Selasa, 30 April 2024

,


Ada tiga versi shighoh (lafadz) salam yang diriwayatkan dalam hadits saat orang hendak mengakhiri shalat.

Versi pertama, dengan mengucapkan assalamualaikum warohmatullah dua kali; ke kanan dan ke kiri. Dan ini adalah riwayat yang paling banyak dan paling masyhur. Diantaranya adalah hadits Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu;

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ، وَعَنْ شِمَالِهِ، حَتَّى يُرَى بَيَاضُ خَدِّهِ ((السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ))
"Bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam salam ke arah kanan dan kiri hingga terlihat putihnya pipi beliau -dan mengatakan- ((Assalamualaikum warohmatullah, assalamualaikum warohmatullah))."
[ HR.Abu Dawud (996), An-Nasai (1322) dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Majah (916) dari Ammar, dan lainnya ]

Versi kedua, adalah dengan mengucap 'assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh' pada salam pertama (ke kanan). Lalu mengucap 'assalamualaikum warohmatullah' tanpa tambahan 'wabarokatuh' pada salam kedua (ke kiri). Dan ini diriwayatkan dari haditsnya Wail bin Hujr radhiyallahu anhu;

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ ((السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ»، وَعَنْ شِمَالِهِ: «السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ))
"Aku shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka beliau salam ke kanan dengan mengucap ((Assalamualaikum warohmatulla wabarokatuh)). Dan ke arah kiri ((Assalamualaikum warohmatullah))."
[ HR.Abu Dawud (997) dari Wail bin Hujr ]

Versi ketiga, adalah dengan mengucap 'assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh' dua kali; ke kanan dan ke kiri. Sebagaimana dalam hadits Ibnu Mas'ud dengan tambahan lafadz;

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ خَدِّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، وَعَنْ شِمَالِهِ 
حَتَّى يَبْدُوَ بَيَاضُ خَدِّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ»
"Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa salam mengucap salam ke arah kanan hingga terlihat putih pipinya -dengan mengucap- ((Assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh)), dan ke arah kiri hingga terlihat putih pipinya -dengan mengucap- ((Assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh))."
[ HR.Ibnu Khuzaimah (728) dari Ibnu Mas'ud, Al-Adzomi mendhoifkannya ]

Demikian tiga versi bacaan salam yang ada dalam riwayat hadits. Namun, dari ketiga ini manakah yang lebih utama ?

Pendapat pertama,
dalam madzhab Syafii yang mu'tamad, yang paling afdhol adalah versi pertama tanpa tambahan wabarokatuh sama sekali. Dan ini pendapat yang kita pilih. Bahkan secara gamblang, Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar menyatakan; bahwa tidak disunnahkan menambahkan lafadz 'wabarokatuh' sama sekali, karena hal itu menyelisihi riwayat yang sudah masyhur dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Adapun riwayat tambahan yang ada, maka dihukumi syadz (menyelisih yang tsiqoh).
[ Lihat Al-Adzkar. Cetakan Darul Kutub Al-Islamiyyah, Indonesia. Hal,80-81 ]

Pendapat kedua, sebagian ulama lain berpendapat disunnahkan menambahkan 'wabarokatuh', dan ini pendapat sebagian ulama ahli hadits. Diantara adalah Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani, yang menyanggah pernyataan Imam Nawawi dalam Al-Adzkar dalam kitabnya Talfih Al-Adzkar fi takhrij Al-Adzkar; "Ada beberapa jalan periwayatan lain yang menetapkan keabsahan tambahan lafadz wabarokatuh." Bahkan secara jelas, dalam kitabnya Bulughul Maram ketika membawakan hadits tentang ini, beliau menambahkan wabarokatuh di kedua salamnya. Hal ini pun disetujui oleh Muhammad Syamsul Hal Adzim Abbadi dalam kitabnya 'Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abu Dawud.

Pendapat ketiga, pendapat yang cukup keras datang dari sebagian ulama yang menyatakan tambahan wabarokatuh dalam salam shalat adalah bid'ah. Dan ini pun terbantahkan oleh riwayat yang ada. Meski dihukumi syadz, tetap tidak bisa dikatakan amaliyahnya adalah bid'ah. Bahkan dalam Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram disebutkan; "Hadits ini memberikan faedah disunnahkan tambahan wabarokatuh dalam salam shalat, dan membatalkan pendapat yang menyatakan bahwa hal tersebut adalah bid'ah." [ Lihat Ibanatul Ahkam. Cetakan Ad-Dar Al-Alamiyyah Mesir. (1/260) ]

Point terakhir yang ingin kami sampaikan, terlepas dari khilaf ulama mengenai shighoh atau lafadz salam shalat, jumhur ulama berpendapat bahwa yang wajib atau rukun shalat adalah salam yang pertama. Adapun ucapan salam kedua adalah sunnah. Dalilnya hadits Sahl radhiyallahu anhu;

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَلَّمَ تَسْلِيمَةً وَاحِدَةً تِلْقَاءَ وَجْهِهِ
"Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengucap salam sekali dengan wajah beliau."
[ HR.Ibnu Majah dari Sahl As-Saidi (918) ]

✍️ Oleh Abu Harits Al-Jawi
#fikihhadits #fikihshalat

🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

Kamis, 25 April 2024

,

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;


مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً، فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتِ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ 

"Siapa yang mandi di hari jumat seperti mandi junub, lalu berangkat ke masjid; maka seperti kurban onta. Dan siapa yang berangkat di waktu kedua; seperti kurban sapi. Dan siapa yang berangkat di waktu ketiga; maka seperti kurban domba jantan yang bertanduk. Dan siapa yang berangkat di waktu keempat; maka seperti kurban ayam. Dan siapa yang berangkat di waktu kelima; maka seperti kurban telur. Dan jika imam sudah muncul, maka malaikat hanya mendengarkan khutbah." [ HR.Bukhari (881), Muslim (850) ]


Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;


تَقْعُدُ الْمَلَائِكَةُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ، يَكْتُبُونَ النَّاسَ عَلَى مَنَازِلِهِمْ، فَالنَّاسُ فِيهِ كَرَجُلٍ قَدَّمَ بَدَنَةً ، وَكَرَجُلٍ قَدَّمَ بَقَرَةً، وَكَرَجُلٍ قَدَّمَ شَاةً، وَكَرَجُلٍ قَدَّمَ دَجَاجَةً، وَكَرَجُلٍ قَدَّمَ عُصْفُورًا، وَكَرَجُلٍ قَدَّمَ بَيْضَةً

"Malaikat akan duduk di hari jumat di pintu-pintu masjid untuk mencatat kedudukan pahala manusia yang datang. Ada yang mendapat pahala seperti kurban onta, ada yang seperti kurban sapi, ada yang seperti kurban kambing, ada yang seperti kurban ayam, ada yang seperti kurban burung, dan ada yang seperti kurban telur." [ HR.An-Nasai (1387) ]


Dari kedua hadits ini, para ulama berkesimpulan bahwa waktu hari jumat memiliki enam pembagian yang menentukan nilai pahala yang di dapat. Namun, dalam menentukan ukuran enam waktu tersebut, maka ada dua sudut pandang dari para fuqoha.


Pendapat pertama, sudut pandang waktu yang sifatnya hakiki. Dalam artian bahwa ukuran jangka waktu disini adalah waktu yang memiliki batas tertentu. Dan ini sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim (6/136) dengan mengatakan;


وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ تَعْيِينُ السَّاعَاتِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ أَمْ مِنْ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَالْأَصَحُّ عِنْدَهُمْ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ ثُمَّ إِنَّ مَنْ جَاءَ فِي أَوَّلِ سَاعَةٍ مِنْ هَذِهِ السَّاعَاتِ وَمَنْ جَاءَ فِي آخِرِهَا مُشْتَرَكَانِ فِي تَحْصِيلِ أَصْلِ الْبَدَنَةِ وَالْبَقَرَةِ وَالْكَبْشِ وَلَكِنْ بَدَنَةُ الْأَوَّلِ أَكْمَلُ مِنْ بَدَنَةِ مَنْ جَاءَ فِي آخِرِ السَّاعَةِ وَبَدَنَةُ الْمُتَوَسِّطِ مُتَوَسِّطَةٌ

"Dan para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini, mengenai penentuan waktu sejak terbitnya fajar atau setelah terbitnya matahari. Dan yang shahih dalam hal ini dimulai sejak terbitnya fajar. Lalu, orang yang datang di awal waktu dari waktu-waktu dan di akhir waktunya (dalam satu jenjang waktu) akan mendapatkan keutamaan yang sama baik onta, sapi, atau kambing. Hanya saja onta bagi yang datang di awal waktu pertama lebih sempurna dari yang datang di akhir waktu pertama, demikian yang datang di pertengahan waktu pertama maka onta yang pertengahan."

Hal senada juga beliau sampaikan dalam Al-Majmu', dan ini adalah pendapat pilihan beliau.


Pendapat kedua, hitungan waktu ini bersifat nisbi (relatif). Dimana orang yang datang dibanding orang datang setelahnya, maka dia seperti kurban onta. Sedang dengan orang yg datang duluan sebelum dia, dia seperti kurban sapi. Dan orang yang di atasnya lagi, maka dia seperti kurban kambing. Begitu seterusnya, dan tidak ada batas waktu tertentu yang ada awal serta akhir sebuah waktu. Ini adalah pandangan Imam Ar-Rōfi'i dalam Syarah Al-Wajīz (2/314) yang mengatakan;


ثم ليس المراد من السَّاعات على اختلاف الوجوه الأربع والعشرين التي قسم اليوم والليلة عليها، وإنما المراد ترتيب الدرجات وفضل السابق على الذي يليه

"Lantas maksud dari waktu disini bukan hitungan 24 jam dalam pembagian satu hari. Tapi maksudnya adalah urutan derajat serta keutamaan orang yang datang terlebih dulu dibanding yang datang setelahnya."


Demikian juga dijelaskan lebih lanjut oleh Al-Khothib As-Syirbini dalam Mughnil Muhtaj (1/560);


فَكُلٌّ دَاخِلٌ بِالنِّسْبَةِ إلَى مَنْ بَعْدَهُ كَالْمُقَرِّبِ بَدَنَةً وَبِالنِّسْبَةِ إلَى مَنْ قَبْلَهُ بِدَرَجَةٍ كَالْمُقَرِّبِ بَقَرَةً وَبِدَرَجَتَيْنِ كَالْمُقَرِّبِ كَبْشًا وَبِثَلَاثٍ دَجَاجَةً وَبِأَرْبَعٍ بَيْضَةً، وَعَلَى هَذَا لَا حَصْرَ لِلسَّاعَاتِ وَالْأَوْلَى الْأَوَّلُ

"Maka setiap orang yang datang dibanding dengan orang yang datang setelahnya; dia seperti kurban onta. Sedang dibanding yang datang sebelumnya; dia seperti kurban sapi, dan dibanding dua orang sebelumnya dia seperti kurban kambing, dan tiga orang sebelumnya dia seperti kurban ayam, dan empat orang sebelumnya dia seperti kurban telur. Dan begitu seterusnya sehingga tidak ada batas tertentu dalam waktu-waktu ini."


