dalam madzhab Syafii yang mu'tamad, yang paling afdhol adalah versi pertama tanpa tambahan wabarokatuh sama sekali. Dan ini pendapat yang kita pilih. Bahkan secara gamblang, Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar menyatakan; bahwa tidak disunnahkan menambahkan lafadz 'wabarokatuh' sama sekali, karena hal itu menyelisihi riwayat yang sudah masyhur dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Adapun riwayat tambahan yang ada, maka dihukumi syadz (menyelisih yang tsiqoh).
Selasa, 30 April 2024
Kamis, 25 April 2024
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً، فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتِ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
"Siapa yang mandi di hari jumat seperti mandi junub, lalu berangkat ke masjid; maka seperti kurban onta. Dan siapa yang berangkat di waktu kedua; seperti kurban sapi. Dan siapa yang berangkat di waktu ketiga; maka seperti kurban domba jantan yang bertanduk. Dan siapa yang berangkat di waktu keempat; maka seperti kurban ayam. Dan siapa yang berangkat di waktu kelima; maka seperti kurban telur. Dan jika imam sudah muncul, maka malaikat hanya mendengarkan khutbah." [ HR.Bukhari (881), Muslim (850) ]
Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;
تَقْعُدُ الْمَلَائِكَةُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ، يَكْتُبُونَ النَّاسَ عَلَى مَنَازِلِهِمْ، فَالنَّاسُ فِيهِ كَرَجُلٍ قَدَّمَ بَدَنَةً ، وَكَرَجُلٍ قَدَّمَ بَقَرَةً، وَكَرَجُلٍ قَدَّمَ شَاةً، وَكَرَجُلٍ قَدَّمَ دَجَاجَةً، وَكَرَجُلٍ قَدَّمَ عُصْفُورًا، وَكَرَجُلٍ قَدَّمَ بَيْضَةً
"Malaikat akan duduk di hari jumat di pintu-pintu masjid untuk mencatat kedudukan pahala manusia yang datang. Ada yang mendapat pahala seperti kurban onta, ada yang seperti kurban sapi, ada yang seperti kurban kambing, ada yang seperti kurban ayam, ada yang seperti kurban burung, dan ada yang seperti kurban telur." [ HR.An-Nasai (1387) ]
Dari kedua hadits ini, para ulama berkesimpulan bahwa waktu hari jumat memiliki enam pembagian yang menentukan nilai pahala yang di dapat. Namun, dalam menentukan ukuran enam waktu tersebut, maka ada dua sudut pandang dari para fuqoha.
Pendapat pertama, sudut pandang waktu yang sifatnya hakiki. Dalam artian bahwa ukuran jangka waktu disini adalah waktu yang memiliki batas tertentu. Dan ini sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim (6/136) dengan mengatakan;
وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ تَعْيِينُ السَّاعَاتِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ أَمْ مِنْ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَالْأَصَحُّ عِنْدَهُمْ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ ثُمَّ إِنَّ مَنْ جَاءَ فِي أَوَّلِ سَاعَةٍ مِنْ هَذِهِ السَّاعَاتِ وَمَنْ جَاءَ فِي آخِرِهَا مُشْتَرَكَانِ فِي تَحْصِيلِ أَصْلِ الْبَدَنَةِ وَالْبَقَرَةِ وَالْكَبْشِ وَلَكِنْ بَدَنَةُ الْأَوَّلِ أَكْمَلُ مِنْ بَدَنَةِ مَنْ جَاءَ فِي آخِرِ السَّاعَةِ وَبَدَنَةُ الْمُتَوَسِّطِ مُتَوَسِّطَةٌ
"Dan para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini, mengenai penentuan waktu sejak terbitnya fajar atau setelah terbitnya matahari. Dan yang shahih dalam hal ini dimulai sejak terbitnya fajar. Lalu, orang yang datang di awal waktu dari waktu-waktu dan di akhir waktunya (dalam satu jenjang waktu) akan mendapatkan keutamaan yang sama baik onta, sapi, atau kambing. Hanya saja onta bagi yang datang di awal waktu pertama lebih sempurna dari yang datang di akhir waktu pertama, demikian yang datang di pertengahan waktu pertama maka onta yang pertengahan."
Hal senada juga beliau sampaikan dalam Al-Majmu', dan ini adalah pendapat pilihan beliau.
