Rabu, 31 Januari 2024

,

Dalam hadits Abu Qotādah radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;


إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ
"Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid, maka janganlah dia duduk hingga dia shalat dua rakaat."
[ HR.Bukhari dan Muslim ]


Hadits ini menjadi landasan tentang kesunnahan shalat tahiyyatul masjid. Dan kesunnahan itu berlaku sebelum duduk di masjid sesuai  kesepakatan ulama; sebagaimana secara kontekstual disebutkan dalam hadits. Namun, jika masuk masjid dan terlanjur duduk, apakah juga tetap disunnahkan untuk tahiyyatul masjid ?

Dalam Ibānatul Ahkām Syarah Bulūghul Maram, disebutkan ada tiga pendapat dari para ulama;


Pertama, berpendapat bahwa duduk baik lama atau sebentar tidak membatalkan kesunnahan untuk shalat tahiyyatul masjid. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Abu Hanifah.
 

Kedua, berpendapat bahwa jika duduknya cukup lama maka membatalkan kesunnahan shalat tahiyyatul masjid. Namun, jika duduknya hanya sebentar, maka tetap disunnahkan untuk shalat tahiyyatul masjid. Ini adalah pendapat Imam Ahmad.
 

Ketiga, berpendapat bahwa jika duduk yang dilakukan secara sengaja, maka membatalkan kesunnahan tahiyyatul masjid. Jika duduknya karena lupa atau tidak tahu, maka tetap disunnahkan tahiyyatul masjid. Ini adalah pendapat Imam As-Syafii.


Yang tampak, pendapat Imam As-Syafii cukup kuat dalam hal ini. Karena jika sengaja duduk, maka sedari awal dia sengaja berniat meninggalkan sunnah tahiyyatul masjid. Dan suatu yang sengaja ditinggalkan dan sudah lewat batas waktunya, maka tidak perlu dikejar. Wallahu ta'ala a'lam.


Abu Hārits Danang Santoso Al-Jāwi
https://linktr.ee/fiqhgram
#bulughulmaram #faedahkajian #fikihshalat #tahiyatulmasjid

Selasa, 30 Januari 2024

,


Termasuk syarat sahnya sujud, adalah tidak ada penghalang yang menghalangi dahi dari tempat sujud. Sehingga, bagian dahi yang menempel tempat sujud, haruslah kulit bertemu tempat sujud.

Landasan dalam hal ini, adalah atsar daripada para sahabat. Diantaranya;


Riwayat sahabat Ali radhiyallahu beliau berkata;

إذا كان أحدكم يصلي فليحسر العمامة عن جبهته
"Jika salah seorang dari kalian shalat, maka singkaplah imamah dari dahi kalian."
[ HR.Al-Baihaqi dalam Sunan Kubro (2660) ]


Riwayat dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu anhu;

كان إذا سجد و عليه العمامة يرفعها حتى يضع جبهته بالأرض
"Bahwa beliau (Ibnu Umar) ketika sujud dan sedang memakai imamah, maka beliau angkat sedikit imamahnya hingga meletakkan dahinya di tempat sujud."
[ Idem (2661) ]


Riwayat dari sahabat Ubadah ibn Shomit radhiyallahu;

أنه كان إذا قام إلى الصلاة حسر العمامة عن جبهته
"Bahwa beliau (Ubadah) ketika shalat maka beliau singkap imamah dari dahinya."
[ Idem (2662) ]


Adapun bagian telapak tangan, kaki (bagi laki-laki), maka hukumnya sunnah untuk dibuka, dan bukan syarat sahnya sujud. Sedangkan lutut maka makruh dibuka, bahkan jika sampai terlihat aurotnya (bagian atas lutut), haram dan shalatnya batal. Wallahu ta'ala a'lam.
 

Abu Harits Danang Santoso Al-Jawi
https://linktr.ee/fiqhgram

Minggu, 28 Januari 2024

,


Atiroh dalam bahasa lain disebut rojabiyah. Secara istilah dia adalah sembelihan yang dilakukan di bulan Rajab, dengan niat taqorrub kepada Allah Ta'ala dan sedekah dengan daging dari hewan sembelihan tersebut. Pada mulanya, dia adalah sebuah tradisi arab Jahiliyyah; dimana setiap bulan Rajab mereka menyembelih hewan dengan niat untuk dipersembahkan kepada tuhan-tuhan Jahliliyyah (selain Allah). Sebagaimana hal ini disampaikan oleh Imam Syafii, dimana beliau berkata;


وَالْعَتِيرَةُ  هِيَ الرَّجِبِيَّةُ وَهِيَ ذَبِيحَةٌ كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَتَبَرَّرُونَ بِهَا فِي رَجَبَ
"Dan atiroh yaitu rojabiyyah adalah sembelihan yang dahulu orang Arab jahiliyah melakukannya secara khusus di bulab Rajab."
[ As-Sunan Al-Ma'tsuroh. Abu Bakr Al-Baihaqi. (Hal,412) ]

Ketika datang Islam, maka syariat tidak menghapus atiroh ini secara menyeluruh. Dalam artian, seorang muslim masih boleh menyembelih di bulan Rajab dengan niat taqorrub kepada Allah Ta'ala dan sedekah dengan dagingnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam;


الْعَتِيرَةُ حَقٌّ

"Atiroh adalah benar adanya."

[ HR.An-Nasai (4225), Ahmad (6713), Al-Baihaqi dalam Sunan Kubro-nya (19342) ]


Juga riwayat yang lain dari sahabat Mikhnaf ibn Salim beliau berkata, ketika kami sedang wuquf bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam di Arafah, aku mendengar beliau bersabda ;


يَا أَيُّهَا النَّاسُ، عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةٌ وَعَتِيرَةٌ، هَلْ تَدْرُونَ مَا العَتِيرَةُ؟ هِيَ الَّتِي تُسَمُّونَهَا الرَّجَبِيَّةَ

"Wahai sekalian manusia, setiap keluarga di setiap tahunnya hendaknya berkurban dan 'atiroh. Apakah kalian tahu apa itu 'atiroh ? Yaitu yang biasa kalian sebut dengan istilah Rojabiyyah (sembelihan di bulan Rajab)."

[ HR Tirmidzi (1518), Abu Dawud (2788), Ibnu Majah (3125) ]


Maka ini adalah pendapat mu'tamad dalam madzhab Syafii. Dimana seseorang diperbolehkan bahkan dianjurkan untuk menyembelih hewan sembelihan di bulan Rajab, lalu dagingnya untuk makan bersama keluarga dan disedekahkan kepada yang lainnya. Dan sembelihan disini tidak seperti hukum kurban di bulan haji, sehingga tidak ada ketentuan hewan khusus atau spesifikasi tertentu.


Namun, ada juga pendapat lain yang menyatakan hukumnya adalah makruh. Berlandaskan riwayat Abu Hurairah radhiyallahu anhu, beliau berkata;


نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْفَرَعِ، وَعَنِ الْعَتِيرَةِ،  وَقَالَ الْآخَرُ: ((لَا فَرَعَ، وَلَا عَتِيرَةَ))

"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang dari far'u (menyembelih anak onta pertama yang dipersembahkan kepada tuhan orang musyrik Jahiliyyah untuk mendapat keberkahan onta induknya -edt) dan 'atiroh. -dalam lafadz yang lain Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda- ((Tidak ada fa'ru tidak juga 'atiroh))."

[ HR.An-Nasai dalam Sunan Kubro-nya (4535) ]


Imam Ar-Rofii (w.623 H) mengatakan;

في كتاب القاضِي ابْنِ كَجٍّ، وغيرِه اختِلاَفٌ فيها؛ فَعَنْ بعضِ الأصْحاب: أنهما مَكْرُوهان؛ عن ظَاهِرِ الخبر. وعن بَعْضِهم: أنه لا كراهةَ فيهِما والمنعُ رَاجِعٌ إلى ما كانوا يَفْعَلُونَ، وهو الذبحُ لآلِهَتِهم

"Dalam kitab Al-Qodhi Ibnu Kaj (w.405 H, pembesar fuqoha Syafiiyyah -edt) dan lainnya diriwayatkan ada khilaf diantara ulama Syafiiyyah (mutaqoddimin -edt); ada yang berpendapat keduanya (far'u dan atiroh) adalah makruh sebagaimana dhohir daripada hadits (Abu Hurairah di atas -edt). Dan sebagian lain berpendapat, tidak dimakruhkan sama sekali untuk keduanya, sedangkan larangan dalam hadits ditafsirkan atas perbuatan orang Jahiliyyah terdahulu saja yang menyembelih untuk tuhan-tuhan mereka."

[ Al-Aziz bi Syarhil Wajiz. Abdul Karim Ar-Rofi'i. (12/121) ]


Jika demikian, apakah jawaban dari madzhab Syafii yang mu'tamad yang menyatakan bahwa atiroh tidak terlarang sama sekali, sedangkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu sangat jelas larangannya ? Maka disini madzhab memiliki tiga jawaban;


Pertama, maksudnya dari penafian atiroh dalam hadits adalah menafikan kewajibannya, karena atiroh di masa Islam hukumnya mustahab saja. Hal ini disampaikan langsung oleh Imam Syafii dimana beliau berkata;

وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا عَتِيرَةَ»  عَلَى مَعْنَى لَا عَتِيرَةَ لَازِمَةٌ

"Dan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa ((Tidak ada 'atiroh)), maksudnya tidak ada 'atiroh yang hukumnya wajib dan harus."

[ As-Sunan Al-Ma'tsuroh. Abu Bakr Al-Baihaqi. (Hal,402) ]


Kedua, penafian atiroh juga fa'ru dalam hadits ini menafikan tindakan Jahiliyyah yang menyembelih untuk selain Allah, dimana mereka menyembelih untuk tuhan-tuhan Jahiliyyah. Sedangkan di masa Islam, boleh saja ketika menyembelih hewan karena Allah Ta'ala semata.


Ketiga, penafian atiroh disini adalah menafikan hukum sunnahnya yang berada di level hukum kurban di bulan haji. Yang mana kurban di idul adha hukumnya sunnah muakkadah, sedangkan atiroh sifatnya dibolehkan saja, atau sunnah yang biasa saja tidak sampai muakkadah.


Dan tambahan jawaban kedua serta ketika di atas, disebutkan oleh Imam An-Nawawi (w.676 H) dimana beliau berkata;


وَالصَّحِيحُ عِنْدَ أَصْحَابِنَا وَهُوَ نَصُّ الشَّافِعِيِّ اسْتِحْبَابُ الْفَرَعِ و العتيرة  وأجابوا عن حديث لافرع ولاعتيرة    بِثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ أَحَدُهَا جَوَابُ الشَّافِعِيِّ السَّابِقُ أَنَّ الْمُرَادَ نَفْيُ الْوُجُوبِ وَالثَّانِي أَنَّ الْمُرَادَ نَفْيُ ماكانوا يَذْبَحُونَ لِأَصْنَامِهِمْ وَالثَّالِثُ أَنَّهُمَا لَيْسَا كَالْأُضْحِيَّةِ فِي الِاسْتِحْبَابِ أَوْ فِي ثَوَابِ إِرَاقَةِ الدَّمِ فَأَمَّا تفرقة اللحم على المساكين فبر وصدقة

"Dan pendapat yang shahih dalam madzhab dan nash langsung dari Imam Syafii, tentang kesunnahan far'u dan atiroh. Adapun jawaban atas hadits ((Tidak ada far'u juga atiroh)) maka bisa dijawab dari tiga sisi; pertama, jawaban langsung Imam Syafii bahwa maksudnya menafikan kewajiban. Kedua, bahwa maksudnya menafikan perbuatan orang Jahiliyyah yang menyembelih untuk tuhan mereka. Ketiga, maksudnya menafikan hukumnya tidak seperti kurban idul adha dari sisi kesunnahan ataupun menumpahkan darahnya. Adapun membagikan daging kepada fakir miskin, maka ini bernilai kebaikan dan sedekah."

[ Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim Ibnil Hajjaj. Yahya bin Syaraf An-Nawawi. (13/137) ]


Mojokerto, 17 Rajab 1445 H

Abu Harits Danang Santoso Al-Jawi

https://linktr.ee/fiqhgram


Rabu, 24 Januari 2024

,


Dalam hal ini, bisa dikatakan para ulama terbagi menjadi dua jawaban.


Pertama, adalah pendapat jumhur ulama. Dimana ketika muadzin shubuh mengucap 'assholātu khoirun minan naum' (kalimat tatswib), maka orang yang mendengarnya, menjawab; 'shodaqta wa barirta'. Ini jawaban yang masyhur dalam kitab-kitab fikih, dengan dalil istihsan dan munasabah al-maqom (sesuai untuk jawaban lafadznya); dan ini menjadi mukhossis (pengkhusus) dari keumuman hadits menjawab adzan seperti ucapan muadzin. Dan sebagian fuqoha seperti Mbah Yai Kholil Bangkalan dalam kitabnya Al-Matn As-Syarīf, menambahkan lafadz lain;


صدقت و بررت و بالحق نطقت
"Shodaqta wa barirta wa bilhaq nathoqta.,


Demikian juga, hal ini disampaikan oleh Sayyid Bakri (w.1266 H) dalam I'anatut Thōlibīn (1/280), bahwa tambahan ini (wa bil haqq nathoqta) disebutkan oleh Al-Muzajjad (w.930 H)dalam Al-'Ubāb. Beliau mengatakan;


و زاد في العباب (و بالجق نطقت) و قيل صدق رسول الله صلى الله عليه و سلم
"Dan menambahkan dalam Al-'Ubab (wa bil haq nathoqta), dan dikatakan juga dengan mengucap (shodaqo Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam)."


Imam Ar-Rofii As-Syafii (w.623 H) dalam kitabnya Al-Aziz bi Syarhil Wajiz (1/427) mengatakan;

وإلا في التثويب، فإنه يقول: "صَدَقْتَ  وَبَرَرْتَ" وفي وجه يقول: "صَدَقَ رَسُول اللهِ -صلى الله عليه وسلم- الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْم"
"Dan kecuali tatswib maka dia menjawab (shodaqta wa barirta), dan satu riwayat (shodaqo Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, asholatu khoirun minan naum)."


Dan bukan hanya, dalam literatur fikih Syafii saja, bahkan lafadz ini juga disebutkan dalam literatur fikih madzhab lain. Seperti Al-Mardāwī Al-Hanbali (w.885 H) dalam kitabnya Al-Inshōf (1/427) , menyampaikan;


   أن يقول عند التثويب صدقت و بررت فقط على الصحيح .. و قطع المجد في شرحه أنه يقول صدقت و بررت و بالحق نطقت
"Dan ketika mendengar tatswib maka mengatakan (shodaqta wa barirta) saja sesuai pendapat yang shahih ... Dan Al-Majd menetapkan dalam syarahnya, dengan mengatakan (shodaqta wa barirta wa bil haq nathoqta)."


Kedua, adalah pendapat sebagian ulama seperti Abdul Aziz bin Baz, Ibnu Utsaimin, dan sebagian ulama kontemporer lain yang berpendapat bahwa ketika mendengar lafadz 'assholatu khoirun minan naum', maka menjawab dengan kalimat yang sama seperti ucapan muadzin. Mengambil keumuman hadits;


إذا سمعتم النداء فقولوا مثل يقول المؤذن
"Jika kalian mendengar adzan, maka ucapkan seperti ucapan muadzin."
[ HR.Bukhari (611) Muslim (383) ]


Kesimpulan, dan hal ini boleh orang menjawab tatswib dengan mengucap (assholatu khoirun minan naum) atau (shodaqta wa barirta) atau (shodaqta wa barirta wa bil haq nathoqta) atau (shodaqo Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam assholatu khoirun minan naum). Namun kami pribadi lebih memilih menjawab (assholatu khoirun minan naum). Wallahu ta'ala a'lam.


Jombang, 25 Januari 2024
Abu Harits Danang Santoso Al-Jawi
https://linktr.ee/fiqhgram

Jumat, 19 Januari 2024

,

 


Kain sutera memiliki hukum yang khusus dibandingkan dengan kain dengan bahan lainnya, dari suut pandang fikih Islam. Oleh karenanya kami akan menjelaskan hal ini dalam beberapa poin berikut;


Pertama, hukum asal memakai pakaian apapun dari kain yang berbahan sutera adalah terlarang. Landasannya adalah hadits Hudzaifah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

لا تَلْبَسُوا الحَرِيرَ ولَا الدِّيبَاجَ، ولَا تَشْرَبُوا في آنِيَةِ الذَّهَبِ والفِضَّةِ، ولَا تَأْكُلُوا في صِحَافِهَا؛ فإنَّهَا لهمْ في الدُّنْيَا، ولَنَا في الآخِرَةِ
"Janganlah kalian memakai sutera (harir ataupun dibaj), dan janganlah kalian meminum dari wadah emas dan perak, serta jangan makan darinya. Karena semua ini bagi orang kafir di dunia, dan untuk kita kaum muslimin di akhirat kelak."
[ HR.Bukhari (5426) ]

Kedua, yang dimaksud dengan kain sutera yang terlarang dalam pemabahasan fikih Islam adalah kain yang dibuat dari benang ulat sutera. Adapun jika dibuat dari bahan lain, maka tidak terlarang. Meskipun dinamai kain sutera atau silk.


Ketiga, keharaman ini hanya berlaku bagi laki-laki saja. Adapun untuk wanita maka diperbolehkan memakai sutera secara mutlak. Sebagaimana hadits Ali radhiyallah anhu beliau berkata;

إنَّ نبيَّ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ أخذ حريرًا فجعلَه في يمينِه ، وأخذ ذهبًا فجعلَه في شمالِه ، ثم قال : إنَّ هذيْنِ حرامٌ على ذكورِ أمتي
"Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam memegang sutera dan meletakkan di tangan kanan beliau, lalu mengambil emas dan meletakkan di tangan kirinya, lalu bersabda ((Dua hal ini haram bagi kaum laki-laki dari umatku))."
[ HR.Abu Dawud (4057) ]

Imamul Haramain dan Imam Al-Ghozali menyebutkan, ta'lil (alasan hukum) haram bagi laki-laki dan boleh bagi wanita, karena kain sutera dan pakaiannya identik dengan wanita dan kelembutannya, dan bertentangan dengan sifat maskulin pria (syahamah).


Keempat, larangan yang sudah disebutkan berlaku bagi kain yang secara utuh semuanya terbuat dari benang ulat sutera. Namun, jika kain tersebut bahannya campuran antara benang non sutera dengan benang sutra, maka dia memiliki dua kondisi;


a. Kalau berat bahan suteranya lebih berat, maka maka diharamkan kain tersebut dipakai oleh laki-laki.

 
b. Kalau bahan non suteranya lebih berat daripada suteranya, atau memiliki berat yang sama maka kain ini boleh dipakai laki-laki.

Dan ukuran berat ini dengan diperkirakan sendiri saja; dengan melihat dari sisi intensitas benang sutra yang dipakai di kain itu. Jika ragu apakah suteranya lebih berat atau lebih ringan, maka hukum asalnya boleh. Landasan dari hal ini adalah hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma;

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الثوب المصمت من الحرير
"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang dari kain sutera yang mushommat (yang murni dari benang sutera saja)."
[ HR.Abu Dawud (4055) ]

Kelima, jika kain murni dari sutera, lalu ingin digunakan sebagai tambahan bahan di pakaiannya yang bukan sutera, maka diperbolehkan, namun dengan syarat; maksimal lebarnya hanya 4 jari saja. Dalilnya hadits Umar radhiyallahu anhu berkata;

نَهَى نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ عن لُبْسِ الحَرِيرِ إلَّا مَوْضِعَ إصْبَعَيْنِ، أَوْ ثَلَاثٍ، أَوْ أَرْبَعٍ
"Nabi shallallahu alaih wa sallam melarang dari memakai sutera, kecuali seukuran dua jari, atau tiga jari, atau empat jari."
[ HR.Muslim (2069) ]


Sedangkan pembatasan ukuran empat jari ini, para fuqoha berbeda pendapat. Dan menurut Al-Halabi juga Al-Bujairimi, hitungan empat ini dilihat dari sisi lebar, adapun panjang maka tidak masalah lebih dari itu. Sebagaimana disebutkan dalam Busyrol Karim.


Keenam, jika kain sutera hanya digunakan untuk pelipit di bagian-bagian ujung pakaian, maka diperbolehkan dengan batas yang wajar. Sebagaimana hadits Abdullah Abu Amr maula (budak yang sudah dibebaskan) Asma binti Abi Bakr radhiyallahu anha berkata;

رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ فِي السُّوقِ اشْتَرَى ثَوْبًا شَامِيًّا، فَرَأَى فِيهِ خَيْطًا أَحْمَرَ فَرَدَّهُ، فَأَتَيْتُ أَسْمَاءَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهَا، فَقَالَتْ : يَا جَارِيَةُ، نَاوِلِينِي جُبَّةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَخْرَجَتْ جُبَّةَ طَيَالِسَةٍ مَكْفُوفَةَ الْجَيْبِ وَالْكُمَّيْنِ وَالْفَرْجَيْنِ بِالدِّيبَاجِ
"Aku melihat Ibnu Umar di pasar membeli pakaian dari Syam, dan dia melihat ada jahitan benang merah (dari sutera) di kain tersebut, maka dia tidak mau. Lalu saya datangi Asma' dan aku menceritakan hal tersebut kepadanya. Maka berkata kepada budak perempuannya: Tolong ambilkan jubbahnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Maka budak perempuan itu pun mengeluarkan jubah yang bagian krah baju, lengan baju, dan bagian depan baju, di beri pelipit dengan sutera."
[ HR.Abu Dawud (4054) ]


Ketujuh, jika benang sutera hanya digunakan untuk menjahit pakaian, atau semacam bordiran, maka tidak mengapa.