Maka yang mu'tamad (pendapat kuat) dalam hal ini adalah pendapat Imam Nawawi, namun dengan perincian yang disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Tuhfatul Muhtaj (2/470);


وَالْمُرَادُ أَنَّ مَا بَيْنَ الْفَجْرِ وَخُرُوجِ الْخَطِيبِ يَنْقَسِمُ سِتَّةَ أَجْزَاءٍ مُتَسَاوِيَةٍ سَوَاءٌ أَطَالَ الْيَوْمُ أَمْ قَصُرَ

"Dan maksudnya antara terbitnya fajar sampai keluarnya khotib menuju mimbar dibagi menjadi enam bagian yang sama; panjang pendeknya waktu siang tidak berpengaruh dalam hal ini."


Hal yang sama disampaikan oleh Ar-Romli dalam Nihayatul Muhtaj (2/336);


فَعَلَيْهِ الْمُرَادُ بِسَاعَاتِ النَّهَارِ الْفَلَكِيَّةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً زَمَنِيَّةً صَيْفًا أَوْ شِتَاءً، وَإِنْ لَمْ تُسَاوِ الْفَلَكِيَّةَ فَالْعِبْرَةُ بِخَمْسِ سَاعَاتٍ مِنْهَا أَوْ سِتٍّ

"Maka maksud waktu-waktu siang adalah hitungan falak yaitu 12 jam baik musim panas atau musim dingin. Jika ukuran waktu falak tidak tepat dalam pembagian, maka dihitung dari awal waktu 5 atau enam jam pertama."

As-Syubromilsi mengomentari dengan mengatakan, "Ini yang mu'tamad."


Oleh karenanya, jika diasumsikan waktu siang dimulai dari pukul 06.00 wib sampai 18.00 wib, maka tinggal dibagi enam bagian. Maka bagian pertama nilainya seperti kurban onta, bagian kedua seperti kurban sapi, dan seterusnya. Wallahu Ta'ala A'lam.


✍️ Oleh Abu Harits Al-Jawi

#fikihjumat #fikihsyafii


🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

Senin, 22 April 2024

,


Bagi wanita yang mengalami istihādhoh, maka ada empat perkara yang perlu diperhatikan sebelum melakukan shalat fardhu.Yang mana secara asal kesemuanya ini hukumnya wajib dilakukan setiap kali hendak shalat wajib, dengan beberapa perincian;

Pertama, mencuci farji dan membersihkannya.

Kedua, memasukkan semacam kain ke dalam farji (dibahasakan dengan istilah hasyw). Dalam hal ini, termasuk pembalut jenis tampon atau menstrual cup. Namun, hal ini tidak perlu dilakukan jika dalam kondisi puasa; karena bisa membatalkan puasa.

Ketiga, menutup area luar farji dengan kain. Seperti pembalut yang biasa. Yang dibahasan dengan istilah 'ishōbah. Namun hal ini juga bisa tidak dikerjakan, selama hasyw sudah mencukupi.

Keempat, wudhu meskipun wudhu sebelumnya belum batal.

Lantas, apakah boleh hanya menggunakan 'ishōbah saja tanpa hasyw ? Menurut Al-Romli dalam Nihayatul Muhtaj, dibolehkan dengan syarat bahwa 'ishobah itu mampu menampung darah yang keluar.

Serta, untuk point pertama sampai ketiga; ada khilaf dalam internal madzhab Syafii sendiri. Apakah perlu ketiganya diulang di setiap shalat fardhu atau hanya ketika terlihat darah sudah penuh saja di bagian pembalut ? Mu'tamad madzhab (al-ashoh) menyatakan wajib diulang meski darah tidak tampak. Pendapat kedua menyatakan tidak wajib. Wallahu ta'ala a'lam.

Abu Harits Al-Jawi
#fikihdarahwanita

📖 Al-Ibānah wal Ifādhoh. Dr, Abdurrahman Saqqōf.

🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

Jumat, 12 April 2024

,


Berhubungan badan di siang hari Ramadhan hukumnya haram dan diperbolehkan di malam harinya berdasarkan ayat Al-Quran. (Surat Al-Baqarah ayat 187-pen)

Jika seseorang berhubungan badan di malam hari dan kemudian mencabut saat fajar terbit, maka ada dua keadaan baginya seperti yang dijelaskan dalam kitab Al-Majmu' dan lainnya:

Pertama:
Jika dia merasakan fajar saat sedang berhubungan badan dan kemudian mencabut sehingga akhir pencabutan terjadi bersamaan dengan awal terbitnya fajar, maka puasanya sah karena pencabutan menghentikan hubungan badan.

Hal ini sama dengan kasus seseorang yang bersumpah untuk tidak memakai baju dan dia sedang memakai baju, kemudian dia mencabutnya.

Kedua:
Jika fajar terbit saat dia sedang berhubungan badan dan dia mengetahui terbitnya fajar di awal waktu fajar, kemudian dia mencabutnya segera, maka dia juga tidak batal puasanya meskipun mani keluar.

Hal ini karena pencabutan menghentikan hubungan badan. dan dia tidak batal puasanya meskipun keluar mani pada saat mencabutnya.

Hal ini karena keluarnya mani tersebut dihasilkan dari aktivitas yang dibolehkan (jimak di malam hari-pen) dan hasil dari sesuatu yang dibolehkan juga dibolehkan.

Syarat pencabutan:
Pencabutan harus dilakukan dengan tujuan untuk menghentikan hubungan badan. Pencabutan tidak sah jika dilakukan dengan tujuan untuk bersenang-senang atau tanpa tujuan yang jelas.

Hal ini karena hubungan badan didefinisikan sebagai memasukkan dan mengeluarkan penis, sehingga harus ada niat untuk menghentikan pengeluaran penis.

Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4954)

✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
,


Jika seseorang makan tanpa berusaha mencari tahu, berhati-hati, atau kabar dari orang yang terpercaya, maka ada beberapa kemungkinan:

1. Jika ternyata dia makan setelah fajar terbit atau sebelum matahari terbenam, puasanya tidak sah dan dia wajib menggantinya karena dia makan di siang hari.