Pendapat kedua, hitungan waktu ini bersifat nisbi (relatif). Dimana orang yang datang dibanding orang datang setelahnya, maka dia seperti kurban onta. Sedang dengan orang yg datang duluan sebelum dia, dia seperti kurban sapi. Dan orang yang di atasnya lagi, maka dia seperti kurban kambing. Begitu seterusnya, dan tidak ada batas waktu tertentu yang ada awal serta akhir sebuah waktu. Ini adalah pandangan Imam Ar-Rōfi'i dalam Syarah Al-Wajīz (2/314) yang mengatakan;
ثم ليس المراد من السَّاعات على اختلاف الوجوه الأربع والعشرين التي قسم اليوم والليلة عليها، وإنما المراد ترتيب الدرجات وفضل السابق على الذي يليه
"Lantas maksud dari waktu disini bukan hitungan 24 jam dalam pembagian satu hari. Tapi maksudnya adalah urutan derajat serta keutamaan orang yang datang terlebih dulu dibanding yang datang setelahnya."
Demikian juga dijelaskan lebih lanjut oleh Al-Khothib As-Syirbini dalam Mughnil Muhtaj (1/560);
فَكُلٌّ دَاخِلٌ بِالنِّسْبَةِ إلَى مَنْ بَعْدَهُ كَالْمُقَرِّبِ بَدَنَةً وَبِالنِّسْبَةِ إلَى مَنْ قَبْلَهُ بِدَرَجَةٍ كَالْمُقَرِّبِ بَقَرَةً وَبِدَرَجَتَيْنِ كَالْمُقَرِّبِ كَبْشًا وَبِثَلَاثٍ دَجَاجَةً وَبِأَرْبَعٍ بَيْضَةً، وَعَلَى هَذَا لَا حَصْرَ لِلسَّاعَاتِ وَالْأَوْلَى الْأَوَّلُ
"Maka setiap orang yang datang dibanding dengan orang yang datang setelahnya; dia seperti kurban onta. Sedang dibanding yang datang sebelumnya; dia seperti kurban sapi, dan dibanding dua orang sebelumnya dia seperti kurban kambing, dan tiga orang sebelumnya dia seperti kurban ayam, dan empat orang sebelumnya dia seperti kurban telur. Dan begitu seterusnya sehingga tidak ada batas tertentu dalam waktu-waktu ini."
Maka yang mu'tamad (pendapat kuat) dalam hal ini adalah pendapat Imam Nawawi, namun dengan perincian yang disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Tuhfatul Muhtaj (2/470);
وَالْمُرَادُ أَنَّ مَا بَيْنَ الْفَجْرِ وَخُرُوجِ الْخَطِيبِ يَنْقَسِمُ سِتَّةَ أَجْزَاءٍ مُتَسَاوِيَةٍ سَوَاءٌ أَطَالَ الْيَوْمُ أَمْ قَصُرَ
"Dan maksudnya antara terbitnya fajar sampai keluarnya khotib menuju mimbar dibagi menjadi enam bagian yang sama; panjang pendeknya waktu siang tidak berpengaruh dalam hal ini."
Hal yang sama disampaikan oleh Ar-Romli dalam Nihayatul Muhtaj (2/336);
فَعَلَيْهِ الْمُرَادُ بِسَاعَاتِ النَّهَارِ الْفَلَكِيَّةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً زَمَنِيَّةً صَيْفًا أَوْ شِتَاءً، وَإِنْ لَمْ تُسَاوِ الْفَلَكِيَّةَ فَالْعِبْرَةُ بِخَمْسِ سَاعَاتٍ مِنْهَا أَوْ سِتٍّ
"Maka maksud waktu-waktu siang adalah hitungan falak yaitu 12 jam baik musim panas atau musim dingin. Jika ukuran waktu falak tidak tepat dalam pembagian, maka dihitung dari awal waktu 5 atau enam jam pertama."
As-Syubromilsi mengomentari dengan mengatakan, "Ini yang mu'tamad."
Oleh karenanya, jika diasumsikan waktu siang dimulai dari pukul 06.00 wib sampai 18.00 wib, maka tinggal dibagi enam bagian. Maka bagian pertama nilainya seperti kurban onta, bagian kedua seperti kurban sapi, dan seterusnya. Wallahu Ta'ala A'lam.
✍️ Oleh Abu Harits Al-Jawi
#fikihjumat #fikihsyafii
🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.
Senin, 22 April 2024
Pertama, mencuci farji dan membersihkannya.
Kedua, memasukkan semacam kain ke dalam farji (dibahasakan dengan istilah hasyw). Dalam hal ini, termasuk pembalut jenis tampon atau menstrual cup. Namun, hal ini tidak perlu dilakukan jika dalam kondisi puasa; karena bisa membatalkan puasa.
Ketiga, menutup area luar farji dengan kain. Seperti pembalut yang biasa. Yang dibahasan dengan istilah 'ishōbah. Namun hal ini juga bisa tidak dikerjakan, selama hasyw sudah mencukupi.
Keempat, wudhu meskipun wudhu sebelumnya belum batal.
Lantas, apakah boleh hanya menggunakan 'ishōbah saja tanpa hasyw ? Menurut Al-Romli dalam Nihayatul Muhtaj, dibolehkan dengan syarat bahwa 'ishobah itu mampu menampung darah yang keluar.
Serta, untuk point pertama sampai ketiga; ada khilaf dalam internal madzhab Syafii sendiri. Apakah perlu ketiganya diulang di setiap shalat fardhu atau hanya ketika terlihat darah sudah penuh saja di bagian pembalut ? Mu'tamad madzhab (al-ashoh) menyatakan wajib diulang meski darah tidak tampak. Pendapat kedua menyatakan tidak wajib. Wallahu ta'ala a'lam.
✍ Abu Harits Al-Jawi
#fikihdarahwanita
📖 Al-Ibānah wal Ifādhoh. Dr, Abdurrahman Saqqōf.
🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.
Jumat, 12 April 2024
Jika seseorang berhubungan badan di malam hari dan kemudian mencabut saat fajar terbit, maka ada dua keadaan baginya seperti yang dijelaskan dalam kitab Al-Majmu' dan lainnya:
Pertama:
Jika dia merasakan fajar saat sedang berhubungan badan dan kemudian mencabut sehingga akhir pencabutan terjadi bersamaan dengan awal terbitnya fajar, maka puasanya sah karena pencabutan menghentikan hubungan badan.
Hal ini sama dengan kasus seseorang yang bersumpah untuk tidak memakai baju dan dia sedang memakai baju, kemudian dia mencabutnya.
Kedua:
Jika fajar terbit saat dia sedang berhubungan badan dan dia mengetahui terbitnya fajar di awal waktu fajar, kemudian dia mencabutnya segera, maka dia juga tidak batal puasanya meskipun mani keluar.
Hal ini karena pencabutan menghentikan hubungan badan. dan dia tidak batal puasanya meskipun keluar mani pada saat mencabutnya.
Hal ini karena keluarnya mani tersebut dihasilkan dari aktivitas yang dibolehkan (jimak di malam hari-pen) dan hasil dari sesuatu yang dibolehkan juga dibolehkan.
Syarat pencabutan:
Pencabutan harus dilakukan dengan tujuan untuk menghentikan hubungan badan. Pencabutan tidak sah jika dilakukan dengan tujuan untuk bersenang-senang atau tanpa tujuan yang jelas.
Hal ini karena hubungan badan didefinisikan sebagai memasukkan dan mengeluarkan penis, sehingga harus ada niat untuk menghentikan pengeluaran penis.
Wallahu A’lam
-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4954)
1. Jika ternyata dia makan setelah fajar terbit atau sebelum matahari terbenam, puasanya tidak sah dan dia wajib menggantinya karena dia makan di siang hari.
2. Jika ternyata dia makan sebelum fajar terbit atau setelah matahari terbenam, puasanya sah karena dia makan di malam hari.
3. Jika dia tidak yakin dan keraguannya masih berlanjut:
• Jika dia makan di akhir waktu siang (menjelang maghrib-pen), dia wajib mengganti puasanya karena asumsinya adalah siang hari masih berlangsung.
• Jika dia makan di awal waktu siang (menjelang subuh-pen), dia tidak wajib mengganti puasanya karena asumsinya adalah malam hari masih berlangsung.
Makan dengan terburu-buru tanpa berusaha mencari tahu atau berhati-hati adalah haram di akhir waktu siang (menjelang Maghrib-pen) karena asumsinya adalah siang hari masih berlangsung.
Sedangkan di awal waktu siang, hal itu diperbolehkan karena orang yang ragu tidak diharamkan untuk makan sampai dia yakin bahwa hari telah siang (matahari terbit-pen).
Wallahu A’lam
-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dengan beberapa penyesuaian dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4953)
Jika ternyata dia makan setelah matahari terbenam, maka puasanya sah.
Kedua:
Jika ternyata dia makan sebelum matahari terbenam, maka puasanya tidak sah karena dia makan di siang hari.
Dugaannya bahwa matahari sudah terbenam tidak dianggap berdasarkan hadits Asma' dalam Shahih Bukhari.
Ketika para sahabat berbuka puasa pada zaman Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam di hari yang mendung, kemudian matahari terbit, dikatakan kepada Hisyam: "Apakah mereka harus mengganti puasanya?"
Hisyam menjawab: "Harus mengganti."
Hal yang sama juga terjadi pada zaman Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhhu. Mayoritas riwayat dari Umar Radhiyallahu ‘Anhhu menyatakan bahwa harus mengganti puasa.
Adapun riwayat Zaid bin Wahb yang menyatakan tidak perlu mengganti puasa adalah keliru, sebagaimana dikatakan oleh Al-Baihaqi.
Ketiga:
Jika dia tidak yakin dan keraguannya masih berlanjut, maka puasanya sah. Karena ijtihad adalah jalan yang syar'i untuk menetapkan hukum.
Wallahu A’lam
-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4952)
Pertama:
Jika ternyata dia makan sebelum fajar terbit, maka puasanya sah.
Kedua:
Jika ternyata dia makan setelah fajar terbit, maka puasanya *tidak sah* karena dia makan di siang hari. Anggapannya bahwa fajar belum terbit tidak dihiraukan karena anggapan tersebut jelas keliru. (yaitu kaidah fikih لا عبرة بالظن البين خطؤه)
Ketiga:
Jika dia tidak yakin tentang apa yang terjadi dan keraguannya tetap ada, maka puasanya sah karena asal hukumnya adalah malam masih berlangsung. Asal hukum ini tetap berlaku dan istiṣḥāb (penetapan hukum berdasarkan keadaan sebelumnya) merupakan hujjah (bukti) syar'i.
Syekh Syabramalisi berkata:
"Apakah dia wajib mencari tahu apakah dia salah atau tidak?
Ada dua pendapat tentang hal ini, dan yang lebih dekat dengan kebenaran adalah pendapat kedua, yaitu dia tidak wajib mencari tahu. Hal ini karena asal hukumnya puasanya sah."
Wallahu A’lam
-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4951)
Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata,
"Kami pernah sahur bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian kami bangun untuk shalat. Jarak antara sahur dan shalat kira-kira waktu membaca 50 ayat."
Imam Ar-Ramli berkata,
"Hadits ini menunjukkan batas waktu penundaan sahur yang sesuai sunnah."
Syaikh Ba'isyan berkata,
"Kebiasaan yang dilakukan orang-orang dengan menunda adzan Maghrib dan mengumandangkan azan kedua sebelum fajar adalah menyelisihi sunnah."
Al-Qastallani berkata, "Oleh karena itu, sedikit sekali kebaikan yang tersisa pada mereka."
Wallahu A’lam
-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4946)
"Aku sedang berpuasa."
Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Jika salah seorang di antara kalian berpuasa, maka janganlah dia berkata-kata kotor dan janganlah bertengkar. Jika ada orang yang mengajaknya bertengkar atau mencacinya, maka hendaklah dia mengatakan: 'Aku sedang berpuasa'."
Apakah dia mengatakannya dengan suara pelan atau keras?
Terdapat dua pendapat dalam madzhab tentang hal ini:
Pendapat pertama:
Dia mengatakannya dengan lisannya dan orang yang mencaci mendengarnya. Hal ini bertujuan untuk mencegah orang tersebut dari mencaci lagi, dan mengingatkannya bahwa dia sedang berpuasa, serta untuk membalas perbuatannya dengan yang lebih baik.
Pendapat kedua:
Dia mengatakannya dalam hatinya, tidak dengan lisannya. Dia mengingatkan dirinya sendiri bahwa dia sedang berpuasa agar dia bersabar dan tidak membalas cacian, sehingga pahala puasanya tidak hilang.
Al-Mu'tawwali berpegang teguh pada pendapat kedua ini, dan Ar-Rafi'i meriwayatkannya dari para imam Syafiiyah.
Hal ini karena jika dia mengatakannya dengan keras, dikhawatirkan dia akan terjerumus ke dalam riya' (pamer) jika orang lain mendengarnya.
Dikatakan dalam kitab Al-Majmu':
"Kedua pendapat tersebut bagus, dan pendapat pertama lebih kuat. Jika dia menggabungkan keduanya, maka itu lebih baik."
Disebutkan dalam kitab At-Tuḥfah:
"Dia mengatakannya dalam hatinya untuk mengingatkan dirinya sendiri, dan dengan lisannya jika dia tidak mengira akan terjerumus ke dalam riya', dua atau tiga kali, untuk mencegah lawannya. Jika dia memilih salah satu, maka yang lebih utama adalah dengan lisannya."
Wallahu A’lam
-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4940)
Hal-hal yang termasuk dalam kategori ini adalah berbohong, ghibah, mencaci-maki, dan memaki.
Bukhari meriwayatkan:
"Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatannya, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makan dan minumnya."
Hakim meriwayatkan dalam Sahihnya:
"Puasa itu bukan hanya dari makan dan minum saja, tetapi juga dari berkata sia-sia dan dusta."
Akibat Tidak Menahan Lisan
Jika seorang yang berpuasa tidak menahan lidahnya dari hal-hal tersebut - misalnya, ghibah - maka dia berdosa karena ghibah itu sendiri, karena adanya ancaman yang keras terhadap perbuatan ghibah.
Dia juga berdosa karena melanggar anjuran untuk menjaga puasa dari hal-hal tersebut, sehingga pahala puasanya hilang ditambah dengan dosa ghibah.
Pendapat Imam Syafi'i
Imam Syafi'i berpendapat bahwa pahala puasa bisa batal karena hal ini. Oleh karena itu para ulama syafi'iyah yang lain menolak kajian yang dilakukan oleh Al-Adzra'i yang berpendapat bahwa pahalanya tetap ada dan hanya mendapat dosa maksiat saja, karena jika imam dalam sebuah madzhab sudah menyatakan dengan jelas pendapatnya dalam sebuah masalah, maka tidak perlu lagi kajian maupun analisa dalam masalah tersebut.
Tidak batal puasa orang yang melakukan ghibah. Adapun hadits yang menyebutkan bahwa
"Lima hal yang membatalkan puasa adalah ghibah, namimah (adu domba), berbohong, ciuman, dan sumpah palsu."
Maka ada dua jawaban dari Imam Syafii:
Jawaban pertama: Hadits tersebut dhaif (lemah) dan tidak bisa dijadikan hujjah.
Jawaban kedua: Maksud dari batal di sini adalah batal pahalanya, bukan batal puasanya.
Kesimpulan:
Jika seorang yang berpuasa menahan lidahnya dari hal-hal tersebut, dia akan mendapatkan dua pahala:
1. Pahala wajib karena menahan lidah dari hal-hal yang haram.
2. Pahala sunnah karena menjaga kesucian puasanya.
Wallahu A’lam
-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4935)
Namun, jika seorang ibu atau orang lain membutuhkan untuk mengunyah makanan (supaya menjadi halus-pen) seperti mengunyah roti untuk anaknya, maka hal itu tidak makruh.
Begitu pula jika seorang juru masak membutuhkan untuk mencicipi masakan. Syaikh Syubramilisi berkata:
"Dan sepatutnya tidak makruh hukumnya karena kebutuhan, meskipun ada orang lain yang tidak berpuasa di dekatnya, karena orang lain tersebut mungkin tidak mengetahui cara mengolahnya seperti orang yang berpuasa."
Wallahu A’lam
-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4935)
Sabtu, 06 April 2024
Namun, Al-Azra'i berbeda pendapat dan mengatakan bahwa puasa batal jika seseorang sudah tahu bahwa dia akan keluar mani dengan cara tersebut, kemudian tetap melakukannya dengan sengaja.
Menurut Ibnu Hajar, tidak haram mengulang pandangan meskipun khawatir akan keluar mani. Pendapat ini berbeda dengan pendapat Al-Isnawi, Syaikk Zakariya Al-Anshari, Al-Khatib, dan Ar-Ramli.
Al-Zarkasyi menyanggah pendapat yang mengharamkan tersebut berdasarkan perkataan mereka bahwa maksudnya hal tersebut (mengulang pandangan-pen) tidak haram kecuali jika keluar mani.
Wallahu A’lam
-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dengan beberapa penyesuaian dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4934)
Syarat masturbasi menjadi pembatal puasa adalah orang tersebut mengetahui hal tersebut (masturbasi membatalkan puasa-pen) dan sengaja untuk melakukannya.
Dihukumi batal puasanya, karena jika seorang membatalkan puasa dengan hubungan badan tanpa mengeluarkan air mani, maka keluarnya air mani dengan menyentuhnya (masturbasi) ada sejenis kenikmatan, dan kasus ini lebih berhak untuk dianggap membatalkan puasa.
Tetapi bagi yang melakukan masturbasi tidak wajib untuk melakukan kafarat, karena dallil-dalil menyatakan kafarat hanya berlaku untuk hubungan seksual.
Sedangka masturbasi tidak sama dengan hubungan seksual karena tidak ada penetrasi.
Dihukumi sama seperti masturbasi, air mani yang keluar karena ciuman, sentuhan, dan pelukan tanpa ada penghalang.
Ibnu Qasim berkata:
"Hal tersebut (dihukumi batal puasanya-pen) selama dia tidak bermaksud mengeluarkan air maninya ketika berpelukan meskipun dengan penghalang (seperti kain atau baju-pen), tetapi jika dia bermaksud mengeluarkan air mani maka dihukumi sama seperti masturbasi yang membatalkan puasa."
Wallahu A’lam
-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4933)
1. Kematian: Jika orang yang wajib kafarat meninggal dunia di siang hari, maka kafaratnya gugur.
2. Kegilaan: Jika orang yang wajib kafarat menjadi gila, meskipun kegilaan tersebut disebabkan oleh perbuatannya sendiri (seperti melompat dari tebing tinggi), maka kafaratnya gugur. Syekh Syubramilisi menyatakan kafaratnya gugur, sedangkan Syekh Al-Muzahi berbeda pendapat dalam hal ini.
3. Berpindah ke negara lain: Jika orang yang wajib kafarat berpindah ke negara lain pada hari dia melakukan hubungan badan, dan dia melihat orang-orang di sana mulai berpuasa pada waktu yang berbeda dengan negaranya, maka kafaratnya gugur.
Tambahan:
4. Haid atau nifas: Jika wanita yang wajib kafarat mengalami haid atau nifas, maka kafaratnya gugur, dengan asumsi bahwa si wanita memang wajib kafarat seperti disebutkan dalam kitab Al-Mughni.
Selain keempat hal di atas, kafarat tidak gugur:
Murtad: Jika orang yang wajib kafarat murtad pada hari yang sama, puasanya batal dan kafaratnya tidak gugur.
Safar: Jika orang yang wajib kafarat melakukan perjalanan jauh setelah berhubungan badan, kafaratnya tidak gugur. Hal ini karena perjalanan yang dilakukan di siang hari tidak membolehkan berbuka puasa, sehingga tidak berpengaruh terhadap kewajiban kafarat.
Sakit: Jika orang yang wajib kafarat sakit di siang hari, kafaratnya tidak gugur dalam madzhab Syafii. Hal ini karena sakit tidak bertentangan dengan puasa, sehingga pelanggaran terhadap kesucian puasa tetap terjadi.
Wallahu A’lam
-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4923)
Apakah fidyahnya gugur atau tetap wajib?
Para ulama menyatakan bahwa dalam kasus kafarat jima' jika kita memegang pendapat diwajibkan kafarah juga pada wanita, maka jika seorang wanita di gauli pada siang hari Ramadhan kemudian menstruasi atau nifas di hari itu, maka kafaratnya gugur.
Alasannya adalah karena menstruasi dan nifas menghalangi sahnya puasa, sama seperti gila yang juga menggugurkan kafarat dan sama hukumnya dengan kematian.
Dalam kasus ini, dapat dikatakan bahwa kewajiban fidyah gugur, dan ini lebih kuat daripada kasus jima'.
Alasannya adalah karena pada kasus menyusui lebih utama untuk gugur kafaratnya karena dia tidak melakukan pelanggaran yang dapat membatalkan puasanya, berbeda dengan kasus jima'.
Wallahu A’lam
-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4921)
QS. Al-Baqarah ayat 187:
"...Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu. Makan dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam..."
Ayat ini menunjukkan bahwa dibolehkan berhubungan suami istri hingga waktu fajar. Karena, konsekuensi dari dibolehkan berhubungan badan hingga waktu fajar adalah bisa jadi orang tersebut berpuasa sedang dalam kondisi junub.
Juga ada Hadits Aisyah dan Ummu Salamah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah dalam keadaan junub dalam kondisi berupuasa di pagi hari :
"...Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah di pagi hari dalam keadaan junub bukan karena mimpi kemudian beliau berpuasa." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat yang lain dari kedua shahabiyah dalam Shahih Muslim, من جماع غير احتلا من جماع غير احتلام. Karena sebab jima’ bukan karena mimpi
Sedangkan Hadits Abu Hurairah yang menyatakan:
"Barangsiapa yang junub di pagi hari, maka tidak ada puasa baginya" (HR. Bukhari dan Muslim) telah dihapuskan (mansukh).
Pada awal Islam, berhubungan suami istri di malam hari saat Ramadhan diharamkan bagi orang yang berpuasa, sama seperti larangan makan dan minum.
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memperbolehkan berhubungan suami istri hingga waktu fajar, maka dibolehkan bagi orang yang junub saat memasuki waktu subuh untuk berpuasa.
Abu Hurairah meriwayatkan hadits tersebut berdasarkan apa yang dia dengar dari Fadl bin Abbas tentang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada masa larangan awal.
Beliau tidak mengetahui tentang penghapusan larangan tersebut. Ketika dia mendengar hadits dari Aisyah dan Ummu Salamah, beliau pun kembali pada pendapat yang benar.
Oleh karena itu, jika seorang wanita selesai haid atau nifas dan waktu subuh telah masuk sebelum dia mandi, maka dia wajib berpuasa dan puasanya sah.
Namun, dianjurkan untuk mandi sebelum waktu subuh agar suci sejak awal puasa dan untuk menghindari air masuk ke lubang telinga, dubur, dan lainnya.
Wallahu A’lam
-----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4919)
Jumat, 05 April 2024
Jika seseorang shalat di awal malam (Tarawih-pen) dan melakukan witir, kemudian ingin shalat lagi di akhir malam, maka dia boleh shalat lagi sebanyak apapun dan tidak perlu mengulang witir dengan melakukan naqd, karena witir sebelumnya sudah sah.
Ini adalah pendapat madzhab kami (Syafiiyah) dan juga diriwayatkan oleh Qadhi ‘Iyadh dari mayoritas ulama.
Dasarnya adalah hadits Thalq bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada dua witir dalam satu malam.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i).
Seseorang tidak boleh (naqd) membatalkan witirnya dengan cara shalat satu rakaat di awal ketika akhir malam untuk menjadikan witirnya yang di awal malam genap, kemudian melakukan tahajud lagi dan witir di akhir shalatnya.
Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Jamrah berkata,
“Aku bertanya kepada ‘Aidz bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, dan beliau adalah salah satu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Ahlu asy-Syajarah (Baitur Ridwan-pen), “Apakah witir itu bisa dibatalkan?”
Dia menjawab, “Jika kamu sudah witir di awal malam, maka jangan witir lagi di akhir malam.”
Alasan lainnya adalah witir pertama sudah sah dan tidak perlu dibatalkan setelah selesai.
Jika seseorang menjadi imam dan witir di awal malam, kemudian shalat bersama jamaah, maka dia tidak boleh witir lagi, tetapi harus memilih yang lain untuk mengimami shalat witir.
Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad sahih dari Qais bin Thalq berkata,
“Thalq bin ‘Ali mengunjungi kami di suatu hari di bulan Ramadhan, dan dia menginap di rumah kami, berbuka puasa, kemudian dia bangun bersama kami di malam hari dan witir bersama kami.
Kemudian dia turun ke masjidnya dan shalat bersama para sahabatnya. Ketika waktu witir tiba, dia mendahulukan seorang laki-laki dan berkata, “Witirlah bersama para sahabatmu, karena aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada dua witir dalam satu malam.”
Rafi’ bin Khadij ditanya tentang witir, maka beliau menjawab,
Wallahu A’lam
----------
🔗 Diterjemahkan secara bebas dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4917)