Kedelapan, larangan memakai kain sutera bagi lelaki ini juga berlaku untuk alas duduknya. Adapun wanita, maka  untuk alas duduk ada dua pendapat dalam madzhab Syafii, dan pendapat yang shahih adalah diperbolehkan bagi wanita untuk duduk di atas kain sutera. .Sebagaimana hal ini dishahihkan oleh Imam Nawawi dalam Minhajut Tholibin-nya. Dalil dalam masalah ini, adalah lafadz lain dari hadits Hudzaifah radhiyallahu anhu yang mengatakan;

نَهَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَشْرَبَ فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَأَنْ نَأْكُلَ فِيهَا، وَعَنْ لُبْسِ الْحَرِيرِ وَالدِّيبَاجِ ، وَأَنْ نَجْلِسَ عَلَيْهِ
"Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang kami minum dan makan dari wadah emas dan perak, dan melarang memakai sutera ataupun duduk di atasnya."
[ HR.Bukhari (5837) ]


Kesembilan, untuk anak-anak yang belum baligh maka diperbolehkan memakai sutera; meskpun dia laki-laki. Sebagaimana Ibnu Hajar Al-Haitami menyampaikan;

(أَنَّ لِلْوَلِيِّ إلْبَاسَهُ) أَيْ الْحَرِيرِ (الصَّبِيَّ) وَلَوْ مُمَيِّزًا، إذْ لَيْسَ لَهُ شَهَامَةٌ تُنَافِي خُنُوثَةَ الْحَرِيرِ وَلِعَدَمِ تَكْلِيفِهِ
"Dan boleh bagi wali untuk memakaikan pakaian sutera bagi anak-anak meskipun sudah mumayyiz; karena tidak ada sisi syahamah (sifat kejantanan pria) padanya ketika memakai sutera, serta anak-anak pun belum diberikan beban taklif hukum syari."
[ Mughnil Muhtaj. (1/582) ]


Kesepuluh, diperbolehkan penggunaan sutera untuk kiswah Ka'bah. Syaikh Said Ba'asyan menyampaikan;


و) يحل (الحرير للكعبة) أي: سترها به إن خلا عن نقد، سواء الديباج وغيره؛ لفعل السلف والخلف
"Dan halal pemakaian sutera untuk Ka'bah jika tidak ada emasnya; karena hal tersebut sudah diketahui sejak zaman salaf dan kholaf."
[ Busyrol Karim (hal.413) ]


Kesebelas, jika sutera ditutupi dengan sesuatu lalu dijadikan sebagai alas, bantal, atau yang semisalnya; maka diperbolehkan. Syaikh Said Ba'asyan mengatakan;


(و) يحل (حشو) لنحو مخدة وجبة وكوفية بالحرير؛ لاستتاره بالثوب كإناء نقد غشي بغيره، فيحل استعمالها؛ لأنه لا يعد مستعملاً لحرير
"Dan halal mengisi bantal atau jubah dengan sutera, karena sutera tertutpi dengan kain lainnya. Hal ini seperti wadah yang terbuat dari emas, lalu ditutupi dengan bahan lainnya; maka boleh dipakai. Karena ketika ditutupi suteranya, secara adat (urf) tidak dikatakan dia sedang memakai sutera."
[ Busyrol Karim (hal.414) ]


Keduabelas, diharamkan juga menghias rumah atau tempat-tempat tertentu dengan kain sutera yang terlarang; baik pemakai rumah itu laki-laki atau wanita. Syaikh Said Ba'asyan mengatakan;


ويكره تزيين البيوت ولو لغير ذكر، حتى مشاهد الصلحاء، والمساجد بالثياب غير الحرير، ويحرم به وبالصور؛ لعموم الأخبار
"Dan dimakruhkan menghias rumah (meski bukan laki-laki), atau kuburan orang sholeh, atau masjid-masjid dengan kain-kain selain sutera. Adapun kalau menggunakan kain sutera atau kain bergambar makhluk bernyawa; maka hukumnya haram karena banyak riwayat dalam hal ini."
[ Idem ]


Wallahu Ta'ala A'lam


Jombang, 20 Januari 2024
Abu Harits Danang Santoso Al-Jawi

https://linktr.ee/fiqhgram

Kamis, 18 Januari 2024

,


Shalat Roghoib memiliki dua pengertian sebagaimana disebutkan oleh para ulama. Yang pertama, shalat Roghoib ini adalah shalat yang dilaksanakan di Jumat pertama di bulan Rajab. Sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Ghozali dan Ihya-nya. Yang kedua, shalat roghoib adalah shalat malam nshfu Sya'ban, sebagaimana disebutkan oleh sebagian ulama seperti Syihabuddin Ar-Romli dalam Fatawa-nya. Namun, terlepas dari penamaan, kedua shalat ini adalah shalat yang bid'ah yang tidak memiliki landasan sama sekali. Bahkan hadits yang dibawakan untuk menguatkan amalan ini pun dihukumi oleh para ahli hadits sebagai hadits palsu. Sebagaimana Imam Ghozali menyebutkan;


أما صلاة رجب فقد روي بإسناد عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنه قال ما من أحد يصوم أول خميس من رجب   ثم يصلي فيما بين العشاء والعتمة اثنتي عشرة ركعة يفصل بين كل ركعتين بتسليمة يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب مرة وإنا أنزلناه في ليلة القدر ثلاث مرات وقل هو الله أحد اثنتي عشرة مرة فإذا فرغ من صلاته صلى علي سبعين مرة يقول اللهم صل على محمد النبي الأمي وعلى آله ثم يسجد ويقول في سجوده سبعين مرة سبوح قدوس رب الملائكة والروح ثم يرفع رأسه ويقول سبعين مرة رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم إنك أنت الأعز الأكرم ثم يسجد سجدة أخرى ويقول فيها مثل ما قال في السجدة الأولى ثم يسأل حاجته في سجوده فإنها تقضى (٤) قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يصلي أحد هذه الصلاة إلا غفر  الله تعالى له جميع ذنوبه ولو كانت مثل زبد البحر وعدد الرمل ووزن الجبال وورق الأشجار ويشفع يوم القيامة في سبعمائة من أهل بيته ممن قد استوجب النار

"Adapun shalat Rajab, maka telah diriwayatkan dengan sanad dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda ((Siapapun yang puasa hari kamis pertama bulan Rajab, lalu shalat antara isya dan maghrib 12 rakaat, dipisah di setiap dua rakaat dengan satu kali salam. Dia membaca di setiap rakaat surat Al-Fatihah sekali, dan surat Al-Qodr tiga kali, surat Al-Ikhlas 12 kali. Lalu setelah shalat membaca shalawat 70 kali dengan membaca: allahumma sholli ala Muhammadin An-Nabiyyil Ummiy wa 'ala Alihi. Lalu dia bersujud dan membaca: subbuhun quddusun robbul malaikati war ruh, 70 kali. Lalu dia bangkit dan membaca: robbighfir warham wa tajawaz 'amma ta'lam innaka antal a'azzul akram, 70 kali. Lalu dia sujud lagi dan membaca seperti sujud pertama. Lalu dia meminta hajatnya dalam sujudnya yang kedua, maka pasti akan dikabulkan. -Nabi menyampaikan-; Siapa yang shalat ini pasti akan diampuni seluruh dosanya meski sebanyak buih di lautan, sebanyak kerikil du bumi, seberat gunung-gunung, ataupun sejumlah dedaunan, dan dia akan diberi kesempatan untuk memberi syafaat pada hari kiamat kepada 700 keluarganya yang masuk neraka."

[ Ihya Ulumuddin (1/203) ]


Mengomentari hadits ini, al-Hafidz Zainuddin Al-Iroqi (w.806 H)mengatakan;


فِي صَلَاة الرغائب  أوردهُ رزين فِي كِتَابه وَهُوَ حَدِيث مَوْضُوع

"Dalam shalat roghoib semacam ini juga, Rozin juga menyebutkan haditsnya, dan hadits dalam masalah ini adalah hadits palsu."

[ Al-Mughni an Hamlil Asfar (Takhrij Ahadits Ihya). Zainuddin Al-Iroqi. (hal.240) ]


Adapun fatwa, maka diantaranya adalah fatwa Ibnu Sholah (w.643 H) guru Imam Nawawi, beliau berkata;


وَلَوْ لَمْ تَكُنْ مَطْلُوبَةً لَكَانَتْ بِدْعَةً مَذْمُومَةً كَمَا فِي الرَّغَائِبِ  لَيْلَةَ نِصْفِ شَعْبَانَ وَأَوَّلِ جُمُعَةٍ مِنْ رَجَبٍ فَكَانَ يَجِبُ إنْكَارُهَا وَبُطْلَانُهُ مَعْلُومٌ بِالضَّرُورَةِ

"Kalau sekiranya shalat tidak dianjurkan, maka dia akan menjadi bid'ah yang tercela, seperti shalat roghoib di malam nishfu Sya'ban (pertengahan Sya'ban), dan di jumat pertama di bulan Rajab. Maka wajib untuk diingkari dan kebatilanya sudah diketahui secara pasti."

[ Fatawa Ibnu Sholah (1/159) ]


Juga fatwa Imam Nawawi (w.676 H), beliau mengatakan;


هي بدعة قبيحة منكرَة أشد إِنكار، مشتملة على منكرات، فيتعين تركها والِإعراض عنها، وإِنكارُها على فاعلها، وعلى ولي الأمر وفقه الله تعالى منعُ الناس من فعلها: فإنه راعٍ، وكلُ راعٍ مسؤولٌ عن رعيته. وقد صنف العلماء كتبًا في إنكارها وذمَّها، وتسفيه فاعلها، ولا يغتر بكثرة الفاعلين لها في كثير من البلدان، ولا بكونها مذكورةً في قوت القلوب (١) وإِحياء علوم الدين ونحوهِما فإنها بدعة باطلة

"Dia (shalat Roghoib di bulan Rajab)  adalah bid'ah yang jelek dan sangat munkar, yang terdiri dari berbagai macam kemunkaran. Maka dia harus ditinggalkan, pelakunya harus diinkari, dan bagi waliyyul amri (pemimpin setempat) harus melarang manusia untuk melaksanakannya. Karena pemimpin adalah penanggung jawab, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas rakyatnya. Dan para ulama telah menulis berbagai kitab dalam mengingkari hal ini, dan mencelanya. Serta menghukumi bodoh orang yang melakukannya. Dan janganlah engkau tertipu dengan banyaknya orang yang melakukannya di banyak negeri. Ataupun jangan tertipu meski dia disebutkan dalam kitab Qutul Qulub dan kitab Ihya' Ulumuddin, atau semisalnnya. Karena sesungguhnya hal tersebut adalah bidah yang batil."

[ Fatawa Imam Nawawi (hal.57) ]


Lalu fatwa Syihabuddin Al-Romli (w.957 H), guru sekaligus ayah dari Syamsuddin Al-Romli penulis Nihayatul Muhtaj Syarah Minhaj, beliau mengatakan;


لَمْ يَصِحَّ فِي شَهْرِ رَجَبٍ صَلَاةٌ مَخْصُوصَةٌ تَخْتَصُّ بِهِ، وَالْأَحَادِيثُ الْمَرْوِيَّةُ فِي فَضْلِ صَلَاةِ الرَّغَائِبِ   فِي أَوَّلِ جُمُعَةٍ مِنْ شَهْرِ رَجَبٍ كَذِبٌ بَاطِلٌ، وَهَذِهِ الصَّلَاةُ بِدْعَةٌ عِنْدَ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ وَمِمَّنْ ذَكَرَ ذَلِكَ مِنْ أَعْيَانِ الْعُلَمَاءِ الْمُتَأَخِّرِينَ مِنْ الْحُفَّاظِ أَبُو إسْمَاعِيلَ الْأَنْصَارِيِّ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ السَّمْعَانِيِّ وَأَبُو الْفَضْلِ بْنُ نَاصِرٍ وَأَبُو الْفَرْجِ بْنُ الْجَوْزِيِّ وَغَيْرُهُمْ، وَإِنَّمَا لَمْ يَذْكُرْهَا الْمُتَقَدِّمُونَ؛ لِأَنَّهَا أُحْدِثَتْ بَعْدَهُمْ وَأَوَّلُ مَا ظَهَرَتْ بَعْدَ الْأَرْبَعِمِائَةِ فَلِذَلِكَ لَمْ يَعْرِفْهَا الْمُتَقَدِّمُونَ وَلَمْ يَتَكَلَّمُوا فِيهَا 

"Tidak sah dalam bulan Rajab shalat khusus padanya, dan hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah shalat roghoib yang dilaksanakan di jumat pertama dari bulan Rajab, adalah hadits dusta. Dan shalat roghoib ini adalah bid'ah menurut mayoritas ulama. Diantaranya para ulama mutaakhirin yang menghukumi kebid'ahan ini adalah; Abu Ismail Al-Anshori, Abu Bakr ibn As-Sam'ani, Abul Fadhl ibn Nashir, Abul Faraj ibn Al-Jauzi, dan selain mereka. Dan para ulama mutaqoddimin tidak menyinggung shalat roghoib ini, karena dia baru diadakan setelah zaman mereka; yatu pasca tahun 400 H. Oleh karenanya para ulama mutaqoddimin pun tidak mengetahui dan berbicara tentang shalat roghoib."

[ Fatawa Syihabudin Ar-Romli (1/209) ]


Terakhir, adalah fatwa dari Ibnu Hajar Al-Haitami (w.974 H) penulis Tuhfatul Muhtaj Syarah Minhaj, beliau berkata;


أَمَّا صَلَاةُ الرَّغَائِب فَإِنَّهَا كَالصَّلَاةِ الْمَعْرُوفَةِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانُ بِدْعَتَانِ قَبِيحَتَانِ مَذْمُومَتَانِ وَحَدِيثهمَا مَوْضُوعٌ فَيُكْرَهُ فِعْلُهُمَا فُرَادَى وَجَمَاعَةً

"Adapun shalat Roghoib, maka dia adalah shalat yang diketahui dikerjakan di malam pertengahan bulan Sya'ban, maka dia bid'ah yang buruk lagi tercela. Dan hadits yang menjelaskan hal tersebut adalah hadits palsu. Maka dibenci pelaksanaannya baik sendiri atau secara berjamaah."

[ Fatawa Fiqhiyyah Kubro (1/217) ]


Intinya, shalat Roghoib baik di bulan Rajab atau Sya'ban adalah shalat yang bid'ah menurut fatwa para pembesar ulama Syafiiyyah di atas. Maka hendaknya kaum muslimin menjauhi amalan semacam ini dan menginagtkan manusia agar tidak terjerumus di dalamnnya.


Wallahu Ta'ala A'lam


Jombang, 19 Januari 2024

Abu Harits Danang Santoso Al-Jawi

https://linktr.ee/fiqhgram


Selasa, 16 Januari 2024

,


Allah Ta'ala berfirman;

أو لامستم النساء

Dari ayat ini, muncullah perbedaan pendapat mengenai; apakah menyentuh wanita membatalkan wudhu ?

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa kata mulāmasah adalah kinayah untuk jimak. Menguatkan hal tersebut, tafsiran Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma sebagai salah satu penafsir Al-Quran dari kalangan para sahabat.

Maka madzhab Syafii dalam hal ini yang berpendapat menyentuh wanita ajnabiyyah membatalkan wudhu secara mutlak, memiliki 3 jawaban atas tafsir Ibnu Abbas di atas.

Pertama, tafsir Ibnu Abbas bertentangan dengan tafsir Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Syafii dalam musnad-nya, dimana beliau menyampaikan;

قبلة الرجل امرأته و جسها من الملامسة
"Ciuman seorang lelaki kepada istrinya, serta pelukannya termasuk mulāmasah."

Maka disini secara gamblang, beliau tafsirkan mulāmasah bukanlah jimak. Maka membawa makna mulāmasah dalam bentuk majaznya adalah lemah, karena bertentangan dengan dalil lain. Kaidah mengatakan;

اذا تطرق على دليل احتمال سقط استدلال
"Jika sebuah dalil memiliki sisi kemungkinan, maka jatuh sisi pendalilan dengannya."

Kedua, tafsiran Ibnu Abbas bertentangan dengan hakīkat makna mulāmasah. Karena mulāmasah secara hakīkat adalah sentuhan. Sedangkan mulāmasah adalah jimak secara majāz. Dan jika bertentangan makna hakīkat dengan makna majāznya, maka diutamakan makna majāz. Dalil dalam hal ini, adalah hadits;

نهى النبي صلى الله عليه و سلم عن بيع الملامسة
"Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang dari jual beli mulāmasah."

Jual beli mulāmasah adalah keharusan beli terhadap suatu barang hanya karena sudah disentuh saja. Maka ini menunjukkan bahwa mulāmasah memang menyentuh, bukan jimak secara hakīkat lughowiyyah.

Ketiga, tafsiran Ibnu Abbas bertentangan dengan qiroah yang lainnya dari ayat ini, yang shahihah serta mutawatirah, yang membaca;

أو لمستم النساء

Dengan memendekkan (qoshr) lām-nya. Maka kata al-lams dalam bahasa Arab bermakna menyentuh, bukan jimak sama sekali.

Wallahu Ta'ala A'lam

Abu Harits Danang Santoso Al-Jāwi
https://linktr.ee/fiqhgram

🏷 #Faedah kajian kitab At-Tadzhīb fi Adillatil Ghōyah wat Taqrīb

Senin, 15 Januari 2024

,

 


Orang tua adalah salah satu nikmat Allah Ta'ala yang dihadirkan kepada kita. Dengan kasih sayang keduanya, kita pun tumbuh dan berkembang. Oleh karenanya kita diiperintahkan untuk berterimakasih kepada kedua orang tua. Allah Ta'ala berfirman;

{ وَوَصَّیۡنَا ٱلۡإِنسَـٰنَ بِوَ ٰ⁠لِدَیۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنࣲ وَفِصَـٰلُهُۥ فِی عَامَیۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِی وَلِوَ ٰ⁠لِدَیۡكَ إِلَیَّ ٱلۡمَصِیرُ }
"Dan Kami wasiatkan manusia terhadap kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam kondisi yang susah di atas kesusahan lainnya. Lalu manusia disapih ketika berumur dua tahun. Maka (Kami wasiatkan) berterimakasihlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, kepada-Ku lah kalian akan kembali."
[ QS Lukman ayat 14 ]

Dalam kitab Taisirul Khollaq, bahwa orang tua adalah sebab keberadaan manusia di dunia. Kalau bukan sebab perantara orang tua, kita bukanlah sesuatu yang tida ada. Oleh karenanya, suatu kewajiban kita berterimakasih kepada keduanya. Dan bentuk berterimakasih serta berbuat baik kepada kedua orang tua, diungkapkan dan dibahasakan oleh syariat Islam sebagai birrul walidain.


HUKUM BIRRUL WALIDAIN


Secara umum, birrul walidain hukumya adalah wajib. Hal ini dilandasi oleh ijmak kaum muslimin, serta beberapa ayat dan hadits yang cukup masyhur dalam hal ini. Diantaranya firman Allah Ta'ala;

{وَاعْبُدُوا اللهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ}
"Dan sembahlah Allah dna jangan kalian menyekutukan Dia dengan sesuatu apapun, dan terhadap kedua orang tua maka berbuat baiklah. Juga kepada kerabat, anak yatim, orang -orang miskin, tetangga yang dekat maupun yang jauh, dan teman dekat, dan orang yang dalam perjalanan, serta budak yang kalian miliki."
[ QS An-Nisa ayat 36 ]


Juga firman Allah Ta'ala;

{وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا}
"Dan Rabb-mu telah menetapkan bahwa janganlah kalian sembah kecuali Allah, dan terhadap kedua orang tua maka berbuat baiklah. Dan ketika kedua orang tua atau salah satunya telah mencapai usia tua disisi kalian, maka janganlah kalian katakan kepada 'Ah', dan jangan kau hardik keduanya, dan berbicaralah kepada keduanya dengan ucapan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu disisi keduanya dalam berkasih sayang, dan katakanlah; wahai Rabbku kasihanilah keduanya sebagaimana keduanya telah mengasihku sewaktu kecil."
[ QS Al-Isro ayat 23-24 ]

Maka dari dua ayat dia atas diketahui bahwa hukum berbuat baik kepada kedua orang tua adalah wajib. Karena dalam ayat (wa bil walidaini ihsana) adaah sebuah perintah dalam bentuk khobar. Dan perintah hukum asalnya memberikan konsekuensi kewajiban.


KEUTAMAAN DAN KEDUDUKAN BIRRUL WALIDAIN


1. Birrul walidain termasuk amalan yang paling besar dan paling dicintai Allah. Sebagaimana hadits Abdullah ibn Mas'ud radhiyallahu anhu, beliau berkata;


سألت النبي - صلى الله عليه وسلم: أيُّ العَمَلِ أحَبُّ إِلَى اللهِ تَعَالَى؟ قَالَ: «الصَّلاةُ عَلَى وَقْتِهَا»، قُلْتُ: ثُمَّ أي؟ قَالَ: «بِرُّ الوَالِدَيْنِ»، قُلْتُ: ثُمَّ أيٌّ؟ قَالَ: «الجِهَادُ في سبيلِ الله». مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
"Aku bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam; amal apakah yang paling dicintai Allah ? Maka beliau menjawab ((Shalat pada waktunya)). Lalu apa ? Beliau menjawab ((Birrul walidain)). Aku katakan; lalu apa ? Beliau menjawab ((Jihad di jalan Allah))."
[ HR.Bukhari dan Muslim ]

2. Birrul walidain setara dengan jihad di jalan Allah, bahkan bisa jadi lebih utama daripada jihad di jalan Allah dalam beberapa kondisi. Seperti ketika pasukan kaum muslimin sudah mencukupi tanpa tambahan kita. Dalilnya adalah hadits Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu anhu berkata;

أقبلَ رَجُلٌ إِلَى نَبيِّ الله - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ: أُبَايِعُكَ عَلَى الهِجْرَةِ وَالجِهَادِ أَبْتَغي الأجْرَ مِنَ الله تَعَالَى. قَالَ: «فَهَلْ لَكَ مِنْ وَالِدَيْكَ أحَدٌ حَيٌّ؟» قَالَ: نَعَمْ، بَلْ كِلاهُمَا. قَالَ: «فَتَبْتَغي الأجْرَ مِنَ الله تَعَالَى؟» قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: «فارْجِعْ إِلَى وَالِدَيْكَ، فَأحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا». مُتَّفَقٌ عَلَيهِ، وهذا لَفْظُ مسلِم
"Suatu ketika datang seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan berkata; aku membaiatmu untuk hijrah dan jihad, aku mengharapkan pahala dari Allah Ta'ala. Maka beliau bersabda ((Apakah engkau masih memiliki salah satu dari kedua orang tua yang masih hidup ?)) Orang tersebut menjawab; iya, bahkan keduanya masih hidup. Lalu beliau berkata lagi ((Lalu engkau ingin mendapatkan pahala dari Allah ?)) Orang itu mennjawab; iya. Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda ((Kembalilah kepada kedua orang tuamu, dan perbaguslah dirimu dalam menemani mereka berdua))."
[ HR.Bukhari dan Muslim, dan ini dalam lafadz Muslim ]

3. Sebagaimana birrul walidain memiliki keutamaan yang besar dan berhukum wajib, maka durhaka kepada kedua orang tua hukumnya adalah haram. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ: عُقُوقَ الْأُمَّهَاتِ  وَوَأْدَ الْبَنَاتِ، وَمَنْعٍ وَهَاتِ، وَكَرِهَ لَكُمْ: قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
"Sesungguhnya Allah Ta'ala mengharamkan atas kalian durhaka kepada para ibu, mengubur anak perempuan, pelit namun meminta-minta kepada orang lain. Dan membenci dari kalian katanya dan katanya (menebar kabar burung), banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta."
[ HR.Bukhari (2408) ]

4. Durhaka kepada orang tua bukan hanya sekedar haram hukumnya, bahkan dia termasuk dosa besar. Sebagaimana dalam hadits Abu Bakrah Nufai' ibn Al--Harits radhiyallahu anhu berkata, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

«ألا أُنَبِّئُكُمْ بأكْبَرِ الكَبَائِرِ؟» - ثلاثًا - قُلْنَا: بَلَى، يَا رَسُول الله، قَالَ: «الإشْرَاكُ بالله، وَعُقُوقُ الوَالِدَيْنِ»، وكان مُتَّكِئًا فَجَلَسَ، فَقَالَ: «ألاَ وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ» فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَتَ. مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
"((Maukah aku beri tahu kalian dosa besar yang paling besar ?)) -beliau ulangi tiga kali-, maka para sahabat menjawab; tentu saja wahai Rasulullah. Maka beliau bersabda ((Menyekutukan Allah Ta'ala, dan durhaka kepada kedua orang tua)) Lalu beliau beranjak dari tempat bersandarnya lalu duduk dan melanjutkan ((Ketahuilah, dan persaksian dusta)). Dan beliau mengulangi hal tersebut berkali-kali hingga kami berharap beliau diam tidak melanjutkan lagi."
[ HR.Bukhari dan Muslim ]


BENTUK BIRRUL WALIDAIN


Jika ditanya, bagaimanakah caranya birrul walidain kepada kedua orang tua ? Maka secara umum birrul walidain mencakup semua perbuatan baik kepada orang tua yang sudah ma'ruf diketahui. Serta mentaati perintah kedua orang tua selama bukan dalam ranah kemaksiatan. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam firman Allah Ta'ala;

{ وَإِن جَـٰهَدَاكَ عَلَىٰۤ أَن تُشۡرِكَ بِی مَا لَیۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمࣱ فَلَا تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِی ٱلدُّنۡیَا مَعۡرُوفࣰاۖ وَٱتَّبِعۡ سَبِیلَ مَنۡ أَنَابَ إِلَیَّۚ ثُمَّ إِلَیَّ مَرۡجِعُكُمۡ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ }
"Dan jika kedua orang tua memaksamu untuk menyekutukan-Ku (Allah) yang kamu tidak memiliki ilmu dalam hal itu maka jangan patuhi mereka. Dan bersamailah keduanya di dunia dengan kebaikan yang ma'ruf (sudah diketahui secara adat). Dan ikuilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku lalu kepada-Ku lah tempat kembali kalian, lalu Aku akan beritahukan apapun yang sudah kalian kerjakan."
[ QS Lukman ayat 15 ]


Adapun secara rinci, maka ada beberapa kebaikan yang bisa kita berikan kepada orang tua. Dan penjelasannya sebagai berikut;


1. Berusaha untuk membersamai mereka jika memungkinkan. Jika tidak paling tidak harus ada waktu luang yang digunakan untuk menjenguk. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu berkata;

جاء رجل إِلَى رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ: يَا رَسُول الله، مَنْ أحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: «أُمُّكَ» قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: «أُمُّكَ»، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: «أُمُّكَ»، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: «أبُوكَ». مُتَّفَقٌ عَلَيهِ
"Datang seseorang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan berkata; wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berhak untuk aku berikan kebaikan saat membersamainya ?. Maka beliau bersabda ((Ibumu)). Lalu dia bertanya; siapa lagi ? Lalu beliau menjawab ((Ibumu)). Lalu dia bertanya lagi; lalu siapa lagi ? Lalu beliau menjawab ((Ibumu)). Lalu dia bertanya; lalu siapa lagi ? Beliau menjawab ((Ayahmu))."
[ HR.Bukhari dan Muslim ]


Bahkan kalaupun orang tua kita masih kafir, tetap berusaha kita membersamai mereka dan berbuat baik kepadanya. Sebagaimana hadits Asma binti Abi Bakr radhiyallahu anhu, beliau berkata;

قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشركةٌ في عَهْدِ رسولِ الله - صلى الله عليه وسلم - فاسْتَفْتَيْتُ رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - قُلْتُ: قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ رَاغِبَةٌ، أفَأصِلُ أُمِّي؟ قَالَ: «نَعَمْ، صِلِي أُمَّكِ». مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
"Suatu ketika datang kepadaku ibuku yang masih musyrik. Maka akupun bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan berkata; ibuku datang kepadaku, dan meminta bantuan kepadaku, apakah aku harus menyambutnya ?. Maka beliau bersabda ((Tentu, sambunglah hubunganmu dengannya))."
[ HR.Bukhari dan Muslim ]

2. Berbakti kepada orang tua dengan memanfaatkan potensi harta. Maka ini bisa dilakukan dengan beberapa cara. Diantara ketika memiliki kelebihan harta, adalah dengan menafkahi mereka, bahkan bisa menjadi wajib jika orang tua miskin sedang anaknya memiliki kelebihan harta setelah tercukupi nafkah dirinya dan keluarganya. Dalilnya adalah hadits Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;


إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ، وَإِنَّ وَلَدَهُ مِنْ كَسْبِهِ
"Sebaik-baik harta yang dimakan seseorang adalah dari hasil jerih payahnya, dan anaknya adalah hasil jerih payahnya."
[ HR.Ibnu Majah (2137), An-Nasai (4452) ]

3. Dengan mendoakan kedua orang tua, maka ini adalah bentuk berbakti dengan memanfaatkan potensi agama pada diri kita.


BATAS DURHAKA


Termasuk kerugian terbesar dalam hidup adalah, dia mendapati kedua orang tuanya masih hidup namun dia tidak bisa memaksimalkan birrul walidainnya kepada keduanya dan bertindak durhaka hingga wafat. 

Sehingga keduanya tidak menjadi sebab dirinya masuk surga. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

«رغِم أنفُ، ثُمَّ رَغِمَ أنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أنْفُ مَنْ أدْرَكَ أبَويهِ عِنْدَ الكِبَرِ، أَحَدهُما أَوْ كِليهمَا فَلَمْ يَدْخُلِ الجَنَّةَ». رواه مسلم.
"Celaka, lalu celaka, lalu celaka .. orang yang mendapati keduanya orang tuanya masih hidup saat sudah tua namun tidak menjadi sebab dia masuk surga."
[ HR.Muslim ]


Namun, sampai mana batasan sebuah perilaku itu disebut kedurhakaan kepada orang tua, yang dihukumi haram dan dosa besar ? Maka pengertian 'uqūq wālidain (durhaka pada orang tua), sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Shalāh Asy-Syafii (w.643 H) dalam fatwanya yang dinukil oleh Ibnul 'Aththōr menyatakan;

العقوق المحرم كل فعل يتأذى به الوالد أو نحوه تأذيًا ليس بالهين مع كونه ليس من الأفعال الواجبة
"Kedurhakaan yang haram adalah setiap perbuatan yang menyakiti orang tua atau semisalnya yang bukan dalam hal remeh (cukup menyakitkan) yang mana perbuatan tersebut bukan dalam ranah wajib dalam syariat."
[ Al-Uddah fi Syarh Umdah. Ibnul Aththor Asy-Syafii. Beirut, Dārul Basyāir Al-Islamiyyah. Cetakan pertama. Tahun 2006 ]

Hal yang senada juga diungkapkan oleh para ulama lainnya yang mana semua bermuara bahwa batas durhaka adalah perilaku tersebut sampai memberi dampak menyakiti orang tua dengan rasa sakit yang tidak ringan (laisa bil hayyin). Namun, sudut pandang ringan atapun tidak ini juga memiliki kemungkinan. Dari sudut pandang subjektif orang tua, atau sudut pandang keumuman manusia (urf). Ibnu Allan As-Syafii dalam Dalilul Falihin Syarah Riyadhus Shalihin (3/177) lebih condong kepada sudut pandang 'urf. Beliau berkata;

والذي يظهر أن المراد الثاني بدليل أنه لو أمر ولده بنحو فراق حليلته لم يلزمه طاعته وإن تأذى بذلك كثيراً، فعلمنا أنه ليس المناط وجود التأذي الكثير، بل أن يكون ذلك من شأنه أنه يتأذى به كثيراً
"Yang nampak maksudnya adalah yang kedua (sudut pandang 'urf), dengan alasan seandainya orang memerintah anaknya untuk mencerai istrinya, maka tidak wajib bagi si anak untuk mencerainya, meskipun hal tersebut berdampak sakit hati pada orang tua secara cukup mendalam. Maka, dari situ kita tahu bahwa ukurannya bukan sekedar rasa sakit yang besar, namun rasa sakit yang besar yang memang keumuman manusia pun akan merasakan yang sama."


DURHAKA KEPADA ORANG TUA YANG SUDAH MENINGGAL, ADAKAH JALAN BETAUBAT


Imam An-Nawawi rahimahullah pernah ditanya mengenai hal ini. Dimana si penanya berkata;

مسألة: إِذا كان الإنسان عاقًا لوالديه، وماتا ساخطين عليه فما طريقه إِلى إِزالة ذلك، وإِسقاط مطالبتهما له في الآخرة؟.
"Jika seseorang pernah durhaka kepada kedua orang tuanya, lalu keduanya meninggal dalam kondisi marah kepadanya, maka bagaimana cara untuk menghilangkan hal tersebut dan terlepas dari hukuman di akhirat ?"

Beliau pun memberikan jawabannya dengan mengatakan;

الجواب: أما مطالبتهما له في الآخرة فلا طريق إِلى إِبطالها، ولكن ينبغي له بعد الندم على ذلك، أن يُكثر من الاستغفار لهما والدعاء، وأن يتصدق عنهما إن أمكن، وأن يكرم من كانا يحبان إِكرامَه: من صديق لهما ونحوه، وأن يصلَ رَحِمَهما، وأن يقضي دَيْنهما (١)، أو ما تيسر له من ذلك (٢).

"Adapun hukuman di akhirat maka tidak ada solusi untuk menghapusnya. Akan tetapi hendaknya (setelah si anak menyesal atas kedurhakaannya) memperbanyak istighfar bagi kedua orang tuanya dan mendoakan keduanya, juga bersedekah atas nama keduanya jika memungkinkan, dan dan memuliakan orang-orang yang dulu dimuliakan oleh kedua orang tuanya, baik teman atau lainnya. Juga menyambung tali silaturahim orang tuanya, membayar semua hutang keduanya atau semampunya."
[ Fatawa An-Nawawi. Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi. Beirut, Dārul Basyāir Al-Islamiyyah. Cetakan keenam. Tahun 1996. Hal,96 ]


Maka, jika terasa ada perilaku kita yang menyakiti orang tua atau sudah masuk dalam batasan durhaka, segeralah meminta ridho kepada orang tua. Sebelum penghakiman di akhirat tidak bisa dihindari lagi.


Wallahu Ta'ala A'lam


Jombang, 11 Januari 2024
Abu Harits Danang Santoso Al-Jawi

Klik https://linktr.ee/fiqhgram

Kamis, 11 Januari 2024

,

 


Membicarakan antara shalat dan kuburan dari sisi fikih, maka terjadi dalam dua pembahasan besar.

Pertama, masalah shalat di komplek pemakaman. Maka dalam hal ini, landasan pembahasan adalah hadits Abu Said Al-Khudri radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;


الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ، إِلَّا الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ
"Bumi seluruhnya adalah masjid kecuali kuburan dan pemandian."
[ HR.Abu Dawud (492), At-Tirmidzi (317), Ibnu Majah (745) ]


Maka para ulama pun bersilang pendapat tentang hukumnya. Pendapat pertama menyatakan hukumnya adalah haram, dan ini pendapat Hanabilah. Sedangkan pendapat kedua menghukuminya makruh dan shalatnya pun tetap sah, dan ini pendapat madzhab Syafii dan kebanyakan dari para ulama. Alasannya, karena memandang larangan disini ta'lilnya adalah kemungkinan adanya najis yang ada di tanah kuburan. Karena kuburan tanahnya bercampur dengan bangkai manusia; yang ada darah, nanah, dan najis lainnya. Dan shalatnya tidak sah.


Oleh karenanya, kemakruhan ini berlaku jika memenuhi beberapa syarat berikut;

a. Kuburan tersebut adalah kuburan baru yang belum dibalik tanahnya (tanah yang digunakan untuk mengubur jenazah belum digunakan untuk mengubur jenazah), atau dalam istilah fikih disebut ghoiru manbusyah. Maka jika kuburan tersebut sudah dibalik, hukumnya haram karena shalat di tempat najis. Berkata Imam Ar-Rofi'i;


المقبرة إن كانت نجسة لاختلاطها بصديد الموتى وما يخرج منهم فلا تجوز الصلاة فيها، وكذلك الحمام إن اشتمل على البول والدم والأنجاس، وإن كانا طاهرين فتجوز الصلاة مع كراهة
"Kuburan jik najis karena bercampur dengan nanah mayit dan kotoran yang keluar darinya; maka tidak boleh shalat disitu. Demikian juga pemandian yang tercampur dengan tempat kencing, darah, dan najis lainnya. Namun jika keduanya (kuburan dan  pemandian) suci, maka boleh shalat disitu namun makruh."
[ Syarah Musnad Syafii. Imam Ar-Rofi'i. (1/207) ]

b. Shalat yang dilakukan langsung di atas tanah kuburan. Maka apabila tanah kuburan sudah ditutupi oleh keramik, batu, atau semisalnya dan dia shalat di atasnya, hukumnya mubah tanpa ada kemakruhan. Ibnu Roslam mengatakan;


النجسَة لا تصَح الصَّلاة فيهَا إلَّا أن يَكون بَينَهُ وبَينها حَائل. قال النوَوي وغيرهُ: إن تحقق نبشها لمْ تصَحّ صَلاته فيهَا بلا خلاف إذا لم يَبسُط تحته شَيئًا، وإن تحقق عَدَم نبشها صَحت بلا خلاف، وهي مكروهة كراهة تنزيه، وإن شك في نبْشها فالأصح الصحة مَعَ الكرَاهَة
"(Kuburan) yang najis tdak sah shalat disana; kecuali jika ada penghalang antara dirinya dengan tanah kuburan. Berkata Imam Nawawi dan selainnya: (Jika dipastikan kuburan itu sudah dibalik tanahnya, maka tidak sah shalat disana tanpa ada khilaf, jika tidak dihamparkan dibawahnya sesuatu. Dan jika dipastikan tidak di balik tanahnya, maka sah tanpa ada khilaf juga, akan tetapi makruh tanzih. Jika ragu apakah tanah sudah dibalik atau belum, maka tetap sah shalat namun tetap makruh."
[ Syarah Sunan Abi Dawud. Ibnu Roslan. (3/353) ]


Kedua, permasalahan shalat menghadap ke arah kuburan. Landasan pembahasan disini, adalah hadits Abu Martsad radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alalihi wa sallam bersabda;

لَا تَجْلِسُوا  عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا
"Janganlah kalian duduk di atas kuburan, dan janganlah shalat ke arahnya."
[ HR. Muslim (972) ]

Maka disini pun ada dua pendapat dari para ulama. Pendapat pertama menghukumi makruh, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama Syafiiyyah dan lainnya. Sebagaimana larangan ini bersifat makruh, telah dinukil oleh Imam Nawawi dalam syarah Shahih Muslim;

فيه تصريح بالنهى عن الصلاة إلى القبر قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَأَكْرَهُ أَنْ يُعَظَّمَ مَخْلُوقٌ حَتَّى يُجْعَلَ قَبْرُهُ مَسْجِدًا مَخَافَةَ الْفِتْنَةِ عَلَيْهِ وَعَلَى مَنْ بَعْدَهُ مِنَ النَّاسِ
"Dalam hadits ini adalah kejelasan larangan shalat menghadap ke arah kubur. Berkata As-Syafii; (Dan aku benci makhluk diagungkan hingga kuburannya dijadikan masjid, karena khawatir fitnah untuk dirinya dan orang setelahnnya dari manusia)."
[ Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim. (7/38) ]

Jika dikatakan, maksud dari ucapan Imam Syafii akrohu (aku memakruhkan) maksudnya haram, maka pemahama para ulama Syafiiyah dalam memahami ucapan Imam Syafii tidak maksudnya haram, namun memang benar makruh. Sebagaimana pepatah mengatakan, 'Orang lebih faham dengan jalan-jalan di Makkah.' Sebagaimana hal ini diungkapkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu';

ِ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ وَتُكْرَهُ الصَّلَاةُ إلَى الْقُبُورِ  سَوَاءٌ كَانَ الْمَيِّتُ صَالِحًا أَوْ غَيْرَهُ قَالَ الْحَافِظُ أَبُو مُوسَى قَالَ الْإِمَامُ أَبُو الْحَسَنِ الزعفراني رحمه الله ولا يصلي إلي قبر وَلَا عِنْدَهُ تَبَرُّكًا بِهِ وَإِعْظَامًا لَهُ لِلْأَحَادِيثِ والله أعلم
"Berkata Imam Syafii dan para ulama Syafiiyyah; dimakruhkan shalat menghadap ke arah kuburan. Sama saja apakah kuburan itu kuburan orang shalih atau bukan. Berkata Al-Hafidz Abu Musa, berkata Abul Hasan Az-Za'farani (murid Imam Syafii -edt); Dan tidak boleh shalat menghadap kubur atau disisinya dan memuliakan kuburan karena adanya hadits. Wallahu A'lam."
[ Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab. Imam Nawawi. (5/316-317) ]

Lantas bagaimana dengan hadits Aisyah radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alihi wa sallam bersabda pada saat beliau sakit menjelang wafatnya;

لَعَنَ اللهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى؛ اتَّخَذُوا قُبُورَ  أَنْبِيَائِهِمْ مَسْجِدًا
"Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani; mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat sujud."
[ HR. Bukhari (1330) ]

Juga haditsnya Jundub radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda sebelum wafat;

أَلَا وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ، أَلَا فَلَا تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ، إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
"Ketahuilah, sesungguhnya orang sebelum kalian menjadikan kuburan nabi-nabi mereka dan kuburan orang shalih mereka menjadi tempat sujud. Ketahuilah, maka jangan kalian jadikan kuburan-kuburan menjadi masjid, sesungguhnya aku melarang kalian dari hal tersebut."
[ HR.Muslim (532) ]

Maka Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqolani mengatakan dalam Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari;

وَقَالَ الْبَيْضَاوِيُّ لَمَّا كَانَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى يَسْجُدُونَ لِقُبُورِ الْأَنْبِيَاءِ تَعْظِيمًا لِشَأْنِهِمْ وَيَجْعَلُونَهَا قِبْلَةً يَتَوَجَّهُونَ فِي الصَّلَاةِ نَحْوَهَا وَاتَّخَذُوهَا أَوْثَانًا لَعَنَهُمْ وَمَنَعَ الْمُسْلِمِينَ عَنْ مِثْلِ ذَلِكَ فَأَمَّا مَنِ اتَّخَذَ مَسْجِدًا فِي جِوَارٍ صَالِحٍ وَقَصَدَ التَّبَرُّكَ بِالْقُرْبِ مِنْهُ لَا التَّعْظِيمَ لَهُ وَلَا التَّوَجُّهَ نَحْوَهُ فَلَا يَدْخُلُ فِي ذَلِكَ الْوَعيد
"Dan berkata Al-Baidhow; ketika orang Yahudi dan Nashrani sujud kepada kuburan para nabi, sebagai wujud pemuliaan kepada mereka, dan menjadikan kuburan itu kiblat dimana mereka shalat menghadap ke kuburan itu, dan menjadikan kuburan itu berhala-berhala. Maka Allah melaknat mereka, dan melarang kaum muslimin meniru hal itu. Adapun orang yang menjadikan masjid di sisi kuburan orang shalih, dengan maksud tabarruk ketika dekat dengannya, bukan maksud pemuliaan kepadanya, maka tidak masuk dalam ancaman tersebut."
[ Fathul Bari. Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqqolani. (1/525) ]

Kami katakan; kendati demikian laknat memberikan implikasi hukum haram. Maka taruhlah hukum haram tidak berlaku disini, paling tidak kemakruhan masih tetap ada sebagaimana yang dijelaskan secara gamblang oleh ucapan Imam Syafii sendiri serta ulama madzhab lainnya. Wallahu A'lam.

Pendapat kedua dalam masalah ini, hukum shalat menghadap kuburan adalah haram dan bukan makruh. Dan ini adalah pendapat sebagian ulama Syafiiyyah, serta pendapat madzhab lain seperti Hanabilah. Diantara ulama Syafiiyyah yang berpendapat haram adalah Ibnu Mulaqqin dalam Al-Ilmam mengatakan;

فيه تحريم الصلاة إلى القبور  وإن لم يقصد  الشافعية فجزموا بالكراهة. والحديث الصحيح السالف "لا تصلوا إليها" ظاهر في التحريم، وكذا هذا أيضاً وغيره من الأحاديث
"Dalam hadits ini (hadits Aisyah -edt) ada faedah keharaman shalat menghadap ke kuburan, meskipun tidak bermaksud menghadap ke kuburan tersebut, meskipun ulama Syafiiyyah menetapkan hukumnya makruh. Dan hadits shahih yang terdahulu ((Jangan shalat menghadapnya)) jelas sekali dalam penetapan haram. Demikian hadits ini (hadits Aisyah -edt) dan selainnya dari hadits."
[ Al-I'lām bi Fawāid Umdatil Ahkam. Ibnu Mulaqqin. (4/520-521) ]

Demikian juga Ibnul 'Aththtor murid Imam Nawawi dalam Al-Uddah mengatakan;

وفيه: تحريم السجود إلى القبور،  والصلاة إليها، وإن لم يقصد تعظيمها، والله أعلم
"Dan dalam hadits ini ada faedah keharaman sujud ke arah kuburan, serta shalat kepadanya, meskipun tidak bermaksud memuliakan kuburan tersebut. Wallahu A'lam.
[ Al-Uddah fi Syarhil Umdah. Ibnul 'Aththor. (2/789) ]

Kami sendiri lebih condong ke hukum haram ini, sebagai bentuk kehati-hatian. Dan juga sebagai wujud keluar dari khilaf sebagaimana telah tetap dalam kaidah fikih, 'keluar dari khilaf adalah disukai.' Namun, dalam dua kondisi; entah hukumnya haram atau makruh sepakat dalam madzhab Syafii dan lainnya dari para ulama, menghukumi shalat yang dilakukan tetaplah sah secara fikih.
Sebagaimana hal itu disebutkan secara jelas oleh Imam Syafii sendiri yang diriwayatkan oleh muridnya Imam Al-Muzani yang mengatakan;

وإنْ صَلَّى فوق قَبْرٍ أو إلى جَنْبِه  لم يُنْبَش .. أجزأه
"Dan jika tetap shalat di atas kubur, atau ke arah kubur, atau disisi kubur yang belum dibalik tanahnya ... sah shalatnya."
[ Mukhtashor Al-Muzani. Imam Al-Muzani. Tahqiq Ad-Daghistāni. (1/115) ]
.
Wallahu Ta'ala A'lam.
.
Jombang, 11 Januari 2024
Abu Harits Danang Santoso Al-Jawi

Klik https://linktr.ee/fiqhgram

Senin, 08 Januari 2024

,

Bagi seseorang yang baru saja memasuki dunia ilmu syar'i, maka manhaj (metode) belajar yang dianjurkan oleh para ulama adalah dengan mempelajari kitab terdasar dari suatu cabang ilmu, atau satu kitab dari setiap cabang ilmu yang dia pelajari (jika belajar lebih dari satu cabang ilmu di waktu bersamaan). Kitab itu dipelajari sampai khatam dan benar-benar faham, lalu naik ke level kitab berikutnya. Dan jangan terburu memasuki dunia silang pendapat para ulama dari cabang ilmu tersebut, sebelum dia memiliki kafāah ilmiyyah yang mumpuni dalam bidang tersebut.

.
Sebagaimana Al-Qōdhi Badruddīn Ibnu Jamā'ah As-Syafii (799 H) menyampaikan;
.
أن يحذر في ابتداء أمره من الاشتغال في الاختلاف بين العلماء أو بين الناس مطلقا في العقليات و السمعيات فإنه يحير الدهن و يدهش العقل
"Hendaknya hati-hati santri yang baru mulai belajar, supaya tidak sibuk melihat khilaf yang terjadi diantara para ulama dan manusia. Baik dalam aqliyāt ataupun sam'iyyāt (naqliy). Karena hal tersebut bisa membuat bingung pikiran, dan mengejutkan akal."

Maka, terburu-buru masuk dunia khilaf di tangga awal belajar akan memberikan dampak tasywīsy fikri (kerancuan pola pikir). Bangunan ilmu di cabang tersebut tidak akan tertata rapi dalam benak pikirannya. Lalu beliau melanjutkan nasehatnya;
.
بل يتقن أولا كتابا واحدا في فن واحد أو كتبا في فنون إن كانت يحتمل ذلك على طريقة واحدة يرتضيها له شيخه.
"Akan tetapi hendaknya santri yang baru belajar, pelajari dulu satu kitab di satu cabang ilmu tertentu. Atau beberapa kitab dalam cabang ilmu yang berbeda-beda jika dia mampu (belajar di beberapa cabang ilmu). Dengan satu cara yang diajarkan gurunya."
.
Oleh karenanya, peran guru dalam hal ini sangatlah penting. Bahkan Syaikh Ibrahīm Al-BājūrI dalam muqoddimah Hasyiyah Fathul Qorīb menyinggung; diantara nikmat santri adalah mendapatkan guru yang membukakan cakrawala ilmu dengan baik (syaikh fattāh). Sebaliknya, guru yang terlalu sibuk dengan dirinya, yang terlalu berpanjang dan berlebar bahkan sampai menyampaikan khilaf di setiap pembelajarannya (padahal kitab yang dikaji adalah kitab pemula), adalah guru yang dipandang buruk. Olehnya Ibnu Jamā'ah melanjutkan ucapannya;

.

فإن كانت طريقة شيخه نقل المذاهب و الاختلاف و لم يكن له رأي واحد قال الغزالي ((فليحذر منه فإن ضرره أكثر من النفع به))
"Dan jika cara gurunya mengajar dengan sembari menyebutkan khilaf-khilaf madzhab, tidak memberikan informasi satu pendapat dahulu. Maka Imam Ghozali mengatakan tentang guru semacam ini; hati-hatilah dari guru semacam ini karena kemudhorotannya lebih besar dari manfaatnya."
.
Wallahu Ta'ala A'lam
.
Jombang, 7 Januari 2024
Abu Harits Danang Santoso Al-Jawi
https://linktr.ee/fiqhgram 
.
Sumber: Tadzkirotus Sāmi wal Mutakallim. Al-Qōdhi Badruddīn Ibn Jamā'ah. Hal, 218-219
,

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Abdullah Bafadhal dalam Al-Muqoddimah Al-Hadromiyyah, syarat keabsahan menjadi seorang muadzin hanyalah tiga;

.

Pertama, islam. Maka tidak sah adzannya orang kafir. Karena adzan adalah ibadah Islam, dan tidak sah ibadah dari orang kafir. Juga adzannya seorang yang kafir, memberikan isyarat akan adanya istihza (pelecehan) serta adzan adalah pengantar shalat, sedangkan orang kafir tidak sah shalat. Sebagaimana hal  ini diisyaratkan oleh Said Ba'asyan dalam Busyrol Karim-nya.
.
Kedua, tamyiz. Maka anak yang belum mumayyiz tidak sah adzannya, seperti anak yang terlalu kecil yang umurnya kurang dari 7 tahun. Demikian juga orang yang tidak memiliki tamyiz ketika adzan, semisal orang mabuk, hilang akal, dan semacamnya.
.
Ketiga, laki-laki. Maka tidak sah adzannya wanita meskipun sesama jamaah wanita. Syaikh Said Ba'asyan mennjelaskan hal ini karena dua alasan; karena adzan maksudnya adalah memberi tahu dengan suara yang keras, sedang wanita tidak diperkenankan mengeluarkan suara yang keras karena suaranya adalah fitnah. Kedua, karena adzan adalah kekhususan laki-laki, dan jika wanita melakukannya maka ada sisi tasyabbuhnya.
.
Ketiga hal ini adalah syarat yang berhubungan dengan diri muadzin. Adapun syarat adzan itu sendiri, maka ada enam;
.
Pertama, adzan ketika sudah memasuki waktu shalat. Maka jika adzan sebelum waktu shalat, adzannya dianggap tidak sah. Kecuali untuk adzan shubuh yang pertama serta adzan pertama untuk shalat jumat; maka tetap sah dilaksanakan sebelum masuknya waktu shalat.
.
Kedua, lafadz adzan berurutan sesuai nash. Jika lafadz adzan terbalik-balik maka tidak sah. Dan jika ada lafadz yang terlupa, maka boleh mengulang dari lafaz yang terlupa, namun diulang dari awal lebih utama.
.
Ketiga, berkesinambungan. Maka tidak boleh memberikan jeda di tengah-tengah adzan dengan jeda yang panjang. Adapun diam sejenak, atau dijeda dengan berbicara sebentar, maka tidak membatalkan adzan.
.
Keempat, seluruh adzan dikumandangankan dari satu orang saja. Dalam artian, tidak sah jika adzan dari dua orang; dimana orang pertama adzan sampai tengah, lalu dilanjutkan dengan orang kedua. Karena hal ini bisa memberikan kerancuan bagi para pendengar adzan.
.
Kelima, adzan dengan bahasa Arab. Maka tidak sah jika adzan dikumandangkan dengan menerjemahkan kalimat adzan ke bahasa lain; seperti bahasa Indonesia atau yang lain. Namun, jika seluruh orang yang hadir tidak ada yang bisa berbahasa Arab untuk mengumandangkan adzan, maka baru sah dengan bahasa selain Arab.
.
Keenam, dengan suara yang keras; minimal bisa didengar oleh jamaah yang diharapkan hadir untuk shalat, atau didengar sendiri jika dia shalat sendiri. Maka tidak sah, jika adzan tanpa mengeluarkan suara.
.
Wallahu Ta'ala A'lam
.
Jombang, 8 Januari 2024
Abu Harits Danang Santoso Al-Jawi
https://linktr.ee/fiqhgram
.
Sumber: Busyrol Karim Syarah Masail Taklim. Said Ba'syan. Surabaya, Darul Mukhtar. (1/61-62)

Jumat, 05 Januari 2024

,


Sudah menjadi adat yang 'dilumrahkan' oleh masyarakat kita, budaya uang sogokan (politik uang) yang sudah menjadi rahasia umum. Terlebih lagi di tahun-tahun politik. Dalam etika politik pun hal ini sebenarnya dilarang. Namun jargon 'hindari politik uang', atau 'tolak politik uang', menjadi penghias beranda sosial media atau menjadi konten papan reklame di pinggir jalan, tanpa ada pengamalan yang berarti.

.
Dalam sudut pandang Islam, jelas ini adalah sesuatu yang haram. Bahkan bisa jadi masuk dalam kategori dosa besar. Karena budaya sogok menyogok untuk mendapatkan suara pemilu masuk dalam kategori risywah. Sedangkan dalam hadits yang shahih disebutkan;
.
لَعَنَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ الراشِيَ والمرْتَشِيَ في الحكْمِ
"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat orang yang menyogok dan yang disogok."
[ HR. Tirmidzi (1336) ]
.
Oleh karenanya haram hukumnya bagi seorang muslim menerima uang sogokan dalam pemilu. Dan apabila sangat terdesak dan tidak mungkin menghindar, jangan biarkan uang tadi dinikmati; baik diri sendiri atau orang lain. Karena dia masuk kategori uang haram. Solusinya, berikan uang tadi untuk membangun fasilitas yang sifatnya umum; seperti pembangunan jalan, jembatan, sekolah, pondok pesantren, atau fasilitas umum semisalnya.
.
Sebagian orang berpendapat, boleh menerima uang sogokan yang penting kita tidak memilih orang yang menyogok tersebut ❓Maka kita katakan, risywah itu adalah akad haram secara dzatnya, dimana kalau kita menerima uang risywah otomatis akad haram itu terjadi; baik kita turuti permintaan penyogok atau tidak. Sama seperti akad riba, mau kita mengambil atau tidak mengambil keuntungan ribanya, kita tetap berdosa. Maka hendaknya perlu kita camkan hal semacam ini.
.
Wallahu Ta'ala A'lam
.
Jombang, 3 Januari 2024
Abu Harits Danang Santoso

#fikihtematik #fikihmuamalah
.
🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.
,


Diantara yang disunnahkan bagi muadzin adalah adzan dalam kondisi suci dari hadats. Dan jika dia adzan dalam kondisi hadats, maka dimakruhkan. Dan landasan dalam hal ini adalah sebuah hadits yang dhoif, diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam sunan-nya, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallalllahu alaihi wa sallam bersabda;

.
لا يؤذن إلا المتوضئ
"Tidaklah adzan kecuali orang yang berwudhu."
[ HR.Tirmidzi (200) ]
.
Dalam riwayat lain secara mauquf (ucapan Abu Hurairah) disebutkan;
.
لَا يُنَادِي بِالصَّلَاةِ إِلَّا مُتَوَضِّئٌ
"Tidaklah memanggil untuk shalat (adzan) kecuali orang yang sudah berwudhu."
[ HR.Tirmidzi (201) ]
.
Hadits pertama dhoif karena dua sebab;
.
Pertama perawi bernama Yahya bin Muawiyah As-Shodfi, dimana Al-Hafidz Inu Hajar dalam Taqrib At-Tahdzib menngatakan;
.
ضعيف ، وما حدث بالشام أحسن مما حدث بالري
"Dhoif, dan haditsnya di Syam lebih baik dari haditsnya di Ray."
.
Kedua, tuhmah (tuduhan) tadlis terhadap Az-Zuhri karena beliau belum pernah bertemu Abu Hurairah. Sebagaimana ini dijelaskan oleh At-Tirmidzi sendiri dalam mengomentari hal tersebut dalam Sunan-nya;
.
وَالزُّهْرِيُّ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
"Dan Az-Zuhri tidak mendengar dari Abu Hurairah."
.
Adapun hadits mauquf yang kedua juga dhoif karena sebab yang kedua di atas, oleh karenanya Tirmidzi menghukumi hadits kedua lebih baik dari hadits pertama. Karena sebab kedhoifan hadits pertama ada dua, sedang sebab kedhoifan hadits kedua hanya ada satu. Beliau mengatakan;
.
وَهَذَا أَصَحُّ مِنَ الْحَدِيثِ الْأَوَّلِ
"Hadits ini lebih shahih (lebih baik kondisinya) dari hadits pertama."
.
Namun, hadits ini tetap diamalkan sebagaimana Tirmidzi mengatakan;
.
وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي الْأَذَانِ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ، فَكَرِهَهُ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ، وَبِهِ يَقُولُ الشَّافِعِيُّ وَإِسْحَاقُ
"Dan para ahli ilmu berselisih tentang hukum adzan tanpa wudhu, sebagian memakruhkannya; dan ini pendapat Syafii dan Ishaq."
.
Dalam Ibānatul Ahkām Syarah Bulughul Maram (1/168) disebutkan;
.
مشروعية استحباب الطهارة للأذان فإن أذن أو أقام المحدث حدثا أكبر أو أصغر جاز مع الكراهة عند الجمهور
"Disyariatkan kesunnahan suci untuk adzan. Jika adzan atau iqomah dalam kondisi hadats kecil atau besar, boleh namun dimakruhkan menurut jumhur ulama."
.
Maka ini bisa masuk dalam daftar diantara hadits dhoif yang diamalkan dalam fadhilah amal. Meskipun para fuqoha memiliki landasan yang lain dalam hal ini, yaitu sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam;
.
إنِّي كرِهتُ أنْ أذكُرَ اللهَ تعالى إلَّا على طُهرٍ
"Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah Ta'ala dalam kondisi tidak suci."
[ HR. Abu Dawud (17) ]
.
Wallahu Ta'ala A'lam
.
Jombang, 2 Januari 2024
Abu Harits Danang Santoso

#bulughulmaram #fikihhadits #fikihshalat #adzan #haditsdhoif
.
🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.
,

Kopi di awal kemunculannya sembat menjadi problematika fikih di antara kalangan fuqoha. Sebagian fuqoha ada yang mengharamkannya. Yang tercatat di antaranya Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Umar bin Sulthon Al-Hanafi (w.950 H) yang bahkan sempat menyebut warung kopi dengan istilah khommaroh (kedai miras). Beliau adalah mufti negeri Syam di zamannya. Juga Syaikh Ahmad bin Ahmad bin Abdil Haq As-Sanbathi As-Syafii (w.999 H).

.
Alasan mereka sampai menjatuhkan hukum haram, karena memandang kopi memberi dampak buruk bahkan sampai tingkat iskar (memabukkan) menurut mereka. Namun hal ini pun dibantah, bahwa kopi tidaklah memberikan efek iskar (memabukkan). Bahkan Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Syarah al-Ubab menceritakan bahkan ketika Syaikhul Islam Zakariya al-Anshori diberitahu bahwa ada yang mengharamkan kopi karena dianggap memabukkan, maka beliau mencela pendapat tersebut.
.
Maka ulama setelah itu pun bersepakat, bahkan menjadi sebuah ijma' (paling tidak mennjadi ijma' sukuti; bahwa kopi adalah mubah seperti hidangan lainnya. Ini diisyaratkan oleh Mbah Ihsan Jampes ketika mengatakan;
.
و الاكثرون صرحوا معتمدا # من أنها مباحة و انعقدا
اجماعهم بعد عليه اعتمدا # فلا تكن عن العلوم قاعدا
Dan banyak dari ulama berpegangan # hukumnya kopi mubah dan terjadi
Ijmak mereka setelah khilaf maka peganglah # Dan jangan jadi orang yang hanya duduk tak mau belajar

.
Diantara kemubahan ini disampaikan oleh Khoiruddin bin Ahmad bin Ali Ar-Romli Al-Hanafi (1081 H) dalam Hasyiyah Al-Asybah wan Nadzoir karya Ibnu Nujaim Al-Hanafi (970 H). Demikian juga Al-Qodhi Ahmad bin Umar Al-Muzajjad As-Syafii (930 H), yang dinukil oleh Syihabuddin Ar-Romli As-Syafii (957 H). Juga Syaikhul Islam serta muridnya Ibnu Hajar Al-Haitami (999 H).
.
Maka sebagaimana kesimpulan Mbah Ihsan Jampes, bahwa kopi hukum asalnya mubah. Namun dia bisa berhukum lain sesuai dengan tujuan dari meminumnya; kalau untuk tujuan ibadah bernilai ibadah, kalau untuk tujuan maksiat juga bernilai maksiat. Dalam hal ini berlaku kaidah fikih 'al-wasail laha hukmul maqoshid' (sarana meiliki hukum sesuai dengan tujuannya).
.
Wallahu Ta'ala A'lam
.
Jombang, 5 Januari 2024
Abu Harits Danang Santoso
#fikihtematik #irsyadulikhwan #turotsnusantara
.
🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.
,

Dalam menukilkan pendapat dari seorang mujtahid, hendaknya perlu kita ketahui mana yang sah menjadi pendapatnya dan mana yang bukan. Dalam hal ini ada 3 kondisi;

.

Pertama, jika pendapat dari seorang mujtahid memiliki jangka waktu yang berbeda. Maka yang dianggap sah dari pendapat mujtahid tersebut adalah pendapatnya yang paling terakhir. Seperti Imam Syafii memiliki pendapat sebelum hijrah ke Mesir dan setelahnya, maka yang sah dinisbatkan sebagai pendapat beliau secara resmi adalah setelah hijrah ke Mesir (qoul jadid).

.

Kedua, jika mujtahid menyampaikan bahwa ada dua pendapat secara bersamaan. Maka pendapat mujtahid yang resmi yang ada sisi penguatan darinya. Dalam hal ini, Imam Syafii terkadang menggunakan kata asybah atau mimma astakhirullah fihi.

.

Ketiga, seperti kondisi kedua di atas namun mujtahid tidak menyebutkan atau mengisyaratkan mana yang rojih. Maka ini disebut taroddud, yang tidak bisa dinisbatkan kepada mujtahid tersebut secara resmi dari salah satu pendapatnya. Dan ini pun terjadi terhadap Imam Syafii, dimana dalam beberapa kasus, beliau memiliki beberapa qoul (pendapat) yang mana beliau sendiri tidak memberikan isyarat manakah dari pendapat beliau sendiri yang rajih. Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshori dalam Ghoyatul Wushul (hal.368) menukil ada sekitar 16 atau 17 masalah yang Imam Syafii tidak merajihkan qoul beliau yang mana yang kuat; sebagaimana hal ini disampaikan oleh Al-Qodhi Abu Hamid Al-Marwarrudzi.

.

Ibnu As-Sam'ani menyebutkan, bahwa menjelaskan suatu masalah dengan menggunakan ibarot qoul adalah salah satu ibtikarot Imam Syafii. Dimana dalam pendapat ulama sebelumnya, belum ada yang menggunakan istilah qoul sebagai pendapat dalam madzhabnya. Yang ada adalah dengan menggunakan istilah riwayah, seperti dalam satu masalah, dikatakan Imam Malik memiliki dua riwayat, atau Abu Hanifah memiliki dua riwayat. Sedang Imam Syafii mengatakan secara jelas dalam satu masalah; dalam hal ini ada dua qoul (ucapan).

.

Lantas, apa perbedaan penggunaan istilah qoul atau riwayat ? Syaikhuna Said Al-Jabiri menjelaskan, bahwa ungkapan qoul memberikan isyarat bahwa itu adalah pendapat langsung dari imam tersebut (min jihatil qoil), sedangkan istilah riwayat memberikan isyarat bahwa hal tersebut berasal dari para penukil imamnya (min jihatil naqil). Maka, tingkat kredibilitas istilah qoul lebih dekat kepada imam mujtahid daripada istilah riwayat.

.

Jombang, 1 Januari 2024

Abu Harits Al-Jawi

#madzhabsyafii #fikihsyafii #usulfikih