2. Jika ternyata dia makan sebelum fajar terbit atau setelah matahari terbenam, puasanya sah karena dia makan di malam hari.

3. Jika dia tidak yakin dan keraguannya masih berlanjut:

• Jika dia makan di akhir waktu siang (menjelang maghrib-pen), dia wajib mengganti puasanya karena asumsinya adalah siang hari masih berlangsung.

• Jika dia makan di awal waktu siang (menjelang subuh-pen), dia tidak wajib mengganti puasanya karena asumsinya adalah malam hari masih berlangsung.

Catatan:

Makan dengan terburu-buru tanpa berusaha mencari tahu atau berhati-hati adalah haram di akhir waktu siang (menjelang Maghrib-pen) karena asumsinya adalah siang hari masih berlangsung.

Sedangkan di awal waktu siang, hal itu diperbolehkan karena orang yang ragu tidak diharamkan untuk makan sampai dia yakin bahwa hari telah siang (matahari terbit-pen).

Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dengan beberapa penyesuaian dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4953)

✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
,


Jika seseorang ragu apakah matahari sudah terbenam dan dia berijtihad lalu makan, maka ada beberapa kemungkinan:

Pertama:
Jika ternyata dia makan setelah matahari terbenam, maka puasanya sah.

Kedua:
Jika ternyata dia makan sebelum matahari terbenam, maka puasanya tidak sah karena dia makan di siang hari.

Dugaannya bahwa matahari sudah terbenam tidak dianggap berdasarkan hadits Asma' dalam Shahih Bukhari.

لما أفطروا ﻋﻠﻰ ﻋﻬﺪ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻮﻡ ﻏﻴﻢ ﺛﻢ ﻃﻠﻌﺖ اﻟﺸﻤﺲ ﻗﻴﻞ ﻟﻬﺸﺎﻡ: فأﻣﺮﻭا ﺑﺎﻟﻘﻀﺎء؟ ﻓﻘﺎﻝ: ﺑﺪ ﻣﻦ ﻗﻀﺎء.

Ketika para sahabat berbuka puasa pada zaman Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam di hari yang mendung, kemudian matahari terbit, dikatakan kepada Hisyam: "Apakah mereka harus mengganti puasanya?"

Hisyam menjawab: "Harus mengganti."

Hal yang sama juga terjadi pada zaman Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhhu. Mayoritas riwayat dari Umar Radhiyallahu ‘Anhhu menyatakan bahwa harus mengganti puasa.

Adapun riwayat Zaid bin Wahb yang menyatakan tidak perlu mengganti puasa adalah keliru, sebagaimana dikatakan oleh Al-Baihaqi.

Ketiga:
Jika dia tidak yakin dan keraguannya masih berlanjut, maka puasanya sah. Karena ijtihad adalah jalan yang syar'i untuk menetapkan hukum.

Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4952)

✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgra,
,


Jika seseorang ragu tentang terbitnya fajar dan kemudian makan, maka ada beberapa kemungkinan:

Pertama:
Jika ternyata dia makan sebelum fajar terbit, maka puasanya sah.

Kedua:
Jika ternyata dia makan setelah fajar terbit, maka puasanya *tidak sah* karena dia makan di siang hari. Anggapannya bahwa fajar belum terbit tidak dihiraukan karena anggapan tersebut jelas keliru. (yaitu kaidah fikih لا عبرة بالظن البين خطؤه)

Ketiga:
Jika dia tidak yakin tentang apa yang terjadi dan keraguannya tetap ada, maka puasanya sah karena asal hukumnya adalah malam masih berlangsung. Asal hukum ini tetap berlaku dan istiṣḥāb (penetapan hukum berdasarkan keadaan sebelumnya) merupakan hujjah (bukti) syar'i.

Syekh Syabramalisi berkata:

وﻫﻞ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺴﺆاﻝ ﻋﻤﺎ ﻳﺒﻴﻦ ﻏﻠﻄﻪ ﺃﻭ ﻋﺪﻣﻪ ﺃﻡ ﻻ؟ ﻓﻴﻪ ﻧﻈﺮ ﻭاﻷﻗﺮﺏ اﻟﺜﺎﻧﻲ - أي أنه لا يجب عليه السؤال - ﻷﻥ اﻷﺻﻞ ﺻﺤﺔ ﺻﻮﻣﻪ.

"Apakah dia wajib mencari tahu apakah dia salah atau tidak?

Ada dua pendapat tentang hal ini, dan yang lebih dekat dengan kebenaran adalah pendapat kedua, yaitu dia tidak wajib mencari tahu. Hal ini karena asal hukumnya puasanya sah."


Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4951)

✍️ Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
,


Waktu sahur dimulai dari tengah malam dan dianjurkan untuk menunda sahur hingga menjelang fajar, selama tidak ragu akan terbitnya fajar.

Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata,

ﺗﺴﺤﺮﻧﺎ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺛﻢ ﻗﻤﻨﺎ ﺇﻟﻰ اﻟﺼﻼﺓ ﻭﻛﺎﻥ ﻗﺪﺭ ﻣﺎ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﺧﻤﺴﻴﻦ ﺁﻳﺔ.

"Kami pernah sahur bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian kami bangun untuk shalat. Jarak antara sahur dan shalat kira-kira waktu membaca 50 ayat."

Imam Ar-Ramli berkata,

ﻭﻓﻴﻪ ﺿﺒﻂ ﻟﻘﺪﺭ ﻣﺎ ﻳﺤﺼﻞ ﺑﻪ ﺳﻨﺔ التأخير

"Hadits ini menunjukkan batas waktu penundaan sahur yang sesuai sunnah."

