Minggu, 10 Maret 2024

,

Dianjurkan bagi orang yang berpuasa untuk berdoa saat berbuka, seperti yang diriwayatkan dalam kitab Al-Majmu':


اﻟﻠﻬﻢ ﻟﻚ ﺻﻤﺖ ﻭﻋﻠﻰ ﺭﺯﻗﻚ ﺃﻓﻄﺮﺕ

"Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka."

Abu Dawud meriwayatkan dari Mu'adz bin Zuhrah secara mursal, beliau berkata:

ﺇﻥ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻥ ﺇﺫا ﺃﻓﻄﺮ ﻗﺎﻝ: اﻟﻠﻬﻢ ﻟﻚ ﺻﻤﺖ ﻭﻋﻠﻰ ﺭﺯﻗﻚ ﺃﻓﻄﺮﺕ.

"Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ketika berbuka puasa, beliau mengucapkan: Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka."

Dalam kitab At-Tuhfah disebutkan bahwa tidak mengapa doa ini diamalkan walaupun derajatnya mursal karena termasuk dalam bab فضائل (keutamaan), dan dalam riwayat lain doa ini bersambung sanadnya.

Di dalam Sunan Abu Dawud dan An-Nasa'i, dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhu diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ketika berbuka puasa, beliau mengucapkan:

ﺫﻫﺐ اﻟﻈﻤﺄ ﻭاﺑﺘﻠﺖ اﻟﻌﺮﻭﻕ ﻭﺛﺒﺖ اﻷﺟﺮ ﺇﻥ ﺷﺎء اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ.

"Telah hilang rasa haus, dan urat-urat telah basah, dan pahala telah tetap, insya Allah Ta'ala."

Di dalam Ibnu Majah, dari Ibnu Umar bin Al-'Ash Radhiyallahu 'Anhu diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

ﺇﻥ ﻟﻠﺼﺎﺋﻢ ﻋﻨﺪ ﻓﻄﺮﻩ ﺩﻋﻮﺓ ﻣﺎ ﺗﺮﺩ

"Sesungguhnya orang yang berpuasa memiliki doa yang tidak ditolak ketika berbuka."

Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma ketika berbuka puasa, beliau mengucapkan:

اﻟﻠﻬﻢ ﺑﺮﺣﻤﺘﻚ اﻟﺘﻲ ﻭﺳﻌﺖ ﻛﻞ ﺷﺊ اﻏﻔﺮ ﻟﻲ

"Ya Allah, dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu, ampunilah aku."

Jika berbuka puasa bersama orang lain, dianjurkan untuk mengucapkan doa berikut, doa ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya dari Anas Radhiyallahu 'Anhu bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam datang kepada Sa'ad bin 'Ubadah, lalu beliau disuguhkan roti dan minyak.

Kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam makan dan berkata:

ﺃﻓﻄﺮ ﻋﻨﺪﻛﻢ اﻟﺼﺎﺋﻤﻮﻥ ﻭﺃﻛﻞ ﻃﻌﺎﻣﻜﻢ اﻷﺑﺮاﺭ ﻭﺻﻠﺖ ﻋﻠﻴﻜﻢ الملائكة

"Orang-orang yang berpuasa telah berbuka bersama kalian, dan orang-orang yang baik telah memakan makanan kalian, dan semoga para malaikat mendoakan kalian."

Doa ini diucapkan setelah berbuka puasa, sebagaimana disebutkan dalam kitab At-Tuhfah, Al-Mughni, dan An-Nihayah.

Wallahu A’lam

-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4903)

✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc
,

Diharamkan bagi orang yang berpuasa wajib untuk berciuman jika merangsang syahwatnya hingga ia takut akan keluar maninya atau bisa menarik kepada hubungan badan.


Sedangkan untuk puasa sunnah, maka tidak haram, karena dia berhak membatalkan puasanya kapan pun yang dia mau, sebagaimana pendapat Ar-Ramli.

Jika dia tidak takut akan keluar mani atau tidak khawatir terjadi hubungan badan, maka hal itu makruh baginya, demikian pula dihukumi makruh jika dia khawatir dzakarnya akan berdiri atau akan keluar cairan madzi.

Mirip dengan kasus ciuman dalam hal ini adalah setiap sentuhan pada bagian tubuh mana pun tanpa ada penghalang, seperti disebutkan dalam kitab At-Tuhfah.

Sebab Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam, memberi keringanan bagi orang yang sudah tua, tetapi tidak bagi yang muda, dan beliau menjelaskan bahwa yang tua itu bisa mengontrol syahwatnya, berbeda dengan yang masih muda.

Maka dari alasan ini dapat dipahami bahwa hukum larangan tersebut tergantung pada naiknya syahwat yang ditakutkan akan terjadi ejakulasi atau bisa menarik pada hubungan badan ataukah tidak.

Wallahu A’lam

-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4901)

✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc
,

1. Bius Lokal


Jika bius diberikan di bagian tubuh tertentu seperti tangan atau kaki, maka puasanya tetap sah. Hal ini karena akalnya masih sadar dan suntikan bius tidak membatalkan puasa. Hukumnya sama dengan menusuk tangan dengan pisau, yang tidak membatalkan puasa, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Majmu'.

Begitu pula dengan bahan-bahan bius yang terkandung di dalamnya, tidak membatalkan puasa.

2. Bius Total

Jika bius total dan berlangsung sepanjang hari, maka puasanya batal. Hal ini karena pingsan yang berlangsung sepanjang hari membatalkan puasa. Berbeda jika ia sadar sejenak di siang hari, maka puasanya tidak batal.

Wallahu A’lam

-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4900)
✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc
,

Bolehkah orang lain yang bukan keluarga dekat berpuasa untuk orang yang sudah meninggal?


Jawabannya: Boleh, dalam dua keadaan:

1. Orang yang meninggal berwasiat agar orang lain yang bukan keluarga dekat berpuasa untuknya.

2. Wali yang sudah dewasa dan berakal sehat mengizinkan orang lain yang bukan keluarga dekat untuk berpuasa untuk orang yang meninggal.

Wali yang mengizinkan tidak harus rusyd (pandai). Boleh juga wali yang safih (kurang pandai) seperti yang dikuatkan dalam kitab "at-Tuhfah".

Hal ini karena orang tersebut sudah dianggap mampu melakukan ibadah.

Di luar dua keadaan tersebut, puasa yang dilakukan oleh orang lain yang bukan keluarga dekat tidak sah. Hal ini karena tidak ada dalil yang mendasarinya.

Wallahu A’lam

-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dengan beberapa penyesuaian dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4894)

✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc
,

Jika tiga puluh orang kerabat mendiang (si mayit) berpuasa menggantikannya dalam satu hari, maka itu sah.


Hal ini dibahas dalam kitab Al-Majmu' dan disepakati oleh para ulama, dan banyak ulama selain Imam Nawawi yang beranalogi dengan kasus di mana seseorang memiliki hutang haji Islam (haji pertamanya), haji nazar, dan haji qadha.

Jika dia menyewa tiga orang untuk melaksanakannya dalam satu tahun, maka itu sah.

Pendapat ini dianut oleh Ibnu Hajar, Al-Khatib, dan Ar-Ramli.

Tidak ada perbedaan dalam hal bolehnya mereka berpuasa dalam satu hari, baik mendiang memiliki kewajiban puasa berurutan (seperti puasa kafarat-pen) atau tidak.

Hal ini karena kewajiban puasa berurutan hanya berlaku bagi mendiang, dan tidak berlaku bagi kerabatnya. Hal ini dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Imdad dan Al-I'ab sedangkan Ar-Ramli dalam An-Nihayah.

Wallahu A’lam

-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4893)

✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc

Sabtu, 09 Maret 2024

,

Jawaban:


Setiap orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang meninggal boleh menggantikan puasanya, meskipun bukan ahli waris.

Yang dimaksud dengan wali di sini bukan wali dalam hal harta, yaitu ayah dan kakek, melainkan wali dalam arti umum.

Oleh karena itu, perempuan pun boleh menggantikan puasa orang yang meninggal.

Hal ini berdasarkan hadits Muslim, di mana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada seorang perempuan yang berkata,

ﺇﻥ ﺃﻣﻲ ﻣﺎﺗﺖ ﻭﻋﻠﻴﻬﺎ ﺻﻮﻡ ﻧﺬﺭ ﺃﻓﺄﺻﻮﻡ ﻋﻨﻬﺎ؟  قال: ﺻﻮﻣﻲ ﻋﻦ ﺃﻣﻚ.

"Ya Rasulullah, ibuku meninggal dunia dan dia memiliki nazar puasa. Apakah aku boleh menggantikan puasanya?"

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, "Ya, gantikanlah puasanya."


Dijelaskan dalam kitab al-Majmu',

ﻭﻫﺬا ﻳﺒﻄﻞ اﺣﺘﻤﺎﻝ ﻭﻻﻳﺔ اﻟﻤﺎﻝ ﻭاﻟﻌﺼﻮﺑﺔ

"Hadits ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan wali di sini bukan wali dalam hal harta dan ahli waris."

Hal ini juga diperkuat dengan tidak adanya pertanyaan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengenai apakah perempuan itu merupakan ahli waris atau bukan.

Ini menunjukkan bahwa syarat untuk menggantikan puasa orang yang meninggal adalah memiliki hubungan kekerabatan, bukan menjadi ahli waris sebagaimana pendapat Ar-Ramli.

Wallahu A’lam

-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4892)

✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc
,

Seseorang meninggal dunia dan masih memiliki utang puasa. Utang puasa tersebut ada karena beberapa kemungkinan:


1. Meninggalkan puasa karena udzur (halangan syar'i) dan sempat memiliki kesempatan untuk menggantinya namun tidak melakukannya.

2. Meninggalkan puasa tanpa udzur dan meninggal sebelum menggantinya.

Maka dalam dua kondisi tersebut diambilkan dari harta peninggalan si mayit untuk setiap hari yang ditinggalkan satu mud makanan pokok.

Berdasarkan hadits Tirmidzi yang dinilai shahih oleh beliau tapi hanya sampai derajat mauquf kepada sahabat Ibnu Umar:

ﻣﻦ ﻣﺎﺕ ﻭﻋﻠﻴﻪ ﺻﻴﺎﻡ ﺷﻬﺮ ﻓﻠﻴﻄﻌﻢ ﻋﻨﻪ ﻣﻜﺎﻥ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ

"Barangsiapa yang meninggal dunia dan masih memiliki utang puasa sebulan, maka hendaknya ahli warisnya memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan."

dan dinukil oleh Al-Mawardi ijma' sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Syarat Makanan Fidyah:

Makanan yang diberikan adalah makanan pokok yang biasa dikonsumsi di daerah tersebut.

Boleh juga bagi ahli waris menurut madzhab qadim -bahkan itu juga merupakan madzhab jadid (baru) karena Imam Syafii menggantungkan pendapatnya terhadap keshahihan haditsnya- untuk menggantikan puasanya (si mayit-pen) atas dasar hadits shahih Bukhari & Muslim:

ﻣﻦ ﻣﺎﺕ ﻭﻋﻠﻴﻪ ﺻﻴﺎﻡ ﺻﺎﻡ ﻋﻨﻪ ﻭﻟﻴﻪ

"Barangsiapa yang meninggal dunia dan masih memiliki utang puasa, maka walinya yang menggantikan puasanya."

Apakah wajib bagi ahli waris untuk menggantikan puasa atau membayar fidyah si mayit?

Dilihat:

1. Jika orang yang meninggal meninggalkan harta warisan, maka ahli warisnya wajib memilih salah satu: mengganti puasanya atau memberi makan orang miskin.

2. Sunnah: Jika orang yang meninggal tidak meninggalkan harta warisan, maka mengganti puasanya atau memberi makan orang miskin adalah sunnah bagi ahli warisnya.

Catatan:

Pilihan ini hanya berlaku jika si mayit muslim. Jika orang yang meninggal murtad sebelum mengganti puasanya, maka ahli warisnya tidak boleh mengganti puasanya.

Yang wajib dilakukan adalah memberi makan orang miskin, sebagaimana disebutkan dalam kitab An-Nihayah oleh Ar-Ramli, dan diisyaratkan Ibnu Hajar dalam At-Tuhfah.

Wallahu A’lam

-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4891)

✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc
,

Terdapat beberapa kondisi yang berkaitan dengan orang tua lansia yang tidak mampu berpuasa karena usianya:


Pertama:

Jika orang tua lansia masih memiliki akal sehat dan tidak mampu berpuasa karena usianya, maka dia tidak wajib berpuasa. Namun, dia diwajibkan untuk mengeluarkan fidyah sebesar satu mud makanan untuk setiap hari yang ditinggalkan.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala:

وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين

"Dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya (puasa) wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin." (QS. Al-Baqarah: 184)

Kedua:

Jika orang tua lansia sudah tidak memiliki akal sehat (sering pikun, sering mengigau tidak jelas-pen), maka dia tidak diwajibkan untuk berpuasa ataupun membayar fidyah karena dia tidak dibebani dengan kewajiban agama.

Para ulama Zabid (nama daerah di Yaman-pen) memiliki ungkapan indah yang kami hafal dalam menjelaskan hal ini dan hal-hal serupa, yaitu:

إذا سلب ما وهب سقط ما وجب

"Jika apa yang dikaruniakan (akal) telah hilang, maka gugurlah apa yang diwajibkan (puasa)."

Ketiga:

Jika akal sehat orang tua lansia datang dan pergi, maka jika dia memiliki akal sehat selama satu hari penuh, dia diwajibkan untuk mengeluarkan fidyah sebesar satu mud makanan untuk hari itu karena dia tidak mampu berpuasa.

Namun, jika dia mengalami pikun meskipun hanya di sebagian waktu hari itu, maka dia tidak diwajibkan untuk melakukan apa-apa. Hal ini karena salah satu syarat wajibnya puasa adalah orang tersebut memiliki akal sehat sepanjang hari.

Wallahu A’lam

-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4890)

✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc
,

Hukum sisa makanan di sela gigi dan langit-langit mulut terbagi menjadi beberapa kondisi:


1. Sengaja Ditelan

Jika seseorang sengaja menelan sisa makanan tersebut, maka puasanya batal.

2. Terbawa Air Liur tanpa Disengaja

Jika sisa makanan terbawa air liur secara alami tanpa disengaja, dan orang tersebut mampu mengeluarkannya, namun membiarkannya hingga tertelan bersama air liur, maka puasanya juga batal.

3. Terbawa Air Liur tanpa Disengaja dan Tidak Mampu Dikeluarkan

Jika sisa makanan terbawa air liur tanpa disengaja dan orang tersebut tidak mampu membedakan dan mengeluarkannya, maka puasanya tidak batal karena ia dianggap berhalangan (udzu) dan tidak lalai.

Waktu Penentuan Ketidakmampuan

Menurut Ibnu Hajar, waktu yang dipertimbangkan untuk menentukan ketidakmampuan membedakan dan mengeluarkan sisa makanan adalah pada siang hari meskipun dia mampu mengeluarkannya pada malam hari sebelumnya..

Namun, Syekh Syihab al-Ramli berfatwa bahwa waktu yang dipertimbangkan adalah ketika sisa makanan tersebut terbawa air liur. Jika orang tersebut sebelumnya (pada siang hari) mampu mengeluarkannya dari sela giginya, namun tidak melakukannya, maka puasanya batal.

Membersihkan Gigi di Malam Hari

Dalam kitab Buysra al-Karim membahas pertanyaan:

ﻭﻫﻞ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ أن ينظف ويخلل أسنانه ﻟﻴﻼ ﺇﺫا ﻋﻠﻢ ﺟﺮﻱ ﺭﻳﻘﻪ ﺑﻤﺎ ﺑﻴﻦ ﺃﺳﻨﺎﻧﻪ ﻧﻬﺎﺭا، ﻭﻻ ﻳﻤﻜﻨﻪ اﻟﺘﻤﻴﻴﺰ ﻭاﻟﻤﺞ؟

Apakah seseorang wajib membersihkan dan membersihkan giginya di malam hari jika dia mengetahui bahwa air liurnya membawa sisa makanan di antara giginya pada siang hari, dan dia tidak dapat membedakan dan mengeluarkannya?

ظاهر إطلاقهم لا يجب ﻭﻳﻮﺟﻪ ﺑﺄﻧﻪ ﻳﺨﺎﻃﺐ ﺑﺎﻟﺘﻤﻴﻴﺰ ﻭاﻟﻤﺞ ﻋﻨﺪ اﻟﻘﺪﺭﺓ ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ ﺣﺎﻝ اﻟﺼﻮﻡ ﻻ ﻗﺒﻠﻪ ﻟﻜﻦ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﺘﺄﻛﺪ ﺫﻟﻚ ﻟﻴﻼ ﺧﺮﻭﺟﺎ ﻣﻦ ﺧﻼﻑ ﻣﻦ ﻗﺎﻝ: ﺇن ﻟﻢ ﻳﺘﺨﻠﻞ ﺃﻓﻄﺮ

Berdasarkan pernyataan para ulama, tampaknya tidak wajib. Hal ini dapat dipahami karena orang tersebut diperintahkan untuk membedakan dan mengeluarkan sisa makanan ketika mampu melakukannya pada saat puasa, bukan sebelumnya.



Wallahu A'lam
-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4889)

✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc
,

Bagi mereka yang tidak mampu berpuasa karena sakit kronis yang tidak ada harapan sembuh atau karena usia tua, wajib membayar fidyah berdasarkan ayat:


وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين

"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (puasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin."

(QS. Al-Baqarah: 184)

Jika seseorang tidak mampu membayar fidyah, apakah kewajiban fidyah itu tetap melekat pada dirinya dan harus dibayarkan ketika dia mampu, atau gugur sama sekali?

Dua Pendapat:

1. Pendapat yang dipegang oleh Nawawi dalam Al-Majmu' dan disepakati oleh Ibnu Hajar:

Fidyah gugur karena orang tersebut tidak mampu saat kewajiban itu muncul diqiyaskan dengan kewajiban zakat fitrah, karena dia tidak mampu membayar pada saat diwajibkan untuknya (maka gugur kewajiban zakat fitrah-pen).

Fidyah tidak dianalogikan dengan denda atas suatu pelanggaran.

2. Pendapat yang dipegang oleh Ramli dan Khatib, dan merupakan pendapat yang dikemukakan dalam kitab Al-Minhaj:

Fidyah tetap melekat pada orang tersebut dan tidak disyaratkan kemampuan untuk membayarnya.

Syaikhnya Syekh saya, Al-Allamah Muhsin Bu Nami, merangkum khilaf ulama ini dalam sebuah syair:

مد لكل يوم منه إن فطر
في حين يسره لدى إبن حجر

"Satu mud fidyah untuk setiap hari bagi yang berbuka puasanya, Jika mampu, menurut Ibnu Hajar.

ولا عليه فدية إذ يعسر
في حالة التكليف ذاك يعذر

Dan tidak ada fidyah atas dia jika tidak mampu, Saat kewajiban itu muncul, dia dimaafkan.

وصحح الرملي والخطيب
خلاف ما قرره الأريب

Pendapat Ramli dan Khatib berbeda, berlawanan dengan apa yang diputuskan oleh Ibnu Hajar.

فتجب الفدية في الإعسار
بذمة الفقير للإيسار

Maka fidyah wajib dibayarkan saat miskin, Sebagai tanggungan orang fakir untuk dilunasi saat kaya."

Wallahu A'lam

-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4888)

✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc
,

Orang yang meninggal sebelum mengganti puasanya memiliki beberapa kondisi:


Pertama:
Meninggal setelah melewatkan puasa Ramadhan dengan alasan yang sah (udzur) dan memiliki kesempatan untuk menggantinya, seperti tidak sedang bepergian, tidak sakit, dan tidak pikun.

Orang ini berdosa dan diwajibkan mengganti setiap hari satu mud dari harta yang ditinggalkannya, atau dipuasakan atas namanya menurut mazhab lama (qadim).

Kedua:
Meninggal setelah melewatkan puasa Ramadhan dengan alasan yang sah dan tidak memiliki kesempatan untuk menggantinya,seperti meninggal setelah Ramadan, nazar, kafarah, atau udzurnya terus berlanjut hingga kematiannya.

Maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya, baik fidyah, qadha puasa, maupun dosa.

Ketiga:
Meninggal setelah melewatkan puasa Ramadhan tanpa alasan yang sah. Orang ini berdosa dan diwajibkan mengganti setiap hari satu mud dari harta yang ditinggalkannya, atau dipuasakan atas namanya, baik dia memiliki kesempatan untuk menggantinya (qadha) atau tidak.

Wallahu A'lam

__

🔗 Diterjemahkan secara bebas dengan beberapa perubahan dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4887)

✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc

Rabu, 06 Maret 2024

,


Jika muntah dengan sengaja, maka puasanya batal. Sedangkan jika muntah karena refleks, puasanya tidak batal.

Ibnu Mundzir berkata:

ﺃﺟﻤﻊ ﺃﻫﻞ اﻟﻌﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻣﻦ ﺗﻘﺎﻳﺄ ﻋﻤﺪا ﺃﻓﻄﺮ
"Para ulama sepakat bahwa orang yang muntah dengan sengaja batal puasanya."

Adapun hadits Fadhalah bin Ubaid yang mengatakan:

ﺃﺻﺒﺢ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺻﺎﺋﻤﺎ ﻓﻘﺎء ﻓﺄﻓﻄﺮ ﻓﺴﺌﻞ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ ﻓﻘﺎﻝ: "ﺇﻧﻲ ﻗﺌﺖ"
"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bangun pagi dalam keadaan berpuasa, kemudian beliau muntah dan berbuka puasa. Ketika ditanya tentang hal itu, beliau menjawab: "Aku muntah",

maka hadits tersebut dipahami bahwa beliau sengaja memuntahkan.

Pendapat yang kuat adalah bahwa muntah itu sendiri membatalkan puasa, seperti halnya keluarnya mani dengan onani. Yang membatalkan puasa bukan karena kembalinya sesuatu yang keluar.

Termasuk muntah dengan sengaja adalah memasukkan jari ke mulut untuk muntah, atau orang yang terbiasa muntah karena mencium bau tertentu, kemudian dia sengaja menciumnya sehingga muntah.

Ar-Ramli berkata:

ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻣﻦ اﻻﺳﺘﻘﺎءﺓ ﻣﺎ ﻟﻮ ﺃﺧﺮﺝ ﺫﺑﺎﺑﺔ ﺩﺧﻠﺖ ﺇﻟﻰ ﺟﻮﻓﻪ ﻭﺃﻧﻪ ﻟﻮ ﺗﻀﺮﺭ ﺑﺒﻘﺎﺋﻬﺎ ﺃﺧﺮﺟﻬﺎ ﻭﺃﻓﻄﺮ ﻛﻤﺎ ﻟﻮ ﺃﻛﻞ ﻟﻤﺮﺽ ﺃﻭ ﺟﻮﻉ ﻣﻀﺮ
ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻣﻦ اﻻﺳﺘﻘﺎءﺓ ﻣﺎ ﻟﻮ ﺃﺧﺮﺝ ﺫﺑﺎﺑﺔ ﺩﺧﻠﺖ ﺇﻟﻰ ﺟﻮﻓﻪ ﻭﺃﻧﻪ ﻟﻮ ﺗﻀﺮﺭ ﺑﺒﻘﺎﺋﻬﺎ ﺃﺧﺮﺟﻬﺎ ﻭﺃﻓﻄﺮ ﻛﻤﺎ ﻟﻮ ﺃﻛﻞ ﻟﻤﺮﺽ ﺃﻭ ﺟﻮﻉ ﻣﻀﺮ

"Seharusnya termasuk muntah dengan sengaja adalah mengeluarkan lalat yang masuk ke perut. Jika dia merasa terganggu dengan keberadaan lalat tersebut, maka dia boleh mengeluarkannya dan berbuka puasa, seperti halnya kasus orang yang tidak puasa karena sakit atau rasa lapar yang sangat yang bisa membahayakan."

Wallahu A'lam

-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dengan beberapa penyesuaian dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4886)

✍️ Alih bahasa Ahmad Reza Lc
,


Tidak disyaratkan bahwa yang membatalkan puasa harus sesuatu yang biasa dimakan atau diminum.

Jika orang yang berpuasa menelan sesuatu yang tidak biasa dimakan, seperti dirham, dinar, tanah, batu kerikil, rumput, api, besi, benang, atau lainnya, maka puasanya batal.

Imam Nawawi berkata dalam Al-Majmu':

ﺑﻼ ﺧﻼﻑ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻭﺑﻪ ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻭﻣﺎﻟﻚ ﻭﺃﺣﻤﺪ ﻭﺩاﻭﺩ ﻭﺟﻤﺎﻫﻴﺮ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻣﻦ اﻟﺴﻠﻒ ﻭاﻟﺨﻠﻒ
"Tidak ada perbedaan pendapat di antara kami (ulama Syafi'i) tentang hal ini. Abu Hanifah, Malik, Ahmad, Daud, dan mayoritas ulama dari kalangan salaf dan khalaf juga berpendapat demikian."

Pendapat yang mensyaratkan bahwa yang membatalkan puasa harus sesuatu yang biasa dimakan atau diminum adalah pendapat yang menyimpang.

Wallahu A'lam

-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dengan beberapa penyesuaian dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4885)

✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc
,


Termasuk diantara sunnah-sunnah puasa adalah sahur. Dan diantara sunnah ketika sahur adalah mengakhirkan sahur.

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa'd radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

ﻻ ﻳﺰاﻝ اﻟﻨﺎﺱ ﺑﺨﻴﺮ ﻣﺎ ﻋﺠﻠﻮا اﻟﻔﻄﺮ
"Orang-orang akan selalu baik-baik saja selama mereka menyegerakan berbuka dan menunda sahur."

Ahmad menambahkan dalam haditsnya dari Abu Dzar,
 
ﻭﺃﺧﺮﻭا اﻟﺴﺤﻮﺭ
"Dan mereka mengakhirkan makan sahur."

Anjuran untuk mengakhirkan makan sahur selama tidak sampai ragu, seperti yang dijelaskan dalam kitab Al-Minhaj.

Jika ragu, seperti ragu tentang terbitnya fajar, maka lebih utama untuk meninggalkan sahur berdasarkan hadits,

ﺩﻉ ﻣﺎ ﻳﺮﻳﺒﻚ ﺇﻟﻰ ﻣﺎ ﻻ ﻳﺮﻳﺒﻚ
"Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu." 
(HR. Tirmidzi) sebagaimana dikatakan dalam kitab At-Tuhfah.

Jika seseorang tetap makan sahur saat ragu, maka itu dibolehkan karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala memperbolehkan makan sampai waktu fajar terlihat jelas, dan dalam situasi ini, waktu fajar belum terlihat jelas bagi orang tersebut.

Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad sahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata,

ﻛﻞ ﻣﺎ ﺷﻜﻜﺖ ﺣﺘﻰ ﻳﺘﺒﻴﻦ ﻟﻚ
"Makanlah selagi kamu ragu, sampai waktu fajar terlihat jelas bagimu."

Kehati-hatian dalam meninggalkan makan hanya berlaku saat ragu tentang terbitnya fajar, bukan dijadikan aturan setiap hari, yang dikenal dengan istilah "Imsakiyah".

Al-Hafizh berkata dalam kitab Al-Fath (Fathul Bari-pen):

ﻭﻣﻦ اﻟﺒﺪﻉ اﻟﻤﻨﻜﺮﺓ ﺇﻳﻘﺎﻉ اﻷﺫاﻥ اﻟﺜﺎﻧﻲ ﻗﺒﻞ اﻟﻔﺠﺮ ﺑﻨﺤﻮ ﺛﻠﺚ ﺳﺎﻋﺔ، ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻳﻔﻌﻠﻮﻧﻪ ﻟﻻﺣﺘﻴﺎﻁ ﻓﻲ اﻟﻌﺒﺎﺩﺓ، ﻭﻻ ﻳﻌﻠﻢ ﺑﺬﻟﻚ ﺇﻻ ﺃﺣﺎﺩ اﻟﻨﺎﺱ، ﻭﺟﺮﻫﻢ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﺻﺎﺭﻭا ﻻ ﻳﺆﺫﻧﻮﻥ اﻟﻤﻐﺮﺏ، ﺇﻻ ﺑﻌﺪ اﻟﻐﺮﻭﺏ ﺑﺪﺭﺟﺔ ﻟﺘﻤﻜﻴﻦ اﻟﻮﻗﺖ ﻓﻴﻤﺎ ﺯﻋﻤﻮا ﻓﺄﺧﺮﻭا اﻟﻔﻄﺮ ﻭﻋﺠﻠﻮا اﻟﺴﺤﻮﺭ، ﻓﺨﺎﻟﻔﻮا اﻟﺴﻨﺔ ﻓﻠﺬا ﻗﻞ ﻓﻴﻬﻢ اﻟﺨﻴﺮ ﻭﻛﺜﺮ اﻟﺸﺮ، ﻭاﻟﻠﻪ اﻟﻤﺴﺘﻌﺎﻥ.
"Diantara kebiasaan buruk (bid'ah munkarah) adalah mengumandangkan azan kedua sebelum fajar sekitar sepermpat jam lebih awal pada bulan Ramadhan, mereka melakukannya untuk berhati-hati dalam beribadah, dan tidak ada yang mengetahui hal ini (masih ada 15 menit tersisa dari waktu sebenarnya-pen) kecuali sebagian kecil orang.

Hal ini menyebabkan mereka tidak mengumandangkan azan Maghrib kecuali setelah matahari terbenam satu derajat, dengan alasan untuk memastikan waktu.

Mereka menunda berbuka dan menyegerakan sahur, sehingga mereka menyelisihi sunnah.

Oleh karena itu, kebaikan di antara mereka berkurang dan keburukan bertambah. Hanya pada Allahlah tempat meminta pertolongan."

Ba'asyin berkata dalam kitab Busyra Al-Karim:

(ﻭﺗﺄﺧﻴﺮﻩ)؛ ﻟﻤﺎ ﻣﺮ ﻓﻲ ﺗﻌﺠﻴﻞ اﻟﻔﻄﺮ، ﻭﺻﺢ: (ﺗﺴﺤﺮﻧﺎ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﺛﻢ ﻗﻤﻨﺎ ﺇﻟﻰ اﻟﺼﻼﺓ) ﻭﻛﺎﻥ ﻗﺪﺭ ﻣﺎ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﺧﻤﺴﻴﻦ ﺁﻳﺔ.
"(Dan menunda sahur) karena alasan yang sama dengan menyegerakan berbuka." Dan telah shahih sebuah hadits,

ﺗﺴﺤﺮﻧﺎ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﺛﻢ ﻗﻤﻨﺎ ﺇﻟﻰ اﻟﺼﻼﺓ
"Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian kami bangun untuk shalat." Dan waktu antara makan sahur dan shalat adalah sekitar 50 ayat.

ﻓﻤﺎ ﻳﻔﻌﻠﻪ اﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ اﻟﺘﻤﻜﻴﻦ ﻓﻲ اﻟﻤﻐﺮﺏ ﻭﺇﻳﻘﺎﻉ اﻷﺫاﻥ اﻟﺜﺎﻧﻲ ﻗﺒﻞ اﻟﻔﺠﺮ ﻣﺨﺎﻟﻒ ﻟﻠﺴﻨﺔ ﻗﺎﻝ اﻟﻘﺴﻄﻼﻧﻲ: ﻓﻠﺬا ﻗﻞ ﻓﻴﻬﻢ اﻟﺨﻴﺮ.أهـ
Apa yang dilakukan orang-orang dengan memastikan waktu Maghrib dan mengumandangkan azan kedua sebelum fajar adalah menyelisihi sunnah. Al-Qastalani berkata, "Oleh karena itu, kebaikan di antara mereka berkurang."

Wallahu A'lam

-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4864)

✍️ Alih bahasa oleh Ahamad Reza Lc
,


Jika seseorang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian dia bepergian, maka tidak boleh baginya berbuka puasa (membatalkan puasa-pen).

Alasannya:

1️⃣ Ibadah puasa adalah satu kesatuan. Sebagiannya dilakukan saat dia menetap dan sebagiannya lagi saat dia bepergian.

2️⃣ Sisi menetap lebih dikuatkan dalam hal ini, sehingga dia tidak boleh berbuka puasa.

Dalilnya:

Jika seseorang memulai shalat di atas kapal di suatu kota, kemudian kapal itu berlayar dan meninggalkan kota tersebut saat dia sedang shalat, maka dia harus menyelesaikan shalatnya sebagai shalat حضر (di tempat tinggal) dengan kesepakatan para ulama.

Alasannya adalah karena ibadah shalat tersebut menggabungkan antara حضر (di tempat tinggal) dan سفر (bepergian), dan sisi حضر lebih dikuatkan.

Hal yang sama juga berlaku untuk ibadah puasa.

Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan tiga imam mazhab (Maliki, Hanafi, dan Syafi'i).

Ada yang mungkin bertanya:

Bukankah Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘Anhuma,

ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺧﺮﺝ ﻋﺎﻡ اﻟﻔﺘﺢ ﺇﻟﻰ ﻣﻜﺔ ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻓﺼﺎﻡ ﺣﺘﻰ ﺑﻠﻎ ﻛﺮاﻉ اﻟﻐﻤﻴﻢ، ﻓﺼﺎﻡ اﻟﻨﺎﺱ، ﺛﻢ ﺩﻋﺎ ﺑﻘﺪﺡ ﻣﻦ ﻣﺎء ﻓﺮﻓﻌﻪ، ﺣﺘﻰ ﻧﻈﺮ اﻟﻨﺎﺱ ﺇﻟﻴﻪ، ﺛﻢ ﺷﺮﺏ

"Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berangkat ke Mekkah pada bulan Ramadhan pada tahun pembebasan Mekkah, dan beliau tetap berpuasa hingga mencapai Kara’ al-Ghamim (nama sebuah tempat-pen) ( ﻛﺮاﻉ اﻟﻐﻤﻴﻢ), dan orang-orang pun berpuasa. Kemudian beliau meminta segelas air dan mengangkatnya hingga orang-orang melihatnya, kemudian beliau minum."

Jawabannya:

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berbuka puasa pada hari yang sama saat beliau bepergian. Karena Kara’ al-Ghamim berjarak tujuh marhalah (satu marhalah setara +/- 89 Km-pen) atau lebih dari Madinah.

Hadits ini tidak menjadi dalil bagi pendapat yang membolehkan berbuka puasa pada hari yang sama setelah fajar saat seseorang bepergian.

Dalam kitab Syarah Muslim (karya Imam Nawawi-pen) disebutkan:

ﻭاﺳﺘﺪﻻﻝ ﻫﺬا اﻟﻘﺎﺋﻞ ﺑﻬﺬا اﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﻦ اﻟﻌﺠﺎﺋﺐ اﻟﻐﺮﻳﺒﺔ

"Penggunaan hadits ini sebagai dalil oleh orang yang berpendapat tersebut merupakan hal yang aneh dan mengherankan."

Pendapat yang membolehkan berbuka puasa dalam situasi ini adalah pendapat Ahmad dan al-Muzani.

Penulis kitab al-Hawi (Imam Al-Mawardi-pen) mengatakan:

ﻗﻴﻞ: ﺇﻥ اﻟﻤﺰﻧﻲ ﺭﺟﻊ ﻋﻦ ﻫﺬا اﻟﻤﻨﻘﻮﻝ ﻋﻨﻪ ﻭﻗﺎﻝ اﺿﺮﺑﻮا ﻋﻠﻰ ﻗﻮﻟﻲ

"Dikatakan bahwa al-Muzani menarik kembali pendapatnya yang diriwayatkan darinya dan berkata, "Buanglah pendapatku."

Wallahu A’lam

-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4863)

✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc

Senin, 04 Maret 2024

,

Dianjurkan untuk memberi makan orang yang berpuasa berdasarkan hadits Zaid bin Khalid Al-Juhani radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


ﻣﻦ ﻓﻄﺮ ﺻﺎﺋﻤﺎ ﻓﻠﻪ ﻣﺜﻞ ﺃﺟﺮﻩ ﻭﻻ ﻳﻨﻘﺺ ﻣﻦ ﺃﺟﺮ اﻟﺼﺎﺋﻢ شيء
"Siapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikitpun."
(HR. Tirmidzi dan berkata: "Ini adalah hadits hasan shahih." Dan diriwayatkan pula oleh An-Nasa'i dan lainnya)

Memberi makan orang yang berpuasa dapat dilakukan dengan cara memberinya makan malam. Jika tidak mampu,memberinya kurma atau air sudah cukup.

Hal ini dijelaskan oleh Al-Mutawali dan lainnya berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dari Salman radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:

قالوا: ﻟﻴﺲ ﻛﻠﻨﺎ ﻳﺠﺪ ﻣﺎ ﻳﻓﻄﺮ ﺑﻪ اﻟﺼﺎﺋﻢ. ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: ﻳﻌﻄﻲ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻫﺬا اﻟﺜﻮاﺏ، ﻣﻦ ﻓﻄﺮ ﺻﺎﺋﻤﺎ ﻋﻠﻰ ﺗﻤﺮﺓ، ﺃﻭ ﺷﺮﺑﺔ ﻣﺎء، ﺃﻭ ﻣﺰﻗﺔ ﻟﺒﻦ
"Para sahabat berkata: "Tidak semua dari kami memiliki makanan untuk memberi makan orang yang berpuasa."

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Allah Ta'ala memberikan pahala ini kepada orang yang memberi makan orang yang berpuasa dengan sebiji kurma, atau seteguk air, atau seteguk susu."


Hadits ini diriwayatkan pula oleh 'Ali bin Zaid bin Jad'an, dan dia adalah seorang yang dha'if (lemah).

Dianjurkan untuk makan bersama dengan orang yang diberi makan. Ibnu Hajar berkata dalam Al-I'ab:

ﻭﺃﻛﻠﻪ ﻣﻌﻬﻢ ﺃﻓﻀﻞ ﻟﻤﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﻣﺠﺎﺑﺮﺗﻬﻢ ﻭﻣﺰﻳﺪ ﺑﺮﻫﻢ.
"Makan bersama mereka lebih utama karena hal itu menunjukkan keramahan dan menambah kebaikan."

Wallahu A’lam

-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4903)

✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc