah Dengan Mu'ashfar
Muashfar adalah sejenis tumbuhan khusus yg memunculkan warna merah. Maka ini adalah dilarang. Dalilnya hadits Abdullah bin Amr bin 'Ash ;

رَأَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَلَيَّ ثَوبَينِ مُعَصفَرَينِ فَقَالَ :
(( إِنَّ هَذِهِ مِن ثِيَابِ الكُفَّارِ فَلا تَلبَسهَا ))

"Bahwasanya Rasulullah melihatku memakai dua baju diwarnai dg muashfar maka beliau bersabda : " Ini adalah baju orang kafir, maka jangan memakainya."
[ HR. Muslim ]

Catatan : Adapun baju yg diwarnai dengan selain muashfar maka tidak masuk dalam pembahasan nomor 2 ini. Juga atsar dari sahabat Ali ;

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَن لُبسِ المُعَصفَرِ

" Bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang memakai baju yg diwarnai dg muashfar."
[ HR.Muslim ]

BAJU KUNING
Adapun baju warna kuning maka yg dilarang adalah warna kuning yg berasal dari za'faran. Adapun warna kuning selain dari za'faran maka boleh. selainnya maka boleh saja. Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik ;

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَن يَتَزَعفَرَ الرَّجُلُ

" Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang memakai za'faran ( untuk mewarnai bajunya )."

Berkata Imam Nawawi Asy-Syafi'i ;

يجوز لبس الثوب الأبيض والأحمر والأصفر والأخضر والمخطط وغيرها من ألوان الثياب ، ولا خلاف في هذا ولا كراهة في شيء منه

" Boleh memakai baju putih, merah, kuning, hijau, yg berjahit dan warna selainnya tanpa ada perbedaan dan kemakruhan."
[ Kitab Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab ]

Wallahu Ta'ala A'lam

Mojokerto, 7 Dzulhijjah 1439 H
Abu Harits al-Jawi

Rabu, 06 April 2022

,
Berikut kami akan sebutkan beberapa hadits dan riwayat yang berhubungan dengan jumlah rakaat dalam shalat malam, yang mana juga berhubungan dengan jumlah rakaat shalat tarawih.

Pertama, adalah hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, dimana didalamnya disebutkan tentang jumlah rakaat shalat malam yang Nabi ﷺ shalat yaitu 13 rakaat (dengan asumsi witir satu rakaat);

فصلى ركعتين ثم ركعتين ثم ركعتين ثم ركعتين ثم ركعتين ثم ركعتين ثم أوتر

"... Lalu beliau shalat dua rakaat lalu dua rakaat lalu dua rakaat lalu dua rakaat lalu dua rakaat lalu dua rakaat lalu witir (mengganjilkannya)... "
[HR. Tirmidzi dalam Syamailnya no. 265]

Asumsi shalat Nabi ﷺ di atas adalah 13 rakaat, diperkuat dengan riwayat lain dari sahabat Ibnu Abbas juga, dimana beliau berkata;

كان النبي صلى الله عليه و سلم يصلي من الليل ثلاث عشرة ركعة

"Adalah Nabi ﷺ beliau shalat malam tiga belas rakaat."
[HR. Tirmidzi dalam Syamailnya no. 266]

Kedua, hadits Zaid ibn Kholid al-Juhaniy radhiyallahu anhu yaitu tiga belas rakaat juga, dimana beliau mengatakan;

... فصلى رسول الله صلى الله عليه و سلم ركعتين خفيفتين ثم صلى ركعتين طويلتين طويلتين طويلتين ثم صلى ركعتين و هما دون اللتين قبلهما ثم صلى ركعتين و هما دون البتين قبلهما ثم صلى ركعتين و هما دون اللتين قبلهما ثم صلى ركعتين و هما دون اللتين قبلهما ثم أوتر فذلك ثلاث عشرة ركعة

"... Lalu Nabi ﷺ shalat dua rakaat ringan, kemudian shalat dua rakaat panjang, panjang, panjang. Lalu beliau shalat dua rakaat yang lebih pendek dari sebelumnya, lalu beliau shalat dua rakaat yang lebih pendek dari sebelumnya, lalu beliau shalat dua rakaat yang lebih pendek dari sebelumnya, lalu beliau shalat dua rakaat yang lebih pendek dari sebelumnya, lalu beliau witir. Dan jumlahnya adalah tiga belas rakaat."
[HR. Tirmidzi dalam Syamailnya no. 269]

Ketiga, hadits Aisyah radhiyallahu anha, yaitu sebelas rakaat beliau berkata;

ما كان رسول الله ليزيد في رمضان و لا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعا لا تسأل عن حسنهن و طولهن ثم يصلي أربعا لا تسأل عن حسنهن و طولهن ثم يصلي ثلاثا... 

"Tidaklah Nabi ﷺ menambah (jumlah rakaat) disaat bulan Ramadhan atau selainnya melebihi sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat dan jangan tanya bagaimana bagusnya dan panjangnya shalat beliau, lalu shalat empat rakaat dan jangan tanya bagaimana bagusnya dan panjangnya shalat beliau. Lalu beliau shalat tiga rakaat..."
[HR. Tirmidzi dalam Syamailnya no. 270]

Namun dalam riwayat yang lain, sayyidah Aisyah pernah menuturkan bahwa Nabi juga pernah shalat sembilan rakaat. Beliau berkata;

كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يصلي من الليل تسع ركعات

"Adalah Nabi ﷺ shalat malam sembilan rakaat."
[HR. Tirmidzi dalam Syamailnya no. 273]

Jikalau ada yang mengatakan, bahwa kemungkinan hadits Aisyah yang sembilan rakaat belum termasuk witir, maka anggapan ini marjuh (lemah), karena sembilan itu sudah masuk hitungan witir (ganjil). 

Keempat, tarawih di zaman khilafah Umar radhiyallahu anhu, yaitu sebelas rakaat, dan dalam riwayat lain dua puluh tiga rakaat. Sebagaimana dalam riwayat as-Saib ibn Yazid beliau berkata;

أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، وَكَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِيِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ، وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلَّا فِي فُرُوعِ الْفَجْرِ

"Umar ibn al-Khoththob memerintahkan Ubay ibn Ka'ab dan Tamim ad-Dāri radhiyallahu anhum untuk mengimami manusia sebanyak sebelas rakaat. Dan disitu dibacakan ratusan ayat, hingga kami bertumpu pada tongkat karena begitu lamanya waktu berdiri, dan kami tidak selesai kecuali dekatnya waktu fajar."
[HR. al-Baihaqi dalam Sunan Kubro-nya (2/698)]

Adapun riwayat Yazid ibn Ruman, maka tarawih di zaman Umar adalah dua puluh tiga rakaat. Beliau berkata;

كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي رَمَضَانَ بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً

"Bahwa manusia shalat malam (tarawih) di zaman Umar radhiyallahu anhu saat Ramadhan sebanyak dua puluh tiga rakaat."
[HR. al-Baihaqi dalam Sunan Kubro-nya (2/699)]

Disini, Imam al-Baihaqi asy-Syafii (w. 458 H) mendudukkan dari riwayat jumlah rakaat yang berbeda di zaman Umar radhiyallahu anhu, dimana beliau berkata;

وَيُمْكِنُ الْجَمْعُ بَيْنَ الرِّوَايَتَيْنِ، فَإِنَّهُمْ كَانُوا يَقُومُونَ بِإِحْدَى عَشْرَةَ، ثُمَّ كَانُوا يَقُومُونَ بِعِشْرِينَ وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثٍ، وَاللهُ أَعْلَمُ

"Dan mungkin untuk dikompromikan diantara dua riwayat di atas, bahwa pada awalnya memang tarawih di zaman Umar dilaksanakan sebanyak sebelas rakaat. Kemudian mereka merubah menjadi dua puluh tiga rakaat. Wallahu A'lam."
[Sunan Kubro, al-Baihaqi, (2/699)]

Dari pemaparan berbagai riwayat dia atas kita akan tahu, bahwa ternyata jumlah rakaat dalam shalat malam (termasuk shalat tarawih) itu bermacam-macam. Bahkan sulit untuk menentukan bahwa jumlah ini lebih sunnah dari jumlah itu. Misal, seorang mengatakan yang lebih sunnah adalah sebelas rakaat, karena berpedoman pada hadits Aisyah. Maka bisa dijawab, bahwa riwayat dari sayyidah Aisyah sendiri pun ada yang mengatakan Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat malam hanya sembilan rakaat. Oleh karenanya, yang menarik adalah kesimpulan dari Mbah Fadhol Senori Tuban (w. 1989 M) dalam kitab beliau Kasyfut Tabārih, dimana beliau berkata;

و لما كانت تلك الأحاديث متعارضة و محتملة للتأويل لم يقم بها الحجة في إثيات ركعات التراويح لتساقطها فعدلنا عن الاستدلال بها إلى الدليل القاطع و هو الإجماع و هو إجماع المسلمين في زمن عمر رضي الله عنها على فعلها عشرين

"Dan ketika hadits-hadits tersebut saling bertentangan dan berkemungkinan untuk ditakwilkan, maka tidak bisa begitu saja menjadi hujjah karena satu sama lain saling menjatuhkan. Maka kami (Syafi'iyyah) pun tidak mengambilnya sebagai dalil dan kami berpindah pada dalil lain yang pasti (qothi'). Yaitu ijma', kesepakatan kaum muslimin di zaman Umar radhiyallahu anhu dimana tarawih dikerjakan dua puluh rakaat (belum termasuk witir -edt)."
[Kasyfut Tabarih fi Bayan Shalat at-Tarawih, Abul Fadhl as-Sinnūri ath-Tubani]

Beliau juga menyebutkan suatu kaidah;

إذا طرأ الإحتمال على وقائع الأحوال كساها ثوب الإجمال و سقط بها الاستدلال

"Jika terjadi kemungkinan pada bagian-bagian peristiwa maka dianggapkan dia suatu yang mujmāl (masih umum butuh pada bayan atau penjelasan lebih lanjut -edt), dan dia (yang mujmal) tidak bisa dijadikan landasan dalam berdalil."
[Idem]

Kesimpulan, bahwa dalam masalah jumlah rakaat shalat tarawih, memang ada khilaf. Oleh karenanya mari kita saling berlapang dada untuk menyikapi perbedaan ini.

Wallahu Ta'ala A'lam

Kota santri Jombang
5 Ramadhan 1443 H / 7 April 2022 M
Abu Harits al-Jawi

Sabtu, 02 April 2022

,
Cara mengetahui masuknya bulan Syawwal adalah dengan melihat hilal secara langsung di tanggal 29 Ramadhan, jika terlihat maka besok adalah 1 Syawwal dan masuk hari raya. Jika tidak maka bulan Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari. Dan pembahasan ini sudah kami jelaskan di pembahasan tentang awal penentuan bulan Ramadhan. 

TAKBIR MALAM IED

Disunnahkan untuk bertakbir di malam hari raya. Allah Ta’ala berfirman ;

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ

“ Dan hendaklah kalian sempurnakan hitungannya dan bertakbir atas hidayah Allah..” [QS Al-Baqarah : 185]

Berkata Imam Ibnu Katsir ;

وَلِهَذَا أَخَذَ كَثِيرٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ مَشْرُوعِيَّةَ التَّكْبِيرِ فِي عِيدِ الْفِطْرِ مِنْ هَذِهِ الْآيَةِ: {وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ}

“ Oleh karenanya banyak para ulama yang berpendapat akan disyariatkannya bertakbir di iedul fitri karena ayat ini ( Dan hendaklah kalian sempurnakan hitungannya dan bertakbir atas hidayah Allah ).” [Tafsir Ibn Katsir ( I/505 )]

Imam Syafi’I mengatakan ;

فَإِذَا رَأَوْا هِلَالَ شَوَّالٍ أَحْبَبْتُ أَنْ يُكَبِّرَ النَّاسُ جَمَاعَةً، وَفُرَادَى فِي الْمَسْجِدِ وَالْأَسْوَاقِ، وَالطُّرُقِ، وَالْمَنَازِلِ، وَمُسَافِرِينَ، وَمُقِيمِينَ فِي كُلِّ حَالٍ، وَأَيْنَ كَانُوا، وَأَنْ يُظْهِرُوا التَّكْبِيرَ، وَلَا يَزَالُونَ يُكَبِّرُونَ حَتَّى يَغْدُوَا إلَى الْمُصَلَّى، وَبَعْدَ الْغُدُوِّ حَتَّى يَخْرُجَ الْإِمَامُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ يَدَعُوا التَّكْبِيرَ

“ Dan jika manusia melihat hilal disunnahkan bagi manusia untuk bertakbir, sendiri-sendiri ataupun berjamaah. Di masjid, di pasar, di jalan-jalan, di rumah, orang-orang yang safar dan yang mukim di segala kondisi dan dimanapun berada. Dan hendaknya mereka menampakkan takbir, dan takbir berlanjut hingga pergi ke sholat ied hingga imam keluar untuk sholat dan menyeru manusia untuk bertakbir.” [Al-Umm ( I/264 )]

SHOLAT IEDUL FITRI

1. Hukumnya adalah sunnah muakkad, dan disyariatkan secara berjamaah. Sebagaimana hadits Abu Said al-Khudriy yang marfu’ ;

كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يخرج يوم الفطر و الأضحى إلى المصلى فأول ما يبدأ به الصلاة ثم ينصرف فيكون مقابل الناس و الناس جلوس على صفوفهم فيعظهم و يأمرهم فإن كان يريد أن يقطع بعثا قطعه أو يأمر بشيء أمر به ثم ينصرف

“ Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam keluar pada iedul fitri dan iedul adha ke tempat sholat, dan hal yang pertama beliau lakukan adalah sholat kemudian berpaling menghadap manusia dan manusia duduk di atas shaf mereka kemudian beliau menasehati mereka dan memerintahkan mereka. Jika beliau ingin mengirim suatu utusan beliau mengirimnya atau memerintahkan suatu hal beliau memerintahkannya kemudian beliau berpaling ( pulang ).” [HR. Bukhari]

Dan disunnahkan pula bagi wanita yang berhalangan -haidh- untuk hadir di belakang shaf sholat dan ikut bertakbir. Berdasarkan hadits Ummu Athiyyah ;

... حتى نخرج الحيض فيكن خلف الناس فيكبرن بتكبيرهم و يدعون بدعاءهم...

“ … hingga kami pun mengeluarkan para wanita haidh dan memberi tempat mereka di belakang shaf dan mereka bertakbir dan ikut mengamini..” [HR. Bukhari dan Muslim]

2. Sholat tidak diawali dengan adzan ataupun iqamah, dan khutbah dilakukan setelah sholat. Sebagaimana atsar dari sahabat Ibnu Abbas dan Jabir ibn Abdillah;

لم يكن يؤذن يوم الفطر و لا يوم الأضحى

“ Tidaklah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adzan di iedul fitri atau iedul adha.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Dan dari Ibn Abbas ;

أنه أرسل إلى ابن زبير في أول ما بويع له : إنه لم يكن يؤذن بالصلاة يوم الفطر و إنما الخطبة بعد الصلاة

“ Bahwasanya beliau -Ibn Abbas- mengirim utusan kepada Ibnu Zubair di awal masa pembaiatannya ; bahwasanya tidak ada adzan di sholat iedul fitri dan khutbah setelah sholat.” [HR. Bukhari dan Muslim]
 
3. Dan waktunya yang afdhal adalah ketika meningginya matahari seukuran tombak (kurang lebih 30 menit sampai 1 jam setelah terbitnya matahari). Dan boleh dikerjakan di tanah lapang ataupun dalam bangunan.

4. Tata caranya ; sholat dilaksanakan dua rakaat dengan sekali salam seperti sholat shubuh. Di rakaat pertama bertakbir sebanyak 7 takbir selain takiratul ihram, dan di rakaat kedua bertakbir sebanyak 5 kali selain takbir intiqal ( takbir perpindahan dari sujud ke berdiri rakaat kedua ). Kemudian berkhutbah seperti khutbah jum’at. Yaitu dengan 2 kali khutbah. Sebagaimana atsar yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’I dan musnadnya dari Abdullah ibn Atabah ;

السنة أن يخطب الإمام في العيدين خطبتين يفصل بينهما بجلوس

“ Sunnahnya adalah imam berkhutbah di dua sholat ied dua kali khutbah yang dipisahkan dengan duduk.” [Musnad Imam Asy-Syafi’I hal.77]

Wallahu Ta'ala A'lam
Disadur dari buku Fiqh Ramadhan
Karya Abu Harits al-Jawi