Syaikh Ba'isyan berkata,

ﻓﻤﺎ ﻳﻔﻌﻠﻪ اﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ اﻟﺘﻤﻜﻴﻦ ﻓﻲ اﻟﻤﻐﺮﺏ ﻭﺇﻳﻘﺎﻉ اﻷﺫاﻥ اﻟﺜﺎﻧﻲ ﻗﺒﻞ اﻟﻔﺠﺮ ﻣﺨﺎﻟﻒ ﻟﻠﺴﻨﺔ.
ﻗﺎﻝ اﻟﻘﺴﻄﻼﻧﻲ: ﻓﻠﺬا ﻗﻞ ﻓﻴﻬﻢ اﻟﺨﻴﺮ.

"Kebiasaan yang dilakukan orang-orang dengan menunda adzan Maghrib dan mengumandangkan azan kedua sebelum fajar adalah menyelisihi sunnah."

Al-Qastallani berkata, "Oleh karena itu, sedikit sekali kebaikan yang tersisa pada mereka."


Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4946)

✍️ Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
,


Dianjurkan bagi orang yang berpuasa, jika dia dimaki atau dicaci, untuk mengatakan:

"Aku sedang berpuasa."

Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

ﺇﺫا ﻛﺎﻥ اﺣﺪﻛﻢ ﺻﺎﺋﻤﺎ ﻓﻼ ﻳﺮﻓﺚ ﻭﻻ ﻳﺠﻬﻞ ﻓﺎﻥ ﺃﻣﺮﺅ ﻗﺎﺗﻠﻪ ﺃﻭ ﺷﺎﺗﻤﻪ ﻓﻠﻴﻘﻞ إني ﺻﺎﺋﻢ

"Jika salah seorang di antara kalian berpuasa, maka janganlah dia berkata-kata kotor dan janganlah bertengkar. Jika ada orang yang mengajaknya bertengkar atau mencacinya, maka hendaklah dia mengatakan: 'Aku sedang berpuasa'."

Apakah dia mengatakannya dengan suara pelan atau keras?

Terdapat dua pendapat dalam madzhab tentang hal ini:

Pendapat pertama:

Dia mengatakannya dengan lisannya dan orang yang mencaci mendengarnya. Hal ini bertujuan untuk mencegah orang tersebut dari mencaci lagi, dan mengingatkannya bahwa dia sedang berpuasa, serta untuk membalas perbuatannya dengan yang lebih baik.

Pendapat kedua:

Dia mengatakannya dalam hatinya, tidak dengan lisannya. Dia mengingatkan dirinya sendiri bahwa dia sedang berpuasa agar dia bersabar dan tidak membalas cacian, sehingga pahala puasanya tidak hilang.

Al-Mu'tawwali berpegang teguh pada pendapat kedua ini, dan Ar-Rafi'i meriwayatkannya dari para imam Syafiiyah.

Hal ini karena jika dia mengatakannya dengan keras, dikhawatirkan dia akan terjerumus ke dalam riya' (pamer) jika orang lain mendengarnya.

Dikatakan dalam kitab Al-Majmu':

ﻭاﻟﺘﺄﻭﻳﻼﻥ ﺣﺴﻨﺎﻥ ﻭاﻷﻭﻝ ﺃﻗﻮﻯ ﻭﻟﻮ ﺟﻤﻌﻬﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﺣﺴﻨﺎ.

"Kedua pendapat tersebut bagus, dan pendapat pertama lebih kuat. Jika dia menggabungkan keduanya, maka itu lebih baik."

Disebutkan dalam kitab At-Tuḥfah:

ﻳﻘﻮﻟﻪ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻪ ﺗﺬﻛﻴﺮا ﻟﻬﺎ ﻭﺑﻠﺴﺎﻧﻪ ﺣﻴﺚ ﻟﻢ ﻳﻈﻦ ﺭﻳﺎء ﻣﺮﺗﻴﻦ ﺃﻭ ﺛﻼﺛﺎ ﺯﺟﺮا ﻟﺨﺼﻤﻪ ﻓﺈﻥ اﻗﺘﺼﺮ ﻋﻠﻰ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﻓﺎﻷﻭﻟﻰ ﺑﻠﺴﺎﻧﻪ

"Dia mengatakannya dalam hatinya untuk mengingatkan dirinya sendiri, dan dengan lisannya jika dia tidak mengira akan terjerumus ke dalam riya', dua atau tiga kali, untuk mencegah lawannya. Jika dia memilih salah satu, maka yang lebih utama adalah dengan lisannya."

Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4940)

✍️ Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
,


Seorang yang berpuasa harus memastikan untuk menahan lidahnya dari hal-hal yang tidak dibenarkan - meskipun menahan lidah adalah kewajiban secara umum. Hal ini lebih ditekankan pada saat puasa.

Hal-hal yang termasuk dalam kategori ini adalah berbohong, ghibah, mencaci-maki, dan memaki.

Bukhari meriwayatkan:

ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺪﻉ ﻗﻮﻝ اﻟﺰﻭﺭ ﻭاﻟﻌﻤﻞ ﺑﻪ ﻓﻠﻴﺲ ﻟﻠﻪ ﺣﺎﺟﺔ ﺃﻥ ﻳﺪﻉ ﻃﻌﺎﻣﻪ ﻭﺷﺮاﺑﻪ

"Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatannya, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makan dan minumnya."

Hakim meriwayatkan dalam Sahihnya:

ﻟﻴﺲ اﻟﺼﻴﺎﻡ ﻣﻦ اﻷﻛﻞ ﻭاﻟﺸﺮﺏ ﻓﻘﻂ، اﻟﺼﻴﺎﻡ ﻣﻦ اﻟﻠﻐﻮ ﻭاﻟﺮﻓﺚ

"Puasa itu bukan hanya dari makan dan minum saja, tetapi juga dari berkata sia-sia dan dusta."

