Minggu, 28 Maret 2021

,
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallah anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ، فَلَا تَصُومُوا

" Kalau sudah masuk pertengahan bulan Sya'ban, makan janganlah kalian berpuasa."
[ HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (2/300) ]

Dalam hadits yang lain, yaitu dari sayyidah Aisyah radhiyallah anha berkata beliau berkata :

كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: قَدْ صَامَ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: قَدْ أَفْطَرَ، وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ، أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلَّا قَلِيلًا

" Adalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam berpuasa hingga kami katakan beliau terus berpuasa, dan beliau juga tidak berpuasa hingga kami berkata beliau tidak berpuasa. Dan tidaklah aku melihat beliau banyak berpuasa melebihi ketika bulan Sya'ban. Beliau berpuasa di Sya'ban seluruh bulan itu, dan tidaklah beliau berpuasa Sya'ban kecuali beberapa hari saja."
[ HR. Muslim dalam Shahih-nya (2/811) ]

Dalam redaksi hadits sayyidah Ummi Salamah dikatakan :

أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنَ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلَّا شَعْبَانَ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ

" Tidaklah beliau shallallahu alaihi wa sallam berpuasa dalam setahun, satu bulan penuh kecuali di bulan Sya'ban."
[ HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (2/300) ]

Secara dzōhir, hadits Abu Hurairah dan Aisyah juga Ummu Salamah di atas adalah bertentang. Dimana yang pertama menujukkan larangan puasa ketika sudah masuk pertengan bulan Sya'ban (tanggal 16 ke atas). Sedangkan hadits Aisyah dan Ummu Salamah menunjukkan bahwa Nabi shallallahu alaihi banyak berpuasa di bulan Sya'ban walaupun sudah lewat pertengahan Sya'ban. Maka bagaimana mengkompromikan hadits yang terlihat kontradiksi ini ?

Berkata Asy-Syīrōzi :

فإن وصله بما قبل النصف جاز وإن وصله بما بعده لم يجز 

" Maka jika seseorang menyambung puasa dengan puasa sebelum pertengahan Sya'ban maka boleh, dan jika menyambungkannya dengan setelah pertengahan Sya'ban maka tidak boleh."
[ Al-Muhadzdzab fī Fiqh Al-Imām Asy-Syāfi'ī, (1/346) ]

Lebih jelas lagi, berkata Al-Millibāri :

وكذا بعد نصف شعبان ما لم يصله بما قبله أو لم يوافق عادته أو لم يكن عن نذر أو قضاء ولو عن نفل

" Demikan pula (diharamkan puasa) setelah lewat pertengahan Sya'ban; selama tidak menyambungkannya dengan puasa sebelumnya, atau tidak berkesesuaian dengan kebiasaan puasanya, atau bukan puasa nadzar atau qodho untuk puasa sunnah."
[ Fathul Mu'īn bi Syarh Qurrotil 'Ain, hal.281 ]

KESIMPULAN

1. Hukum asal puasa setelah lewat pertengahan Sya'ban adalah haram, sebagaimana larangan dalam hadits Abu Hurairah.

2. Puasa setelah lewat pertengahan Sya'ban ini diperbolehkan (tidak lagi haram) dengan beberapa alasan :

 a. Dia sudah berpuasa sejak awal Sya'ban

 b. Dia memiliki kebiasan puasa sunnah, dan bertepatan dengan pertengahan Sya'ban. Seperti kebiasan puasa senin kamis dan dia mendapati hari tersebut setelah lewat bulan Sya'ban.

 c. Jika punya hutang nadzar puasa, maka tidak mengapa dia bayar setelah lewat tengah Sya'ban.

d. Jika punya hutang qodho puasa, maka tidak mengapa dia bayar setelah lewat tengah Sya'ban.

Wallahu Ta'ala A'lam

Abu Harits Al-Jawi

Sabtu, 27 Maret 2021

,
Sya'ban merupakan bulan yang memiliki keutamaan tersendiri. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

ذاك شهرٌ يغفَلُ النَّاسُ عنه بين رجبَ ورمضانَ وهو شهرٌ تُرفعُ فيه الأعمالُ إلى ربِّ العالمين وأُحِبُّ أن يُرفعَ عملي وأنا صائمٌ

" Bulan itu (Sya'ban) adalah bulan yang manusia banyak lalai, terletak antara Rajab dan Ramadhan. Pada Sya'ban amal-amal diangkat kepada Rabb semesta alam. Dan aku senang jika amalku di angkat dalam keadaan berpuasa."
[ HR. An-Nasāi, Ahmad, Al-Mundziri dalam Targhib wa Tarhib, dan lainnya ]

Sedangkan pada malam pertengahan bulan Sya'ban (malam tanggal 15), maka memiliki keutamaan yang lebih. Sayyidah Aisyah radhiyallah anha berkata :

عن عائشة قالت: فقدت رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة فخرجت فإذا هو بالبقيع فقال أكنت تخافين أن يحيف الله عليك ورسوله قلت يا رسول الله إني ظننت أنك أتيت بعض نسائك فقال إن الله عز وجل ينزل ليلة النصف من شعبان إلى السماء الدنيا فيغفر لأكثر من عدد شعر غنم كلب

" Satu malam aku kehilangan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam maka aku pun keluar mencari. Ternyata beliau sedang berada di makam Baqī. Beliau berkata (( Apakah kamu takut bahwa Allah dan rasul-Nya berbuat dzalim padamu ? )) Aku pun berkata : Wahai Rasulullah aku mengira engkau mendatangi sebagian istri-istrimu. Maka beliau bersabda (( Sesungguhnya Allah turun pada malam nishfu Sya'ban ke langit dunia, dan Dia mengampuni dosa sebanyak bulu domba milik Bani Kalb ))
[ HR. Tirmidzi Bab Mā Jā`a fī Lailatin Nishfi min Sya'bān, Ahmad, dan lainnya ]

Hadits ini dho'if, akan tetapi banyak riwayat lainnya yang menunjukkan bahwa malam nishfu Sya'ban memang memiliki keutamaan. Berkata Syaikh Abdurrahman Al-Mubārokfūri :

اعلم أنه قد ورد في فضيلة ليلة النصف من شعبان عدة أحاديث مجموعها يدل على أن لها أصلا . . . فهذه الأحاديث بمجموعها حجة على من زعم أنه لم يثبت في فضيلة ليلة النصف من شعبان شيء ، والله تعالى أعلم

" Ketahuilah bahwa terdapat keterangan tentang keutamaan malam pertengahan Sya'ban dalam beberapa hadits, yang secara keseluruhan menunjukkan bahwa memang malam tersebut memiliki keutamaan . . . (kemudian beliau menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan dengan hal ini -edt) . . . maka seluruh hadits ini merupakan hujjah atas orang yang menganggap bahwa malam nishfu Sya'ban tidak memiliki keutamaan sama sekali. Wallahu A'lam.
[ Tuhfatul Ahwāzi Syarh Jāmi' At-Tirmidzī, Abdurrahman ibn Abdurrahim Al-Mubārokfūri ]

Maka boleh saja hukumnya mwnghidupkan malam nishfu Sya'ban dengan amal ibadah seperti shalat, dzikir, membaca Al-Quran dan lainnya. Akan tetapi tidak boleh hal tersebut dilaksanakan secara berjamaah, atau dengan hitungan dan tata cara tertentu; seperti shalat Alfiyah. Berkata Imam Nawawi :

الصَّلَاةُ الْمَعْرُوفَةُ بصلاة الرغائب وهي ثنتى عَشْرَةَ رَكْعَةً تُصَلَّى بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ لَيْلَةَ أَوَّلِ جُمُعَةٍ فِي رَجَبٍ وَصَلَاةُ لَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ مِائَةُ رَكْعَةٍ وَهَاتَانِ الصَّلَاتَانِ بِدْعَتَانِ وَمُنْكَرَانِ قَبِيحَتَانِ وَلَا يُغْتَرُّ بِذَكَرِهِمَا فِي كِتَابِ قُوتِ الْقُلُوبِ وَإِحْيَاءِ عُلُومِ الدِّينِ وَلَا بِالْحَدِيثِ الْمَذْكُورِ فِيهِمَا فَإِنَّ كُلَّ ذَلِكَ بَاطِلٌ

" Shalat yang terkenal dengan nama shalat Roghōib; yaitu shalat 12 rakaat dilaksanakan antara maghrib dan isya' pada malam jum'at pertama di bulan rajab. Dan jug shalat malam nishfu Sya'ban; yaitu shalat 100 rakaat. Dua shalat ini adalah bid'ah yang munkar serta buruk. Maka hendaknya tidak tertipu bahwa keduanya disebutkan dalam kitab Qūtul Qulūb dan Ihyā Ulūmuddīn, atau hadits yang menyebutkan tentang hal itu; karena semuanya adalah batil."
[ Al-Majmū' Syarh Al-Muhadzdzab, (4/56) ]

KESIMPULAN

1. Boleh menghidupkan malam nishfu Sya'ban dengan ibadah seperti shalat, dzikir, istighfar, atau membaca Al-Quran.

2. Ibadah yang dilaksanakan untuk menghidupkan malam nishfu Sya'ban bersifat mutlak. Tanpa ada tata cara atau jumlah tertentu.

3. Shalat Alfiyah adalah bid'ah sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Nawawi.

Wallahu Ta'ala A'lam

Abu Harits Al-Jāwi
,
Sebagaimana dalam rilisan alodokter.com disebutkan :

"Prosedur pemeriksaan diawali dengan pengambilan sampel dahak, lendir, atau cairan dari nasofaring (bagian antara hidung dan tenggorokan), orofaring (bagian antara mulut dan tenggorokan), atau paru-paru pasien yang diduga terinfeksi virus Corona."

Dari sini kita tahu bahwa prosedur tes swab adalah dengan memasukkan alat ke dalam hidung, hingga mencapai nasofaring dan ini yang banyak terjadi. Jika demikian maka ini adalah memasukkan benda ke dalam rongga tubuh yaitu hidung sebagaimana yang sudah disebutkan dalam pembahasan masuknya 'ain ke dalam jauf yang bisa dibaca disini. Dan nasofaring sudah termasuk dalam bāthinul anf (bagian dalam hidung) karena sudah melewati khoisyūm (batang hidung). Berkata Al-Millibāri :

ولا يفطر بوصول شيء إلى باطن قصبة أنف حتى 
يجاوز منتهى الخيشوم وهو أقصى الأنف

" Dan tidak batal puasanya dengan masuknya sesuatu yang tidak melewati batang hidung, hingga melewati bagian khoisyūm yang terdalam (maka batal puasanya -edt)."
[ Fathul Mu'īn bi Syarh Qurratil 'Ain, Zainuddīn Al-Millibāri, hal.266 ]
Gambar bagian nasofaring.

Maka, swab tes jika dilakukan pada saat siang hari bulan Ramadhan, membatalkan puasa.

Wallahu Ta'ala A'lam wa Ahkam

Dijawab oleh Abu Harits Al-Jawi

Rabu, 24 Maret 2021

,

Dalam puasa Ramadhan, ada istilah fidyah. Yaitu memberikan satu mud takaran makanan pokok (kurang lebih 700 gr) untuk satu hari yang terlewat dari puasa. Hal ini dilakukan ketika jima' di siang Ramadhan, atau karena dia orang tua renta dan berpenyakit menahun yang tidak memungkinkan untuk sembuh yang tidak mampu puasa. Juga ibu hamil atau menyusui yang tidak berpuasa karena khawatir keselamatan janin. Atau karena mengakhirkan qodho puasa hingga lewat lebih dari satu Ramadhan. Maka dalam hal ini, ada kewajiban membayar fidyah.

Dalam aturan fidyah, telah diketahui bahwa fidyah dibayarkan dalam bentuk bahan makanan pokok. Sebesar 1 mud (kurang lebih 700 gr) untuk 1 hari. Sebagaimana firman Allah Ta'ala :

... وَعَلَى ٱلَّذِینَ یُطِیقُونَهُۥ فِدۡیَةࣱ طَعَامُ مِسۡكِینࣲۖ 

" Dan wajib bagi yang tidak mampu puasa untuk membayar fidyah berupa makanan untuk orang miskin."
[ Surah Al-Baqarah: 184 ]

Berkata Al-Baghowi dalam tafsirnya :

وَالْفِدْيَةُ: الْجَزَاءُ، وَيَجِبُ أَنْ يُطْعِمَ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا مُدًّا مِنَ الطَّعَامِ بِمُدِّ النَّبِيِّ ﷺ، وَهُوَ رَطْلٌ وَثُلُثٌ مِنْ غَالِبِ قُوتِ الْبَلَدِ، هَذَا قَوْلُ فُقَهَاءِ الْحِجَازِ

" Dan fidyah bermakna balasan. Wajib untuk memberi makan satu hari satu orang miskin, dengan takaran 1 mud nabawi yaitu 1 1/3 rithl makanan pokok. Dan ini adalah pendapat ahli fiqh Hijaz."

[ Tafsir Al-Baghowi ]

Dalam perjalanannya, banyak yang memilih untuk memberikan fidyah dalam bentuk makanan siap saji. Entah itu dengan bungkusan atuau kotak. Maka terkait dengn hal ini, kita katakan bahwa yang disampaikan oleh para ahli fiqh Syafi'iyyah tidaklah boleh memberikan fidyah dalam bentuk makanan siap saji. Berkata Ibn Hajar :

(بِإِطْعَامٍ) أَيْ تَمْلِيكٍ وَآثَرَ الْأَوَّلَ؛ لِأَنَّهُ لَفْظُ الْقُرْآنِ فَحَسْبُ إذْ لَا يُجْزِئُ حَقِيقَةُ إطْعَامِهِمْ.

" Dengan memberikan makanan; maksudnya adalah tamlīk (memberikan hak kepemilikan makanan tersebut). Dan penulis (baca: An-Nawawi) menggunakan kata ith'ām karena itu adalah lafadz al-Quran. Maka tidaklah boleh dimaknai benar-benar memberikan makan (siap saji)."
[ Tuhfatul Muhtāj fī Syarhil Minhāj wa Hawāsyi Al-Syarwāni wal 'Abbādi (8/201) ]

Berkata Asy-Syarwāni :
 
قَوْلُهُ إذْ لَا يُجْزِئُ حَقِيقَةُ إطْعَامِهِم أَيْ تَغْدِيَتِهِمْ أَوْ تَعْشِيَتِهِمْ اهـ

" Ucapan beliau (Ibnu Hajar) tidak cukup dengan memberikan makan (siap saji -edt) yaitu seperti untuk sarapan atau makan malam."
[ Idem (8/201) ]

Adapun alasan pendapat yang membolehkan fidyah dengan makanan siap saji, adalah pendapat Anas ibn Malik.

حَدَّثَنِي حُمَيْدٌ قَالَ: " لَمْ يُطِقْ أَنَسٌ صَوْمَ رَمَضَانَ عَامَ تُوُفِّيَ , وَعَرَفَ أَنَّهُ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَقْضِيَهُ فَسَأَلْتُ ابْنَهُ عُمَرَ بْنَ أَنَسٍ مَا فَعَلَ أَبُو حَمْزَةَ؟ فَقَالَ: جَفَنَّا لَهُ جِفَانًا مِنْ خُبْزٍ وَلَحْمٍ فَأَطْعَمْنَا الْعِدَّةَ أَوْ أَكْثَرَ يَعْنِي مِنْ ثَلَاثِينَ رَجُلًا لِكُلِّ يَوْمٍ رَجُلًا "

Menceritakan kepadaku Humaid, berkata: Saat Anas sudah tidak mampu lagi berpuasa di tahun wafatnya, dan dia tahu tidak akan bisa menqodhonya, aku bertanya kepada anaknya yaitu Umar ibn Anas, "Apa yang dilakukan Abu Hamzah (Anas) ?" Maka dia menjawab, "Kami siapkan makanan di wadah berupa roti dan daging, dan kami memberikan makan sejumlah hari (yang terlewat puasa) atau lebih. Maksudnya adalah 30 orang; setiap satu orang dihitung satu hari.
[ HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro (4/451) ]

Akan tetapi dalil ini tidak diambil oleh para ahli fiqh madzhab karena ada beberapa poin :

1. Dalil-dalil yang lain yang banyak dan lebih shahih dalam masalah fidyah semuanya menggunakan redaksi bahan makanan pokok. Seperti satu mud sya'īr (gandum) atau aqith (susu yang dipadatkan), atau tamr (kurma kering).

2. Termasuk ushul Syafi'iyyah, bahwa pendapat satu atau beberapa sahabat (selama bukan ijma' atau kesepakatan) dalam masalah fiqh bukanlah hujjah yang berdiri sendiri. Dia menjadi dalil penguat jika berkesuaian dengan dalil inti. Hal ini bisa dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqh dalam madzhab. Berkata Asy-Syīrōzi :

إذا قال بعض الصحابة قولا و لم ينتشر ذلك في علماء الصحابة و لم يعرف له مخالف لم يكن ذلك إجماعا ... و قال في الجديد : ليس بحجة و هو الصحيح

" Jika sebagian dari sahabat berpendapat dengan satu pendapat, dan pendapat tersebut tidak tersebar diantara para ulama sahabat lainnya, dan tidak diketahui ada yang menyelisihinya; maka ini bukanlah ijma' . . . dan berkata (Asy-Syāfi'i) dalam qoul jadīd: ini bukanlah hujjah. Dan ini pendapat yang sah (dalam madzhab)."
[ Al-Luma' fī Ushūl Fiqh, Abu Ishāq Asy-Syīrōzi l, hal.130 ]

3. Jika menggunakan ukuran bahan makanan siap saji, maka akan sulit direalisasikan ukuran satu mud untuk satu orang. Bisa kita bayangkan, satu mud (700 gr) beras mentah ketika dimasak maka akan mencukupi 3-4 orang. Maka apakah akan diberikan porsi 3-4 orang kepada satu orang saja ? Ketika fidyah dengan makanan matang, pasti ukuran berasnya kurang dari satu mud (700 gr) untuk satu porsi makan. Maka ahli fiqh madzhab tidaklah mengambil atsar ini sebagai pendapat.

Wallahu Ta'ala A'lam wa Ahkam

Abu Harits Al-Jawi

Sabtu, 20 Maret 2021

,
Pertanyaan :
Bolehkah memakai pasta gigi saat puasa ?

Jawaban :
Boleh memakai pasta gigi saat puasa. Hanya saja apabila ada yang tertelan dari pasta gigi tersebut, maka batal puasanya. Demikian yang dhōhir (tampak) dari pendapat ahli fikih madzhab. Seperti orang mengunyah inang (susur). Oleh karenanya yang lebih afdhol untuk tidak menggunakan pasta gigi selama berpuasa. Berkata Zainuddīn Al-Millībāri (w.1028 H) :

فيفطر من ابتلع ريقا متغيرا بحمرة نحو تنبل و إن تعسر إزالتها أو بصبغ خيط فتله بفمه

" Dan batal puasa bagi orang yang menelan ludah yang berubah karena campuran warna merah dari inang (susur) meskipun sulit untuk dihilangkan. Atau karena tercampuran warna dari benang yang dipintal dengan mulutnya."
[ Fathul Mu'īn, hal.114 ]

Jika dikatakan, mengapa tidak diqiyaskan kepada siwak. Maka kita jelaskan, bahwa siwak dan pasta gigi berbeda jauh. Dimana siwak adalah alat untuk membersihkan gigi, sedangkan pasta gigi adalah komponen tambahan, bukan alat. Lebih cocok jika siwak diqiyaskan kepada sikat gigi, bukan pasta gigi. 

Wallahu Ta'ala A'lam

Dijawab oleh Abu Harits Al-Jawi


________
REFERENSI

1. Fathul Mu'īn  bisyarh Qurrotil 'Ain, Zainuddīn Al-Millībāri, (Jakarta : Dārul Kutub Al-Islamiyyah), cetakan pertama, tahun 1431 H/ 2010 M

Jumat, 19 Maret 2021

,
Termasuk pembatal puasa adalah seperti apa yang diistilahkan oleh para ahli fiqh :

دُخُوْلُ العَيْنِ فِي الجَوْفِ مِنْ مَنْفَذٍ مَفْتُوْحٍ

" Masuknya 'ain (benda yang terlihat dan memiliki wujud) ke dalam jauf (dalam tubuh) dari lubang tubuh yang terbuka."

Jadi bukan hanya makan dan minum saja yang membatalkan puasa. Dan ini adalah pendapat kebanyakan ahli fiqh, termasuk dalam madzhab Syafi'i. Berkata Imam Al-Muzani murid Imam Syafi'i :

وَإِنْ بَلَعَ حَصَاةً، أَوْ مَا لَيْسَ بِطَعَامٍ، أَوْ احْتَقَنَ، أَوْ دَاوَى جُرْحَهُ حَتَّى يَصِلَ إلَى جَوْفِهِ أَوْ اسْتَعَطَ حَتَّى يَصِلَ إلَى جَوْفِ رَأْسِهِ فَقَدْ أَفْطَرَ إذَا كَانَ ذَاكِرًا وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ إذَا كَانَ نَاسِيًا

" Jika seseorang menelan kerikil, atau sesuatu yang bukan makanan, atau melakukan injeksi obat lewat dubur, atau mengobati lukanya hingga sampai ke dalam lubang tubuhnya, atau memasukkan obat lewat hidung hingga masuk ke dalam lubang kepalanya, maka batal puasanya; jika dia ingat kalau puasa. Jika dia lupa maka tidak batal."
[ Mukhtashor Al-Muzani hal.154 ]

Asy-Syīrōzi berkata :
فإذا استعط أو صب الماء في أذنه فوصل إلى دماغه بطل صومه لما روى لقيط بن صبرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (( إذا استنشقت فبالغ في الوضوء إلى أن تكون صائماًً )) فدل على أنه إذا وصل إلى الدماغ شيء بطل صومه . . . ولا فرق بين أن يأكل ما يؤكل أو ما لا يؤكل فان استف تراباً وابتلع حصاة أو درهماً أو ديناراً بطل صومه لأن الصوم هو الإمساك عن كل ما يصل إلى الجوف

" Maka ketika seseorang memasukkan obat lewat hidung, atau memasukkan air ke dalam telinganya hingga sampai ke dalam kepalanya; maka batal puasa. Sebagaimana yang hadita Laqīth ibn Shubroh bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda (( Jika kamu beristinsyāq -memasukkan air dalam hidung- dalam wudhu maka hiruplah yang dalam kecuali ketika puasa )). Maka hadits ini menunjukkan jika sesuatu masuk ke dalam kepala maka batallah puasanya . . . Dan sama saja apakah benda tersebut makanan atau bukan makanan. Seandainya seseorang meletakkan debu di mulutnya kemudian menelannya, atau menelan kerikil, atau kepingan dirham atau dinar; batal puasanya. Karena puasa adalah menahan diri dari setiap apa saja yang masuk ke dalam tubuh."
[ Al-Muhadzdzab (1/334) ]

Maka dari kaidah ini, kita tahu beberapa turunan masalah kontemporer yang membatalkan puasa diantaranya :

1. Seluruh peralatan medis yang dimasukkan ke dalam lubang-lubang tubuh seperti slang pernafasan, saluran buang air kecil yang dimasukkan melalui kemaluan, obat yang dimasukkan dubur, inhealer (obat asma yang dihirup dengan mulut), infus karena semakna dengan makanan, obat tetes telinga, endoskop (alat yang dimasukkan dalam tubuh untuk melihat kondisi dalam tubuh) dan yang lainnya.

2. Suntik selain infus tidak membatalkan puasa. Maka suntikan vaksin Covid tidaklah membatalkan puasa.

3. Obat tetes mata tidak membatalkan puasa karena mata tidak termasuk dalam lubang terbuka pada tubuh.

4. Permen dan rokok membatalkan puasa.

Dan kami telah membahas masalah Pembatal Puasa Kontemporer ini. Mengambil faedah dari risalah Husnul Āshiroh Syarh Mandzūmah Al-Mufthirōh Al-Mu'āshiroh tulisan guru kami Syaikh Dr.Labib Abdullah Al-Yamani Asy-Syafii. Silahkan simak videonya disini.


Wallahu Ta'ala A'lam

Abu Harits Al-Jāwi
,
Jika ditanya, apakah keju termahal di dunia ? Jawabannya adalah keju pule (pule cheese). Yaitu satu jenis keju yang dibuat dari bahan susu keledai (donkey). Bahkan untuk satu kilogramnya bisa dihargai 1.000 euro atau senilai Rp 16.000.000. Tapi semahal apapun jenis makanan, boleh tidaknya dia dikonsumsi harus sesuai dengan timbangan syariat.

Dalam hadits yang shahih disebutkan :

أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ: «إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ المُتْعَةِ، وَعَنْ لُحُومِ الحُمُرِ الأَهْلِيَّةِ، زَمَنَ خَيْبَرَ»

" Bahwa sahabat Ali radhiyallahu anhu berkata kepada Ibn Abbas : Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang nikah mut'ah dan daging keledai rumahan (donkey) pada waktu perang Khaibar."
[ HR. Bukhari dalam shahihnya (12/7) ]

Dalam hadits Jābir beliau berkata :

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ أَنْ نَأْكُلَ لُحُومَ الْحُمُرِ، وَأَمَرَنَا أَنْ نَأْكُلَ لُحُومَ الْخَيْلِ

" Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang pada hari Khaibar dari memakan daging keledai, dan memerintahkan kami untuk memakan daging kuda."
[ HR. Abu Dawid dalam As-Sunan (3/356) ]

Berkata Imam An-Nawawi :

ويحرم بغل وحمار أهلي

" Dan haram memakan daging baghl (mule) dan keledai rumahan (donkey)."
[ Minhājut Thālibīn hal.322 ]

Maka keledai rumahan (donkey) adalah haram untuk dikonsumsi, demikian pula susunya, dan hasil olahannya termasuk keju pule ini.

Wallahu Ta'ala A'lam

Abu Harits Al-Jawi

Sabtu, 13 Maret 2021

,
Puasa Ramadhan telah Allah Ta'ala wajibkan atas umat Islam. Maka tidak boleh bagi seorang muslim yang sudah baligh, berakal, dan tidak ada udzur untuk tidak berpuasa pada saat datangnya bulan Ramadhan. Namun terkadang saat Ramadhan tiba, ada udzur-udzur yang mengharuskan seseorang untuk tidak berpuasa. Akan tetapi dia tetap diharuskan untuk mengganti nantinya di luar Ramadhan. Allah Ta'ala berfirman :

{ ... فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِیضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرࣲ فَعِدَّةࣱ مِّنۡ أَیَّامٍ أُخَرَۚ ... }
"... Barangsiapa yang sakit atau safar diantara kalian, maka gantilah pada hari-hari yang lain..."
[ QS Al-Baqarah: 184 ]

Dan hendaknya seorang muslim ketika akan memasuki bulan Ramadhan, dia mengingat kembali apakah masih hutang puasa atau tidak. Jika iya, maka harus dia bersegera untuk membayar hutang puasanya. Sayyidah Aisyah radhiyallahu anha berkata :

كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي شَعْبَانَ، الشُّغْلُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَوْ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
" Dahulu saya pernah punya hutang puasa Ramadhan, maka saya pun tidak bisa mengqodho'nya hingga datang bulan Sya'ban (menjelang Ramadhan berikutnya -edt) karena sibuk melayani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam."
[ HR.Muslim (2/208) ]

Akan tetapi, sering hal ini terlalaikan. Hingga tak terasa hutang puasa pun belum terbayar hingga datang Ramadhan berikutnya. Terkhusus lagi dari kalangan wanita.

TINJAUAN FIQH SYAFI'I

Dalam pendapat yang mu'tamad madzhab Syafi'i, apabila seseorang memiliki hutang puasa Ramadhan, kemudian dia memiliki kelonggaran untuk mengqodhonya. Lantas jika dia tidak mengqodho hingga datang Ramadhan berikutnya, maka yang harus dia lakukan bukan hanya qodho puasa, akan tetapi ditambahi dengan membayar fidyah satu hari satu mud (kurang lebih 700 gram) bahan makanan pokok. Dan fidyah ini diakumulasikan pada ramadhan-ramadhan setelahnya (jika terlewat hingga 2 Ramadhan maka 2 mud perhari, jika 3 Ramadhan maka 3 mud perhari, begitu seterusnya). Berkata An-Nawawi (w. 676 H) :

ومن أخر قضاء رمضان مع إمكانه حتى دخل رمضان آخر لزمه مع القضاء لكل يوم مد والأصح تكرره بتكرر السنين
" Barangsiapa yang menunda qodho puasa Ramadhan padahal memungkinkan baginya untuk melakukannya hingga masuk Ramadhan berikutnya; maka wajib baginya bersama dengan qodho (fidyah -edt) satu mud untuk setiap harinya."
[ Minhājut Thōlibin, hal.78 ]

Demikian hal senada disampaikan oleh Asy-Syīrōzi (w.476 H) dalam Al-Muhadzdzab (1/343) dan mayoritas ulama Syafi'iyyah. Bahkan An-Nawawi menambahkan orang tersebut berdosa. Beliau berkata :

فلو أخر القضاء إلى رمضان آخر بلا عذر أثم و لزمه صوم رمضان الحاضر
" Kalau seseorang menunda qodho hingga datang Ramadhan berikutnya tanpa adanya udzur, maka dia berdosa dan harus berpuasa di Ramadhan tersebut."
[ Al-Majmū' Syarh Al-Muhadzdzab (6/364) ]

Dalil

Dalil dari hal ini adalah pendapat sahabat Ibnu Abbās dan Abu Hurairah radhiyallahu anhuma.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، فِي رَجُلٍ أَدْرَكَهُ رَمَضَانُ وَعَلَيْهِ رَمَضَانُ آخَرُ , قَالَ: " يَصُومُ هَذَا، وَيُطْعِمُ عَنْ ذَاكَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا، وَيَقْضِيهِ "
" Dari Ibnu Abbās tentang seorang lelaki yang memasuki bulan Ramadhan sedang dia masih punya hutang puasa Ramadhan yang sebelumnya, beliau berkata: (Puasa untuk ramadhan sekarang, dan memberi makan untuk ramadhan sebelumnya perhari satu orang miskin serta menqodho)."
[ HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubrō (4/422) ]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ: يَصُومُ الَّذِي حَضَرَ، وَيَقْضِي الْآخَرَ، وَيُطْعِمُ لِكُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا 
" Dari Abu Hurairah beliau berkata: (Dia berpuasa untuk ramadhan yang sekarang, dan memgqodho yang selainnya serta memberi makan setiap harinya satu orang miskin."
[ HR. Al-Baihaqī dalam As-Sunan Al-Kubrō (4/422) ]

Atsar di atas disahihkan oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu', adapun riwayat yang marfu’ dalam hal ini adalah dho'īf.

• Pendapat Lain Dalam Madzhab

1. Sudah diketahui tentang pendapat mu'tamad dalam madzhab. Bahwa bila memiliki hutang puasa lantas tidak dibayar hingga ramadhan berikutnya, maka selain qodho ada kewajiban fidyah. Hanya saja beberapa ulama madzhab menyatakan tidak perlu fidyah, cukup qodho saja. Ini adalah pendapat pilihan Al-Muzani, An-Nawawi berkata :

... إلا المزني فقال لا تجب الفدية ...
" Kecuali Al-Muzani dia berkata: tidak wajib fidyah."
[ Al-Majmū' (6/364) ]

Dan ini juga yang dhōhir (tampak) dari pendapat Al-Baihaqi (w.458 H), beliau berkata:

وَعَنِ الْحَسَنِ وَطَاوُسٍ وَالنَّخَعِيِّ: يَقْضِي وَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ , وَبِهِ نَقُولُ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
" Dan dari Al-Hasan, Thōwūs dan An-Nakho'i: cukup qodho saja tanpa kafarah. Dan kami berpendapat dengan ini sebagaimana firman Allah Ta'ala { Maka ganti pada hitungan hari yang lain }."
[ As-Sunan Al-Kubrō (4/423) ]

2. Yang mu'tamad dalam madzhab bahwa hitungan fidyah diakumulasikan sesuai dengan jumlah ramadhan yang terlewati. Namun pendapat yang lain dalam madzhab, cukup satu fidyah saja tanpa terakumulasi. Jadi, meskipun terlewat beberapa ramadhan dan belum mengqodho, maka hanya berlaku satu mud perhari saja. Ini adalah pendapat Al-Māwardi (w.450 H), sebagaimana yang disampaikan oleh An-Nawawi :

و خالفهم صاحب الحاوي فقال الأصح أنه يكفي مد واحد لجميع السنين
" Dan penulis kitab Al-Hāwi (Al-Māwardi) menyelisihi mereka dan berkata: Yang benar cukup satu mud untuk seluruh tahun."
[ Al-Majmū' (6/364) ]

KESIMPULAN

Yang mu'tamad dalam madzhab Syafi'i bahwa hutang puasa bila tidak dibayar hingga ramadhan berikutnya, maka wajib ditambah fidyah satu mud untuk satu hari. Dan berlaku kelipatannya jika ramadhan yang terlewat lebih dari satu.

Wallahu Ta'ala A'lam wa Ahkam

Abu Harits Al-Jawi

___________
REFERENSI
1. Al-Quran Al-Karīm
2. As-Sunan Al-Kubrō, Ahmad ibn Al-Husain Al-Baihaqi, (Beirut : Dārul Kutub Al-Ilmiyyah), cetakan ketiga, tahun.1424 H/ 2003 
3. Shahih Muslim, Muslim ibn Al-Hajjāj, (Beirut : Dār Ihyā At-Turōts Al-Arabiy)
4. Al-Muhadzdzab, Abu Ishāq Asy-Syīrōzi, (Dārul Kutub Al-Ilmiyyah)
5. Al-Majmū' Syarh Al-Muhadzdzab, Yahya ibn Syaraf An-Nawawi, (Dārul Fikr)
6. Minhājut Thōlibīn wa Umdatul Muftīn, Yahya ibn Syaraf An-Nawawi, (Dārul Fikr), cetakan pertama, tahun.1425 H/ 2005 M

Jumat, 12 Maret 2021

,
Diantara syarat sah dari orang yang berjual-beli adalah baligh. Maka apa yang terjadi hari ini dimana anak-anak sering beli sendiri baik di sekolah atau di kampung, secara hukum fiqh dalam madzhab Syafi'i tidaklah sah. Dalam Munis Al-Jalīs disebutkan :

(شررط العاقدين أربعة) الأول (إطلاق التصرف) هو البالغ العاقل الحر غير المحجور عليه بسفه أو فلس إن كان يريد التصرف في أعيان ماله؛ فلا يصح تصرف صبي و لو مراهقا

" Syarat-syarat dua orang yg ber-akad ada 4; Pertama ithlāq tashorruf; baligh, berakal, merdeka, tidak di-hajr karena safah atau bangkrut. Maka tidak saha jual beli anak kecil meski sudah beranjak akan baligh."
[ Munis Al-Jalīs syarh Al-Yāqut An-Nafīs, Musthofa Ahmad Abdunnabi Abu Hamzah, (Mesir : Dār Tsamarāt Al-Ilm), cetakan pertama, tahun.1441 H, (1/491) ]

Berkata Imam Nawawi (w. 676 H) ;

كتاب البيع و شرطه الإيجاب ... و القبول ...

" (Kitab Jual Beli) Dan syaratnya adalah ijab ... dan qobul (shigoh)."
[ Minhajut Thalibin bi Hamisy Matn Manhaj At-Thullab, Imam An-Nawawi, (Surabaya : Toko Hidayah), hal.39 ]

Hanya saja hal ini sudah menjadi sesuatu yang bisa dibilang biasa. Maka solusi dalam madzhab, adalah dengan mengikuti pendapat madzhab yang lain yaitu keabsahan jual beli mu'āthōh (tanpa lafadz). Sebagaimana hal ini disampaikan Taqiyyuddin Al-Hishni (w.829 H), beliau berkata ;

قلت وَمِمَّا عَمت بِهِ الْبلوى بعثان الصغار لشراء الْحَوَائِج وأطردت فِيهِ الْعَادة فِي سَائِر الْبِلَاد وَقد تَدْعُو الضَّرُورَة إِلَى ذَلِك فَيَنْبَغِي إِلْحَاق ذَلِك بالمعاطاة إِذا كَانَ الحكم دائراً مَعَ الْعرف مَعَ أَن الْمُعْتَبر فِي ذَلِك التَّرَاضِي ليخرج بالصيغة عَن أكل مَال الْغَيْر بِالْبَاطِلِ فَإِنَّهَا دَالَّة على الرِّضَا فَإِذا وجد الْمَعْنى الَّذِي اشْترطت الصِّيغَة لأَجله فَيَنْبَغِي أَن يكون هُوَ الْمُعْتَمد بِشَرْط أَن يكون الْمَأْخُوذ يعدل الثّمن وَقد كَانَت المغيبات يبْعَثْنَ الْجَوَارِي والغلمان فِي زمن عمر بن الْخطاب رَضِي الله عَنهُ لشراء الْحَوَائِج فَلَا يُنكره وَكَذَا فِي زمن غَيره من السّلف وَالْخلف وَالله أعلم

" Aku katakan bahwa termasuk hal yang menjadi praktek di masyarakat adalah mereka menyuruh anak-anak kecil untuk membeli. Dan hal ini menjadi 'urf (kebiasaan) masyarakat di beberapa tempat, dan terkadang juga karena kondisi yang mendesak. Maka hendaknya ini diikutkan dalam hukum mu'āthōh, dan juga hukum ketika itu adalah apa yang berlaku di masyarakat. Meski yang mu'tabar dalam hal ini adalah saling ridho sehingga dengan adanya sighoh (lafadz jual beli) bisa menyelematkan dari memakan harta orang lain dengan cara batil karena shigot menunjukkan atas keridhoan. Maka jika ada faktor lain yg bisa menggantikan posisi shighot dalam menunjukkan ridho, selayaknya hal itu bisa menjadi mu'tamad. Dengan syarat kesesuaian harga barang yang dibeli. Dan dahulu para wanita di rumah menyuruh budak-budak kecil mereka untuk belanja di zaman Umar radhiyallahu anhu dan tidak diinkari. Demikian pula di zaman salaf dan kholaf. Wallahu A'lam."
[ Kifāyatul Akhyār, Taqiyyuddin Al-Hishniy, (Damaskus : Dār Al-Khoir), cetakan pertama, tahun 1994 M, hal.333 ]

KESIMPULAN
• Jual beli anak kecil dalam perkara yang murah seperti jajan atau makanan murah adalah sah, diikutkan dalam hukum mu'athoh (jual beli tanpa shighoh ijab qobul). Tapi yang utama tidak membiarkan anak kecil membeli sendiri, hendaknya wali atau orang dewasa menyertainya.

• Tidak sah jual beli anak kecil yang belum baligh untuk barang yang bernilai tinggi seperti seharga Rp 100.000 ke atas.

Wallahu Ta'ala A'lam wa Ahkam

Abu Hārits Al-Jawi

Kamis, 11 Maret 2021

,
Soal : 
Apakah orang yg keguguran juga masuk hukum nifas ?

Jawab :
Orang yg keguguran tetap berlaku baginya hukum nifas. Baik janin tersebut sudah berbentuk bayi atau masih gumpalan darah. Berkata Ibnu Hajar Al-Haitami (w.974 H) :

وَأَقَلُّ النِّفَاسِ وَهُوَ الدَّمُ الْخَارِجُ بَعْدَ فَرَاغِ جَمِيعِ الرَّحِمِ، وَإِنْ وَضَعَتْ عَلَقَةً أَوْ مُضْغَةً

" ( Dan batas minimal nifas ) yaitu darah yg keluar setelah kosongnya rahim walaupun yang keluar adalah masih segumpal darah atau segumpal daging."
[ Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj (1/412) ]

Berkata Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshori (w.926 H) :

 و نحو ولادة ) من إلقاء علقة أو مضغة و لو بلا بلل )

" -Dan termasuk sebab mandi besar- (Semisal melahirkan) dengan mengeluarkan segumpal darah atau daging meski tanpa cairan yg lain."
[ Tuhfatuth Thullab bisyarh Tahrir Tanqih Al-Lubab hal.9 ]

Wallahu Ta'ala A'lam

Abu Harits Al-Jawi

Rabu, 10 Maret 2021

,
Jual beli fudhūli/fadhūli adalah jual beli dengan harta orang lain tanpa seizin pemilik harta tersebut. Dalam madzhab jual beli fudhuli hukumnya haram. Dengan dalil hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam :

لا تبع ما ليس عندك

" Jangan kamu jual apa yang bukan milikmu."
[ HR. Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa'i, Ibnu Majah dan selainnya. Dishahihkan oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu' (9/259) ]

Dan alasan lain yang dikemukakan oleh Asy-Syirozi (w.476 H) beliau berkata :

ولأن مالا يملكه لا يقدر على تسليمه فهو كالطير في الهواء أو السمك في الماء.

" Dan karena apa yang tidak dia miliki dia tidak mampu untuk menyerahkannya sebagaimana (jual) burung di langit atau ikan dalam air."
[ Al-Muhadzdzab, Abu Ishaq Asy-Syirozi, (Darul Kutub Al-Ilmiyyah), (2/13) ]

Dan juga termasuk rukun jual beli adalah wilayatul 'aqid (hak transaksi yang dimiliki peng-akad). Dan hak ini bisa berupa izin secara lisan, atau izin secara syariat seperti hak transaksi yang dimiliki oleh wali dari harta anak kecil. Jika tidak ada wilayatul 'aqid maka tidak sah jual belinya.

Adapun hadits Hakim ibn Huzām atau 'Urwah Al-Bāriqi yang mengkisahkan bahwa dia diberi 1 dinar untuk membeli 1 kambing ternyata dia membeli 2 kambing kemudian satunya dijual dengan harga 1 dinar sehingga dia kembali dengan 1 kambing dan 1 dinar. Maka ada beberapa hujjah :

1. Hadits Hakim ibn Huzam adalah dhoif. Berkata Imam Nawawi (w.676 H)

أنه حديث ضعيف أما إسناد أبي داود فيه ففيه نسخ مجهول و أما إسناد الترمذي ففيه انقطاع بين حديث ابن أبي ثابت و حكيم بن حزام

" Bahwasanya hadits ini dhoif; adapun sanad riwayat Abu Dawud maka ada perawi Naskh yang majhul, adapun riwayat Tirmidzi maka sanadnya terputus; antara Ibn Abi Tsabit dan Hakim ibn Huzam."
[ Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, Imam An-Nawawi, ( Darul Fikr ), tanpa tahun, (2/259) ]

2. Adapun hadits Urwah Al-Bariqi maka haditsnya shahih, akan tetapi maksudnya adalah sahabat tadi menjadi wakil Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bukan jual beli fudhuli. Yang menunjukkan hal itu, bahwa madzhab yang berpendapat bolehnya jual beli fudhuli mengatakan tidak boleh menyerahkan barang untuk dijual kecuali dengan izin pemiliknya; sedangkan Urwah Al-Bariqi tadi menyerahkan kambing yang kedua untuk dijual kembali sebelum meminta izin kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Maka disini ada kontradiksi jika kita biarkan maknanya adalah fudhuli, maka yang dimaksud adalah wakil.
[ Lihat Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, Imam An-Nawawi, ( Darul Fikr ), tanpa tahun, (2/259) ]

CONTOH PRAKTEK FUDHULI

• Transaksi fudhuli terbagi menjadi 2 :

1. Menjual Fudhūli (شراء الفضولي)
Yaitu seseorang menjual barang yang dia tidak punya hak izin untuk menjualkan barang tersebut.

Contoh Praktis :

• Ada dua pedagang, salah satu pedagang pergi sebentar meninggalkan kiosnya, tanpa menyampaikan izin kepada temannya untuk bertransaksi. Kadang hanya mengatakan, "titip toko ya", atau yang semacamnya. Maka ketika ada yang ingin membeli barang dari toko orang yang sedang pergi tadi, di teman tidak boleh bertransaksi / menjuali pembeli tersebut. Kecuali pemilik toko memberikan izin secara lisan kepadanya seperti dengan berkata, "nanti kalau ada yang beli tolong jualin ya". Kalau hanya titip toko saja bukanalah izin. Maka transaksi seperti ini adalah transaksi menjual fudhuli.

2. Membeli Fudhuli (بيع الفضولي)
Yaitu seseorang membeli dengan harta orang lain tanpa izin dari pemilik harta tersebut.

Contoh Praktis :

• Si A dititipi uang oleh si B untuk membeli 1ekor kambing, kemudian ternyata si B membeli 2 ekor kambing tanpa izin dahulu kepada si A karena melihat di pasar harganya sedang murah. Maka transaksi semacam ini tidak saha karena ada unsur membeli fudhuli.

• Si A berangkat ke pasar dan melihat ada buka yang sedang dicari-cari oleh si B. Maka si A berinisiatif membelikan untuk si B dengan hutang atau dengan uangnya sendiri. Maka ini juga praktek fudhuli (dengan catatan berikut).

Catatan : Dalam contoh kedua ini, jika si B ridho dan menyetujui apa yang dilakukan si A, maka si A berhak meminta uang biaya kepada si B. Jika tidak setuju, maka biaya berada pada tanggungan si A.

• Dalam pembahasan ini ada juga bentuk yang mirip dengan fudhuli. Yaitu berhutang tanpa izin untuk membeli kebutuhan pribadi dengan niat nanti akan diganti. Jual beli seperti ini sah, akan tetapi si penghutang berdosa.

Contoh Praktis :

• Si A menitipkan uang kepada si B untuk membeli baju. Ketika sampai di pasar, si B melihat baju yang dia sukai, dan dia pun menggunakan sisa uang si A untuk membeli baju tersebut, dengan niatan nanti akan diganti. Tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada si A. Maka ini adalah ghoshob (menggunakan hak orang lain tanpa seizin pemilik).

• Pegawai diberikan uang oleh perusahaan untul belanja peralatan toko. Ketika sampai di pasar, dia menghutang sisa uang belanja dari perusahaan untuk membeli kebutuhan pribadi, tanpa izin dahulu. Dengan niatan nanti akan diganti.

SOLUSI

Jika terjadi transaksi fudhuli, maka solusinya ada dua :

1. Solusi dalam madzhab Syafi'i maka barang harus dikembalikan, begitu juga uangnya. Karena dalam madzhab praktek ini adalah jual beli yang tidak sah, baik diizinkan atau tidak oleh yang bersangkutan. Jika ada kerusakan barang, jika barang sudah berada di tangan pembeli maka wajib bagi pembeli untuk mengganti kerusakan. Karena kaidah mengatakan :

البيع قبل القبض من ضمان المشتري

"Jual beli setelah barang diterima, maka kerusakan ditanggung pembeli."

2. Solusi kedua adalah solusi di luar madzhab Syafi'i. Dimana dalam madzhab Hanbali praktek fudhuli sah dengan syarat izin dari orang yang dia menjual atau membelikan untuknya.

Wallahu Ta'ala A'lam.

Abu Harits Al-Jawi
Pengasuh Website abuharits.com

Selasa, 09 Maret 2021

,
Diantara rukun jual beli yang harus terwujudkan dalam transaksi adalah mengetahui barang yang ditransaksikan (العلم بالمبيع), karena jika tidak maka akan ada unsur ketidakpastian yang mengundang perselisihan, dan ini dilarang. Sebagaimana dalam hadits Abi Hurairah radhiyallahu anhu yang marfu' :

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الغَرَرِ

" Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang dari jual beli ghoror (ketidakpastian)."
[ HR. Tirmidzi (2/523), Bab Ma Ja`a fi Karohiyah Bai' Al-Ghoror ]

Ini adalah kaidah asal dalam jual beli. Akan tetapi ada beberapa kondisi yang dikecualikan; diantaranya adalah jual beli borongan. Dalam hadits Ibn Umar radhiyallahu anhuma yang marfu' disebutkan :

وَكُنَّا نَشْتَرِي الطَّعَامَ مِنَ الرُّكْبَانِ جِزَافًا، فَنَهَانَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى نَنْقُلَهُ مِنْ مَكَانِهِ

" Dan kami dahulu membeli makanan dari pedagang secara jizaf (taksir borongan) maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang kami menjualnya kembali hingga kami pindahkan dari tempat kulakannya."
[ HR. Muslim, Bab Buthlan Bai' Al-Mabi' Qobla Al-Qobdh (3/1161) ]

Berkata Imam Nawawi (w. 676 H) dalam menjelaskan jizaf :

وَهُوَ الْبَيْعُ بِلَا كَيْلٍ وَلَا وَزْنٍ وَلَا تَقْدِيرٍ وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ جَوَازُ بَيْعِ الصُّبْرَةِ جِزَافًا وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَأَصْحَابُهُ بَيْعُ الصُّبْرَةِ مِنَ الْحِنْطَةِ وَالتَّمْرِ وَغَيْرِهِمَا جِزَافًا صَحِيحٌ وَلَيْسَ بِحَرَامٍ

" Yaitu jual beli tanpa takaran, timbangan, dan perkiraan. Dan dalam hadits ini ada penjelasan akan kebolehan jual beli borongan dengan taksiran. Dan ini adalah madzhab Syafi'i. Berkata Imam Syafi'i dan ulama madzhab bahwa jual beli gandum dan kurma secara borongan dengan taksiran hukumnya sah dan tidak haram."
[ Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Al-Hajjaj, An-Nawawi, (Beirut : Dar Ihya At-Turots Al-Arabiy), cetakan III, tahun 1392 H, (10/169) ]

PERINCIAN

1. Jika diketahui jumlah atau ukuran barang yang dibeli seperti satu kwintal beras, atau satu hektar tanah, maka jelas jual beli ini sah secara mutlak meski total harga tidak diketahui, akan tetapi diketahui secara perincian. Seperti saya beli satu kwintal beras ini, per kilo Rp 10.000,- . Atau saya beli tanah satu hektar ini, per meter persegi seharga Rp 100.000,-. Berkata An-Nawawi :

إِذَا قَالَ: بِعْتُكَ صَاعًا مِنْ هَذِهِ الصُّبْرَةِ، فَلَهُ حَالَانِ. أَحَدُهُمَا: أَنْ يَعْلَمَا مَبْلَغَ صِيعَانِهَا فَالْعَقْدُ صَحِيحٌ قَطْعًا

" Jika seseorang berkata: saya jual satu sho' dari karung ini, maka ada 2 kondisi. Pertama, keduanya mengetahui jumlah barang dalam karung tersebut, maka jual belinya sah."
[ Roudhotut Thalibin, An-Nawawi, (Beirut : Al-Maktab Al-Islamiy), cetakan kedua, tahun 1412 H/ 1991 M, (3/362) ]

2. Jika jumlah atau ukuran barang yang dibeli tidak diketahui maka ada beberapa kondisi;

[ 2.1 ] Jumlah barang atau ukuran sesuai dengan taksiran harga rinci yang disampaikan di akad. Seperti pembeli menaksir beratnya adalah 1 kwintal dan dia beli beras dalam karung tersebut dengan harga per-kilo Rp 10.000, dan ketika ditimbang memang 1 kwintal. Maka jual beli ini sah. Berkata An-Nawawi :

و يصح بيع الصبرة المجهولة الصيعان كل صاع بدرهم 

" Dan sah jual beli karungan yang tidak diketahui beratnya; setiap satu sho' seharga satu dirham."
[ Minhajut Thalibin, An-Nawawi, (Darul Fikr), cetakan pertama, tahun 1425 H/ 2005 M, hal.95 ]

[ 2.2 ] Tidak mengetahui ukuran atau jumlah barang yang dibeli dan tanpa menyebutkan total harga, hanya perincian harga saja. Seperti saya beli beras dalam karung ini dengan harga per-kilo Rp 10.000 (dan dia menaksir kira-kira beratnya 1 kwintal), dan ketika ditimbang beratnya 3/4 kwintal. Maka pembeli membayar 3/4 x 10.000 dan jual belinya sah. Sebagaimana keumuman ucapan An-Nawawi di point 2.1 di atas.

[ 2.3 ] Tidak mengetahui jumlah atau ukuran barang, tapi menyebutkan harga secara total serta perincian. Maka jika jumlah barang sesuai dengan harga total, jual belinya sah. Jika kurang atau lebih maka tidak sah. Seperti seseorang membeli seluruh mangga di kebun ini seharga 500.000, perkilo-nya saya kasih harga 5.000. Dan ternyata mangga hanya terkumpul 90 kilo (berarti seharga 450.000) atau 120 kilo (berarti seharga 600.000). Maka jual beli tidak sah, kecuali mangga yang terkumpul memang 100 kilo yang berarti seharga 500.000 jika per-kilo 5.000 rupiah. Berkata Zakariya Al-Anshori (w.925 H) :

و بيع صبرة مجهولة الصيعان بمائة درهم كل صاع بدرهم إن خرجت مائة و إلا فلا يصح لتعذر الجمع بين جملة

" Dan jual beli karungan yang tidak diketahui ukurannya seharga 100 dirham dengan perincian per-sho' satu dirham; jika ternyata beratnya 100 sho' maka sah jika tidak maka tidak sah karena ketidaksesuaian antara total jumlah uang dan berat barang."
[ Fathul Wahhab, Zakariya Al-Anshori, (Darul Fikr), tahun 1414 H/ 1994 M, (1/188) ]

[ 2.4 ] Tidak mengetahui jumlah atau ukuran barang, tapi dia membeli dengan harga total saja, tanpa menyebut rincian. Seperti saya membeli seluruh mangga di kebun ini seharga 5 juta. Maka jual beli ini sah. Berkata Al-Khothib Asy-Syirbini (w.977 H) :

وَلَا يَضُرُّ الْجَهْلُ بِجُمْلَةِ الثَّمَنِ؛ لِأَنَّهُ مَعْلُومٌ بِالتَّفْصِيلِ وَالْغَرَرُ مُرْتَفِعٌ بِهِ كَمَا إذَا بَاعَ بِثَمَنٍ مُعَيَّنٍ جُزَافًا

" Dan tidak masalah total harga tidak diketahui, karena harga bisa diketahui dari perincian dan ghoror hilang dengannya; sebagaimana jika dia menjual borongan dengan harga total (tanpa rincian)."
[ Mughni Al-Muhtaj, Al-Khothib Asy-Syirbini, (Darul Kutub Al-Ilmiyah), cetakan pertama, tahun 1415 H/ 1994 M, (2/355) ]

CATATAN

• Jual beli borongan berlaku untuk barang yang satu jenis, bukan yang berbeda jenis atau campuran. Jika campuran maka wajib dipisahkan. Seperti beli tomat dan cabe yang ditanam dalam satu lahan secara borongan, maka tidak boleh karena jenisnya berbeda.

• Jual beli borongan ini dimakruhkan (makruh tanzih) dalam madzhab karena ada konsekuensi menyesal. Berkata Syamsuddin Ar-Romli (w.1004 H) :

وَيُكْرَهُ بَيْعُ الصُّبْرَةِ الْمَجْهُولَةِ لِأَنَّهُ يُوقِعُ فِي النَّدَمِ لِتَرَاكُمِ الصُّبْرَةِ بَعْضِهَا عَلَى بَعْضٍ

" Dan dimakruhkan jual beli borongan yang tidak diketahui ukurannya karena bisa membuat pembeli atau penjual kecewa karena adanya tumpukan yang tidak diketahui."
[ Nihayatul Muhtaj, Syamsuddin Ar-Romli, (Beirut : Darul Fikr), cetakan terakhir, tahun 1404 H/ 1984 M, (3/409) ]

Wallahu Ta'ala A'lam wa Ahkam


Abu Harits Al-Jawi
Khōdim Maktabah Abi Hārits

Senin, 08 Maret 2021

,
Demikian pula diharamkan menjualbelikan patung dan juga gambar makhluk bernyawa (manusia dan hewan), meskipun terbuat dari bahan yang mahal seperti emas. Karena hal ini tidak boleh dimanfaatkan secara syar'i meskipun ada sisi manfaat secara tabiat seperti untuk hiasan. Ini adalah mu'tamad dalam madzhab, dan pendapat yang lain dalam madzhab; sah jual belinya jika bahannya terbuat dari barang yang mahal. Dalilnya dalam hadits Aisyah bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يَوْمَ القِيَامَةِ يُعَذَّبُونَ، فَيُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ

" Sesungguhnya pembuat gambar-gambar ini akan diadzab pada hari kiamat dan dikatakan kepada mereka: hidupkan apa yang pernah kalian ciptakan."
[ HR. Bukhari, Bab At-Tijaroh fi ma Yukrohu Lubsuhu ]

Berkata Al-Khothib Asy-Syibrini :

َكَذَا الْأَصْنَامُ وَالصُّوَرُ وَإِنْ اُتُّخِذَتْ الْمَذْكُورَاتُ مِنْ نَقْدٍ إذْ لَا نَفْعَ بِهَا شَرْعًا

" Dan demikian pula (tidak sah jual beli) patung dan gambar-gambar meskipun terbuat dari emas atau perak karena tidak ada kemanfaatan secara syar'i."
[ Mughni Al-Muhtaj, (2/343) ]

An-Nawawi berkata :

َفِي صِحَّةِ بَيْعِهَا وَبَيْعِ الْأَصْنَامِ وَالصُّوَرِ الْمُتَّخَذَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْخَشَبِ وَغَيْرِهِمَا، وَجْهَانِ. الصَّحِيحُ: الْمَنْعُ. وَتَوَسَّطَ الْإِمَامُ، فَذَكَرَ الْإِمَامُ وَجْهًا ثَالِثًا اخْتَارَهُ هُوَ وَالْغَزَالِيُّ: أَنَّهُ إِنِ اتُّخِذَتْ مِنْ جَوْهَرٍ نَفِيسٍ، صَحَّ بَيْعُهَا. وَإِنِ اتُّخِذَتْ مِنْ خَشَبٍ وَنَحْوِهِ، فَلَا، وَالْمَذْهَبُ: الْمَنْعُ الْمُطْلَقُ

" Dan dalam masalah keabsahan jual beli alat musik, patung, dan gambar-gambar yang terbuat dari emas atau perak ada dua pendapat. Yang shahih adalah terlarang (dan pendapat lainnya adalah sah ,-edt), sedangkan Imam (Al-Haramain) mengambil jalan tengah dan menyebutkan pendapat ketiga dan beliau memilihnya dan juga ini adalah pendapat Al-Ghozali; jika terbuat dari bahan mahal maka sah, jika terbuat dari kayu atau semisalnya maka tidak sah. Dan (mu'tamad) madzhab; terlarang secara mutlak."
[ Roudhotut Thalibin, (3/354) ]

CATATAN

1. Tidak termasuk dalam kategori gambar yang terlarang untuk diperjualbelikan adalah foto. Karena foto bukanlah gambar, melainkan pantulan wujud yang diabadikan sebagaimana tidak diharamkannya video. Akan tetapi hanya saja jika terdapat unsur maksiat seperti aurot terbuka dan semisalnya maka dilarang karena unsur maksiatnya.

2. Gambar yang dilarang adalah gambar makhluk bernyawa; manusia dan hewan. Maka gambar pemandangan, buah, atau pohon tidak termasuk dalam pembahasan ini.

3. Tidak termasuk pembahasan ini jual beli patung yang digunakan untuk mainan anak-anak. Al-Khothib Asy-Syirbini mengatakan :

يُسْتَثْنَى مِنْ صُورَةِ الْحَيَوَانِ لُعَبُ الْبَنَاتِ فَلَا تَحْرُمُ كَمَا فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ

" Dan dikecualikan dari gambar hewan (juga patung atau boneka) mainan anak-anak maka tidak haram sebagaiamana yang disebutkan penulis (An-Nawawi) dalam Syarah Shahih Muslim."
[ Mughnil Muhtaj (4/408) ]

4. Jika gambar atau patung yang tidak menunjukkan kehidupan meskipun dia sebenarnya makhluk hidup, maka tidak mengapa. Berkata Al-Millibari :

و لا يحرم أيضا تصوير حيوان بلا رأس

" Dan tidak diharamkan menggambar hewan tanpa kepala."
[ Fathul Mu'in hal.22 ]

KESIMPULAN

1️. Jual beli patung manusia atau hewan adalah haram dan tidak sah, meski dengan alasan untuk hiasan, dan meski terbuat dari barang berharga.

2️. Jual beli gambar manusia atau hewan adalah terlarang, dan menjual jasanya pun terlarang. Maka diharamkan jasa lukis manusia atau hewan. Dan juga menjual lukisannya. Kecuali lukisan pemandangan atau selain manusia dan hewan.

3️. Foto tidak termasuk dalam hukum gambar, maka boleh menjual foto, atau jasa foto. Selama tidak ada unsur maksiat seperti tampaknya aurot. Termasuk dalam hal ini adalah jasa foto prewedding; karena karena ada unsur maksiat dimana keduanya masih bukan mahram, kecuali jika sudah menjadi suami istri. Juga jasa video adalah boleh.

4️. Jual mainan anak-anak meski berbentuk hewan atau manusia sempurna adalah sah; seperti mainan hewan. Dan juga diikutkan dalam hukum ini adalah menjual patung peraga untuk belajar ilmu kedokteran; karena memang dibutuhkan dan qiyas aula atas mainan anak-anak.

Wallahu Ta'ala A'lam wa Ahkam


Abu Harits Al-Jawi Asy-Syāfi'iy
Khōdim Maktabah Abi Harits Al-Jawi

___________
REFERENSI

1. Mughnil Muhtaj, Al-Khothib Asy-Syirbini, ( Daarul Kutub Al-Ilmiyah ), Cetakan Pertama, Tahun 1994 M

2. Roudhotut Tholibin wa 'Umadatul Muftin, An-Nawawi, (Beirut : Al-Maktab Al-Islamiy), Cetakan Kedua, Tahun 1412 H/1991 M

3. Fathul Mu’in, Zainuddin Al-Millibari, ( Jakarta : Daarul Kutub Al-Islamiyah ), Cetakan Pertama, Tahun 2010 M

Sabtu, 06 Maret 2021

,
Diantara syarat barang boleh yang diperjualbelikan adalah adanya kemanfaatan dari barang tersebut yang diperbolehkan secara syar'i. Berkata An-Nawawi (w.676 H):

الشرط الثاني أن يكون منتفعا به، فما لا نفع فيه ليس بمال فأخذ المال في مقابلته باطل

" Syarat kedua hendaknya barang memiliki kemanfaatan, maka sesuatu yang tidak memiliki manfaat bukanlah harta dan mengambil harta atasnya adalah batil."
[ Roudhotut Thalibin, (3/352) ]

Maka beberapa barang yang akan disebutkan berikut tidaklah sah untuk diperjualbelikan; karena tidak ada kemanfaatan secara syar'i.

1. ALAT MUSIK

Dalam madzhab semua alat musik haram untuk diperjualbelikan; bahkan diharamkan untul dipakai, disewakan, dan dipinjamkan.
Dalam hadits Abu Malik Al-Asy'ari radhiyallahu anhu secara marfu' :

لَيَكُونَنَّ فِي أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ...

" Akan datang dari ummatku kaum yang menghalalkan sutera, khomr, dan alat-alat musik..."
[ HR. Al-Baihaiqi dalam Sunan Kubro (10/373), Al-Bukhari dalam shahih secara mu'allaq ]

Berkata Imam Nawawi :

فلا يصح بيع ... آلة اللهو و قيل تصح الآلة إن عد رضاضها

" Dan tidak sah jual beli alat musik dan dikatakan (pendapat lemah) sah jika kalau dihancurkan bahan pembuatnya bernilai harta."
[ Minhajut Thalibin, hal.94 ]

Diantara contoh alat musik yang disebutkan oleh Zakariya Al-Anshori (w.925 H) :

كَطُنْبُورٍ وَمِزْمَارٍ

" Seperti dawai (bersenar) dan seruling."
[ Fathul Wahhab, (1/187) ]


• Kecuali duff (rebana), maka boleh diperjualbelikan karena manfaatnya dianggap secara syar'i, karena Rasulullah shallllahu alaihi wa sallam memperbolehkan bermain rebana. An-Nawawi berkata ketika menjelaskan hadita bermain rebana yang disaksikan Aisyah radhiyallah anha :

فَفِيهِ مَعَ قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا عِيدُنَا أَنَّ ضَرْبَ دُفِّ الْعَرَبِ مُبَاحٌ فِي يَوْمِ السُّرُورِ الظَّاهِرِ

" Dalam hadits ini bersama dengan ucapan beliau shallallahu alaihi wa sallam : ini hari raya kami. Bahwasanya bermain rebana Arab adalah boleh untuk hari-hari bergembira."
[ Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Al-Hajjaj, (6/183) ]

• Genderang perang juga boleh diperjualbelikan, karena kemanfaatannya diperbolehkan secara syar'i. Dan Syaikhuna Abu Hamzah Mushthofa Asy-Syafi'i juga memasukkan bedug ke dalam jenis genderang perang ini; karena bentuknya sama. Berkata Al-Mawardi (w.450 H) :

فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ إِلَّا طُبُولُ الْحَرْبِ، فَالْوَصِيَّةُ بِهِ جَائِزَةٌ، لِأَنَّ طَبْلَ الْحَرْبِ مُبَاحٌ

" Jika tidak ada miliknya kecuali genderang perang, maka wasiat dengannya boleh. Karena genderang perang mubah untuk dipergunakan."
[ Al-Hawi Al-Kabir (8/238) ]

KESIMPULAN

Dalam madzhab Syafi'i seluruh alat musik baik yang bersenar, tiup, atau yang dipukul semuanya tidak sah diperjualbelikan. Termasuk di dalamnya adalah gitar (baik akustik atau elektrik), biola, piano, gamelan, ketipung, ukulele, terompet, dan masih banyak lagi. 

Kecuali 2 jenis alat; rebana dan genderang perang. Dan dalam pendapat yang lemah, boleh diperjualbelikan dengan syarat bukan untuk dimainkan tapi dihancurkan dan dipakai untuk kebutuhan yang lain seperti kayu bakar.

Wallahu A'lam wa Ahkam

Abu Harits Al-Jawi
Khōdim Maktabah Abi Harits Al-Jawi

REFERENSI

1. Minhajut Tholibin wa Umdatul Mufti, An-Nawawi, (Darul Fikr), Cetakan Pertama, Tahun 1425 H/ 2005 M

2. Al-Hawi Al-Kabir, Abul Hasan Al-Mawardi, (Beirut : Darul Kutub Al-Ilmiyyah), Cetakan Pertama, Tahun 1419 H/1999 M

3. Roudhotut Tholibin wa 'Umadatul Muftin, An-Nawawi, (Beirut : Al-Maktab Al-Islamiy), Cetakan Kedua, Tahun 1412 H/1991 M

4. Fathul Wahhab bisyarhi Manhaj At-Thullab, Zakariya Al-Anshori, (Darul Fikr), Tahun 1414 H/ 1994 M

5. Al-Minhaj syarh Shahih Muslim ibn Al-Hajjaj, An-Nawawi, (Beirut : Darul Ihya At-Turots Al-Arobiy), Cetakan Kedua, Tahun 1392 H

6. As-Sunan Al-Kubro, Imam Al-Baihaqi, (Beirut : Darul Kutub Al-Ilmiyyah), Cetakan Ketiga, Tahun 1424 H/ 2003 M
,
Al-Qur'an merupakan kitab yang Allah Ta'ala turunkan yang paling agung dan mulia dari semua kitab yang Dia turunkan sebelumnya. Allah. Keutamaan dan keagungannya tidak diragukan lagi; berpuluh ayat dan hadits yang menunjukkan atas keutamaan Al-Qur'an. Cukuplah kemulian Al-Qur'an itu dilihat dari Allah Ta'ala sebagai pemberi wahyu yang kalam-Nya termaktub di dalamnya. Yang mana kalamullah adalah satu sifat Allah Ta'ala yang mulia, sehingga Nabi Musa alaihissalam pun dibanggakan dengan sebutan Kalimullah (yang diajak bicara oleh Allah Ta'ala). Kemudian Al-Qur'an turun ke dunia dengan perantara malaikat yang mulia, yang paling mulia dari semua malaikat; dialah Jibril alaihissalam. Dan dia turun kepada Nabi yang paling mulia diantara pada nabi yang lainnya, bahkan diantara semua manusia bahkan semua makhluk yang ada. Dan Al-Qur'an diturunkan pada bulan yang paling mulia diantara dua belas bulan yang ada; yaitu bulan Ramadhan. Bahkan Al-Qur'an bukan hanya memiliki kemulian pada dirinya, tetapi juga siapa saja yang perhatian dengannya akan mendapatkan kemuliaan pula. Cobalah renungkan firman Allah Ta'ala :

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
" Sesungguhnya Kami (Allah) telah menurunkan Al-Qur'an dan sungguh Kami yang akan menjaganya."
[ QS Al-Hijr : 9 ]

Berkata As-Sa'di dalam tafsirnya terhadap ayat ini :

أي في حال إنزاله و بعد إنزاله ففي حال إنزاله حافظون له من استراق كل شيطان رجيم و بعد إنزاله أودعه الله في قلب رسوله و استودعه فيها ثم في قلوب أمته
" Maksudnya ketika diturunkan dan setelah diturunkan. Ketika diturunkan Al-Qur'an dijaga dari pendengaran setan yang terkutuk. Dan Setelah diturunkan Allah letakkan Al-Qur'an dalam dada rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, kemudian Allah letakkan ke dalam dada-dada para umatnya."
[ Tafsir As-Sa'di ]

Jikalah begini adanya, maka berbahagialah wahai para penghafal Al-Qur'an. Karena engkau adalah orang-orang yang Allah pilih untuk turut menjaga kalam-Nya di dunia ini. Maka adakah yang lebih mulia melebihi seseorang yang di dalam dadanya ada kalamullah ?!

Sahabat yang mulia Abdullah ibn Mas'ud radhiyallahu anhu, telah memberikan wasiat kepada para penjaga Al-Qur'an. Dimana karena mereka adalah sesuatu yang istimewa maka beliau pun memberikan penjelasan bahwa keistimewaan ini harus juga terlihat dalm kesehariannya. Maka beliau berkata :

ينبغي لقارئ القرآن أن يعرف بليله إذا الناس نائمون وبنهاره إذا الناس مستيقظون وببكائه إذا الناس يضحكون وبصمته إذا الناس يخوضون وبخضوعه إذا الناس يختالون وبحزنه إذا الناس يفرحون
" Selayaknya bagi para pembaca Al-Qur'an dikenali dengan malam-malamnya ketika manusia terlelap tidur. Dengan ketika siang harinya ketika manusia terbangun. Dengan tangisannya ketika manusia tertawa. Dengan diamnya ketika manusia sibuk dengan pembiacaraanya. Dengan ketawadhuannya ketika manusia bersombong diri. Dengan kesedihannya ketika manusia bergembira."
[ Atsar ini disebutkan oleh Al-Qurthubi dalam Al-Jami' li Ahkamil Qur'an (Tafsir Al-Qurthubi), dan Ibnu Qudamah dalam Mukhtashor Minhaj Al-Qosidin ]

Berikut adalah penjelasan dari point-point nasehat dari sahabat yang mulia Ibn Mas'ud untuk pada penghafal Al-Qur'an ;

1. Hendaknya seorang penghafal Al-Qur'an memurojaah hafalannya dengan sholat malam. Diantara faedahnya adalah bacaan yang dimurojaah dengan sholat malam akan lebih mutqon dan kuat dalam ingatan dan hati. Allah Ta'ala berfirman :

إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا
" Sesungguhnya bangun malam itu lebih kuat dalam pijakan dan lebih teguh dalam perkataan."
[ QS Al-Muzzammil : 6 ]

Berkata Ibnu Katsir :
والمقصود أن قيام الليل هو أشد مواطأة بين القلب واللسان
" Maksudnya bahwa shalat malam itu (waktu) yang bisa fokus antara hati dan lisan."
[ Tafsir Ibnu Katsir ]

2. Hendaknya di siang hari para penghafal Al-Qur'an dikenali dengan sifat dan akhlak yang baik diantara manusia pada umumnya. Sebagaimana yang disebutkan oleh sayyidah Aisyah tentang akhlak Rasulullah shallallahu alaih wa sallam maka beliau menjawab :

كان خلقه القرآن
" Akhlak beliau adalah (pengamalan) dari Al-Qur'an."

3. Hendaknya para penghafal Al-Qur'an itu banyak menangis; karena dosa dan maksiat yang dia lakukan. Juga karena dia merasa kurang dalam mengabdi dan menghamba kepada Allah.

4. Hendaknya para penghafal Al-Qur'an banyak diam. Kalaupun berbicara dia tidak berbicara dengan doa seperti ghibah dan semisalnya. Karena tidak layak bercampur ayat-ayat Allah dan maksiat kepada Allah dalam satu lisan.

5. Hendaknya para penghafal Al-Qur'an itu bersikap tawadhu' dan rendah hati. Tidak sombong, angkuh, merasa tinggi dan istimewa dari manusia yang lainnya. Karena sombong adalah dosa  yang membuat Allah murka terhadap makhluk dari bangsa jin yang paling dimurkai yaitu iblis, dan makhluk dari bangsa manusia yaitu fir'aun.

6. Hendaknya para penghafal Al-Qur'an itu merasa sedih ketika manusia bergembira. Sedih dan khawatir kalau adzab Allah tiba-tiba turun sedangkan mereka dalam kondisi lalai. Khawatir kalau Allah wafatkan mereka dalam kondisi lupa terhadap Allah Ta'ala.

Wallahu Ta'ala A'lam wa Ahkam.

Jombang, 22 Rajab 1442 H
Abu Harits Al-Jawi

Jumat, 05 Maret 2021

,

Maksud dari serangga dan sejenisnya adalah hewan yang kecil yang secara umum tidak ada manfaat darinya; baik yang terbang atau melata. Maka dalam madzhab, hukum asal dari jual beli serangga adalah tidak sah karena ketiadaan manfaat. Berkata An-Nawawi :

فلا يصح بيع الحشرات

" Maka tidak sah jual beli serangga."
[ Minhajut Tholibin, hal.94 ]

Akan tetapi ada perincian yang perlu kita fahami dalam pembahasan jual beli serangga ini. Serangga terbagi menjadi tiga :

1. Serangga yang kemanfaatannya bersifat umum bagi satu jenis tertentu; manusia atau hewan lain. Maka tentu ini boleh untuk diperjualbelikan. Baik kemanfaatanya dari segi makanan atau pengobatan. Seperti lintah untuk bekam, lebah untuk madunya.

2. Serangga yang tidak ada kemanfaatannya sama sekali, bahkan mudhorot. Maka tentu tidak sah jual belinya. Seperti kecoa, kutu, laba-laba, dan lainnya.

3. Serangga yang manfaatnya hanya terkhusus bagi orang-orang tertentu saja. Semisal semut untuk penyakit diabetes, cacing untuk penyakit typus, dan semisalnya. Maka mu'tamad dalam madzhab jual beli serangga ini juga tidak sah.

Berkata Ar-Romli (w.1004 H) :

(فَلَا يَصِحُّ) (بَيْعُ الْحَشَرَاتِ) وَهِيَ صِغَارُ دَوَابِّ الْأَرْضِ كَفَأْرَةٍ وَخُنْفُسَاءَ وَحَيَّةٍ وَعَقْرَبٍ وَنَمْلٍ وَلَا عِبْرَةَ بِمَا يُذْكَرُ مِنْ مَنَافِعِهَا فِي الْخَوَاصِّ وَيُسْتَثْنَى نَحْوُ يَرْبُوعٍ وَضَبٍّ مِمَّا يُؤْكَلُ وَنَحْلٌ وَدُودُ قَزٍّ وَعَلَقٌ لِمَنْفَعَةِ امْتِصَاصِ الدَّمِ

" Maka tidak sah jual beli serangga; yaitu hewan kecil di tanah seperti tikus, kumbang, ular, kalajengking, dan semut; meskipun ada manfaat secara khusus hal itu tidak dianggap. Dan dikecualikan seperti jerboa (semacam kelinci gurun) dan dhob (biawak gurun) karena bisa dimakan, juga lebah, ulat sutera, dan juga lintah untuk menyedot darah (bekam)."
[ Nihayatul Muhtaj, Syamsuddin Ar-Romli (3/390) ]

Catatan : Jika jual beli serangga point ketiga tidak sah, maka ada solusi yang ditawarkan;

a. Dengan akad rof'ul yad 'anil ikhtishosh. Dan ini adalah solusi mu'tamad dalam madzhab.

b. Dengan mengambil satu pendapat dalam madzhab akan keabsahan jual beli serangga jenis ketiga. Berkata An-Nawawi :

و نقل أبو الحسن العبادي وجها آخر أنه يجوز بيع النمل في عسكر مكرم و هي المدينة المشهورة بخرسان لأنه يعالج به السكر

" Dan Abul Hasan Al-Abbadi menukil pendapat lain bahwa sah menjual semut di kota Askar Mukrom -sebuah kota di Khurosan- karena bisa mengobati diabetes."
[ Roudhotut Tholibin, (3/352) ]

MASALAH KONTEMPORER

1. Maka jual beli beberapa hewan yang digunakan untuk bahan obat-obat yang secara khusus mengobati beberapa penyakit tertentu, maka masuk dalam jenis jual beli serangga yang ketiga.

2. Sah jual beli serangga seperti jangkrik, ulat, dan kroto untuk pakan burung atau unggas; karena masuk dalam jual beli serangga jenis serangga yang kemanfaatannya kembali kepada jenis hewan (burung) secara umum.

3. Sah jual beli serangga untuk kebutuhan koleksi semacam kebun binatang; karena adanya kemanfaatan yang bersifat umum. Meskipun hewan tersebut secara dzatnya tidak ada manfaat; seperti laba-laba.

KESIMPULAN

Jual beli serangga secara umum tidak sah dalam madzhab Syafi'i; kecuali dalam beberapa macam serangga yang sudah disebutkan perinciannya.

Wallahu Ta'ala A'lam wa Ahkam

Mojokerto, 22 Rajab 1442 H
Abu Harits Al-Jawi

REFERENSI

1. Roudhotut Tholibin, An-Nawawi, (Beirut : Al-Maktab Al-Islamiy), Cetakan Kedua, Tahun 1412 H/ 1991 M

2. Minhajut Tholibin, An-Nawawi, (Darul Fikr), Cetakan Pertama, Tahun 1425 H/ 2005 M

3. Nihayatul Muhtaj, Syamsuddin Ar-Romli, (Beirut : Darul Fikr), Cetakan Terakhir, Tahun 1404 H/ 1984 M
,
Dalam praktek muamalah sehari-hari terkadang ada beberapa barang yang memang dibutuhkan akan tetapi secara hukum fiqh dia tidak sah untuk diperjualbelikan. Semisal karena barang itu adalah najis, tidak bermanfaat secara tabiat atau syariat. Semisal anjing untuk penjaga. Dalam fiqh Syafi'i terlarang memperjualbelikan anjing, sebagaimana dalam hadits marfu' yang shahih :

أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن ثمن الكلب
" Bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang dari harga (jual beli) anjing..." 
[ HR. Muslim ]

Akan tetapi kita tahu bahwa diperbolehkan memelihara anjing jika anjing tersebut digunakan untuk berburu, menjaga ternak, atau ladang. Dan ini disebut dengan anjing mu'allam (anjing yang sudah diajari). Allah Ta'ala berfirman :

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
" Dan mereka bertanya padamu apa saja yang halal bagi mereka. Katakanlah bahwa halal bagi kalian makanan yang baik dan apa saja yang kalian ajari dari anjing-anjing kalian dari apa yang Allah ajarkan kepada kalian. Maka makanlah dari buruan mereka untuk kalian dan sebutlah nama Allah atasnya. Dan bertaqwalah kepada Allah sungguh Allah Maha Cepat hitungan-Nya." 
[ QS Al-Maidah : 4 ]

Tentunya jika diperbolehkan untuk memakai anjing buruan yang diajari, maka orang akan butuh kepada anjing yang sudah diajari. Dan orang yang berhasil mengajari anjingnya untuk berburu secara tabiat tidak akan menyerahkan anjingnya yang terlatih begitu saja, tapi tentu dia akan menjualnya dengan harga yang pantas. Demikian pula halnya seperti pupuk dari kotoran hewan. Manusia membutuhkannya untuk tanaman, maka si pemilik kotoran yang sudah dia olah menjadi pupuk tidak akan menyerahkan secara cuma-cuma. Dia akan meminta ganti dengan harga yang pantas. Dan kita tahu, akad jual beli untuk barang-barang semacam ini adalah tidak sah secara syar'i. Lantas bagaimana solusinya ?

Maka solusi yang ditawarkan dalam madzhab Syafi'i adalah dengan menggunakan akad rof'ul yad 'anil ikhtishos ( رفع اليد عن الاختصاص ) atau bisa kita terjemahkan dengan melepas hak kuasa atas barang. Yaitu dengan tanpa menggunakan ucapan saya jual dan saya membelil, atau yang mengarah ke arah dua lafadz itu. Para fuqoha menyebutkan akad dalam transaksi ini dengan mengatakan misalnya ;
رفعت يدي لك عن هذا بألف
" Saya lepaskan hak saya pada barang ini kepadamu dengan harga sekian."

Atau bisa dengan lafadz yang semisal seperti : "gantilah barang ini dengan harga sekian." Dan juga lafadz yang lainnya. Dan perbedaan mendasar antara akad rof'ul yad 'anil ikhtishos dengan jual beli adalah pada lafadz yang dipakai.

Berkata Asy-Syarwani (w.1301 H) dalam hasyiah Tuhfatul Muhtaj :

وَالنَّجِسُ مَأْخُوذٌ بِحُكْمِ نَقْلِ الْيَدِ عَنْ الِاخْتِصَاصِ فَهُوَ غَيْرُ مَبِيعٍ، وَإِنْ قَابَلَهُ جَزْءٌ مِنْ الثَّمَنِ. اهـ.
" Dan najis dimiliki dengan hukum pindah tangan dari barang dan itu bukanlah transaksi jual beli, meski ada harga yang harus dibayar."
[ Tuhfatul Muhtaj wa Hasyiyah Asy-Syarwani wa Al-'Abbādi (4/236) ]

Berkata syaikhuna Abu Hamzah Mushthofā Asy-Syafi'iy dalam kitab beliau :

و اعلم أن النجس ليس بمال فلا يدخل تحت ملك الشخص أصلا و يسمى اختصاصا كالكلب و الخمر و السرجين و الماء المتنجس لكن يجوز رفع اليد عن الاختصاص بالمال كأن تقول : ارفع يدك لي عن هذا الكلب بألف درهم مثلا
" Dan ketahuilah bahwa najis bukanlah harta (secara syar'i) maka tidak dimiliki seseorang dan ini dinamakan ikhtishōs; seperti anjing, khomr, pupuk kotoran hewan, dan air yang bercampur najis. Akan tetapi boleh mengangkat tangan (hak kuasa) dari ikhtishōs tersebut dengan membayar. Seperti engkau mengatakan : " Lepaskanlah hak kuasamu dari anjing ini seharga 1000 dirham."
[ Mu'nisul Jalis Syarh Al-Yaqut An-Nafis, (I/494) ]

Wallahu Ta'ala A'lam wa Ahkam

Jombang, 21 Rajab 1442 H
Abu Harits Al-Jawi

Kamis, 04 Maret 2021

,

Go-Food adalah layanan yang diberikan Gojek kepada customer untuk membeli makanan. Dimana tukang ojek akan membelikan makanan untuk customer dengan memakai uangnya (hutang). Kemudian tukang ojek tersebut memberikan makanan kepada customer; dengan mengganti uang harga makanan tersebut, beserta uang upah untuk tukang ojeknya.

Perlu diingat, disini kata GO-FOOD hanyalah kata untuk mewakili layanan yang semisal. Ada layanan yang lain yang semisal seperti Grab Food, Go Mart dan lainnya.

Maka dari gambaran pemaparan di atas bisa kita tarik 2 akad yang terjadi antara customer dengan ojeknya;

1. Akad Wakalah bil Ujrah (Wakil Beli Dengan Upah)
Dimana tukang ojek bertindak sebagai wakil untuk membelikan makanan bagi customer dengan upah. Maka akad ini tidak masalah.

2. Akad Qordh (Hutang)
Dimana customer hutang dahulu kepada ojek untuk biaya makanan yang dibeli, kemudian uangnya akan diganti ketika sampai di tempat customer sebagaimana harga yang tertera di struk pembelian.

Dari dua gambaran akad di atas, jika dijalankan masing-masing maka sah-sah saja. Akan tetapi yang menjadi polemik adalah pembayaran jasa dan bayar hutang digabungkan dalam satu transaksi. Apakah diperbolehkan ?

TINJAUAN FIQH MADZHAB SYAFI'I

Dalam madzhab Syafi'i menggabungkan dua akad yang berbeda rukun atau ketentuan hukumnya adalah boleh. Berkata Imam Nawawi (w.676 H) :

ولو جمع في صفقة مختلفي الحكم كإجارة وبيع أو وسلم صحا في الأظهر ويوزع المسمى على قيمتهما

" Kalau seseorang menggabungkan dalam satu akad antara dua hal yang berbeda hukum seperti sewa dengan jual beli, atau sewa dengan hutang, kedua akadnya sah dalam pendapat yang paling tampak. Dan harga dibagi untuk masing-masing barang sesuai prosentase antara keduanya."
[ Minhajut Thalibin, An-Nawawi, hal.99 ]

Gambaran dari ucapan ini yaitu si A berkata kepada si B, "saya jual buku ini dan saya sewakan motor saya satu jam seharga 100 ribu", atau contoh kedua dia mengatakan, "saya sewakan motor ini satu jam dan saya jual kepadamu buku judul ... nanti saya berikan semuanya seharga 100 ribu."

Maka dalam madzhab, akad semacam ini sah; yaitu mengumpulkan 2 akad dalam 1 transaksi. Dan ini sebagaimana praktek Go-Food diatas, dimana customer menggabungkan akad wakil dengan upah dan hutang.

Kemudian, yang menjadi pertanyaan adalah hadits :

لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَ بَيْعٌ
" Tidak halal utang digabung jual beli."
[ HR. Abu Dawud, Bab Ar-Rojul Yabi'u ma Laisa 'Indahu (3/283) ]

Imam Al-Mawardi (w.450 H) menjelaskan hadits di atas, dengan berkata :

وَلَيْسَ هَذَا الْخَبَرُ مَحْمُولًا عَلَى ظَاهِرِهِ لِأَنَّ الْبَيْعَ بِانْفِرَادِهِ جَائِزٌ، وَالْقَرْضَ بِانْفِرَادِهِ جَائِزٌ وَاجْتِمَاعَهُمَا مَعًا مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ جَائِزٌ وَإِنَّمَا الْمُرَادُ بِالنَّهْيِ بَيْعٌ شُرِطَ فِيهِ قَرْضٌ. وَصُورَتُهُ: أَنْ يَقُولَ قَدْ بِعْتُكَ عَبْدِي هَذَا بِمِائَةٍ عَلَى أَنْ تُقْرِضَنِي مائة، وهذا بَيْعٌ بَاطِلٌ وَقَرْضٌ بَاطِلٌ

" Dan bukanlah makna dari hadits ini sebagaimana yang terlihat dari tekstualnya. Karena jual beli ketika sendiri sah, dan hutang ketika sendiri juga sah, dan mengumpulkan keduanya tanpa ada unsur pensyaratan juga sah. Akan tetapi yang terlarang dari hadits di atas adalah jika jual beli dengan syarat hutang. Contohnya; seseorang berkata, 'saya jual budak ini seharga 100 dengan syarat kamu beri hutang saya 100'. Maka transaksi keduanya tidak sah."
[ Al-Hawi Al-Kabir, Al-Mawardi (5/351) ]

Maka, maksud dari hadits tadi tidak boleh menggabungkan jual beli dan utang, yang mana diambil dari situ tidak boleh menggabungkan 2 akad dalam 1 transaksi; adalah jika ada persyaratan. Jika tidak ada persyaratan akad satu atas akad lainnya, maka tidak mengapa. Oleh karena transaksi go-food dimana menggabungkan akad wakalah bil ujroh dengan hutang adalah tidak masalah.

Disisi lain, yang menunjukkan bahwa hutang dari tukang ojek kepada customer tadi adalah bukan syarat; ketika customer punya go-pay dia tidak perlu berhutang kepada tukang ojeknya. Karena dia langsung mentransfer saldo go-pay nya kepada pihak pengojek. Disini kita tahu, bahwa hutang disini bukan syarat tapi hanya efek samping dan bentuk kemudahan layanan saja.

KESIMPULAN

Bahwa berdasarkan tinjauan fiqh dalam kaidah madzhab Syafi'i, transaksi Go-Food atau yang semisal dengannya adalah sah dan halal.

Wallahu Ta'ala A'lam wa Ahkam


Abu Harits Al-Jawi


REFERENSI

1. Minhajut Tholibin wa 'Umdatul Muftin, An-Nawawi, (Darul Fikr), Cetakan Pertama, Tahun 1425 H/ 2005 M

2. Al-Hawi Al-Kabir, Abul Hasan Al-Mawardi, (Beirut : Darul Kutub Al-Ilmiyyah), Cetakan Pertama, Tahun 1419 H/ 1999 M

3. Sunan Abi Dawud, Sulaiman ibn Al-Asy'ats As-Sijistani, (Beirut : Al-Maktabah Al-'Ashriyyah), tanpa tahun

Rabu, 03 Maret 2021

,

Pertanyaan :

Sy mau bertanya. Tentang hukum menggambar makhluk hidup. Krn sy lihat byk sekali jaman skrg bertebaran seperti di IG. Poster2 dakwah yg terdapat gambar kartun manusia yg lucu seperti di xxx (nama akun ig), atau ada jg yg tidak ada wajahnya seperti di xxx (nama akun ig). Sebenarnya baiknya seperti apa nggih?

Jawaban :

بسم الله و الصلاة و السلام على رسول الله و على آله و صحبه و من والاه و بعد. 

Yang perlu kita fahami dahulu, bahwasanya hukum asal menggambar makhluk yang bernyawa yaitu manusia dan hewan, adalah terlarang. Dalam hadits disebutkan :

إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يَوْمَ القِيَامَةِ يُعَذَّبُونَ، فَيُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ
“ Sesungguhnya pembuat gambar-gambar ini pada hari kiamat akan di adzab, maka akan dikatakan kepada mereka : hidupkan apa yang sudah kalian ciptakan.”[1]

Maka dimaknai dari sabda Nabi di atas : ‘hidupkan’, berarti gambar itu terbatas pada apa yang dahulu memang pernah hidup di dunia atau yang menyerupai apa yang hidup di dunia. Dan juga dalam asbabul wurud hadits-hadits ini berkenaan dengan gambar-gambar hewan. Akan tetapi ada beberapa kondisi dimana hal tersebut diperbolehkan dalam menggambar atau memakainya dengan beberapa rincian :

Gambar tersebut dipergunakan untuk mainan atau pendidikan anak-anak, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu anha bahwasanya ketika Nabi pulang dari peperangan, dan melihat Aisyah radhiyallahu anhu bermain boneka dengan teman-temannya maka beliau apa ini wahai Aisyah ? Maka Aisyah menjawab, “Itu adalah anak-anak perempuanku.” Kemudian dalam hadits disebutkan :

وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهُ جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ
“ Dan beliau melihat kuda yang memiliki 2 sayap yang terbuat dari kain.”[2]

Dan disitu beliau tidak mengingkari dan membiarkan saja. Dan berkata Al-Khathib Asy-Syirbini ;

يُسْتَثْنَى مِنْ صُورَةِ الْحَيَوَانِ لُعَبُ الْبَنَاتِ فَلَا تَحْرُمُ كَمَا فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ لِلْمُصَنِّفِ تَبَعًا لِلْقَاضِي عِيَاضٍ فِي نَقْلِهِ ذَلِكَ عَنْ الْعُلَمَاءِ: «وَلِأَنَّ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا - كَانَتْ تَلْعَبُ بِهَا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -» رَوَاهُ مُسْلِمٌ
“ Dan dikecualikan dari gambar hewan adalah mainan untuk anak-anak perempuan maka tidak diharamkan sebagaimana dalam syarah Muslim karya penulis (baca; Imam Nawawi) mengikuti Qodhi Iyadh dalam menukil hal tersebut dari para ulama. Dan juga karena Aisyah radhiyallahu anha bermain dengan hal tersebut di sisi Rasulullah .”[3]

Boleh menggambar makhluk bernyawa secara mutlak dengan syarat dihilangkan dari anggota tubuhnya apa yang dia tidak bisa hidup dengannya, seperti dengan menghilangkan kepalanya. Berkata Imam Nawawi :

ويجوز ما على أرض وبساط ومخدة ومقطوع الرأس وصورة شجر ويحرم تصوير حيوان

“ Dan boleh gambar yang ada di atas lantai, karpet, bantal guling, yang terpotong kepalanya, dan pepohonan. Dan haram menggambar hewan.”[4]
Al-Millibari mengatakan ;

و لا يحرم أيضا تصوير حيوان بلا رأس

“ Dan tidak diharamkan pula menggambar hewan dengan tanpa kepala.”[5]

Jika gambar tersebut dalam hal-hal yang tidak diperhatikan dan dipajang (banyak dilihat) seperti pada keset, karpet, panci, dan bukan pada hal yang banyak diperhatikan seperti bantal sofa, hiasan dinding, gorden, baju, dan semisalnya. Maka boleh memakainya dan bukan menggambarnya. Adapun menggambarnya tetap terlarang. Berkata Imam Nawawi :

ومن المنكر فراش حرير وصورة وحيوان على سقف أو جدار أو وسادة أو ستر أو ثوب ملبوس
“ Dan termasuk kemunkaran adalah permadani dari sutra, juga gambar hewan pada atap, tembok, bantal sofa, gorden, atau pakaian.”[6]

Berkata Khothib Asy-Syirbini :

(وَيَجُوزُ مَا) أَيْ صُورَةُ حَيَوَانٍ كَائِنَةٌ (عَلَى أَرْضٍ وَبِسَاطٍ) يُوطَأُ (وَمِخَدَّةٍ) يُتَّكَأُ عَلَيْهَا وَآنِيَةٍ تُمْتَهَنُ الصُّوَرُ بِاسْتِعْمَالِهَا كَطَبَقٍ وَخِوَانٍ وَقَصْعَةٍ، وَالضَّابِطُ فِي ذَلِكَ إنْ كَانَتْ الصُّورَةُ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا يُهَانُ جَازَ وَإِلَّا فَلَا، لِمَا رَوَاهُ مُسْلِمٌ عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -: «أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ وَقَدْ سَتَرَتْ عَلَى صُفَّةٍ لَهَا سِتْرًا فِيهِ الْخَيْلُ ذَوَاتُ الْأَجْنِحَةِ فَأَمَرَ بِنَزْعِهَا» وَفِي رِوَايَةٍ: «قَطَعْنَا مِنْهَا وِسَادَةً أَوْ وِسَادَتَيْنِ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَرْتَفِقُ بِهِمَا»

“ Dan boleh gambar hewan yang ada pada lantai, karpet, yang diinjak, bantal guling yang diduduki, juga wadah-wadah yang gambar tersebut diremehkan dan tak diperhatikan untuk dipergunakannya seperti piring, meja makan, nampan. Dan kaidahnya bahwa jika gambar berada pada sesuatu yang diremehkan dan tak diperhatikan maka boleh. Sebagaimana yang diriwayatkan Muslim dari Aisyah radhiyallahu anha, “Bahwa Nabi datang dari safar kemudian melihat dan beliau menutupi kamar Nabi dengan gorden yang bergambar kuda bersayap, maka beliau memerintahkan untuk melepasnya.” Dan dalam satu riwayat, “Maka kami pun memotongnya menjadi satu atau dua bantal dan Nabi duduk bersandar atasnya.”[7]

Maka dari penjelasan di atas ada beberapa kesimpulan yang bisa kita ambil jika dikiaskan dalam beberapa permasalahan kontemporer hari ini. Diantaranya ;

1. Bahwa diharamkan menggambar manusia atau hewan baik dengan aplikasi (bukan foto) atau dengan tangan yang, baik kartun atau bukan, lengkap dengan seluruh anggota tubuhnya.

2. Boleh menggambar kartun manusia atau hewan dengan syarat dihilangkan bagian tubuhnya yang dia tidak bisa hidup dengannya; seperti dengan memotong kepalanya (bukan hanya menghapus wajah).

3. Boleh menggambar kartun manusia atau hewan dengan sempurna untuk permainan dan pendidikan anak-anak.

Demikian pemaparan dari apa yang disampaikan oleh para ulama dalam madzhab Syafi’iyyah. Semoga bisa menjawab. Wallahu Ta’ala A’lam.

Dijawab oleh Abu Harits Al-Jawi.


[1] . HR. Bukhari dari Aisyah radhiyallahu anha, Bab At-Tijarah fi ma Yukrahu Lubsuhu

[2] . HR. Abu Dawud, Bab Al-Lu’ab lil Banat

[3] . Mughnil Muhtaj, Al-Khothib Asy-Syirbini, ( Daarul Kutub Al-Ilmiyah ), cet. Pertama, tahun. 1994, Fashl; fil Walimah (4/408)

[4] . Minhajut Thalibin, An-Nawawi, ( Surabaya : Toko Kitab Al-Hidayah ), Kitab Ash-Shadaq Fashl fil Walimah, hal. 92

[5] . Fathul Mu’in, Zainuddin Al-Millibari, ( Jakarta : Daarul Kutub Al-Islamiyah ), cet. Pertama, tahun. 2010, Fashul fish Shodaq hal. 222

[6] . Minhajut Thalibin, An-Nawawi, ( Surabaya : Toko Kitab Al-Hidayah ), Kitab Ash-Shadaq Fashl fil Walimah, hal. 92

[7] . Mughnil Muhtaj, Al-Khothib Asy-Syirbini, ( Daarul Kutub Al-Ilmiyah ), cet. Pertama, tahun. 1994, Fashl; fil Walimah (4/408)