Kamis, 31 Maret 2022

,
Zakat fithr ( زكاة الفطر ) adalah ukuran tertentu dari harta yang wajib dikeluarkan ketika terbenamnya matahari di akhir bulan Ramadhan ( malam syawwal ) dengan syarat tertentu atas setiap mukallaf dan orang yang berada di bawah nafkahnya. Dinamakan zakatul fitr ( زكاة الفطر ) karena zakat tersebut dikeluarkan ketika waktu fitr ( berbuka ). Dan dikatakan pula zakatul fitrah ( زكاة الفطرة ) maksudnya zakat tubuh karena zakat ini mensucikan jiwa.

HUKUM ZAKAT FITRAH

Zakat fitr adalah wajib bagi setiap orang yang memenuhi syarat wajibnya. Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu anhuma ;

أن رسول الله صلى الله عليه و سلم فرض زكاة الفطر من رمضان على الناس صاعا من تمر أو صاعا من شعير على كل حر و عبد ذكر أو أنثى من المسلمين

“ Bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fitr di bulan Ramadhan atas manusia dengan ukuran 1 sha’ kurma atau gandum atas setiap orang yang merdeka atau budak, laki-laki atupun perempuan dari kaum muslimin.” [HR. Bukhari dan Muslim]

SYARAT WAJIB

1. Islam
Maka tidak ada kewajiban bagi orang kafir ataupun musyrik ataupun ahli kitab. Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar di atas. Dan juga atas orang-orang yang dia nafkahi. Bekata Imam Syafi’I ;

لَا زَكَاةَ فِطْرٍ إلَّا عَلَى مُسْلِمٍ، وَعَلَى الرَّجُلِ أَنْ يُزَكِّيَ عَنْ كُلِّ أَحَدٍ لَزِمَهُ مُؤْنَتُهُ صِغَارًا، أَوْ كِبَارًا

“ Tidak ada kewajiban zakat kecuali atas muslim dan laki-laki mengeluarkan zakat setiap orang yang dia nafkahi baik kecil atau dewasa.” [Al-Umm ( II/70 )]

Imam Syafi’I meriwayatkan hadits beliau berkata ;

أَخْبَرَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَلَى الْحُرِّ وَالْعَبْدِ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى مِمَّنْ يُمَوَّنُونَ

“ Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim Ibn Muhammad dari Ja’far ibn Muhammad dari ayahnya : bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitr atas orang merdeka dan hamba sahaya, laki-laki dan perempuan dari orang-orang yang diberikan nafkanya.” [Al-Umm ( II/67 )]

2. Terbenamnya matahari di akhir bulan Ramadhan
Maka barangsiapa yang meninggal setelah waktu tersebut maka wajib bagi keluarganya untuk mengeluarkan zakatnya. Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar di atas.

3. Ada kelebihan makanan untuk malam dan hari I’ed untuk dirinya dan orang-orang yang dia nafkahi. 
Maka orang yang kekurangan tidak ada kewajiban zakat sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Mundzir ini adalah ijma’. [Kifayatul Akhyar ( I/193 )]

BENTUK, UKURAN, WAKTU, DAN PEMBAGIAN

1. Zakat yang dikeluarkan merupakan bahan makanan pokok dari tempat tinggalnya. Tidak boleh mengeluarkan dengan selainnya seperti uang kecuali dalam keadaan terpaksa. Dan juga tidak boleh mengeluarkan zakat fitr dengan makanan siap saji. Sebagaimana hadits Ibnu Umar. Dan juga hadits Abu Said Al-Khudriy ;

كنا نخرج في عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم يوم الفطر صاعا من طعام - و قال أبو سعيد : و كان طعامنا الشعير و الزبيب و الأقط و التمر

“ Dahulu kami mengeluarkan zakat di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada hari ied satu sha’ makanan - Abu Said berkata ; dan makanan kami dahulu adalah gandum, kismis, aqith, dan kurma.” [HR. Bukhari ( I/263 )]

2. Ukurannya adalah 1 sha’ yang sama dengan 2,4 kg - 3 kg

3. Waktunya adalah sejak awal Ramadhan hingga hari pertama iedul fitri
Dan disunnahkan dikeluarkan ketika pagi sebelum sholat ied sebagaimana hadits Ibnu Umar ;

... و أمر بها أن تؤدي قبل خروج الناس إلى الصلاة

“ … dan beliau memerintahkan untuk mengeluarkan zakat fitr sebelum manusia keluar untuk sholat ied.” [HR. Bukhari]

4. Pembagian zakat fitr sama dengan pembagian zakat selainya
Allah Ta’ala berfirman ;

إنما الصدقات للفقراء للفقراء و المساكين و العاملين عليها و المؤلفة قلوبهم و في الرقاب و الغارمين و في سبيل الله و ابن السبيل فريضة من الله و الله عليم حكيم

“ Sesungguhnya shodaqah itu untuk orang fakir, miskin, amil zakat, orang yang dilunakkan hatinya, budak, orang yang tertimbun hutang, orang yang berjihad di jalan Allah, dan orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [QS At-Taubah : 60]

Dan pembagian ini boleh dilakukan sendiri atau diserahkan kepada amil zakat. Imam Syafi’I meriwayatkan dengan sanadnya dari Usamah ibn Zaid Al-Laitsi bertanya kepada Salim ibn Abdillah - ibn Umar - tentang zakat beliau berkata : berikanlah zakatmu sendiri. Usamah pun bertanya bukankah Ibn Umar memerintahkan untuk diserahkan kepada sulthan ? Beliau menjawab ;

بَلَى. وَلَكِنِّي لَا أَرَى أَنْ تَدْفَعَهَا إلَى السُّلْطَانِ

“ Betul tapi aku tidak berpendapat demikian.” [Al-Umm ( II/74 )]

-
Wallahu Ta'ala A'lam
Disadur dari buku Fiqh Ramadhan
Karya Abu Harits al-Jawi
,
Sebagaimana yang lazim dalam ibadah-ibadah lain, bahwa untuk kesempurnaannya diperlukan adab-adab tambahan disamping rukun-rukun dan syarat dalam ibadah tersebut. Demikian halnya dalam i'tikaf, hendaknya seorang mu'takif (orang yang beri'tikaf) memperhatikan pula adab-adab dalam i'tikaf. Diantaranya adalah;

1. Disunnahkan untuk orang yang beri’tikaf untuk menyibukkan diri dengan ketaatan dan ibadah. Dan tidak menyibukkan dirinya dengan dunia. Seperti dzikir, membaca al-Quran, shalat sunnah, ataupun muhasabah dan merenungi dosa-dosa. 

2. Disunnahkan pula untuk berpuasa. Dan berpuasa untuk orang yang ber’itikaf adalah sunnah dalam madzhab Imam Syafi’i. Sebagaimana atsar dari Ibnu Abbas yang mauquf ;

ليس على المعتكف صيام إلا أن يجعله على نفسه

“ Tidak wajib atas orang yang beri’tikaf puasa kecuali dia wajibkan sendiri atas dirinya.” [HR. Ad-Daruquthniy dan Al-Hakim. Lihat Bulughul Maram no.721]

3. Disunnahkan i’tikaf dilakukan di masjid jami’ (masjid yang ditempati sholat jum’at). Namun kendati demikian jika tidak memungkinkan boleh saja dia i'tikaf di musholla / langgar. 

4. Tidak melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat, makruh, atau bahkan maksiat. Cobalah ketika beri'tikaf, kita tinggalkan sejenak smartphone kita di rumah, dan benar-benar kita khusyuk bertaqorrub kepada Allah Ta'ala. Jangan sampai ketika kita di masjid, malah masih asyik bermain handphone atau ngobrol ngalor-ngidul dengan orang. Akhirnya habislah waktu tersebut untuk hal-hal duniawi semata. 

5. Memperbanyak doa di malam hari Ramadhan dengan doa’ ;

اللهم إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

“ Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemberi Maaf, maka maafkanlah aku.” [HR. Tirmidzi, An-Nasai, Ibn Majah. Lihat Bulughul Maram no. 724]

Wallahu Ta'ala A'lam
Disadur buku Fiqh Ramadhan
Karya Abu Harits al-Jawi

Selasa, 29 Maret 2022

,
Agar i'tikaf menjadi sah, maka perlu menjauhi pembatal-pembatal i'tikaf. Dan maksud dari batalnya i'tikaf disini adalah, bahwa jika seseorang melakukan pembatal i'tikaf ini, maka dia harus berniat i'tikaf lagi ketika masuk tempat i'tikafnya. Berikut diantara pembatal i'tikaf tersebut;

1. Jima’ secara sengaja meskipun tanpa keluar mani. Adapun bercumbu yang tidak sampai jima’ maka tidak membatalkan i’tikaf tapi dilarang. Dalilnya firman Allah Ta’ala ;

و لا تباشروهن و أنتم عاكفون في المساجد

“...dan janganlah kalian mencampuri istri kalian sedangkan kalian dalam keadaan ber’itikaf...” [QS Al-Baqarah : 187]

2. Keluar dari masjid secara sengaja tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Jika I’tikafnya adalah I’tikaf wajib ( seperti nadzar ) maka batal I’tikafnya dan memulai dari awal. Dan jika I’tikaf sunnah maka dia boleh untuk kembali hanya saja I’tikafnya terputus bukan batal. Hal ini telah dijelaskan oleh Imam Syafi’I beliau berkata ;

وَإِذَا خَرَجَ الْمُعْتَكِفُ لِغَيْرِ حَاجَةٍ انْتَقَضَ اعْتِكَافُهُ

“ Dan jika orang yang beri’tkaf keluar tanpa suatu kebutuhan maka batal I’tikafnya.” [Al-Umm Kitabul I’tikaf]

3. Murtad, mabuk, dan gila. Karena ibadah tidak sah dengan adanya hal-hal tersebut di atas.

4. Haidh dan nifas. Karena keduanya dilarang untuk tinggal di masjid. Allah Ta’ala berfirman ;

و لا جنبًا إلا عابري سبيل

“ Dan tidak pula orang yang junub - mendekati masjid - kecuali yang hanya lewat saja..” [QS An-Nisa : 43]

Juga hadits Aisyah radhiyallahu anha ;

لا أُحِلُّ المسجدَ لِحائض و لا لجنب

“ Aku tidak halalkan masjid untuk orang haidh dan junub.” [HR. Abu Dawud. Lihat juga Tafsir Ibnu Katsir surat An-Nisa : 43]


Wallahu Ta'ala A'lam
Disadur dari buku Fiqh Ramadhan
Karya Abu Harits al-Jawi

Sabtu, 26 Maret 2022

,
I’tikaf dalam segi bahasa bermakna menetapi sesuatu. Dan dalam segi syariat adalah berdiam diri di masjid dengan niat yang khusus.

HUKUM DAN DALILNYA
I’tikaf hukumnya adalah sunnah di sepanjang waktu dan di bulan Ramadhan maka lebih ditekankan. Dalilnya firman Allah Ta’ala ;

و لا تباشروهن و أنتم عاكفون في المساجد

“... dan janganlah kalian campuri mereka sedangkan kalian beri’tikaf..” [QS Al-Baqarah : 187]

Dan hadits Aisyah radhiyallahu anha ;

أن النبي صلى الله عليه و سلم يعتكف العشر الأواخر من رمضان ثم اعتكف أزواجه من بعده

“ Bahwasanya Nabi shallallahu alahi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan kemudian istri-istri beliau juga demikian sepeninggal beliau.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Dan I’tikaf juga bisa berhukum wajib apabila disertai dengan nadzar. Dalam I’tikaf nadzar maka seseorang harus menepati nadzarnya seperti beri’tikaf selama 3 hari. Kalau batal I’tikafnya sebelum sempurna bilangannya maka dia harus memulai dari awal. Berbeda dengan I’tikaf sunnah seperti di bulan Ramadhan, meski batal maka tidak ada kewajiban memulai dari awal atau qadha’. Termasuk pembatal I’tikaf wajib adalah keluar masjid tanpa keperluan yang mendesak, bersetubuh, atau berbuka ( bagi yang bernadzar I’tikaf sambil puasa ). Imam Syafi’I mengatakan ;

وَإِذَا خَرَجَ الْمُعْتَكِفُ لِغَيْرِ حَاجَةٍ انْتَقَضَ اعْتِكَافُهُ
وَإِذَا أَفْطَرَ الْمُعْتَكِفُ أَوْ وَطِئَ اسْتَأْنَفَ اعْتِكَافَهُ إذَا كَانَ اعْتِكَافًا وَاجِبًا بِصَوْمٍ وَكَذَلِكَ الْمَرْأَةُ إذَا كَانَتْ مُعْتَكِفَةً

“ Dan jika orang yang beri’tkaf keluar tanpa suatu kebutuhan maka batal I’tikafnya, demikian juga jika dia berbuka atau bersetubuh maka dia memulai I’tikafnya dari awal jika I’tikafnya disertai dengan puasa demikian juga bagi wanita yang beri’tikaf.”  [Al-Umm Kitabul I’tikaf ( II/115 )]

SYARAT SAH I’TIKAF
1. Niat
Niat dimulai ketika seseorang memulai i’tikafnya. Adapun saat memulainya di bulan Ramadhan atau di bulan lain maka boleh memulainya kapan saja dan yang afdhal adalah memulai selepas sholat shubuh, sebagaimana hadits Aisyah ;

كان النبي صلى الله عليه و سلم إذا أراد أن يعتكف صلى الفجر ثم دخل معتكفه

“ Apabila Nabi shallallahu alaihi wa sallam ingin beri’tikaf maka beliau shalat shubuh kemudian menempati tempat i’tikafnya.”  [HR. Bukhari dan Muslim. Lihat Bulughul Maram hadits no. 718]

2. Berdiam Diri Di Masjid
Hendaknya tidak keluar dari masjid selama masa I’tikafnya kecuali untuk kebutuhan yang mendesak. Sebagaimana hadits Aisyah radhiyallahu anha yang marfu’ ;

إن كان رسول الله صلى الله عليه و سلم ليدخل على رأسه - و هو في المسجد - فأرجله و كان لا يدخل البيت إلا لحاجة إذا كان معتكفا

“ Adalah Rasulullah memasukkan kepalanya -sedang beliau di masjid- kemudian aku menyisir beliau dan tidaklah beliau tidaklah masuk rumah kecuali karena kebutuhan ketika beliau I’tikaf.” [HR. Bukhari dan Muslim. Lihat Bulughul Maram no.719]

Juga sebagaimana hadits Aisyah mauquf  ;

السنة على المعتكف أن لا يعود مريضًا و لا يشهد جنازة و لا يمس امرةً و لا يباشرها و لا يخرج لحاجة إلا ما لا بد له منه و لا اعتكاف إلا بصوم و لا اعتكاف إلا في مسجد جامع

“ Yang sunnah bagi orang yang i’tikaf adalah tidak menjenguk orang sakit, tidak bertakziyah , tidak menyentuh atau bersetubuh dengan perempuan ( istri -red ), tidak keluar kecuali karena kebutuhan mendesak, dan tidak ada i’tikaf kecuali sambil berpuasa, dan tidak ada i’tikaf kecuali di masjid jami’.” 

Ini adalah bagi orang yang beri’tikaf wajib. Adapun I’tikaf sunnah, apabila memang suatu hal yang perlu untuk bertakziyah - seperti saudara atau gurunya - maka boleh. Imam Syafi’I berkata ;

وَلَا يَعُودُ الْمَرِيضَ وَلَا يَشْهَدُ الْجِنَازَةَ إذَا كَانَ اعْتِكَافًا وَاجِبًا

“ Dan tidak boleh mengunjungi orang sakit atau bertakziyah bagi yang beri’tikaf wajib.”  [Al-Umm Kitabul I’tikaf]

3. Dilaksanakan Di Masjid
Termasuk hal yang perlu diketahui oleh kaum muslimin istilah masjid dari para ulama adalah tempat diadakannya sholat berjamaah atau untuk orang Indonesia ini dikenal dengan nama surau, musholla atau langgar. Adapun masjid jami’ adalah masjid yang ditempati untuk sholat jum’at. Imam Syafi’I berkata ;

وَالِاعْتِكَافُ فِي الْمَسْجِدِ الْجَامِعِ أَحَبُّ إلَيْنَا، وَإِنْ اعْتَكَفَ فِي غَيْرِهِ فَمِنْ الْجُمُعَةِ إلَى الْجُمُعَةِ

“ Dan I’tikaf itu di masjid jami’ dan kalau beri’tikaf di selainnya maka dari jum’at ke jum’at lainnya.” [Al-Umm Kitabul I’tikaf ( II/115 )]

Berkata Imam Nawawi ;

يَصِحُّ الِاعْتِكَافُ فِي كُلِّ مَسْجِدٍ وَالْجَامِعُ أَفْضَلُ لِمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ قَالَ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَالْأَصْحَابُ وَأَوْمَأَ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ إلَى اشْتِرَاطِ الْجَامِعِ وَهُوَ غَرِيبٌ ضَعِيفٌ وَالصَّوَابُ جَوَازُهُ فِي كُلِّ مَسْجِدٍ قَالَ أَصْحَابُنَا

“ Dan I’tikaf sah dilakukan di semua masjid dan di masjid jami’ maka lebih utama sebagaimana yang disebutkan penulis. Berkata Syaikh Abu Hamid - Al-Ghazaliy - dan Imam Syafi’i mengisyaratkan di pendapat yang lama akan pensyaratan -I’tikaf- di masjid jami’ dan ini pendapat yang ghorib dan lemah. Dan yang benar adalah sah dilakukan di semua masjid sebagaimana yang diungkapkan oleh para ulama Syafi’iyyah.” [Al-Majmu’ ( VI/480 )]

Dalil pendapat ini adalah keumuman firman Allah Ta’ala ;

و لا تباشروهن و أنتم عاكفون في المساجد

“ Dan janganlah engkau mengumpuli mereka sedangkan kalian beri’tikaf di masjid-masjid.” [QS Al-Baqarah]

Wallahu Ta'ala A'lam
Disadur dari buku Fiqh Ramadhan
Karya Abu Harits al-Jawi

Kamis, 24 Maret 2022

,
Sholat tarawih merupakan salah satu ibadah yang tak bisa dilepaskan dari bulan Ramadhan. Sholat Tarawih adalah sebutan shalat malam yang dilakukan selepas shalat isya’ baik sebelum tidur ataupun setelahnya selama malam bulan Ramadhan.  Dinamakan tarawih karena para salaf dahulu beristirahat di setiap dua kali salam. Dahulu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam senantiasa melaksanakan shalat tarawih secara berjama’ah dalam rentang waktu beberapa hari. Akan tetapi setelah melihat jumlah jamaah yang ikut dalam shalat tersebut semakin banyak, maka beliau pun meninggalkan sholat tarawih secara berjamaah dan sholat sendiri di rumah. Demikian halnya dengan para sahabat yang lain, hingga datangnya masa kekhalifahan Umar ibn Al-Khaththab radhiyallahu anhu. Beliau melihat kaum muslimin berpencar-pencar ( ada yang sholat sendiri, ada yang dua orang, ada yang tiga orang ) di dalam satu masjid. Maka beliau pun mengumpulkan mereka kembali dalam satu jama’ah untuk melaksanakan shalat tarawih dalam satu imam di dalam satu masjid.

HUKUM SHOLAT TARAWIH

Hukum sholat tarawih secara berjamaah adalah sunnah dan ini yang utama, akan tetapi bila mengerjakan sendiri-sendiri juga tidak mengapa. Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ;

من قام رمضان إيمانا و احتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

“ Barangsiapa yang berdiri sholat pada bulan Ramadhan dengan rasa iman dan mengharap pahala maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” [HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah]

Dan dalil lainnya adalah ijma’ sebagaimana yang disebutkan dalam Kifayatul Akhyar, berkata penulis kitab ;

و انعقد الإجماع على ذلك

“ Telah terjadi ijma’ atas perkara tersebut.” [Kifayatul Akhyar ( I/88 )]

HIKMAH SHALAT TARAWIH

Ketika Allah Ta’ala menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan yang utama, dan menjadikannya seolah madrasah untuk kaum muslimin. Ramadhan menjadi tempat dan waktu menempa diri, bermuhasabah, melatih jiwa untuk menyelami arti kehidupan dirinya sebagai makhluk ciptaan Allah Ta’ala. Yang mana tempat dan waktu ini membutuhkan perangkat sebagai alat untuk melatih diri. Maka tidak heran bulan Ramadhan menyediakan berbagai macam ibadah-ibadah yang notabennya adalah ibadah-ibadah yang luar biasa tapi sangat jarang sekali terjamah oleh seorang hamba. Salah satunya adalah sholat tarawih ini, dimana di dalamnya dia akan dilatih sebulan penuh berlama-lama berdiri di malam hari untuk bermunajat kepada Allah Ta’ala. Efeknya adalah ketika kita keluar dari bulan Ramadhan, maka kita menjadi hamba yang akan terbiasa atau bahkan candu terhadap sholat malam. Sebagaimana ungkapan mengatakan bahwa sholat malam adalah ciri khas orang-orang sholeh.

TATA CARA PELAKSANAAN SHOLAT TARAWIH

1. Disunnahkan untuk melaksanakan sholat tarawih secara berjama’ah untuk para laki-laki dan sholat sendiri bagi perempuan. Berkata Imam Nawawi ;

قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الصَّحِيحَ عِنْدَنَا أَنَّ فِعْلَ التَّرَاوِيحِ فِي جَمَاعَةٍ أَفْضَلُ مِنْ الِانْفِرَادِ وَبِهِ

“ Sudah kami sebutkan bahwa yang shahih di sisi kami -madzhab Imam Syafi’I- bahwasanya shalat tarawih secara berjamaah lebih utama dari sholat sendiri.” [Al-Majmu’ ( 4/350)]

Adapun perempuan tetap yang afdhal adalah sholat di rumah. Rasulullah bersabda ;

صلاة المرأة في بيتها أفضل من صلاتها في حجرتها و صلاتها في مخدعها أفضل من صلاتها في بيتها

“ Sholat perempuan di rumahnya itu lebih utama dari sholat di aula ( tempat terbuka untuk umum ) dan sholatnya di kamarnya itu lebih utama dari shalat di rumahnya.” [HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud]

2. Waktunya mulai ba’da shalat isya’ hingga terbit fajar shadiq. Dan boleh dikerjakan sebelum tidur atau sesudahnya dan sebelum shalat witir. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda ;

لا وتران في ليلة

“ Tidak ada dua witir dalam satu malam.” [HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasai dari Talq ibn Aliy]

Jika ingin melakukan tahajjud sedangkan sudah shalat witir sebelumnya maka dengan dua cara ; shalat tahajjud tanpa witir (dan ini yang utama) atau melengkapi witir sebelumnya dengan satu rakaat kemudian shalat witir kembali di akhir tahajjud. Berkata Imam Nawawi ;

و يسن جعله ( الوتر ) آخر صلاة الليل فإن أوتر ثم تهجد لم يعده ، و قيل : يشفعه بركعة ثم يعيده

“ Dan disunnahkan meletakkan witir sebagai akhir shalat malam, jika seseorang sudah witir kemudian ingin tahajjud maka tidak usah mengulang witirnya, atau dia genapkan witir sebelumnya kemudian mengulang witir di akhir tahajjud.” [Minhajut Tholibin hal. 116]

3. Jumlah rakaat 20 rakaat dengan 3 witir dengan dua rakat salam dua rakaat salam. Berkata Imam Nawawi ;

وَاحْتَجَّ أَصْحَابُنَا بِمَا رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُ بِالْإِسْنَادِ الصَّحِيحِ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ الصَّحَابِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ " كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ  رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ ركعة

“ Dan para sahabat kami berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan selainya dengan sanad shahih dari As-Saib ibn Yazid berkata (( Dahulu kaum muslimin di zaman Umar ibnul Khaththab shalat di bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat )). Dan dalam hadits yang mursal disebutkan 23 rakaat. Maka Imam Baihaqi pun mengambil kesimpulan 20 rakaat dengan 3 rakaat witir di akhirnya.” [Lihat Al-Majmu’ ( IV/32-33 ) dan Fiqh Manhajiy ( I/239 )]

4. Sholat tarawih dikerjakan dengan 2 rakaat salam 2 rakaat salam, hingga sempurna bilangannya. Berkata Imam Nawawi ;

يَدْخُلُ وَقْتُ التَّرَاوِيحِ بِالْفَرَاغِ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ ذَكَرَهُ الْبَغَوِيّ وَغَيْرُهُ وَيَبْقَى إلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ وَلْيُصَلِّهَا رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ كَمَا هُوَ الْعَادَةُ فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ بِتَسْلِيمَةٍ لَمْ يَصِحَّ ذَكَرَهُ الْقَاضِي حُسَيْنٌ فِي فَتَاوِيهِ لِأَنَّهُ خِلَافُ الْمَشْرُوعِ

“ Dan waktu shalat tarawih masuk setelah shalat isya’ -sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Baghawiy dan selainnya- hingga terbitnya fajar, dan shalat dengan dua rakaat salamsebagaimana biasanya. Kalau seseorang shalat dengan empat rakaat salam maka tidak sah karena menyelisihi yang disyariatkan sebagaimana disebutkan oleh Al-Qadhiy Husain.” [Al-Majmu ( IV/32 )]

Juga sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika ditanya tentang cara shalat malam beliau menjawab ;

مثنى مثنى فإذا خشي الصبح صلى واحدة فأوترت له ما صلى

“ Dua rakaat dua rakaat, jika takut masuk shubuh maka shalat satu rakaat sebagai pengganjil shalat yang sebelumnya.” [HR. Bukhari dari Abdullah ibn Umar. Lihat Umdatul Ahkam hadits no. 130]

Ini adalah pendapat dalam madzab Imam Syafi’I dan juga pendapat yang kuat. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa sholat tarawih 4 rakaat salam dengan dalil hadits Aisyah ;

ما كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يزيد في رمضان و لا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن و طولهن و يصلي أربعا فلا 
تسأل عن حسنهن و طولهن ثم يصلي ثلاثا

“ Tidaklah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menambah rakaat dalam shalat malam ramadhan atau selainnya melebihi 11 rakaat, beliau shalat 4 rakaat maka jangan tanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian shalat 4 rakaat maka jangan tanya bagus dan panjangnya, kemudian shalat 3 rakaat.” [HR Bukhari Muslim, lihat Bulughul Maram hadits no. 400]

Ini adalah pendapat yang tidak tepat karena ucapan Aisyah “beliau shalat 4 rakaat…kemudian shalat 4 rakaat…” tidak menunjukkan bahwa beliau salam dalam 4 rakaat. Tapi memang itu adalah saat beliau beristirahat di setiap 4 rakaat shalat malamnya sebagaimana yang sudah kita jelaskan dalam awal buku ini tentang sebab dinamakan sholat tarawih. Wallahu A’lam.

5. Sholat witir dikerjakan di akhir sholat sebanyak 3 rakaat, dengan 2 kali salam.Berkata Imam Nawawi ;

وَالسُّنَّةُ لِمَنْ أَوْتَرَ بِمَا زَادَ عَلَى رَكْعَةٍ أَنْ يُسَلِّمَ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ لِمَا رَوَى ابْنِ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَفْصِلُ بَيْنَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ وَلِأَنَّهُ يَجْهَرُ فِي الثَّالِثَةِ وَلَوْ كَانَتْ مَوْصُولَةً بِالرَّكْعَتَيْنِ لَمَا جَهَرَ فِيهَا كَالثَّالِثَةِ مِنْ الْمَغْرِبِ وَيَجُوز أن يَجْمَعَهَا بِتَسْلِيمَةٍ لِمَا رَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يُسَلِّمُ فِي رَكْعَتَيْ الْوِتْرِ

“ Dan sunnahnya bagi orang yang sholat witir lebih dari satu rakaat hendaknya salam di setiap 2 rakaatnya sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam memisah antara genap dan ganjil. Dan juga karena beliau shallallahu alaihi wa sallam mengeraskan bacaan di rakaat ketiga, kalaulah dua rakaat pertama bersambung ( diiringi dengan tasyahhud ) tentunya beliau tidak mengeraskan bacaan sebagaimana rakaat ketiga di sholat maghrib. Dan boleh juga dikerjakan dengan sekali salam sebagaimana yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu anha bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidaklah salam di dua rakaat witir.”  [Lihat Majmu’ ( IV/11 ). Adapun hadits Aisyah diriwayatkan oleh An-Nasai dalam Sunannya Bab Kaifal Witr bitsalatsin dan Imam Malik dalam Al-Muwaththa’]

6. Disunnahkan membaca do’a qunut di raka’at terakhir setelah ruku’ pada mulai pertengahan bulan Ramadhan. Adapun do’anya bebas, dan disunnahkan untuk membaca ;

اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ، إِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ

“ Ya Allah tunjukkanlah diriku di dalam orang-orang yang diberi petunjuk, dan jagalah aku di dalam orang-orang yang Engkau jaga, dan lindungi aku di dalam orang-orang yang Engkau lindungi, dan berkahilah atas apa yang Engkau berikan padaku, dan jagalah aku atas keburukan, sesungguhnya Engkau Yang Maha Mentakdirkan dan tidak ditakdirkan, dan tidaklah hina orang yang Kau lindungi, dan tidaklah mulia orang yang memusuhi-Mu, Maha Suci Engkau dan Maha Tinggi.” [HR. Abu Dawud Bab Al-Qunut fil Witr, Baihaqi dalam judul bab yang sama dari sahabat Al-Hasan ibn Aliy radhiyallahu anhuma]

Berkata Imam Al-Mawardiy ;

قال الشافعي رضي الله عنه:  وَلَا يَقْنُتُ إِلَّا فِي شَهْرِ رَمَضَانَ إِلَّا فِي النِّصْفِ الْأَخِيرِ مِنْهُ وَكَذَلِكَ كَانَ يَفْعَلُ ابْنُ عُمَرَ، وَمُعَاذٌ الْقَارِي . قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ صحيح ....
وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ يُونُسَ بْنِ عُبَيْدٍ عَنِ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ جَمَعَ النَّاسَ عَلَى أُبَيٍّ وَقَالَ: صَلِّ بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً، وَلَا تَقْنُتْ بِهِمْ إِلَّا فِي النِّصْفِ الْأَخِيرِ، فَصَلَّى بِهِمْ فِي الْعَشْرِ الْأَوَّلِ وَالْعَشْرِ الثَّانِي؛ وَتَخَلَّفَ فِي مَنْزِلِهِ فِي الْعَشْرِ الثَّالِثِ فَقَالُوا أَبَقَ أُبَيُّ وَقَدَّمُوا مُعَاذًا فَصَلَّى بِهِمْ بَقِيَّةَ الشَّهْرِ وَقَنَتَ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ. فَدَلَّ ذَلِكَ مِنْ فِعْلِهِمْ عَلَى أَنَّ الْقُنُوتَ سُنَّةٌ فِي النِّصْفِ الْأَخِيرِ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ لَا غَيْرَ

“ Berkata Imam Syafi’i ; dan tidaklah qunut di bulan Ramadhan kecuali di separuh akhir di bulan Ramadhan demikianlah yang dilakukan oleh Ibn Umar dan Muadz Al-Qariy, berkata Al-Mawardi : ini yang benar…… dan dalil kami adalah riwayat Yunus Ibn Ubaid dari Al-Hasan ibn Umar ibnul Khaththab radhiyallahu anhu beliau mengumpulkan manusia atas Ubaiy - ibnKa’ab - dan berkata : imamilah mereka 20 rakaat dan janganlah qunut kecuali di separuh akhir, maka beliau pun mengimami mereka di sepuluh hari pertama dan kedua, dan beliau tidak datang pada 10 hari terakhir maka manusia berkata : Ubaiy tidak keluar, maka Muadz - ibn Jabal - pun mengimami mereka di sisa hari dan qunut di sepuluh hari terakhir. Ini menunjukkan bahwa qunut sunnah di separuh akhir dari bulan Ramadhan…”  [Lihat Al-Hawiy Al-Kabir ( II/291-292 )]

Wallahu Ta'ala A'lam
Disadur dari buku Fiqh Ramadhan
Karya Abu Harits al-Jawi
,
Perlu kita perhatikan, bahwasanya puasa bukan hanya semata tentang mengisi Ramadhan dengan tanpa dan minum saja. Ada banyak hikmah dan juga praktek ibadah lain yang bisa dijalankan selama Ramadhan. Oleh karenanya, hendaknya orang yang berpuasa juga memperhatikan sunnah-sunnah dan adab dalam berpuasa Ramadhan, diantaranya;

1. Menyegerakan Berbuka
Dalilnya hadits Sahl ibn Sa’d bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda ;

لا يزال الناس بخير ما عجلوا الفطر

“ Manusia akan dalam kebaikan selama dia menyegerakan berbuka.” [HR. Bukhari dan Muslim]

2. Berbuka Dengan Kurma Atau Air
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ;

إذا أفطر أحدكم فليفطر على تمر فإن لم يجد فليفطر على ماء فإنه طهور

“ Jika salah seorang dari kalian berbuka maka berbukalah dengan kurma, jika tidak ada maka dengan air karena itu adalah suci.” [HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Nasai, Ibn Majah, dan Ahmad. Disahihkan oleh Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban, dan Hakim. Lihat Bulughul Maram hadits. 680 dari sahabat Salman ibn Amir Adh-Dhabbiy]

3. Sahur
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ;

تسحروا فإن في السحور بركة

“ Bersahurlah kalian karena didalamnya ada barokah.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Apabila makanan sudah terlanjur di mulut kemudian jelas baginya bahwa fajar shadiq telah terbit, maka wajib baginya mengeluarkan/ memuntahkan makanannya. Imam Syafi’I berkata ;

فَإِنْ طَلَعَ الْفَجْرُ وَفِي فِيهِ شَيْءٌ قَدْ أَدْخَلَهُ وَمَضَغَهُ لَفَظَهُ؛ لِأَنَّ إدْخَالَهُ فَاهُ لَا يَصْنَعُ شَيْئًا إنَّمَا يَفْطُرُ بِإِدْخَالِهِ جَوْفَهُ

“ Apabila fajar telah muncul sedangkan di mulutnya ada sesuatu dan mengunyahnya maka harus dimuntahkah, karena memasukkan sesuatu ke dalam mulut saja tidaklah berefek sesuatu, yang membatalkan puasa adalah ketika dia memasukkan ke dalam kerongkongannya.” [Al-Umm Bab Ma Yufthirush Shoim]

Termasuk kesalahan beberapa kaum muslimin adalah ketika mendengar adzan sedangkan makanan sahur masih di mulutnya, maka dia pun menelannya dan menyelesaikan makan sahurnya. Dengan alasan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ;

إذا سمع أحدكم النداء و الإناء في على يده فلا يضعه حتى يقضي حاجته منه

“ Apabila salah seorang kalian mendengar seruan adzan sedangkan wadah makanannya masih di tangannya maka jangan dia taruh hingga selesai hajatnya -makannya-.” [HR Abu Dawud disahihkan Al-Albani] 

Ini merupakan istinbath hukum  yang tidak sesuai, yang mana hadits ini bersifat umum, baik seseorang itu berpuasa atau tidak. Akan tetapi ada dalil khusus lain yang mengecualikan bagi orang yang sahur (puasa) dalilnya firman Allah Ta’ala ;

و كلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر

“...dan makan minumlah kalian hingga tampak benang putih dari benang hitam (fajar)…” [QS Al-Baqarah : 187]

Berkata Imam Nawawi ;

و لو طلع الفجر و في فمه طعام فلفظه صح صومه ، و كذا لو كان مجامعا فنزع في الحال فإن مكث بطل

“ Kalau fajar muncul dan  makanan masih di mulutnya kemudian dia muntahkan maka sah puasanya. Demikian orang yang jima’ jika dia mencabutnya. Jika berhenti maka batal puasanya.” [Al-Minhaj : 182]

4. Mengakhirkan Sahur
Dalilnya sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ;

لا يزال أمتي بخير ما عجلوا الإفطار و أخروا السحور

“ Umatku dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur.” [HR. Ahmad. Lihat Fiqh Manhajiy ( I/347 )]

Imam Syafi’i mengatakan ;

وَاسْتُحِبَّ التَّأَنِّي بِالسُّحُورِ مَا لَمْ يَكُنْ فِي وَقْتٍ مُقَارِبٍ يَخَافُ أَنْ يَكُونَ الْفَجْرُ طَلَعَ فَإِنِّي أُحِبُّ قَطْعَهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ

“ Dan disunnahkan untuk mengakhirkan sahur selama waktunya tidak terlalu berdekatan dengan munculnya fajar, sesungguhnya aku menyukai seseorang mengakhiri sahurnya sebelum waktu tersebut.” [Al-Umm idem]

5. Tidak Berkata Buruk
Dalinya sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ;

من لم يدع قول الزور و العمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه و شرابه

“ Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan beramal dengannya maka Allah tidak butuh kepada puasanya.” [HR. Bukhari dari sahabat Anas ibn Malik]

6. Tidak Melakukan Hijamah dan Fashd
Karena hal ini bisa menyebabkan lemahnya orang yang berpuasa. Imam Syafi’i mengatakan ;

قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: لَا بَأْسَ أَنْ يَحْتَجِمَ الصَّائِمُ وَلَا يُفْطِرُهُ ذَلِكَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَحْتَجِمُ وَهُوَ صَائِمٌ ثُمَّ تَرَكَ ذَلِكَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَأَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ لَمْ يَرَ أَبَاهُ قَطُّ احْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ
قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَهَذَا فُتْيَا كَثِيرٍ مِمَّنْ لَقِيت مِنْ الْفُقَهَاءِ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنَّهُ قَالَ: أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ  -وَرُوِيَ عَنْهُ- أَنَّهُ احْتَجَمَ صَائِمًا
قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا أَعْلَمُ وَاحِدًا مِنْهُمَا ثَابِتًا وَلَوْ ثَبَتَ وَاحِدٌ مِنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قُلْت بِهِ فَكَانَتْ الْحُجَّةُ فِي قَوْلِهِ، وَلَوْ تَرَكَ رَجُلٌ الْحِجَامَةَ صَائِمًا لِلتَّوَقِّي كَانَ أَحَبَّ إلَيَّ، وَلَوْ احْتَجَمَ لَمْ أَرَهُ يُفْطِرُهُ

“ Berkata Imam Syafi’i : Berkata beberapa sahabat kami ; tidak masalah seorang yag berpuasa untuk berbekam dan tidaklah batal  puasanya. ( Berkata Imam Syafi’i) : mengabarkan kepada kami Malik dari Nafi’ dari Ibn Umar bahwasanya beliau pernah berbekam dalam keadaan puasa kemudian meninggalkannya. (Berkata Imam Syafi’i) : telah mengabarkan kepada kami Malik dari Hisyam ibn Urwah dari ayahnya bahwasanya beliau tidak pernah melihat ayahnya berbekam dalam kondisi puasa. (Berkata Imam Syafii) : Dan ini adalah fatwa mayoritas ahli fiqh yang saya temui dan telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda ; (( Orang yang membekam dan dibekam batal puasanya.)) dan telah diriwayatkan pula dari beliau bahwa beliau pernah berbekam dalam kondisi berpuasa. (Berkata Imam Syafii) : dan saya tidak mengetahui kedua hadits tersebut shahih kalau seandainya shahih tentu saya akan berkata dengannya. Kalau seseorang meninggalkan hijamah ketika puasa sebagai bentuk kehat-hatian maka saya sukai, kalau dia berhijamah maka tidaklah batal.” [Al-Umm idem]

7. Berdo’a Sebelum dan Sesudah Berbuka
Adapun sebelum berbuka hendaknya seseorang memperbanyak do’a kepada Allah dengan kebaikan. Karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda ;

ثلاثة لا ترد دعوتهم الإمام العادل و الصائم حين يفطر و دعوة المظلوم

“ Tiga doa yang tidak akan ditolak ; doa pemimpin yang adil dan orang yang berpuasa ketika akan berbuka dan doa orang yang terdzalimi..” [HR. Tirmidzi disahihkan oleh Al-Albani]

Dari sahabat Ibnu Umar beliau berkata ;

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : ذهب الظمأ و ابتلت العروق و ثبت الأجر إن شاء الله

“ Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam jika selesai berbuka beliau mengatakan : telah pergi rasa haus dan urat-urat telah basah dan pahal telah ditetapkan insyaallah.” [HR. Abu Dawud dan Daruquthniy dan dihasankan oleh beliau]

8. Memberi Makan Buka Untuk Orang Yang Berpuasa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda ;

من فطر صائمًا كان له مثل أجره غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئًا

“ Barangsiapa yang memberikan buka orang yang berpuasa maka dia mendapat pahala orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahalanya.” [HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh beliau. Lihat Fiqh Manhajiy ( I/348 )]

9. Memperbanyak Shodaqah dan Mempelajari Al-Qur’an
Dari Anas ibn Malik mengatakan ; Rasulullah pernah ditanya shadaqah apakah yang paling afdhal ? Beliau menjawab ;

الصدقة في رمضان

“ Shadaqah di Ramadhan.” [HR. Tirmidzi]

Dan juga bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Qur’an maka hendaknya seseorang bersemangat untuk dekat dengan al-Qur’an ketika di bulan mulia ini.

9. Tidak Bercumbu Yang Mendatangkan Syahwat
Dalilnya hadits Aisyah radhiyallahu anha yang marfu’ ;

كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يقبلني و هو صائم و أيكم يملك إربه كما كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يملك إربه

“ Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dahulu menciumku sedangkan beliau berpuasa. Dan siapakah diantara kalian yang mampu menguasai syahwatnya sebagaimana beliau menguasai syahwatnya.” [HR. Muslim]

Imam Syafi’i mengatakan ;

وَمَنْ حَرَّكَتْ الْقُبْلَةُ شَهْوَتَهُ كَرِهْتهَا لَهُ، وَإِنْ فَعَلَهَا لَمْ يُنْقَضْ صَوْمُهُ وَمَنْ لَمْ تُحَرِّكْ شَهْوَتَهُ فَلَا بَأْسَ لَهُ بِالْقُبْلَةِ

“ Barangsiapa yang ciuman bisa membangkitkan syahwatnya maka aku memakruhkannya, jika dia melakukannya maka tidak membatalkan puasanya. Dan bagi orang yang ciuman tidak membangkitkn syahwatnya maka tidak mengapa.” [Al-Umm ( II/107 )]

Wallahu Ta'ala A'lam
Disadur dari buku Fiqh Ramadhan
Karya Abu Harits al-Jawi

Rabu, 23 Maret 2022

,
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa puasa Ramadhan adalah satu kewajiban yang tidak boleh untuk ditinggalkan. Namun sejatinya, ada kondisi-kondisi yang mana seseorang diperbolehkan untuk tidak puasa di saat Ramadhan. Juga ada barangkali yang memang dengan sengaja tak berpuasa tanpa sebab yang dibolehkan syariat. Dan masing-masing hal ini ada penjelasan dan hukum-hukumnya.

1. Musafir dan Orang Yang Sakit
Bagi keduanya boleh untuk tidak berpuasa karena termasuk udzur syar’i dengan konsekuensi dia harus mengqadha hari-hari yang dia tidak berpuasa. Dalinya adalah firman Allah Ta’ala ;

و من كان مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر

“...dan barangsiapa yang sakit atau dia sedang safar maka hendaknya menghitung -qadhanya- di hari yang lain..” [QS Al-Baqarah : 185]
 
2. Orang Tua Yang Lemah dan Orang Sakit Yang Tidak Memungkinkan Sembuh
Keduanya boleh untuk tidak berpuasa Ramadhan dan ini termasuk udzur syar’i dengan konsekuensi dia memberikan fidyah (sekitar 700 gr beras) berupa makanan kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Dalilnya firman Allah Ta’ala ;

و على الذين يطيقونه فدية طعام مسكين

“..dan wajib atas orang-orang yang tidak mampu untuk mengganti fidyah satu makanan orang miskin..” [QS Al-Baqarah : 184]

Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma;

ليست بمنسوخ هو الشيخ الكبير و المرأة الكبيرة لا يستطيعان أن يصوما فيطعمان مكان كل يوم مسكينا

“ Ayat ini tidak dihapus, mereka adalah laki-laki yang sudah tua dan perempuan dewasa yang tidak bisa untuk berpuasa maka keduanya memberi makan setiap hari -yang ditinggalkan- satu orang miskin.” [HR. Bukhari dari Atha ibn Rabah dari Ibn Abbas. Lihat Fiqh Manhajiy hal. 351]

3. Wanita Hamil dan Menyusui
Wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa, maka diperinci ; apabila sebabnya adalah dirinya tidak kuat untuk melakukan puasa maka wajib baginya untuk mengqadha’. Dan jika sebabnya karena takut puasa akan berefek negatif pada anaknya maka wajib baginya qadha’ dan memberikan fidyah. Imam Syafi’i berkata;

وَالْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ إذَا أَطَاقَتَا الصَّوْمَ وَلَمْ تَخَافَا عَلَى وَلَدَيْهِمَا. وَإِنْ كَانَتَا لَا تَقْدِرَانِ عَلَى الصَّوْمِ فَهَذَا مِثْلُ الْمَرَضِ أَفْطَرَتَا وَقَضَتَا بِلَا كَفَّارَةَ إنَّمَا كَكُفْرَانٍ بِالْأَثَرِ وَبِأَنَّهُمَا لَمْ تُفْطِرَا لِأَنْفُسِهِمَا إنَّمَا أَفْطَرَتَا لِغَيْرِهِمَا فَذَلِكَ فَرْقٌ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ الْمَرِيضِ لَا يُكَفِّرُ

“ Dan orang hamil dan menyusui jika keduanya mampu berpuasa dan tidak takut atas anaknya -maka hendaknya berpuasa-. Dan jika keduanya tidak mampu berpuasa maka ini seperti halnya orang sakit ; maka hendaknya dia berbuka dan mengqdha’nya tanpa kaffarah. Hanya saja -kaffarah- seperti penggugur atas yang dia tinggalkan karena sebab keduanya tidaklah berbuka karena dirinya sendiri akan tetapi karena sebab orang lain, maka ini berbeda dengan keadaan orang sakit yang tidak membayar kaffarah (fidyah).. ” [Al-Umm Bab Ahkamu man Afthara fi Ramadhan]
 
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma mengatakan;

و الحبلى و المرضع إذا خافتا -يعني على أولادهما- أفطرتا و أطعمتا

“ Dan orang hamil juga menyusui jika takut -atas anaknya- maka dia boleh berbuka dan memberi makan (fidyah).” [HR. Abu Dawud. Lihat Fiqh Manhajiy ( I/352 )]

4. Jima
Barangsiapa yang jima’ secara sengaja di siang Ramadhan maka dia tidaklah berpuasa dan konsekuensinya dia harus membayar kaffarah; membebaskan budak atau puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang. Sebagaimana hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. [Lihat Umdatul Ahkam hadits no. 189 dan Fiqh Manhajiy ( I/353-354 )]

5. Tidak Berpuasa Tanpa Sebab
Jika ada seorang hamba yang berbuka pada bulan Ramadhan tanpa sebab, maka wajib baginya mengqadha tanpa kaffarah. Akan tetapi dia akan mendapatkan dosa yang besar. Dan Imam Dzahabiy memasukkan perkara ini dalam dosa besar. Demikian dalam madzhab Imam Syafi’i, berkata Imam Nawawi ;

و إذا أفطر المسافر و المريض قضيا و كذا الحائض و المفطر بلا عذر و تارك النية

“ Jika berbuka musafir dan orang yang sakit maka wajib mengqadha, demikian pula orang yang haidh, orang yang meninggalkan puasa tanpa alasan, dan orang yang tidak berniat.” [Al-Minhaj hal. 183]

Syaikh Nawawi Al-Bantani berkata ;

و يجب مع القضاء الإمساك للصوم في ستة مواضع ؛ الأول في رمضان لا في غيره على متعد بفطره

“ Dan wajib qadha serta menahan diri untuk puasa dalam 6 kondisi ; pertama di Ramadhan bukan selainnya atas orang yang tidak berpuasa tanpa udzur.” [Lihat Kasyifatus Saja hal. 249]

Imam Imam Rofi’i berkata ;

و لا كفارة في إقساد سائر أنواع الصوم و لا بالإفساد بغير الجماع

 “ Tidak ada kaffarah bagi pembatal puasa lainnya dan juga pembatal puasa selain jima’.” [Al-Muharrar hal. 385]

Beliau juga berkata;

و أن المتعدي بالإفطار في رمضان بغير الجماع لا يؤمر بالفدية

“ Dan bahwasanya orang yang berani tidak puasa di bulang Ramadhan tanpa jima’ tidak diperintahkan untuk membayar fidyah.” [Al-Muharrar hal. 384]

Dan wajib bagi orang tersebut untuk bertaubat kepada Allah Ta’ala. Dan dalam satu hadits ;

من أفطر يومًا من رمضان بلا عذر لم يقضه صيام الدهر و إن صامه

“ Barangsiapa yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan tanpa udzur maka puasa seumur hidup tidaklah bisa menggantinya.” [Lihat Al-Kabair Dosa Keenam]

Wallahu Ta'ala A'lam
Disadur dari buku Fiqh Ramadhan
Karya Abu Harits al-Jawi

Senin, 21 Maret 2022

,
1.Rokok dan Sisya
Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin ;

ما فيه عين كرائحة التتن يعني التنباك لعن الله من أحدثه ؛ لأنه من البدع القبيحة فإنه يفطر به

“ Apa yang ada di dalamnya ain seperti bau tembakau - semoga Allah melaknat orang yang membuatnya - karena ini adalah bid’ah yang keji dan dia membatalkan puasa.” 

2. Inhealer
Berkata Dr. Nuh Al-Qudhat Mufti Urdun Asy-Syafi’I ;

أخذ البخاخ عن طريق الأنف أو الفم مفطر ؛ لأن الدواء في هذه البخاخات يراد له الوصول إلى الرئتين و هما من الجوف

“ Pemakaian inhealer melalui hidung dan mulut membatalkan puasa ; karena obat di dalamnya dimasukkan ke dalam paru-paru yang dia bagian dari al-jauf.”

3. Gastroskop, Enema, Kateterisasi Urin, dan Suppository
Gastroskop (منظار المعدة) alat yang dimasukkan melalui mulut atau lainnya untuk melihat dalam tubuh seperti usus dan lambung. Enema (الحقن الشرجية) adalah Prosedur pemasukan cairan ke dalam kolon ( usus besar ) melalui anus. Suppository (التحاميل) yaitu pengobatan dengan memasukkan obat padat kedalam anus atau vagina. Dalam Fiqh Manhaji ;

الحقنة الشرجية مفطرة ، لأن الشرج منفذ مفتوح

“ Dan enema membatalkan puasa karena anus masuk dalam lubang terbuka.”

Berkata Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Mu’tamad ;

إذا قطّر في الإحليل أو في قبل المرأة فإنه يفطر

“ Jika diteteskan obat melalui uretra atau vagina maka membatalkan puasa.”

4. Obat Tetes Telinga
Berkata Syaikh Dr. Labib Al-Adni ;

المعتمد في المذهب أن ما يدخل عبر الأذن يفسد الصوم

“ Pendapat yang dipegang dalam madzhab ( Syafi’I ) bahwa apapun yang masuk melalui telingan membatalkan puasa.”

Dalam Fiqh Manhaji disebutkan ;

القطرة  في الأذن مفطرة لأنها منفذ مفتوح

“ Tetesan di telinga membatalkan puasa karena masuk dalam lubang terbuka.”

Adapun korek kuping, maka tidak termasuk membatalkan puasa selama tidak terlalu dalam. Karena korek kuping hanya mencapai dzohir udzun (bagian luar telinga) tidak sampai bathin al-udzun (bagian dalam telinga). Wallahu A’lam. [ Lihat Fathul Mu’in ]

5. Bius Total
Jika tidak sadarkan diri di sepanjang hari maka batal puasanya. Jika siuman beberapa saat di siang hari (meski sebentar) maka sah puasanya. Diqiyaskan dengan hukum pingsan dalam madzhab Syafi’I.

6. Kemenyan Arab, Inang (susur), dan Pasta Gigi
Membatalkan puasa jika ada sebagian kecil dari yang disebutkan yang tertelan. Atau bagiannya bercampur dengan ludah dan tertelan. Oleh karenanya sebaiknya dijauhi penggunaan hal di atas pada saat siang puasa. Adapun permen karet maka dia haram karena memang maksud dari memakannya adalah untuk mendapatkan rasanya (berbeda dengan kemenyan arab atau pasta gigi) dan dia membatalkan puasa. Berkata Syaikh Dr. Muhammad Hasan Hitu ;

و أما العلك فإن كان يتحلل منه شيء يختلط مع الريق و يبتلعه الصائم كما هو معروف في العلك الحالي المعاصر فهذا حرام بالإجماع و يفطر به الصائم

“ Adapun permen karet jika bercampur dengan ludah dan menelan rasa manisnya sebagaimana kita ketahui maka ini haram secara ijma’ dan membatalkan puasa.” 

Berkata Sayyid Abdullah ibn Mahfudz Al-Haddad ;

لا يضر ذلك مع المحافظة ألاّ يدخل شيء من نفس المعجون و لا الريق المختلط به و لا يضر بقاء النكهة لأنها أثر لا عين

“ Tidak masalah memakai pasta gigi dengan menjaga jangan sampai tertelan atau menelan ludah yang bercampur dengannya dan tidak masalah sisa rasa di mulut ; karena dia adalah bekas bukan ain.”

7. Berenang
Jika berenang menyebabkan masuknya air ke dalam tubuh melalui telinga, hidung, atau mulut dan selainnya maka membatalkan puasa. Meskipun tanpa sengaja. Jika tidak maka tidak mengapa. Berkata Ar-Ramli ;

لو عرف من عادته أنه يصل الماء منه إلى جوفه أو دماغه بالانغماس و لا يمكنه التحرز عنه أنه يحرم الانغماس و يفطر قطعا

“ Jika dia tahu bahwa kebiasaannya adalah air masuk ke dalam rongga tenggorokan atau kerongkongan ketika dia menceburkan diri dan tidak bisa menahannya, maka haram hukumnya menceburkan diri dan batal puasanya jika melakukannya.”

8. Suntikan
Adapun suntikan maka dalam madzhab Syafi’i terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan membatalkan puasa secara mutlak dan ini pendapat jumhur fuqaha Syafi’iyyah di Hadramaut. Ada yang berpendapat tidak membatalkan puasa secara mutlak, sebagaimana perkataan Syaikh Dr. Muhammad Hasan Hitu. Dan pendapat pertengahan jika suntikan sebagai pengganti asupan makanan maka membatalkan puasa . Jika suntikan obat maka dilihat ; jika disuntikan di urat yang berongga maka batal jika tidak maka tidak membatalkan puasa. Maka dalam hal ini, suntikan yang membatalkan puasa adalah seperti infus,adapun suntik vaksin atau obat maka tidak membatalkan puasa.

Wallahu A’lam
Disadur dari buku Fiqh Ramadhan
Karya Abu Harits al-Jawi

Minggu, 20 Maret 2022

,
Berikut adalah rukun-rukun dalam puasa yang wajib untuk terlaksana ketika seseorang menjalankan ibadah puasa. Diantaranya;

1. Niat Sebelum Terbitnya Fajar Shodiq Setiap Hari

Dalilnya sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ;

إنما الأعمال بالنيات

“ Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya…” [HR. Bukhari dan Muslim]


Untuk puasa Ramadhan, maka niat puasa harus dilaksanakan sebelum terbitnya fajar shodiq, sebagaimana hadits Hafshah radhiyallahu anha ;

من لم يبيت الصيام قبل الفجر فلا صيام له

“ Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum terbitnya fajar, maka tidak ada puasa baginya.” [HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidz, An-Nasa’i, dan Ibn Majah. Lihat Bulughul Maram hadits no.675]

Dan berkata Imam Syafi’i rahimahullah ;

فَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا لَا يُجْزِي صَوْمُ رَمَضَانَ إلَّا بِنِيَّةٍ كَمَا لَا تُجْزِي الصَّلَاةُ إلَّا بِنِيَّةٍ وَاحْتُجَّ فِيهِ بِأَنَّ ابْنَ عُمَرَ قَالَ: لَا يَصُومُ إلَّا مَنْ أَجْمَعَ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ
 وَهَكَذَا أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ فَكَانَ هَذَا وَاَللَّهُ أَعْلَمُ عَلَى شَهْرِ رَمَضَانَ خَاصَّةً وَعَلَى مَا أَوْجَبَ الْمَرْءُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ نَذْرٍ أَوْ وَجَبَ عَلَيْهِ مِنْ صَوْمٍ، فَأَمَّا التَّطَوُّعُ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَنْوِيَ الصَّوْمَ قَبْلَ الزَّوَالِ مَا لَمْ يَأْكُلْ وَلَمْ يَشْرَبْ

“ Telah berkata sebagian kawan kami : tidak cukup puasa Ramadhan kecuali dengan niat sebagaimana tidak cukup sholat kecuali dengan niat dan berhujjah dengan atsar Ibn Umar beliau berkata,” Tidak ada puasa kecuali untuk orang yang berniat sebelum fajar.” Dan demikianlah telah mengabarkan kepada kami Malik dari Nafi’ dari Ibn Umar. Dan maksud puasa disini adalah khusus di bulan Ramadhan dan puasa yang wajib atas seseorang seperti puasa nadzar atau yang memiliki hutang puasa. Adapun puasa sunnah maka tidak mengapa untuk berniat sebelum tergelincirnya matahari selama dia belum makan dan minum.” [Al-Umm Bab Ad-Dukhul fish Shiyam wal Khilaf alaihi]

2.Tidak Melakukan Pembatal Puasa
Berikut adalah beberapa hal yang bisa membatalkan puasa, diantaranya;

a. Makan dan minum secara sengaja
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala ;

و كلوا و اشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر

“... dan makan minumlah hingga tampak bagimu benang yang putih dari benang yang hitam…” [QS Al-Baqarah : 187]

Adapun makan dan minum yang tidak sengaja maka tidak membatalkan puasa. Sebagaimana hadits Abu Hurairah marfu’ ;

من نسي و هو صائم فأكل أو شرب فليتم صومه فإنما أطعمه الله و سقاه

“ Barangsiapa yang lupa ketika berpuasa kemudian dia makan dan minum maka hendaknya dia sempurnakan puasanya, karena Allah Ta’ala sudah memberikan padanya makan dan minum.” [HR. Bukhari, Muslim]

b. Masuknya ‘ain ke dalam jauf 
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ;

بَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ، إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا

“ Dan berlebihanlah dalam istinsyaq kecuali kamu dalam keadaan puasa.” [HR. Abu Dawud dari Laqith ibn Shabrah radhiyallahu anhu]

Yang dimaksud ain adalah sesuatu yang terlihat oleh mata. Dan yang dimaksud al-jauf adalah kepala, perut, dalam telinga, qubul, dubur. Ini merupakan pendapat jumhur ahli fiqh, dimana ketika ada barang yang masuk ke dalam tubuh melalui lubang-lubang tubuh ( dalam istilah fiqh disebut al-manfadz al-maftuh ) maka membatalkan puasa. Imam Syafi’I berkata dalam al-Umm ;

وَإِنْ بَلَعَ حَصَاةً، أَوْ مَا لَيْسَ بِطَعَامٍ، أَوْ احْتَقَنَ، أَوْ دَاوَى جُرْحَهُ حَتَّى يَصِلَ إلَى جَوْفِهِ أَوْ اسْتَعَطَ حَتَّى يَصِلَ إلَى جَوْفِ رَأْسِهِ فَقَدْ أَفْطَرَ إذَا كَانَ ذَاكِرًا وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ إذَا كَانَ نَاسِيًا، وَإِذَا اسْتَنْشَقَ رَفْقُ فَإِنْ اسْتَيْقَنَ أَنَّهُ قَدْ وَصَلَ إلَى الرَّأْسِ أَوْ الْجَوْفِ فِي الْمَضْمَضَةِ وَهُوَ عَامِدٌ ذَاكِرٌ لِصَوْمِهِ أَفْطَرَ

“ Apabila ada kerikil atau sesuatu yang bukan makanan atau injeksi ( melalui dubur ) atau mengobati luka hingga sampai ke dalam tubuh atau bergurah dan masuk ke dalam kepala maka batal jika dia ingat -kalau sedang puasa- dan tidak batal jika dia lupa. Jika dia istinsyaq ( memasukkan air dalam hidung saat wudhu ) dan yakin bahwa air masuk dalam kepalanya atau masuknya air dalam tubuh saat berkumur sedangkan dia ingat bahwa dia puasa maka batal.” [ Al-Umm VIII/154 ]

Dan Imam Rofi’I menyebutkan bahwa yang dimaksud masuk ke dalam jauf adalah yang melalui lubang tubuh yantg terbuka : mulut, telinga ,(hidung), kemaluan, dubur [ Lihat Fiqh Manhajiy I/342 ], beliau mengatakan ;

و يشترط في الوصول ليفطر أمران أحدهما أن يكون في منفذ مفتوح

“ Dan syarat masuknya yang membatalkan puasa ada dua, salah satunya lewat lubang terbuka ( di tubuh )..” [Al-Muharrar hal. 367]

Dalil dalam hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Asy-Syiraziy dalam Al-Muhadzdzab ;

وان استعط أو صب الماء في اذنه فوصل الي دماغه بطل صومه لما روى لقيط بن صبرة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم قال " إذا استنشقت فابلغ الوضوء الا أن تكون صائما " فدل علي أنه إذا وصل إلى الدماغ شئ بطل صومه

“... apabila seseorang bergurah atau menuangkan air ke dalam telinganya dan masuk ke dalam maka batal puasanya karena riwayat Laqith ibn Shabrah radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda : kalau kau beristinsyaq ( memasukkan air dalam hidung ketika wudhu ) maka perbanyaklah dalam wudhu kecuali kamu dalam keadaan berpuasa. Maka hadits ini menunjukkan bahwa jika ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuhnya maka batal puasanya.” Hadits riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan dishahihkan oleh Imm Nawawi dala Al-Majmu’  [Al-Majmu VI/ 312]

c. Muntah secara sengaja
Dalilnya sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ;

من ذرعه قيء ) و هو صائم ) فليس عليه قضاء و إن استقاء فليقض

“ Barangsiapa yang muntah -sedangkan dia puasa- maka tidak perlu mengqadha dan bila dia berusaha untuk memuntahkan diri maka wajib qadha.” [HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Hurairah]

d. Bersetubuh secara sengaja
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala ;

و لا تباشروهنّ و أنتم عاكفون في المساجد

“...dan jangan kalian berhubungan badan sedang kalian dalam kondisi i’tikaf..” [QS Al-Baqarah : 187]

Apabila bersetubuh secara tidak sengaja atau lupa maka tidak perlu kaffarah tapi tetap batal puasanya. Sebagaimana yang dikatakan Imam Syafi’I ;

وَإِنْ جَامَعَ نَاسِيًا لِصَوْمِهِ لَمْ يُكَفِّرْ وَإِنْ جَامَعَ عَلَى شُبْهَةٍ مِثْلَ أَنْ يَأْكُلَ نَاسِيًا فَيَحْسِبُ أَنَّهُ قَدْ أَفْطَرَ فَيُجَامِعُ عَلَى هَذِهِ الشُّبْهَةِ فَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ فِي مِثْلِ هَذَا

“ Kalau seseorang jima’ dalam keadaan lupa maka tidak perlu kaffarah. Dan jika dia jima’ dalam kondisi syubhat sebagaimana seseorang makan lupa sedangkan dia mengira dia telah batal puasanya kemudian berjima’ atas syubhat ini maka tidak ada kaffarah baginya.” [Al-Umm Bab Al-Jima’ fi Ramadhan]
 
e. Istimna
Istimna’ adalah mengeluarkan air mani dengan selain jima’ seperti karena berciuman, tangan, alat dan lainnya; dan bukan dengan melihat atau membayangkan kemudian keluar air mani. Dan ini termasuk yang membatalkan puasa diqiyaskan kepada jima’. Imam Syafi’I mengatakan ;

إنْ تَلَذَّذَ بِامْرَأَتِهِ حَتَّى يُنْزِلَ أَفْسَدَ صَوْمَهُ وَكَانَ عَلَيْهِ قَضَاؤُهُ وَمَا تَلَذَّذَ بِهِ دُونَ ذَلِكَ كَرِهْته وَلَا يَفْسُدُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

“ Kalau seseorang bermesraan dengan istrinya hingga dia mengeluarkan mani maka batal puasanya dan wajib baginya qadha, dan bila dia bermesraan dengannya meski tidak sampi keluar mani maka saya membencinya dan tidak membatalkannya. Wallahu A’lam.” [Al-Umm, Bab  Al-Jima’ fi Ramadhan wal Khilaf fihi]

f. Haidh dan nifas
Dalilnya adalah hadits Abu Sa’id al-Khudriy bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda tentang kekurangan wanita ;

أليس إذا حاضت لم تصل و لم تصم ؟

“ Bukankah wanita itu jika haidh tidak sholat dan puasa ?” [HR. Bukhari dan Muslim. Lihat Fiqh Manhajiy ( I/344 )]

Sedangkan nifas diqiyasakan dengan haidh.

f. Gila dan murtad
Keduanya merupakan pembatal puasa karena tidak sah ibadah kedunya. Adapun alasan gila tidak sah puasanya karena syarat seorang menjalankan ibadah salah satunya adalah akal. Maka orang gila tidak memenuhi syarat tersebut.

Adapun murtad maka juga batal puasanya karena syarat sahnya orang beribadah adalah Islam.

Adapun tidur, maka dia tidak membatalkan puasa secara mutlak, baik tidur sepanjang hari atau sebagian besar dari siang hari tersebut. Sedangkan untuk pingsan, maka jika pingsan tersebut terjadi sepanjang siang hari secara penuh (sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari) maka batal puasanya, namun jika ada sempat siuman meskipun sebentar, maka puasanya tidak batal.

Wallahu Ta'ala A'lam
Disadur dari buku Fiqh Ramadhan
Karya Abu Harits al-Jawi

Sabtu, 19 Maret 2022

,
Maksud syarat wajib adalah, jika dalam diri seseorang terkumpul syarat-syarat ini, maka wajib bagi dirinya berpuasa Ramadhan. Namun jika tidak terpenuhi, maka tidak memiliki kewajiban. Diantaranya;

1. Muslim

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala ;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“ Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian semoga kalian menjadi hamba yang bertaqwa.” [QS Al-Baqarah : 183]

Dalam ayat ini Allah Ta’ala hanya menyeru hamba-hamba yang beriman saja, maka tidak ada kewajiban atas orang-orang yang kafir yang tidak beriman. Kendati demikian, para ahli menyatakan bahwa orang kafir tetap mukhothob bi furū' syariah, yang maknanya mereka akan diadzab karena tidak melakukan puasa di atas adzab atas kekafiran mereka. Semoga Allah menyelematkan kita dari adzab Allah. 

2. Baligh dan Berakal

Dalilnya adalah hadits Aliy radhiyallahu anhu ;

رفع القلم عن ثلاثة : عن النائم حتى يستيقظ و عن الصبي حتى يحتلم و عن المجنون حتى يعقل

“ Diangkat pena (beban syariat) dari tiga orang ; orang yang tidur hingga dia bangun, anak kecil hingga dia mimpi basah, dan dari orang gila hingga dia sadar.”  [HR. Abu Dawud no.4403, dan selainnya]

Maka, anak yang belum baligh tidak wajib atasnya puasa. Namun jika dia sudah mumayyiz dan berpuasa dengan benar, maka tetap sah puasanya dan mendapat pahala. Dan juga, bagi anak yang belum baligh dan mencapai umur 7 tahun, wajib bagi walinya untuk mengajarinya puasa. Dan kalau umur 10 tahun dan anak itu mampu puasa namun tidak mau puasa, maka orang tua boleh menghukumnya. Dalilnya adalah qiyas terhadap perintah shalat. 

Adapun orang yang gila, maka tidak ada kewajiban atasnya puasa, karena tidak terpenuhinya syarat berakal. 

3. Terbebas dari udzur yang menghalangi puasa ( seperti haidh, nifas, gila di tengah puasa ) dan udzur yang membolehkan untuk berbuka ( yaitu sakit, safar, dan lemah ).

Wallahu Ta'ala A'lam
Disadur dari buku Fiqh Ramadhan
Karya Abu Harits al-Jawi

Jumat, 18 Maret 2022

,
Apakah awal puasa itu untuk satu negara, satu desa, atau satu dunia secara bersamaan ? Dalam pembahasan fikih, masalah ini masui dalam ranah ikhtilaf wa ittihad mathali’ (perbedaan dan persamaan waktu). Dan yang terbaik pada hari ini adalah mengikuti pada keputusan pemerintah -khususnya di Indonesia- tentang awal Ramadhan dan awal Syawwal, karena kemaslahatan yang dicapai akan lebih besar. Selain itu hal ini menunjukkan persatuan kaum muslimin. Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar yang marfu’ ;

تراءى الناس الهلال فأخبرت رسول الله صلى الله عليه و سلم أني رأيته فصامه و أمر الناس بصيامه

“Manusia saling melihat hilal kemudian aku kabarkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa aku melihatnya, maka beliau pun memerintahkan manusia untuk berpuasa.”  [HR. Abu Dawud. Bulughul Maram no. 673]

Maka disini keputusan puasa  berada di tangan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai pemimpin tertinggi kaum muslimin ketika itu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil perkataan Imam Ahmad bin Hanbal ;

يصوم مع الإمام و جماعة المسلمين في الصحو و الغيم

“Hendaknya berpuasa bersama pemimpin dan kaum muslimin ketika melihat hilal atau tidak.” [ Lihat Panduan Ramadhan hal. 28 ]

Berkata Imam Nawawi ;

و إذا رئي - الهلال - ببلد لزم حكمه البلد القريب دون البعيد في الأصح . و البعيد مسافة القصر و قيل باختلاف المطالع . قلت ؛ هذا الأصح و الله أعلم

“Jika hilal terlihat di sebuah negeri maka hukumnya berlaku untuk negeri yang dekat bukan yang jauh. Ukuran jauh adalah jarak qashar, dikatakan pula dengan perbedaan mathla’. Dan saya katakan ini yang paling benar, wallahu a’lam.” [ Al-Minhaj, Kitab Ash-Shiyam ]

Berkata Syaikh Nawawi Al-Bantani;

و إذا رؤي الهلال بمحل لزم حكمه محلا قريبا منه و يحصل القرب باتحاد المطالع بأن كان غروب الشمس و الكواكب و طلوعها في البلدين في وقت واحد، هذا عند علماء الفلك. و الذي عليه الفقهاء أن لا تكون مسافة ما بين المحلين 24 فرسخا من أي جهة كانت

“Dan jika hilal terlihat di satu tempat maka hukumnya berlaku pula terhadap tempat yang dengan darinya. Dan batasan dekat adalah dengan persamaan mathla’ yaitu dimana tenggelamnya matahari dan bintang-bintang juga munculnya di dua tempat tersebut dalam satu waktu, dan ini adalah pengertian di sisi para ahli falak. Adapun para ahli fiqh menyebutkan maksud persamaan mathla’ adalah jarak antara kedua tempat tersebut tidak lebih dari 24 farsakh dari semua sisi.” [ Lihat Kasyifatus Saja hal.241 ]

Dan pernah kami tanyakan hal ini kepada guru kami Syaikh Dr. Labib Najib tentang bagaimana penerapan mathla’ pada hari ini, maka sebaiknya kita ikuti pemerintah negara yang berlaku. Wallahu Ta’ala A’lam.

Maka, apabila hilal terlihat -baik itu Ramadhan atau Syawwal- maka hukum tersebut berlaku untuk ahli mathla saja. Dalilnya adalah hadits Kuraib, bahwasanya Ummu Fadhl telah mengutusnya untuk bertemu Muawiyah di Syam, dan dia berkata,” Maka akupun pergi ke Syam dan melaksanakan perintahnya dan akupun mendapati hilal Ramadhan di Syam dan aku melihat hilal di malam Jum’at. Kemudian aku pun pergi ke Madinah di akhir bulan Ramadhan dan Ibnu Abbas pun bertanya beberapa hal kepadaku dan juga hilal. Maka dia bertanya,” Kapan engkau melihatnya ?”, maka aku menjawab,” Kami melihatnya di malam Jum’at.” Dia bertanya kembali,” Apakah kamu benar-benar melihatnya?”. Aku menjawab,” Iya, dan seluruh manusia juga melihatnya dan mereka pun berpuasa dan juga Muawiyah.” Kemudian dia berkata,” Akan tetapi kita -di Madinah- melihat pada malam sabtu, maka kami akan melanjutkan puasa hingga genap 30 hari atau kami melihat hilal kembali.” Maka aku pun bertanya,” Apakah tidak cukup rukyat Muawiyah dan puasanya -di Syam- ?” Maka dia menjawab ;

لا و هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه و سلم

“Tidak, beginilah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mememrntahkan kami.” [ HR. Muslim Bab Bayan anna likulli Baladin Rukyatuhum ]

Sebagian kaum muslimin yang tidak setuju dengan pendapat ini menyatakan bahwa hadits Kuraib telah berbau politik dimana Ibn Abbas tidak di kubu Muawiyah. Maka ini adalah kedustaan yang nyata. Wallahu Musta’an.

Wallahu A'lam

Disadur dari buku Fiqh Ramadhan
Karya Abu Harits al-Jawi
,
Disebutkan oleh Imam Al-Qasthalany Asy-Syafi’iy, bahwa ada 3 syarat hadits dhaif boleh diamalkan menukil dari kitab gurunya Imam As-Sakhawi Asy-Syafi’iy -semoga Allah merahmati keduanya- Fathul Mughits Syarah Alfiyatul Hadits:

1- Tingkat kedhaifannya tidak terlalu parah, maka tetap tidak diterima hadits dari mereka yang tertuduh berdusta karena kesalahannya yang fatal.

2- Hendaknya hadits tadi memiliki pendukung dari dalil-dalil yang bersifat umum, maka tetap tidak diterima hadits dhaif yang memberi suatu hukum baru tanpa adanya dalil lain yang mendukung.

3- Hendaknya tidak meyakini bahwa hadits tersebut berasal dari nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat mengamalkannya, supaya tidak menyandarkan kepada nabi sesuatu yang tidak pernah beliau katakan Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Meskipun demikian, Imam Al-Qasthalany tetap menyebutkan, bahwa dalam masalah mengamalkan hadits dhaif ada perbedaan pendapat menjadi 3:

1- Tetap tidak boleh diamalkan secara mutlak, walaupun memenuhi 3 syarat diatas, ini pendapat sebagian ulama Malikiyah.

2- Boleh diamalkan jika tidak ada hadits yang lain, serta tidak ada dalil lain yang bertentangan dengan hadits tersebut. Ini pendapat Imam Ahmad -semoga Allah merahmati beliau-.

3- Boleh diamalkan dalam masalah fadhail ‘amal, bukan tentang hukum (akidah / halal-haram) selama memenuhi 3 syarat diatas. Ini adalah pendapat jumhur.

Wallahu A’lam
Ditulis oleh Ahmad Reza

-

Sumber :
Manuskrip Lawami’ul Anwar Fil Ad’iyah wal Adzkar, hal. 2

-

Keterangan Gambar:
Manuskrip ini disalin langsung dari tulisan tangan penulis, Imam Al-Qasthalany (w. 923 H), selesai disalin pada tahun 1117 H (manuskrip berusia sekitar 300 tahun lebih)

Rabu, 16 Maret 2022

,
TANYA
Bismillah. Izin bertanya, bolehkah kita menerima pemberian uang dari orang yang ulang tahun ? Dan jika sudah terlanjur diterima, dikemanakan uang tersebut ? Syukron
 
JAWAB
Bismillah. Untuk menjawab perkara ini perlu kita dudukkan dahulu permasalahan ulang tahun dan peringatannya. Pada asalnya hukum segala sesuatu adalah mubah atau boleh, selama masih dalam ranah adat kebiasaan dan bukan dalam hal ibadat, selama tidak menyalahi aturan syari. Hal ini berlandaskan kepada firman Allah Taala;

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

Berikanlah maaf, perintahkan dengan urf, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.[ QS al-Araf : 199 ]

Berkata al-Qurthubi (w.671 H) dalam menafsirkan makna urf pada ayat ini;

وَالْعُرْفُ وَالْمَعْرُوفُ وَالْعَارِفَةُ : كُلُّ خَصْلَةٍ حَسَنَةٍ تَرْتَضِيهَا الْعُقُولُ، وَتَطْمَئِنُّ إِلَيْهَا النُّفُوسُ

Dan makna urf, maruf, dan arifah adalah setiap perilaku baik yang akal menyetujuinya dan jiwa merasa tenang dengannya. [ Tafsir al-Qurthubi, (Kairo : Darul Kitub al-Mishriyyah), (7/346 ]

Dan para ahli fikih berdalil pula dengan ayat ini juga dalil lainnya, yang memunculkan kaidah;

العادة محكمة

Adat kebiasaan bisa menjadi landasan hukum.
 
Maka, untuk peringatan hari ulang tahun ini pada asalnya adalah adat istiadat yang berlaku. Oleh karenanya perlu dilihat, bagaimana cara merayakannya. Secara umum merayakan ulang tahun dibagi menjadi dua macam. 

Pertama, jika maksud merayakan disini adalah ketika hari kelahirannya dia membuat semacam makanan kemudian dibagikan kepada tetangga, kerabat, dan temannya, tanpa ada selebrasi-selebrasi khusus, maka tidak mengapa. Karena ini bentuk syukur kepada Allah Taala atas nikmat umur yang diberikan. Allah Taala berfirman;

وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمِيثَاقَهُ الَّذِي وَاثَقَكُمْ بِهِ إِذْ قُلْتُمْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

Dan ingatlah nikmat Allah Taala atas kalian dan janji-Nya yang kalian mengikat dengannya, ketika kalian mengatakan kami mendengar dan kami taat. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang ada dalam hati. [ QS al-Maidah : 7 ]
 
Dan panjangnya umur termasuk nikmat Allah Taala jika diiringi dengan usaha untuk mentaqwakan diri. Ketika seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang siapakah manusia yang terbaik, maka beliau bersabda;

مَنْ طَالَ عُمُرُهُ، وَحَسُنَ عَمَلُهُ

Orang yang panjang umurnya, dan baik amalnya. [ HR.Tirmidzi no.2330, dan selainnya ]
 
Kedua, jika peringatan ulang tahun ini disertai dengan perayaan-perayaan khusus, seperti meniup lilin, memakai topi ulang tahun, menyanyi dengan iringan musik, dan semisalnya, maka tidak boleh. Karena ini sudah masuk dalam ranah tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang kafir dalam tradisi khusus yang berawal dari mereka). Sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari mereka.[ HR.Abu Dawud no.4031 ]
 
Kembali kepada pertanyaan, jika seseorang memberinya uang ketika hari ulang tahunnya. Maka hukumnya adalah boleh untuk menerimanya dan mempergunakannya, dan uang tersebut halal. Karena ini adalah bentuk hadiah dan sedekah sebagai bentuk syukur atas suatu kenikmatan. Dan salah satu bentuk syukur terbesar adalah dengan sedekah.
 
 
Wallahu Taala Alam
Dijawab oleh Abu Harits al-Jawi
,


Awal bulan Ramadhan ditentukan dengan melihat hilal secara langsung dan bukan dengan hisab. Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ;


فصوموا لرؤيته و أفطروا لرؤيته فإن أغمي عليكم فاقدروا له ثلاثين

“ Maka berpuasalah karena melihatnya ( hilal ramadhan ) dan berbukalah karena melihatnya ( hilal syawwal ) dan jika terhalangi pandangan kalian oleh mendung maka genapkanlah 30 hari ( bulan sya’ban ).” HR. Muslim Bab Wujub Shaumi Ramadhan lirukyatihi wal fithr lirukyatihi… dari Ibn Umar radhiyallahu anhuma ]

Hadits ini dan juga hadits-hadits yang lain tentang permasalahan ini, sebagaimana yang tercantum dalam kitab Bulughul Maram dan selainnya, semuanya menyebutkan dengan redaksi الرؤية  yang berarti melihat. Tentu hal ini dilakukan oleh orang yang ahli di bidangnya atau yang faham bisa membedakan mana hilal dan bukan.

Beberapa kelompok dari kaum muslimin ada yang menyatakan bahwa boleh mengawali ramadhan dengan hisab/ perhitungan. Mereka berargument dengan hadits Ibn Umar bahwa Rasulullah bersabda ;

إذا رأيتموه فصوموا و إذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فاقدروا له

“ Jika kalian melihatnya ( hilal ramadhan ) maka berpuasalah dan jika melihatnya ( hilal syawwal ) maka berbukalah dan jika kalian terhalang olehnya maka perkirakanlah.”  [ Muttafaq Alaihi ]

Mereka pun membawa lafadz hadits faqduru lahu ( maka perkirakanlah ) dengan tafsiran boleh dengan hisab. Maka ini pun tidak benar, karena dalam lafadz hadits yang lain ada kelanjutan hadits tersebut ;

فاقدروا له ثلاثين

“ Maka perkirakanlah menjadi 30 hari.” [ HR.Muslim]

Maka hadits ini memberi penafsiran untuk hadits yang sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan faqduru lahu yaitu penggenapan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Hanya saja para ahli menyatakan boleh bagi ahli hisab (dibahasakan dengan istilah munajjim dan hasib) untuk berpuasa dengan hitungannya sendiri jika dia yakin akan masuknya bulan Ramadhan dengan hitungannya. Dengan syarat, itu untuk pribadi dirinya, dan bukan untuk masyaratak luas. Tapi yang afdhol tentu ikut berpuasa bersama kaum muslimin. Wallahu Ta’ala A’lam
 
KESAKSIAN HILAL

Untuk hilal bulan Ramadhan maka boleh dengan persaksian 1 orang saja dengan syarat dia orang yang adil, yang mampu dipertanggungjawabkan kredibilitasnya. Akan tetapi untuk hilal syawal maka dipersyaratkan minimal 2 orang saksi. Lihat Fiqh Manhajiy ( I/335 ) ] 
 
Imam Syafi’i mengatakan ;

فَإِنْ لَمْ تَرَ الْعَامَّةُ هِلَالَ شَهْرِ رَمَضَانَ وَرَآهُ رَجُلٌ عَدْلٌ رَأَيْت أَنْ أَقْبَلَهُ لِلْأَثَرِ وَالِاحْتِيَاطِ

“ Jika kebanyakan dari manusia tidak melihat hilal Ramadhan dan salah seorang yang adil dari mereka melihatnya maka saya berpandangan untuk menerimanya karena atsar dan kehati-hatian.” Al-Umm Kitab Ash-Shiyam Ash-Shoghir ]
 
Dalilnya adalah atsar yang datang dari Fathimah binti Husain beliau mengatakan,” Telah bersaksi seseorang kepada Ali radhiyallahu anhu bahwa dia telah melihat hilal Ramadhan, maka dia pun berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa dan beliau berkata ;

أصوم يومًا من شعبان أحب إلي من أن أفطر يومًا من رمضان

“ Aku berpuasa sehari di bulan Sya’ban lebih aku senangi daripada aku berbuka sehari di Ramadhan.”  HR. Imam Syafi’I dalam musnadnya ]
 
Dan mengapa untuk hilal bulan Syawwal harus dua saksi ? Karena hukum asal persaksian minimal adalah 2 orang, sebagaimana firman Allah Ta’ala ;

وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُم

“ …dan ambillah 2 orang saksi dari laki-laki di antara kalian….”  QS Al-Baqarah : 282 ]

-

Disadur dari buku Fiqh Ramadhan
karya Abu Harits Al-Jawi
Jombang, 17 Maret 2022