Akibat Tidak Menahan Lisan

Jika seorang yang berpuasa tidak menahan lidahnya dari hal-hal tersebut - misalnya, ghibah - maka dia berdosa karena ghibah itu sendiri, karena adanya ancaman yang keras terhadap perbuatan ghibah.

Dia juga berdosa karena melanggar anjuran untuk menjaga puasa dari hal-hal tersebut, sehingga pahala puasanya hilang ditambah dengan dosa ghibah.

Pendapat Imam Syafi'i

Imam Syafi'i berpendapat bahwa pahala puasa bisa batal karena hal ini. Oleh karena itu para ulama syafi'iyah yang lain menolak kajian yang dilakukan oleh Al-Adzra'i yang berpendapat bahwa pahalanya tetap ada dan hanya mendapat dosa maksiat saja, karena jika imam dalam sebuah madzhab sudah menyatakan dengan jelas pendapatnya dalam sebuah masalah, maka tidak perlu lagi kajian maupun analisa dalam masalah tersebut.

Tidak batal puasa orang yang melakukan ghibah.  Adapun hadits yang menyebutkan bahwa

ﺧﻤﺲ ﻳﻔﻄﺮﻥ اﻟﺼﺎﺋﻢ: اﻟﻐﻴﺒﺔ ﻭاﻟﻨﻤﻴﻤﺔ ﻭاﻟﻜﺬﺏ ﻭاﻟﻘﺒﻠﺔ ﻭاﻟﻴﻤﻴﻦ اﻟﻔﺎﺟﺮﺓ

"Lima hal yang membatalkan puasa adalah ghibah, namimah (adu domba), berbohong, ciuman, dan sumpah palsu."

Maka ada dua jawaban dari Imam Syafii:

Jawaban pertama: Hadits tersebut dhaif (lemah) dan tidak bisa dijadikan hujjah.

Jawaban kedua: Maksud dari batal di sini adalah batal pahalanya, bukan batal puasanya.

Kesimpulan:

Jika seorang yang berpuasa menahan lidahnya dari hal-hal tersebut, dia akan mendapatkan dua pahala:
1. Pahala wajib karena menahan lidah dari hal-hal yang haram.

2. Pahala sunnah karena menjaga kesucian puasanya.

Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4935)

✍️ Ahmad Reza Lc
,


Dianjurkan bagi orang yang berpuasa untuk menghindari mencicipi makanan dan lainnya. Bahkan, makruh hukumnya karena dikhawatirkan makanan akan sampai ke tenggorokan.

Namun, jika seorang ibu atau orang lain membutuhkan untuk mengunyah makanan (supaya menjadi halus-pen) seperti mengunyah roti untuk anaknya, maka hal itu tidak makruh.

Begitu pula jika seorang juru masak membutuhkan untuk mencicipi masakan. Syaikh Syubramilisi berkata:

ﻭﻳﻨﺒﻐﻲ ﻋﺪﻡ ﻛﺮاﻫﺘﻪ ﻟﻠﺤﺎﺟﺔ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻋﻨﺪﻩ (شخص) ﻣﻔﻄﺮ ﻏﻴﺮﻩ ﻷﻧﻪ ﻗﺪ ﻻ ﻳﻌﺮﻑ ﺇﺻﻼﺣﻪ ﻣﺜﻞ اﻟﺼﺎﺋﻢ.

"Dan sepatutnya tidak makruh hukumnya karena kebutuhan, meskipun ada orang lain yang tidak berpuasa di dekatnya, karena orang lain tersebut mungkin tidak mengetahui cara mengolahnya seperti orang yang berpuasa."

Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4935)

✍️ Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram

Sabtu, 06 April 2024

,


Keluarnya mani karena sebab pikiran atau pandangan tidak membatalkan puasa. Diriwayatkan ada ijmak (kesepakatan ulama) tentang hal ini, bahkan jika seseorang mengulanginya (pikiran atau pandangan-pen) atau air maninya biasa keluar karena hal tersebut, karena tidak ada sentuhan langsung (مباشره) antara pikiran/pandangan dengan keluarnya mani, sehingga dihukumi sama seperti mimpi basah.

Namun, Al-Azra'i berbeda pendapat dan mengatakan bahwa puasa batal jika seseorang sudah tahu bahwa dia akan keluar mani dengan cara tersebut, kemudian tetap melakukannya dengan sengaja.

Menurut Ibnu Hajar, tidak haram mengulang pandangan meskipun khawatir akan keluar mani. Pendapat ini berbeda dengan pendapat Al-Isnawi, Syaikk Zakariya Al-Anshari, Al-Khatib, dan Ar-Ramli.

Al-Zarkasyi menyanggah pendapat yang mengharamkan tersebut berdasarkan perkataan mereka bahwa maksudnya hal tersebut (mengulang pandangan-pen) tidak haram kecuali jika keluar mani.

Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dengan beberapa penyesuaian dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4934)

✍️ Ahmad Reza Lc
Pengasub Fiqhgram
,


Termasuk yang membatalkan puasa adalah masturbasi, yaitu mengeluarkan air mani tanpa hubungan seksual, baik itu masturbasi yang haram, seperti mengeluarkannya dengan tangannya sendiri, atau masturbasi yang diperbolehkan, seperti mengeluarkannya dengan tangan istrinya.

Syarat masturbasi menjadi pembatal puasa adalah orang tersebut mengetahui hal tersebut (masturbasi membatalkan puasa-pen)  dan sengaja untuk melakukannya.

Dihukumi batal puasanya, karena jika seorang membatalkan puasa dengan hubungan badan tanpa mengeluarkan air mani, maka keluarnya air mani dengan menyentuhnya (masturbasi) ada sejenis kenikmatan, dan kasus ini lebih berhak untuk dianggap membatalkan puasa.

Tetapi bagi yang melakukan masturbasi tidak wajib untuk melakukan kafarat, karena dallil-dalil menyatakan kafarat hanya berlaku untuk hubungan seksual.
Sedangka masturbasi tidak sama dengan hubungan seksual karena tidak ada penetrasi.

Dihukumi sama seperti masturbasi, air mani yang keluar karena ciuman, sentuhan, dan pelukan tanpa ada penghalang.

Ibnu Qasim berkata:

اﻟﻮﺟﻪ ﺃﻥ ﻣﺤﻞ ﺫﻟﻚ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﻘﺼﺪ ﺑﺎﻟﻀﻢ ﻣﻊ اﻟﺤﺎﺋﻞ ﺇﺧﺮاﺝ اﻟﻤﻨﻲ ﺃﻣﺎ ﺇﺫا ﻗﺼﺪ ﺫﻟﻚ ﻭﺧﺮﺝ اﻟﻤﻨﻲ ﻓﻬﺬا اﺳﺘﻤﻨﺎء ﻣﺒﻄﻞ

"Hal tersebut (dihukumi batal puasanya-pen) selama dia tidak bermaksud mengeluarkan air maninya ketika berpelukan meskipun dengan penghalang (seperti kain atau baju-pen), tetapi jika dia bermaksud mengeluarkan air mani maka dihukumi sama seperti masturbasi yang membatalkan puasa."

Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4933)

✍️ Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
,


Jika kafarat besar wajib karena berhubungan badan saat berpuasa, maka kafarat tersebut gugur dengan tiga hal:

1. Kematian: Jika orang yang wajib kafarat meninggal dunia di siang hari, maka kafaratnya gugur.

2. Kegilaan: Jika orang yang wajib kafarat menjadi gila, meskipun kegilaan tersebut disebabkan oleh perbuatannya sendiri (seperti melompat dari tebing tinggi), maka kafaratnya gugur. Syekh Syubramilisi menyatakan kafaratnya gugur, sedangkan Syekh Al-Muzahi berbeda pendapat dalam hal ini.

3. Berpindah ke negara lain: Jika orang yang wajib kafarat berpindah ke negara lain pada hari dia melakukan hubungan badan, dan dia melihat orang-orang di sana mulai berpuasa pada waktu yang berbeda dengan negaranya, maka kafaratnya gugur.

Tambahan:

4. Haid atau nifas: Jika wanita yang wajib kafarat mengalami haid atau nifas, maka kafaratnya gugur, dengan asumsi bahwa si wanita memang wajib kafarat seperti disebutkan dalam kitab Al-Mughni.

Selain keempat hal di atas, kafarat tidak gugur:

Murtad: Jika orang yang wajib kafarat murtad pada hari yang sama, puasanya batal dan kafaratnya tidak gugur.

Safar: Jika orang yang wajib kafarat melakukan perjalanan jauh setelah berhubungan badan, kafaratnya tidak gugur. Hal ini karena perjalanan yang dilakukan di siang hari tidak membolehkan berbuka puasa, sehingga tidak berpengaruh terhadap kewajiban kafarat.

Sakit: Jika orang yang wajib kafarat sakit di siang hari, kafaratnya tidak gugur dalam madzhab Syafii. Hal ini karena sakit tidak bertentangan dengan puasa, sehingga pelanggaran terhadap kesucian puasa tetap terjadi.

Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4923)

✍️ Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
,


Seorang wanita membatalkan puasanya di bulan Ramadhan untuk menyusui anaknya karena khawatir akan kesehatan anaknya. Dia wajib mengganti puasa dan membayar fidyah. Kemudian, pada hari dia membatalkan puasanya, dia menstruasi.

Apakah fidyahnya gugur atau tetap wajib?

Para ulama menyatakan bahwa dalam kasus kafarat jima' jika kita memegang pendapat diwajibkan kafarah juga pada wanita, maka jika seorang wanita di gauli pada siang hari Ramadhan kemudian menstruasi atau nifas di hari itu, maka kafaratnya gugur.

Alasannya adalah karena menstruasi dan nifas menghalangi sahnya puasa, sama seperti gila yang juga menggugurkan kafarat dan sama hukumnya dengan kematian.

Dalam kasus ini, dapat dikatakan bahwa kewajiban fidyah gugur, dan ini lebih kuat daripada kasus jima'.

Alasannya adalah karena pada kasus menyusui lebih utama untuk gugur kafaratnya karena dia tidak melakukan pelanggaran yang dapat  membatalkan puasanya, berbeda dengan kasus jima'.

Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4921)

✍️ Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
,


Boleh bagi seorang laki-laki dan perempuan yang dalam keadaan junub pada waktu Subuh kemudian berpuasa berdasarkan dalil berikut:

QS. Al-Baqarah ayat 187:

فالآن باشروهن وابتغوا ما كتب الله لكم وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض

"...Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu. Makan dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam..."

Ayat ini menunjukkan bahwa dibolehkan berhubungan suami istri hingga waktu fajar. Karena, konsekuensi dari dibolehkan berhubungan badan hingga waktu fajar adalah bisa jadi orang tersebut berpuasa sedang dalam kondisi junub.

Juga ada Hadits Aisyah dan Ummu Salamah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah dalam keadaan junub dalam kondisi berupuasa di pagi hari :

كان رسول الله صلي الله عليه وسلم يصبح جنبا من غير حلم ثم يصوم

"...Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah di pagi hari dalam keadaan junub bukan karena mimpi kemudian beliau berpuasa." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat yang lain dari kedua shahabiyah dalam Shahih Muslim, من جماع غير احتلا من جماع غير احتلام. Karena sebab jima’ bukan karena mimpi

Sedangkan Hadits Abu Hurairah yang menyatakan:

من أصبح جنبا فلا صوم له

"Barangsiapa yang junub di pagi hari, maka tidak ada puasa baginya"
(HR. Bukhari dan Muslim) telah dihapuskan (mansukh).

Pada awal Islam, berhubungan suami istri di malam hari saat Ramadhan diharamkan bagi orang yang berpuasa, sama seperti larangan makan dan minum.

Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memperbolehkan berhubungan suami istri hingga waktu fajar, maka dibolehkan bagi orang yang junub saat memasuki waktu subuh untuk berpuasa.

Abu Hurairah meriwayatkan hadits tersebut berdasarkan apa yang dia dengar dari Fadl bin Abbas tentang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada masa larangan awal.

Beliau tidak mengetahui tentang penghapusan larangan tersebut. Ketika dia mendengar hadits dari Aisyah dan Ummu Salamah, beliau pun kembali pada pendapat yang benar.

Oleh karena itu, jika seorang wanita selesai haid atau nifas dan waktu subuh telah masuk sebelum dia mandi, maka dia wajib berpuasa dan puasanya sah.

Namun, dianjurkan untuk mandi sebelum waktu subuh agar suci sejak awal puasa dan untuk menghindari air masuk ke lubang telinga, dubur, dan lainnya.

Wallahu A’lam
-----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4919)

✍️ Ahmad Reza Lc
Pengasub Fiqhgram

Jumat, 05 April 2024

,

Jika seseorang shalat di awal malam (Tarawih-pen) dan melakukan witir, kemudian ingin shalat lagi di akhir malam, maka dia boleh shalat lagi sebanyak apapun dan tidak perlu mengulang witir dengan melakukan naqd, karena witir sebelumnya sudah sah.


Ini adalah pendapat madzhab kami (Syafiiyah) dan juga diriwayatkan oleh Qadhi ‘Iyadh dari mayoritas ulama.

Dasarnya adalah hadits Thalq bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu berkata,

ﺳﻤﻌﺖ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮﻝ: "ﻻ ﻭﺗﺮاﻥ ﻓﻲ ﻟﻴﻠﺔ

“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada dua witir dalam satu malam.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i).

Seseorang tidak boleh (naqd) membatalkan witirnya dengan cara shalat satu rakaat di awal ketika akhir malam untuk menjadikan witirnya yang di awal malam genap, kemudian melakukan tahajud lagi dan witir di akhir shalatnya.

Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Jamrah berkata,

ﺳﺄﻟﺖ ﻋﺎﺋﺬ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺏ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺏ اﻟﺸﺠﺮﺓ ﻫﻞ ﻳﻧﻘﺾ اﻟﻮﺗﺮ؟ ﻗﺎﻝ: ﺇﺫا ﺃﻭﺗﺮﺕ ﻣﻦ ﺃﻭﻟﻪ، ﻓﻼ ﺗﻮﺗﺮ ﻣﻦ ﺁﺧﺮﻩ.

“Aku bertanya kepada ‘Aidz bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, dan beliau adalah salah satu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Ahlu asy-Syajarah (Baitur Ridwan-pen), “Apakah witir itu bisa dibatalkan?”

Dia menjawab, “Jika kamu sudah witir di awal malam, maka jangan witir lagi di akhir malam.”

Alasan lainnya adalah witir pertama sudah sah dan tidak perlu dibatalkan setelah selesai.

Jika seseorang menjadi imam dan witir di awal malam, kemudian shalat bersama jamaah, maka dia tidak boleh witir lagi, tetapi harus memilih yang lain untuk mengimami shalat witir.

Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad sahih dari Qais bin Thalq berkata,

ﺯاﺭﻧﺎ ﻃﻠﻖ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ ﻓﻲ ﻳﻮﻡ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ، ﻭﺃﻣﺴﻰ ﻋﻨﺪﻧﺎ، ﻭﺃﻓﻄﺮ، ﺛﻢ ﻗﺎﻡ ﺑﻨﺎ اﻟﻠﻴﻠﺔ، ﻭﺃﻭﺗﺮ ﺑﻨﺎ، ﺛﻢ اﻧﺤﺪﺭ ﺇﻟﻰ ﻣﺴﺠﺪﻩ، ﻓﺼﻠﻰ ﺑﺄﺻﺤﺎﺑﻪ، ﺣﺘﻰ ﺇﺫا ﺑﻘﻲ اﻟﻮﺗﺮ ﻗﺪﻡ ﺭﺟﻼ، ﻓﻘﺎﻝ: ﺃﻭﺗﺮ ﺑﺄﺻﺤﺎﺑﻚ، ﻓﺈﻧﻲ ﺳﻤﻌﺖ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮﻝ: ﻻ ﻭﺗﺮاﻥ ﻓﻲ ﻟﻴﻠﺔ.

“Thalq bin ‘Ali mengunjungi kami di suatu hari di bulan Ramadhan, dan dia menginap di rumah kami, berbuka puasa, kemudian dia bangun bersama kami di malam hari dan witir bersama kami.

Kemudian dia turun ke masjidnya dan shalat bersama para sahabatnya. Ketika waktu witir tiba, dia mendahulukan seorang laki-laki dan berkata, “Witirlah bersama para sahabatmu, karena aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada dua witir dalam satu malam.”


Rafi’ bin Khadij ditanya tentang witir, maka beliau menjawab,

ﺃﻣﺎ ﺃﻧﺎ ﻓﺈﻧﻲ ﺃﻭﺗﺮ ﻣﻦ ﺃﻭﻝ اﻟﻠﻴﻞ ﻓﺈﻥ ﺭﺯﻗﺖ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ﺁﺧﺮﻩ ﺻﻠﻴﺖ ﺭﻛﻌﺘﻴﻦ ﺭﻛﻌﺘﻴﻦ ﺣﺘﻰ ﺃﺻﺒﺢ.

“Adapun aku, aku witir di awal malam. Jika aku diberi kesempatan untuk shalat di akhir malam, maka aku shalat dua rakaat demi dua rakaat hingga pagi hari.”

Wallahu A’lam
----------

🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4917)

✍️ Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram