Senin, 31 Juli 2023

,
Salah satu pembahasan khusus dalam referensi fikih adalah pembahasan musābaqoh atau sibāq atau sabq. Yang inti dari pembahasan ini adalah perlombaan. 

Sejatinya, pembahasan ini sudah lama dibahas oleh para ulama, namun yang pertama kali membuat pembahasan tersendiri dalam bab fikih dan mengumpulkannya menjadi satu adalah Imam Syafii. Oleh karenanya para ulama menyampaikan, pembahasan fiqh perlombaan ini menjadi salah satu pembaharuan ilmu oleh Imam Syafii. 

Landasan dalam hal ini adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam;

لا سَبَقَ إلا في خُفٍّ أو في حَافِرٍ أو نَصْلٍ
"Tidak ada perlombaan kecuali dalam khuff atau kuku atau panah."
[ HR.Abu Dawud, Turmudzi, dan lainnya ]

Khuff adalah onta karena kakinya seperti memakai khuff. Diqiyaskan kepadanya juga gajah. Sedangkan hāfir adalah kuda, juga keledai atau bighol (peranakan kuda & keledai), yang berkuku belah. Sedangkan nashl adalah panah.

Secara singkat, pembagian fikih dalam masalah ini terbagi menjadi dua bab pembahasan;

Pertama, perlombaan dengan adanya taruhan. Maka ini terbagi menjadi tiga jenis;

a. Taruhan yang dikeluarkan oleh salah satu peserta lomba, sedang peserta lain tidak mengeluarkan. Jika yang mengeluarkan taruhan menang, maka uangnya kembali untuk dirinya sendiri. Jika ia kalah, maka uangnya untuk si pemenang. Maka ini diperbolehkan dengan syarat; hanya dalam perlombaan yang mendukung untuk jihad seperti panahan, berkuda, menembak, berenang, dan semisalnya. 

b. Taruhan dikeluarkan oleh semua peserta lomba, dan pemenang berhak mengambil semua hasil taruhan lawan. Maka ini dilarang secara mutlak. 

c. Taruhan dikeluarkan oleh pihak luar peserta. Maka ini pun diperbolehkan, dan yang tampak dalam ibarat fuqoha ini juga hanya boleh dalam hal-hal yang sifatnya bermanfaat dalam peperangan. Seperti ibarat Syaikhul Islam dalam Fathul Wahhab Syarh Manhaj Ath-Thullab (2/240);

وَإِنَّمَا صَحَّ شَرْطُهُ مِنْ غَيْرِهِمَا لِمَا فِيهِ مِنْ التَّحْرِيضِ عَلَى تَعَلُّمِ الْفُرُوسِيَّةِ وَغَيْرِهَا وَبَذْلِ عِوَضٍ فِي طَاعَةٍ 
"Dan sah syarat taruhan dari selain kedua peserta lomba karena ada unsur motivasi untuk mempelajari berkuda dan lainnya, serta mengeluarkan uang dalam ranah ketaatan."

Hal senada juga disebutkan oleh para syurrōh serta muhasysyīn kitab-kitab fikih. 

Kendati demikian, jika lomba itu sifatnya hiburan yang boleh, maka yang tampak bagi kami diperbolehkan selama hadiah berasal dari pihak luar peserta. Seperti dari sponsor perusahaan atau perseorangan. Karena hukum asal lomba adalah boleh karena masuk kategori adat. Dan beberapa guru kami menyampaikan, bisa akadnya dianggap sebagai akad ji'ālah (sayembara). 

Kedua, perlombaan tanpa adanya hadiah atau uang pertaruhan. Maka hukum asalnya adalah boleh, karena dia termasuk adat. Dan kaidah fikih mengatakan, hukum asal adat adalah boleh hingga ada dalil yang melarangnya.

Tambahan

1. Ada beberapa hal perlombaan yang tidak boleh secara mutlak; baik dengan hadiah atau tanpa hadiah. Seperti lomba sabung hewan atau balap anjing. Khothib Syirbini dalam Al-Iqna' (2/596) menyatakan;

فَلَا تجوز على الْكلاب ومهارشة الديكة ومناطحة الكباش لَا بعوض وَلَا بِغَيْرِهِ لِأَن فعل ذَلِك سفه
"Maka tidak boleh balap anjing, menyabung ayam, menyabung domba, baik dengan hadiah atau tanpa hadiah; karena semua ini perbuatan bodoh."

2. Selayaknya lomba yang bersifat Islami (seperti lomba Al-Quran, hadits, atau yang semisal) diperbolehkan dengan hadiah dari pihak luar peserta (sponsor). Karena di dalamnya ada unsur mengeluarkan uang dalam ketaatan (badzlul 'iwadh fi thō'ah) sebagaimana ta'lil (alasan) dari para fuqoha ketika uang hadiah berasal dari luar peserta lomba. 

Wallahu Ta'ala A'lam

Jombang, 31 Juli 2023
Abu Harits Al-Jawi

Kamis, 20 Juli 2023

,


 

KHUTBAH PERTAMA

إن الحمد لله، نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل هادي له، وأشهد أن لا إله إلا لله، وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون ﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً﴾ ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً﴾

اللهم صل و سلم على نبينا و حبيبنا محمد و على آله و صحبه و من سار على نهجه إلى يوم الدين، أما بعد

 

Kembali kita memuji dan memuja Allah Ta’ala, Rabb yang Maha Pengampun dan Pemaaf atas segala macam dosa. Yang begitu menyayangi makhluk dengan kasih sayang yang begitu besar, sehingga pada saat ini Allah Ta’ala juga masih menyayangi kita dengan memberikan hidayah yang memudahkan langkah kita kembali beribadah kepada Allah Ta’ala. Shalawat serta salam senantiasa kita haturkan kepada baginda yang mulia, Rasulillah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, yang menjadi tauladan kita dalam hidup dan beribadah kepada Allah Ta’ala.

 

Ma’asyiral muslimin jamaah sidang jum’at rahimani wa rahimakumullah

Sebagai seorang muslim, menjadi satu keyakinan dan kepercayaan yang hendaknya kita tanamkan dalam hati. Bahwa Allah Ta’ala adalah pencipta dan penguasa waktu yang bergulir dalam kehidupan ini. Baik hitungan tahun, bulan, hari, jam, menit, serta detik dalam kehidupan kita adalah ciptaan Allah Ta’ala. Oleh karenanya dalam hadits qudsi, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda; Allah Ta’al berfirman;

يؤذيني ابن آدم يقول يا خيبة الدهر! فلا يقولن أحدكم يا خيبة الدهر فإني أنا الدهر أقلب ليله و نهاره فإذا شئت قبضتهما

“Telah menyakiti-Ku anak Adam dengan dia berkata; Duhai bulan yang membuat sial ! Maka janganlah salah seorang dari kalian mengatakan; Wahai bulan yang membuat sial ! Sesungguhnya Aku adalah waktu itu sendiri. Aku mempergulirkan waktu siang dan malam, maka jika Aku berkehendak Aku akan berhentikan keduanya.”

[HR.Muslim (2246) ]

 

Berkata Al-Qishtilani (w.923 H) dalam Irsyadus Sari li Syarh Shahih Bukhari (9/107);

أنا الدهر أي خالقه أو المدبر للأمور أو مقلب الدهر

“((Aku adalah waktu)) maksudnya adalah Allah pencipta waktu, atau pengatur segala macam urusan di sepanjang waktu, atau yang mempergulirkan waktu.”

 

Sedangkan Al-Khoththobiy (w.388 H) dalam A’lamul Hadits Syarah Shahih Bukhari (3/1904) berkata;

فإذا سب ابن آدم الدهر من أجل أنه فاعل هذه الأمور عاد سبه إلي لأني فاعلها و إنما الدهر زمان و وقت جعلت ظرفا لمواقع الأمور

“Maka jika manusia mencela waktu karena waktu yang melakukan peristiwa-peristiwa ini, celaan tersebut kembali kepada-Ku (yaitu Allah) karena Aku (Allah) yang mengaturnya. Sesungguhnya massa hanyalah jaman dan waktu yang Aku (Allah) jadikan sebagai pertanda atas kejadian-kejadian dan peristiwa.”

 

An-Nawawi (w.676 H) dalam Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Al-Hajjaj (15/3) mengatakan;

و سببه أن العرب كان شأنها أن تسب الدهر عند النوازل و الحوادث و المصائب النازلة بها من موت أو هرم أو تلف مال أو غير ذلك

“Sebab hadits ini, bahwa dahulu masyarakat Arab biasa mencela waktu ketika terjadi peristiwa ataupun musibah semacam kematian, tua, hilangnya harta, atau yang semisal itu.”

 

Maka sebagai seorang muslim, dilarang bagi kita untuk menisbatkan kesialan kepada satu waktu tertentu, seperti bulan atau tahun atau hari. Seperti bulan yang kita berada di dalamnya saat ini, yaitu bulan Suro. Tidak boleh kita menganggap bulan Suro adalah bulan sial membawa petaka. Sehingga kita tidak boleh mengadakan hajatan, tidak boleh pindah rumah, atau berdiam diri di rumah di malam satu Suro karena menganggap keluar rumah di malam satu Suro membawa sial. Hal ini karena dua alasan;

 

Pertama, dilarang menisbatkan kesialan yang terjadi kepada satu bulan tertentu. Sebagaimana sudah jelas dalam hadits yang kita baca di atas, beserta penjelasan dari para ulama akan makna hadits tersebut.

 

Kedua, dilarang menisbatkan kesialan kepada sesuatu yang tidak ada landasan syar’i, yang tidak memiliki dalil sama sekali dari Al-Quran ataupun hadits. Oleh karenanya Nabi shallallallahu alaihi wa sallam mengatakan;

((لا طيرة و خيرها الفأل)) قالوا: و ما الفأل ؟ قال ((الكلمة الصالحة يسمعها أحدكم))

“((Tidak ada yang namanya tiyaroh, sebaik-baiknya adalah al-fa’l)) Para sahabat bertanya: Apakah fa’l itu ? Beliau menjawab ((Kata-kata yang baik yang kalian mendengarnya)).”

[ HR.Bukhari (5754) dan Muslim (2223) ]

 

Berkata An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim (14/218-219);

التيطر التشاءم و أصله الشيء المكروه من قول أو فعل أو مرئي و كانوا يتطيرون بالسوانح و البوارح فينفرون الظباء و الطيور فإن أخذت ذات اليمين تبركوا به و مضوا في سفرهم و حوائجهم و إن أخذت ذات الشمال رجعوا عن سفرهم و حاجاتهم و تشاءموا بها ... فنفى الشرع ذلك

“Tathoyyur adalah menganggap sial dan asalnya adalah sesuatu yang dibenci dari ucapan, perbuatan, atau apa yang dipandang. Dahulu masyarakat Arab menganggap sial dengan berlalunya hewan ke arah kanan atau ke arah kiri. Dimana mereka akan melepaskan kambing gunung atau burung, jika berlalu ke arah kanan maka mereka menganggap ada keberkahan dan melanjutkan safarnya atau hajatnya. Jika berlalu ke arah kiri maka mereka menganggap sial dan tidak melanjutkan safar atau hajatnya … Oleh karenanya syariat menghapus kepercayaan semacam ini.”

 

أقول قولي هذا و أستغفر الله لي و لكم و لسائر المسلمين و المسلمات و المؤمنين و المؤمنات و استغفروه إنه هو الغفور الرحيم

 

KHUTBAH KEDUA

الحمد لله الذي أرسل رسوله بالهدى و دين الحق ليظهر له على الدين كله و كفى بالله شهيدا، أشهد أن لا إلـه إلا الله وحده لا شريك له و أشهد أن محمدا عبده و رسوله. صلوات الله و سلامه عليه و على آله و صحبه أجمعين. فيا عباد الله اتقوا ربكم و تزودوا فإن خير الزاد التقوى. 

Ma’asyiral muslimin jamaah sidang jum’at rahimani wa rahimakumullah

Dari penjelasan dan pemaparan pada khutbah pertama tadi, maka jelaslah bagi kita bahwa menyakini bulan-bulan tertentu (termasuk bulan Suro) adalah bulan sial, merupakan keyakinan yang salah dan tidak diperkenankan dalam Islam. Maka hendaknya kita hilangkan keyakinan semcam ini. Dan sebaliknya, seorang muslim hendaknya memiliki sikap optimis dalam menjalankan kehidupannya. Dalam mengerjakan satu hal, hendaknya dia selalu berfikir positif dan selalu meminta pertolongan dan perlindungan Allah Ta’ala. Adapun jika nantinya memang ada musibah atau hal yang kurang baik terjadi, maka kita juga kembalikan semuanya kepada Allah dan meyakini memang ini adalah takdir Allah Ta’ala. Sungguh dengan keyakinan semacam ini, hidup akan terasa lebih tenang dan tentram tanpa dihantui rasa takut, was-was atau semacamnya. 

إن الله و ملائكته يصلون على النبي يايها الذين آمنوا صلوا عليه و سلموا تسليما اللهم صل و سلم على محمد و على آل محمد و الحمد لله رب العالمين

اللهم اغفر للمسلمين و المسلمات و المؤمنين و المؤمنات الأحياء منهم و الأموات إنك قريب مجيب الدعوات يا قاضي الحاجات

ربنا ظلمنا أنفسنا و إن لم تغفر لنا و ترحمنا لنكونن من الخاسرين. اللهم اغفر لنا ذنوبنا و كفر عنا سيئاتنا و توفنا مع الأبرار. اللهم أمنا في أوطاننا و أصلح ولاة أمورنا. اللهم أرنا الحق حقا و ارزقنا اتباعه و أرنا الباطل باطلا و ارزقنا اجتنابه.

اللهم آت نفسي نقواها و زكها أنت خير من زكاها أنت وليها و مولاها. ربنا اغفر لنا و لإخواننا الذين سبقونا بالإيمان و لا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك غفور رحيم. ربنا آتنا في الدنيا حسنة و في الآخرة حسنة و قنا عذاب النار. و صلى الله على نبينا و حبيبنا محمد و على آله و صحبه أجمعين، و الحمد لله رب العالمين. أقيموا الصلاة ...


Download khutbah jum'at; Bulan Suro dalam format pdf dengan klik disini

Jumat, 07 Juli 2023

,

Sebelumnya perlu kita fahami bersama, mengenai hukum membacakan Al-Quran secara umum yang diperuntukkan bagi mayit yang sudah wafat. Maka kami katakan, dalam madzhab Syafii sendiri yang masyhur dan menjadi mu'tamad, diperbolehkan membacakan Al-Quran diperuntukkan bagi mayit secara umum. 


Diantara landasan yang dipakai dalam hal ini adalah, hadits yang shahih diriwayatkan oleh Bukhari (218) dan Muslim (292), dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu;

مر النبي صلى الله عليه و سلم بقبرين فقال؛ ((إنهما ليعذبان و ما يعذبان في كبير ...)) ثم أخذ جريدة رطبة فشقها نصفين فغرز في كل قبر واحدة قالوا؛ يا ررسول الله لما فعلت هذَا ؟ قال ((لعله يخفف عنهما ما لم ييبسا))

"Nabi shallallahu alaihi wa sallam melewati dua kuburan, maka beliau bersabda ((Keduanya sedang diadzab, dan tidaklah di adzab karena dosa besar ...)) Kemudian beliau mengambil pelepah kurma yang basah lalu merobeknya menjadi dua dan menancapkannya di masing-masing kuburan. Maka sahabat pun bertanya; kenapa engkau melakukan itu wahai Rasulullah ? Beliau menjawab ((Semoga keduanya diringankan adzabnya selama belum kering pelepahnya))."


Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi pun menyampaikan;

وَاسْتَحَبَّ الْعُلَمَاءُ قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ عِنْدَ الْقَبْرِ  لِهَذَا الْحَدِيثِ لِأَنَّهُ إِذَا كَانَ يُرْجَى التَّخْفِيفُ بِتَسْبِيحِ الْجَرِيدِ فَتِلَاوَةُ الْقُرْآنِ أَوْلَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ 

"Dan para ulama menganjurkan pembacaan Al-Quran di sisi kubur karena hadits ini (hadits jarīdah); karena jika diharapkan mayit mendapat keringanan adzab kubur dengan pelepah kurma, maka dengan pembacaan Al-Quran lebih utama."

[ Al-Minhāj Syarh Shahīh Muslim ibn Al-Hajāj. Imam Nawawi. Beirut, Dar Ihyaut Turots Al-Arobit. Cetakan kedua. Tahun 1392 H. (3/202) ]


Landasan lainnya, Imam Ath-Thabrāni (w.360 H) dalam Mu'jam Kabirnya meriwayatkan dengan sanadnya;

عن عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْعَلَاءِ بْنِ اللَّجْلَاجِ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ لِي أَبِي: " يَا بُنَيَّ إِذَا أَنَا مُتُّ فَأَلْحِدْنِي، فَإِذَا وَضَعْتَنِي فِي لَحْدِي فَقُلْ: بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللهِ، ثُمَّ سِنَّ عَلَيَّ الثَّرَى سِنًّا، ثُمَّ اقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِي بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ  وَخَاتِمَتِهَا، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَلِكَ 

"Dari Abdurrahman bin Al-'Alaa bin Al-Lajlaj berkata, berkata ayahku kepadaku; 'Wahai anakku, jika aku meninggal maka kuburkan aku dalam lahad, dan ketika kau meletakkanku dalam lahad maka bacalah bismillah wa 'ala millati Rasulillah. Kemudian timbunlah atasku tanah, lalu bacakan di sisi kepalaku awal surat Al-Baqoroh dan penutupnya, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mensabdakan hal itu."

[ HR.Ath-Thabrani dalam Mu'jam Kabir (491), Ibnu Hajar Al-Haitsāmi dalam Majma' Zawāid (4243) dan beliau berkata; perawinya terpercaya ]


Dalam riwayat Abu Bakar Al-Khollāl Al-Hanbali (w.311 H) bukan marfu ke Nabi shallallahu alaihi wa sallam, namun mauquf kepada Ibnu Umar, dimana disebutkan;

فَإِنِّي سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ ذَلِكَ 

"Aku mendengar Abdullah bin Umar mengatakan hal itu."


Beliau Abu Bakr Al-Khollāl (w.311 H) dalam kitabnya Al-Qirōah indal Qobri juga meriwayatkan dengan sanadnya;

أَخْبَرَنِي رَوْحُ بْنُ الْفَرَجِ، قَالَ: سَمِعْتُ الْحَسَنَ بْنَ الصَّبَّاحِ الزَّعْفَرَانِيَّ، يَقُولُ: " سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ الْقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ: لَا بَأْسَ بِهِ "

"Mengabarkan padaku Rouh bin Al-Faraj, aku mendengar Al-Hasan bin Shobbah Az-Za'faroni (murid Imam Syafii) mengatakan; Aku bertanya kepada Imam Syafii tentang membaca Al-Quran di sisi kubur, maka beliau menjawab, 'Tidak mengapa'."

[ Al-Qiroah Iindal Qobri dicetak dalam kitab Al-Amr bi Ma'ruf wan Nahyi Anil Munkar min Masāil Imam Ahmad bin Hanbal. Abu Bakr Al-Khollāl. Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah. Tahqiq Dr Yahya Murod. Cetakan pertama. Tahun 2003 ]


Hal ini ditegaskan oleh Imam Nawawi dalam beberapa kitabnya, seperti Al-Majmu' (2/594), Al-Adzkar (hal.162), juga Riyādhus Shōlihin (hal.284) hadits no.947, dimana beliau mengatakan;

قال الشافعي والأصحاب: يُستحبّ أن يقرؤوا عنده شيئاً من القرآن، قالوا: فإن ختموا القرآن  كلَّه كان حسناً

"Berkata Imam Syafii dan ulama madzhab, dianjurkan jamaah untuk membacakan di sisi jenazah sebagian dari Al-Quran, jika mereka membaca sampai khatam, maka bagus."

[ Al-Adzkar. Imam Nawawi. Tahqiq Abdul Qodir Al-Arnauth. Beirut, Darul Fikr. Cetakan baru. Tahun 1994. Hal,162 ]


Sedang Al-Bujairimiy dalam hasyiyahnya atas Mughnil Muhtaj (2/311) juga mengatakan;

وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْءٌ مِنْ الْقُرْآنِ، وَإِنْ  خَتَمُوا الْقُرْآنَ  كَانَ أَفْضَلَ؛ شَرْحُ الرَّوْضِ اهـ

"Dan dianjurkan untuk dibacakan disisi jenazah atau orang yang sudah meninggal sebagian Al-Quran, dan jika dibaca sampai khatam maka lebih afdhol, Syarah Roudhotut Thōlib."


_


Adapun pengkhususan membaca surat Yāsīn untuk mayit atau di sisi kubur, maka beberapa fuqoha menganjurkannya. Diantaranya At-Tūrbasytiy (w.661 H) mengatakan;

وأما حديثه الآخر: (اقرءوا على موتاكم  (يس)) فإنه يحمل على ما ذكرناه، ويحمل أيضاً على أنه أمر بقراءتها عند من قضى نحبه في بيته أو دون مدفنه

"Adapun hadits lainnya ((Bacakan atas mayit kalian surat Yasin)) maka tafsirnya kepada orang yang hendak meninggal, namun juga berlaku bagi yang sudah meninggal, dibacakan di rumah atau selepas penguburannya."

[ Al-Masīr fi Syarh Mashōbīh As-Sunnah. Tahqiq Abdul Hamid Handawiy. Maktabah Nizar Mushthofa Al-Baz. Cetakan kedua. Tahun 2008. (2/385) ]


Hal ini pun dinukil oleh Ibnu Allān (w.1067 H) dalam kitabnya Dalīlul Fālihīn Syarh Riyādhus Shōlihīn (6/392). Ibnu Roslān (w.844 H) menukilkan pendapat Muhibbuddīn At-Thobari (w.694 H) dengan mengatakan;

ورده المحب الطبري في "الأحكام" وغيره في القراءة، وسلم له ذلك في التلقين

"Dan Muhibuddin Ath-Thobari dalam kitabnya Al-Ahkām dan lainnya, membantah hal tersebut (bacaan surat Yasin hanya untuk yang sudah meninggal saja -edt), namun menerima hal tersebut dalam talqīn."

[ Syarah Sunan Abu Dawud Ibnu Roslān. Mesir, Darul Falah. Cetakan pertama. Tahun 2016. (13/341) ]


Dan ini juga pendapat dari Ibnu Rif'ah yang oleh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtāj (3/93) dikuatkan dengan mengatakan;

وَأَخَذَ ابْنُ الرِّفْعَةِ بِقَضِيَّتِهِ وَهُوَ أَوْجَهُ فِي الْمَعْنَى إذْ لَا صَارِفَ عَنْ ظَاهِرِهِ

"Dan Ibnu Rif'ah berpendapat sesuai teks hadits (dibaca untuk Yasin bagi yang sudah meninggal -edt), dan ini lebih tepat karena tidak ada indikasi yang mengalihkan tafsir mautākum dari makna aslinya."


Namun, jumhur fuqoha madzhab tetap berpendapat kekhususan surat Yasin hanya berlaku bagi yang akan meninggal saja. Inilah dhohir pendapat Al-Khothīb Asy-Syirbini dalam Mughnil Muhtaj (2/5-6), Syamsuddin Ar-Romli dalam Nihāyatul Muhtāj (2/437). Dan ini yang juga yang sesuai dengan tafsiran Ibnu Hibbān sebagai ulama hadits terdahulu.


Menguatkan pendapat kedua ini, dimana Ad-Dailamiy (w.509 H) meriwayatkan secara marfū' dari hadits Abu Dzar Al-Ghifariy;

مَا مِنْ مَيِّتٍ يَمُوتُ  فَيُقْرَأُ عِنْدَهُ يس، إلَّا هَوَّنَ اللَّهُ عَلَيْهِ

"Tidak ada seorang mayit yang hendak meninggal lalu dibacakan disisinya surat Yasin kecuali Allah akan berikan kemudahan padanya."

[ HR.Ad-Dailamiy dalam Al-Firdaus bi Ma`tsūril Khithōb (6099). Lihat At-Talkhīs Al-Kabīr. Ibnu Hajar Al-Asqolāni. (2/213) hadits no,735 ]


Kesimpulannya, pengkhususan membaca surat Yasīn untuk jenazah yang sudah meninggal merupakan pendapat sebagian fuqoha. Namun yang menjadi pilihan bagi kami, pengkhususan ini berlaku bagi yang hendak meninggal saja. Karena lebih sesuai dengan tafsiran banyak dari para fuqohā madzhab serta para ulama mutaqoddimīn. Namun boleh membaca Al-Quran secara umum di sisi mayit yang sudah meninggal, bahkan di sisi kuburannya. Meskipun sebagian ulama pun mengingkari hal ini.


Wallahu Ta'ala A'lam


Ditulis oleh Abu Harits Al-Jawi

Pengasuh Fiqhgram

Selasa, 04 Juli 2023

,

Dalam artian, jika orang berniat dalam hatinya tanpa mengucapkan dengan lisannya, maka sah niatnya. Karena niat tempatnya di dalam hati, dan ini pendapat menjadi -hampir- kesepakatan ulama madzhab Syafii. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Farōid Al-Bahiyyah;
أما محلها فقلب المنوي * في كل موضع بلا مناوي
"Tempat niat adalah hati orang yang berniat * Di semua kondisi tanpa adanya khilaf."
Ucapan dalam nadzom بلا مناوي memberi isyarat adanya kesepakatan dalam hal ini. Hanya saja Abu Abdillah Az-Zubair bin Ahmad Az-Zubairī (w.317 H) -dari ulama madzhab- menyampaikan wajib melafadzkan niat. Sebagaimana disinggung oleh Syaikhuna Sa'īd Al-Jābīri dalam pelajarannya. Hal ini dinukil oleh Asy-Syīrōzī dalam Al-Muhadzdzab, dimana berkata Az-Zubairī;
.
و لا ينعقد إلا بالنية و التلبية كما لا تنعقد الصلاة إلا بالنية و التكبيرة و المذهب الأول لأنها عبادة لا تجب النطق في آخرها فلم يجب النطق في أولها كالصوم
"Dan tidak sah (haji) kecuali dengan niat dan talbiah sebagaimana tidak sah shalat kecuali dengan niat dan takbiratul ihram. Dan pendapat madzhab (Syafii) adalah pendapat pertama (niat tanpa syarat lafadz) karena dia adalah ibadah yang tidak ada kewajiban untuk mengucap apapun di akhirnya, demikian juga di awalnya seperti puasa."
Wallahu Ta'ala A'lam
Oleh Abu Hārits Al-Jāwi
Pengasuh Fiqhgram

🔔 Jangan lupa ikuti akun-akun Fiqhgram berikut. 

🔰 Instagram
🔰 Youtube
🔰 Telegram
🔰 Facebook
🔰 Website

Senin, 03 Juli 2023

,
Membaca surat Yāsīn disisi orang yang sedang dalam sakarotul maut (naza'), disunnahkan dalam madzhab Syafii [ Lihat Mughnil Muhtāj (2/5-6), Nihāyatul Muhtāj (2/437) ], bahkan jumhur madzhab yang empat (Hanafiyyah, Syafiiyyah, Hanabilah) berpendapat demikian [ Lihat disini ]

Landasan dalam hal ini, hadits Ma'qil bib Yasār radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

اقرؤوا يس على موتاكم
"Bacalah surat Yāsin atas orang yang meninggal diantara kalian."
[ HR.Abu Dawud (3121) dan ini lafadznya, Ibnu Hibban dalam shahihnya (1712), An-Nasāi dalam Sunan Kubro (10.846) ]

Berkata Ibnu Hibban setelah meriwayatkan hadits ini, menafsirkan makna dari kata ْمَوْتَاكُم (orang yang meninggal diantara kalian);

أراد به من حضرته المنية لا أن الميت يقرأ عليه، وكذلك قوله صلى الله عليه و سلم ((لقنوا موتاكم لا إله إلا الله)) 
"Maksud dari kata mautākum adalah orang yang sedang sekarat bukan orang yang sudah wafat lalu dibacakan atasnya. Tafsir ini sebagaimana dalam hadits ((Talqinlah mautākum dengan kalimat lā ilāha illallahu)) (maka maksud dari mautākum disini pun majāzi yaitu orang yang akan meninggal bukan yang sudah meninggal -edt)."
[ At-Taqōsim wal Anwā' /Shahih Ibnu Hibban (2/474) hadits no.1712 ]

Berkata Ar-Romli dalam syarah Minhajnya;

أي من حضره مقدمات الموت لأن الميت لا يقرأ عليه
"Maksudnya orang yang sakaratul maut, karena yang sudah meninggal tidak dibacakan Al-Quran atasnya."
[ Nihayatul Muhtāj (2/437) ]

Hadits ini dhoif sebagaimana penjelasan dari para ulama diantaranya Imam Nawawi dalam Al-Adzkar. Namun perlu diketahui, hadits dhoif bisa dijadikan landasan amal sunnah selama tingkat kedhoifannya tidak parah.

Disisi lain, amalan dari ulama salaf pun menguatkan hal ini. Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya;

حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ، حَدَّثَنَا صَفْوَانُ، حَدَّثَنِي الْمَشْيَخَةُ، أَنَّهُمْ حَضَرُوا غُضَيْفَ بْنَ الْحَارِثِ الثُّمَالِيَّ، حِينَ اشْتَدَّ سَوْقُهُ، فَقَالَ: " هَلْ مِنْكُمْ أَحَدٌ يَقْرَأُ يس؟ " قَالَ: فَقَرَأَهَا صَالِحُ بْنُ شُرَيْحٍ السَّكُونِيُّ، فَلَمَّا بَلَغَ أَرْبَعِينَ مِنْهَا قُبِضَ، قَالَ: وَكَانَ الْمَشْيَخَةُ يَقُولُونَ: إِذَا قُرِئَتْ عِنْدَ الْمَيِّتِ خُفِّفَ عَنْهُ بِهَا (١) قَالَ صَفْوَانُ: " وَقَرَأَهَا عِيسَى بْنُ الْمُعْتَمِرِ (٢) عِنْدَ ابْنِ مَعْبَدٍ "
"Dari Shofwan bahwa beberapa masyāyikh hadir saat sahabat 'Udhoif ibn Al-Hārits Ats-Tsumaliy dalam kondisi sakaratul maut. Maka beliau pun mengatakan; 'Apakah ada yang bisa membaca surat Yāsīn ?' Maka Shōlih bin Syuraih As-Sakūniy pun membacanya, dan ketika mencapai ayat ke-40 maka beliau pun wafat. Dan beberapa masyāyikh tadi pun mengatakan, jika surat Yāsīn dibacakan kepada orang yang hendak meninggal, akan memudahkan baginya meninggal.
Berkata Shofwān: 'Dan Īsā bin Al-Mu'tamir pun membacakan surat Yāsīn ketika Ibnu Ma'bad hendak meninggal."
[ HR.Ahmad dalam Musnad (16969) dengan sanad yang hasan ]

Adapun anjuran membaca surat Ar-Ro'du, maka hal ini dilandasi sebuah amalan dari seorang tabi'in (generasi salaf setelah sahabat), yaitu Jābir bin Zaid rahimahullah. Diriwayatkan dari Umayyah Al-Azdiy;

عن جابر بن زيد أنه كان يقرأ عند الميت سورة الرعد
"Dari Jābir bin Zaid rahimahullah, bahwa beliau dahulu membacakan surat Ar-Ro'du di sisi orang yang hendak meninggal."
[ HR.Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf (11163) ]

Jabir bin Zaid sendiri wafat tahun 93 Hijriyyah, termasuk murid terdekat Ibnu Abbas radhiyallah anhuma, serta meriwayatkan dari Aisyah. Bahkan Anas bin Malik mengatakan ketika beliau wafat;
مات أعلم من على ظهر الأرض
 "Telah wafat orang paling berilmu di muka bumi." 
[ Lihat Syiar A'lamin Nubala ]

Berkata Al-Khothīb As-Syirbini dalam Syarah Minhaj;

وَاسْتَحَبَّ بَعْضُ الْأَصْحَابِ أَنْ يُقْرَ أَعِنْدَهُ سُورَةُ الرَّعْدِ لِقَوْلِ جَابِرٍ فَإِنَّهَا تُهَوِّنُ عَلَيْهِ خُرُوجَ رُوحِهِ
"Dan sebagian fuqohā Syafiiyyah menganjurkan pula untuk dibacakan disisi orang yang sekarat, surat Ar-Ro'du. Dengan landasan ucapan Jābir, bahwa hal ini bisa mempermudah keluarnya ruh."
[ Mughnil Muhtaj (2/5-6) ]

Wallahu Ta'ala A'lam

Oleh Abu Hārits Danang Santoso Al-Jāwi
Pengasuh Fiqhgram

_
Jangan lupa ikuti akun-akun Fiqhgram berikut. 

🔰 Youtube
🔰 Telegram
🔰 Facebook
🔰 Website

Minggu, 02 Juli 2023

,
Dalam hadits yang shahih Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

لَوْلا أنْ أَشُقِّ على أُمَّتِي لَأَمَرْتُهم بالسِّواكِ مع كلِّ وُضُوء
"Kalau bukan karena khawatir memberatkan umatku, sungguh akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak bersama setiap berwudhu."
[ HR.Al-Baihaqi dalam Sunan Kubro (146) dan ini lafadznya, Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (140), An-Nasāi dalam Sunan Kubro (3020) dengan lafadz لفرضت عليهم, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ]

Lantas kapankah bersiwak itu dilakukan ? Menurut Ibnu Hajar Al-Haitami (seperti dalam Al-Manhaj Al-Qowim) siwak dilakukan setelah membasuh telapak tangan dan sebelum berkumur. Sedangkan Ar-Romli, termasuk juga Bafadhol dalam Muqoddimah Hadromiyyah berpendapat siwak dilakukan sebelum memulai wudhu (sebelum basmalah). 
[ Lihat Busyrol Karīm Syarh Masāil Taklim. Said Ba'asyān. Hal, 98. Juga Al-Manhaj Al-Qowīm. Ibnu Hajar Al-Haitami ]
Dalam hadits Aisyah radhiyallahu anha beliau berkata;
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان يرقد فإذا استيقظ تسوك ثم توضأ ... 
"Bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam beliau tidur, dan ketika beliau terbangun, beliau pun bersiwak lalu berwudhu ... "
[ HR.Al-Baihaqi dalam Sunan Kubro (4801), dan Ahmad dalam Musnad (22663) ]
Hadits ini bisa menjadi dalil bahwa siwak dilakukan sebelum berwudhu sebagaimana pendapat Ar-Romli dan penulis Muqoddimah Hadromiyyah. Karena dalam hadits disebutkan lafadz siwak lalu baru wudhu. 
Namun, bisa dijawab juga oleh Ibnu Hajar bahwa hadits ini tidak menunjukkan bahwa kesunnahan siwak dalam wudhu dilakukan sebelum wudhu. Namun di hadits itu, Nabi bersiwak karena bangun dari tidur, jadi bukan siwak untuk wudhu. 
Dan menguatkan pendapat Ibnu Hajar, bahwa siwak adalah suatu kesunnahan wudhu tersendiri. Maka, jika masuk dalam wudhu, tentu siwak dilakukan ketika sudah dalam lingkup amaliyyah wudhu. Jika siwak dilakukan sebelum basmalah, maka siwak menjadi sunnah yang sifatnya di luar amaliyyah wudhu.
Kesimpulannya, bahwa boleh siwak dilakukan baik sebelum wudhu (sebelum basmalah dan mencuci telapak tangan), ataupun setelah mencuci telapak tangan dan sebelum berkumur. Demikian sesuai konsepsi madzhab Syafii. 
Namun, jika tidak memakai siwak tapi dengan menggosok gigi dengan sikat dan pasta gigi, maka bisa dilakukan sebelum wudhu mengikuti pendapat Ar-Romli. Dengan syarat niat (ketika menggosok gigi) sebagai siwak dalam kesunnahan wudhu yang akan dilakukan.
Wallahu Ta'ala A'lam
Oleh Abu Hārits Danang Santoso Al-Jāwi
Pengasuh Fiqhgram

_
Jangan lupa ikuti akun-akun Fiqhgram berikut. 

🔰 Instagram
🔰 Youtube
🔰 Telegram
🔰 Facebook
🔰 Website
,
Berikut kami akan sebutkan beberapa kondisi yang dibadannya ada suatu luka sehingga tidak memungkinkan untuk terkena air. Dan diganti dengan tayyammum. Yang mana kondisi-kondisi berikut, berkaitan dengan; apakah nanti setelah lukanya sembuh dan bisa terkena air, dia ulang shalat-shalatnya dengan saat luka masih tidak bisa terkena air atau tidak usah mengulang ? Dan kondisi-kondisi ini, sesuai dengan pendapat mu'tamad madzhab Syāfi'ī.
.
1. Jika luka tanpa ditutupi dengan semacam perban atau lainnya, maka tidak perlu mengulang shalat. 
2. Jika luka ditutupi dengan semacam perban, dan berada di anggota tayammum (wajah atau tangan hingga siku), maka wajib mengulang shalat nantinya. Karena pertama, ini adalah udzur yang nādir (jarang), dan hal yang jarang tidak punya hukum tersendiri. Juga, kondisinya seperti orang yang fāqid ath-thohūroin (tidak ada air dan debu), karena tidak bisa wudhu atau tayammum. 
3. Jika luka ditutupi dengan semacam perban di selain anggota tayammum, namun perban dipasang dalam kondisi hadats, maka wajib mengulang shalatnya. Hal ini, karena qiyās kepada masalah khuff, yang dipersyaratkan suci dari hadats saat memakainya. 
4. Jika luka ditutupi dengan semacam perban di selain anggota tayammum, dan perban dipasang dalam kondisi suci dari hadats, maka tidak perlu mengulang shalat. Karena terpenuhi syarat tayammum sebagai badalnya. 
5. Jika luka ditutupi perban, dan melebihi dari ukuran luka dan kebutuhan untuk mengikat perban, wajib mengulang shalat secara mutlak. Karena luka adalah sebuah kondisi darurat yg memperbolehkan orang tidak membasuh anggota wajib sucinya dengan air. Dan setiap kedaruratan diperbolehkan sesuai kadar kebutuhannya, tidak boleh lebih. Adh-dhorūrōt tuqoddaru bi qodrihā. 
Catatan Tambahan;
* Cara bersuci bagi orang yang memakai perban dan semisalnya adalah; membasuh bagian bersuci yang bisa dibasuh, mengusap bagian atas perban dengan air, dan bertayammum. Sebagaimana hadits Jābir radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

إنما كان يكفيك أن يتيمم و يعصر أو يعصب على جرحه خرقة ثم يمسح عليها و يغسل سائر جسده
"Cukup bagimu tayammum, mengikat luka dengan perban lalu mengusapnya dengan air, dan membasuh dengan air anggota tubuh yang lainnya."
[ HR.Abu Dawud (336) ]

* Imam Nawawi dalam Al-Majmu menyampaikan, kebanyakan dari para ulama tidak membedakan antara anggota tayammum atau bukan. Dalam artian, jika perban di anggota tayammum, maka kedudukannya sama dengan di luar anggota tayammum. Jadi, selama dipasang perban dalam kondisi suci, tidak perlu mengulang secara mutlak. Dalam Fathul Qorib disebutkan;
لكنه قال في المجموع إن إطلاق الجمهور يقتضي عدم الفرق أي بين أعضاء التيمم و غيرها
"Akan tetap -Imam Nawawi-berkata dalam kitabnya Al-Majmū', bahwa pemutlakkan banyak dari ulama memberi dampak pemahaman tidak ada perbedaan antara anggota tayammum atau bukan."
* Dalam madzhab Hanafi serta Maliki, juga satu riwayat dari Imam Ahmad, bahwa jikalau dipasang perban itu meski dalam kondisi hadats, maka tetap tidak usah mengulang sholat. Berkata Ibnu Taimiyyah dalam Majmū' Al-Fatāwa;

 الجبيرة يمسح عليها و إن شدها على حدث عند أكثر العلماء و هو إحدى الروايتين عن أحمد و هو الصواب
"Sopak diusap atasnya meski dipasang dalam kondisi hadats, menurut banyak dari para ulama, dan ini salah satu riwayat dari Ahmad, dan ini adalah pendapat yang benar."
[ Majmū' Al-Fatāwa. Taqiyyuddīn Ibnu Taimiyyah Al-Hanbalī. Madīnah, Majma' Al-Malik Fahd. Tahun 1325 H/2004 M. (21/178) ]

Wallahu Ta'ala A'lam

Oleh Abu Hārits Al-Jāwi
Pengasuh Fiqhgram

#ngajifathulqorib #fikihsyafii #fikihibadah #fikihbersuci

_
Jangan lupa ikuti akun-akun Fiqhgram berikut. 

🔰 Instagram
🔰 Youtube
🔰 Telegram
🔰 Facebook
🔰 Website