Sabtu, 30 Juli 2022

,
Ilmu dalam bahasa Arab berasal dari kata kerja alima-ya’lamu-ilman. Yang maknanya adalah pengetahuan atas sesuatu dengan yakin dan cahaya dari Allah yang diberikan kepada hati hamba yang dicintai-Nya. Dalam Lisanul Arab disebutkan bahwa ilmu adalah lawan dari al-jahl (kebodohan), apabila satu orang dikatakan aalimun atau aliimun sedangkan untuk jamak dikatakan ulama.

Berkata Imam Ibnu Abdil Barr : ”Batasan ilmu di sisi ulama dan ahli kalam adalah setiap hal yang diyakini dan jelas, maka siapa saja yang meyakini sesuatu (setelah mencari tahu ) dan jelas baginya maka dia telah mengilmuinya. Atas dasar ini barang siapa yang tidak meyakini sesuatu sedang dia berkata dengannya karena mengikuti (taklid) maka tidak disebut dia mengetahuinya. Dan dalam bahasa selain arab ilmu bisa diterjemahkan makrifah (pengetahuan) dan fahm (pemahaman)." [Jami’ Bayan Al-Ilmu wa Fadhluhu dengan sedikit perubahan]

Adapun Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan tentang ilmu dengan perkataan beliau ; ”Para ulama mengatakan ilmu adalah makrifah (pengetahuan); lawan dari kebodohan. Yang lain mengatakan ilmu itu lebih jelas dari definisi-definisi yang diungkapkan. Sedangkan yang menjadi perhatian kita adalah ilmu syar’i, yaitu ilmu yang Allah Ta’ala turunkan atas rasul-Nya dari penjelasan-penjelasan dan petunjuk. Maka ilmu yang dipuji adalah ilmu wahyu saja. Ilmu syar’i adalah ilmu yang dipuji bagi orang yang memilikinya, akan tetapi saya juga tidak menafikan ilmu-ilmu lain selama ilmu tersebut memiliki dua hal ; jika ilmu tersebut dipakai untuk ketaatan kepada Allah dan untuk menolong agama-Nya maka ilmu tersebut juga baik. Dan bisa jadi mempelajarinya adalah suatu hal yang wajib di beberapa kondisi jika ilmu tersebut masuk dalam firman Allah Ta’ala ;
 و أعدوا لهم ما استطعتم من قوة و من رباط الخيل 
“Dan persiapkanlah apa mampu kalian persiapkan dalam hal kekuatan dan tali kekang kuda.” 
[Lihat Kitab Al-Ilm hal. 11-12]

Syaikh Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani di dalam kitabnya Manahil Al-Quran menyebutkan definisi-definisi ilmu. Maka definisi ilmu di sisi ahli hikmah ilmu adalah gambaran sesuatu yang muncul dari pikiran atau melekatnya jiwa terhadap sesuatu yaang tersingkap hakikatnya. Para ahli kalam mendefinisikan ilmu sebagai suatu sifat yang dengannya suatu perkara menjadi jelas. Sedangkan definisi di sisi syariat secara umum ilmu adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan ayat-ayat Nya dan perbuatan-Nya terhadap makhluk ciptaan-Nya. Adapun para ahli adab mendefinisikan ilmu adalah keyakinan-keyakinan khusus yang bergantung kepada indra. Sedangkan Syaikh Az-Zarqani sendiri mendefinisikan ilmu dari sisi penulisan umum adalah pengetahuan-pengetahuan yang terstruktur dari satu sisi; baik sisi tema atau sisi tujuan.

Dari definisi-definisi dan pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan atas sesuatu dengan pasti ; dimana tidak ada keraguan dan kegamangan di dalamnya.

URGENSI ILMU DAN BELAJAR
Kebutuhan manusia terhadap ilmu melebihi kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman. Terutama hari ini dimana banyak ruwaibidhah yang berbicara, lembaran-lembaran asing yang bersuara diiringi dengan hembusan para pembawa syubhat. Allah Ta’ala berfirman ;

 أَمّن هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ 
“Apakah orang yang berdiri di tengah malam ( untuk beribadah ) dengan bersujud dan berdiri juga takut akan akhirat, juga mengharap rahmat Rabb-Nya, katakanlah apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Sesungguhnya yang bisa mengambil pelajaran hanyalah orang yang memiliki akal.” [QS Az-Zumar : 9]

Dan rasul kita shallallahu alaihi wa sallam telah diperintahkan sejak awal diutusnya, untuk berpaling dari orang-orang yang jahil (bodoh) yang bersikukuh denga kebodohannya dan menolak ilmu. Allah Ta’ala berfirman ;

 خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ 
“Maafkanlah dan perintahkanlah dengan kebaikan dan berpalinglah dari orang-orng bodoh.” 

Demikian pula Allah Ta’ala juga mensifati kehidupan orang-orang kafir yang berpaling dari agama Allah Ta’ala dengan firmannya ;

 وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا 
“Dan tidaklah mereka memiliki ilmu, mereka hanya mengikuti prasangka belaka, dan prasangka itu tidaklah bermanfaat untuk kebenaran sama sekali.” [QS Al-A’raf : 199]

Maka Allah Ta’ala menjadikan pemisah antara mukmin dan kafir adalah ilmu; orang mukmin memiliki ilmu sedangkan orang kafir hanya berprasangka.

Bagi orang yang mau memperhatikan masalah ilmu ini, tentu akan mendapati pentingnya ilmu tidak hanya di awal-awal Islam dan turunnya Al-Qur’an. Bahkan ilmu sudah menjadi hal penting sejak diciptakannya manusia, sebagaimana yang terekam dalam Al-Quran. Allah Ta’ala menciptakan Adam, dan menjadikannya khalifah (pemimpin) di atas muka bumi. Allah pun memerintahkan para malaikat untuk bersujud terhadap Adam, menghormatinya dan meninggikannya. Kemudian Allah sebutkan sebab tingginya kedudukan Adam ini adalah ilmu.
Dan tidak cukup sampai disitu saja, bahkan pentingnya ilmu sudah disebut sejak sebelum penciptaan manusia. Makhluk pertama yang diciptakan Allah Ta’ala adalah Al-Qalam (pena) yang mana pena adalah perangkat ilmu yang abadi. Sebagaimana hal tersebut diriwayatkan oleh At-Tirmidzi bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda ;

إن أول ما خلق الله القلم فقال : اكتب فقال: ما أكتب؟ قال: اكتب القدر ما كان و ما هو كائن إلى الأبد
“Sesungguhnya hal pertama yang diciptakan Allah adalah Al-Qalam, maka Allah berfirman : Tulisalah ! Dia berkata : Apa yang kutulis ? Allah berfirman : Tulislah takdir segala yang sudah terjadi dan yang akan terjadi hingga hari akhir.”

Maka disini kita faham tidaklah suatu hal yang berlebihan ketika Rasullullah mengatakan bahwa dunia dan seisinya ini tidak ada harganya - bahkan terlaknat - kecuali dirinya berhias dengan ilmu dan dzikir kepada Allah. Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda ;

الدنيا ملعونة ملعون ما فيها إلا ذكر الله و ما ولاه أو عالما أو متعلما
“Dunia seisinya ini terlaknat kecuali dzikir kepada Allah dan semisalnya, atau seorang yang berilmu dan penuntut ilmu.”

Bekata Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu ;

لموت ألف عابد قائم بالليل صائئم بالنهار أهون من موت عالم بصير بحلال الله و حرامه
“Sungguh kematian seribu ahli ibadah yang bangun di malam hari dan berpuasa di siangnya lebih ringan dari kematian seorang ahli ilmu yang mengetahui hal yang halal dan haram.”  [Bughyatul Bahits ‘an Zawaid Musnad Al-Harits (2/813)]

PEMBAGIAN ILMU
Ada beberapa pembagian ilmu yang dipaparkan oleh par ulama. Diantaranya adalah Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’, beliau membagi ilmu menjadi tiga bagian :

Pertama, ilmu fardhu ‘ain. Yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap mukallaf atas kewajiban-kewajiban syariat yang dia tanggung seperti cara wudhu, sholat, dan semisalnya.

Kedua, ilmu fardhu kifayah. Yaitu ilmu yang wajib atas manusia pengamalannya dalam agama secara umum. Seperti menghafal Al-Quran dan hadits serta bagian-bagiannya, fiqh dan usulnya, nahwu dan bahasa, mengetahui para perawi hadits, ijma’, dan khilafnya. Adapun ilmu dunia seperti kedokteran dan hitungan maka juga fardhu kifayah sebagaimana yang di jelaskan oleh Al-Ghozali.Dan para ulama berselisih tentang ilmu yang berhubungan dengan kemaslahatan dunia seperti jahit dan pertanian. Imam Al-Haramain dan Al-Ghazali mengatakan hal tersebut bukan fardhu kifayah, sedangkan Imam Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad in Ali Ath-Thabari teman Imam Al-Haramain mengatakan hal tersebut juga fardhu kifayah dan ini yang kuat.

Ketiga, ilmu sunnah. Seperti menyelami ilmu ushul dalil-dalil, juga belajar amal-amal sunnah bagi orang awam dengan tujuan untuk diamalkan bukan seperti ulama yang memisah antara yang wajib dan sunnah, karena ini merupakan fardhu kifayah bagi para ulama tersebut. [Lihat Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab hal. 45-49]

Adapun Imam Ibnu Abdil Barr berpendapat bahwa ilmu terbagi menjadi dua :

Pertama, ilmu dharuri. Yaitu ilmu yang mustahil bagi orang yang berilmu untuk ragu di dalamnya, dan ilmu tersebut ada tanpa berfikir dan meneliti. Hal ini didapat dari indra dan akal seperti kemustahilan sesuatu itu bergerak dan diam, atau berdiri dan duduk, atau sakit dan sehat dalam satu waktu.

Kedua, ilmu muktasab. Yaitu ilmu yang didapat dengan bukti ilmiyah dan penelitian, dan hal tersebut memiliki dua sifat ; khafiy (tersembunyi) dan jaliy (jelas). Semakin ilmu tersebut mendekati dengan ilmu dharuri maka semakin jaliy, jika semakin menjauhinya maka semakin khafiy. Juga ilmu pengetahuan terbagi menjadi 2 jenis ; syahid (tampak) dan ghoib (tidak tampak). Adapun yang pertama dapat diketahui secara pasti, adapun yang kedua maka diketahui dengan merujuk pada petunjuk syahid.
Imam Ibnu Abdil Barr juga melanjutkan bahwasanya ilmu di sisi ahli-ahli teologi terbagi menjadi 3 bagian ; ilmu a’la, ilmu asfal, dan ilmu awsath.

Ilmu A’la (ilmu tertinggi) menurut mereka adalah ilmu agama yang haram bagi seseorang untuk berbicara tentangnya tanpa dalil jelas dari Al-Qur’an ataupun hadits shahih. Ilmu Awsath (ilmu pertengahan) adalah ilmu duniawi yang didapat dari penelitian dan percobaan seperti ilmu kedokteran dan ilmu teknik. Ilmu Asfal (ilmu bawah) adalah ilmu-ilmu yang berhubungan dengan produktifitas dan keterampilan seperti renang, berkuda, tulis-menulis dan semisalnya. [Jami’ Bayan Al-Ilmi wa Fadhlihi (2/45-50) dengan perubahan]

Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwasanya ilmu dari sisi hukum mempelajarinya terbagi menjadi 3 ; fardhu ain (wajib untuk setiap individu), fardhu kifayah (wajib secara umum), dan nafl (sunnah). Jika ditinjau dari segi asal ilmu tersebut maka terbagi menjadi dua ; dharuri (pasti), dan muktasab (dengan mempelajari). Jika ditinjau dari kedudukannya maka terbagi menjadi tiga ; a’la (tertinggi), awsath (pertengahan), dan asfal (bawah).

Wallahu Ta'ala A'lam
-
Disadur dari buku Jalan Menuntut Ilmu
Karya Abu Harits al-Jawi

Rabu, 27 Juli 2022

,
Di dalam kitab Kasyaf Ishtilahil Funun dikatakan bahwa adab adalah kebaikan dalam segala keadaaan baik ketika berdiri juga duduk, kebaikan akhlak, dan berkumpulnya segala perilaku terpuji. Dan perbedaan antara adab dan taklim bahwasanya adab erat berhubungan dengan keinginan-keinginan sedangkan taklim erat berhubungan dengan syariat. Adab berhubungan dengan dunia dan taklim dengan akhirat. Adapun Imam Ibnu Mandzur mengatakan ; ”Adapun orang yang berakhlak dengannya dinamakan adiib ; dinamakan adab karena hal tersebut melatih manusia dalam kebaikan-kebaikan dan melarang mereka dari keburukan.”  

Sedangkan yang lain mengatakan bahwa adab dibagi menjadi 2 ; secara umum dan khusus. Adapun secara umum adab adalah berhias diri dengan akhlak-akhlak terpuji seperti jujur dan amanah, sebagaimana perkataan seorang penyair ( أدبني ربي فأحسن تأديبي ) “Rabb-ku telah mengajariku adab dengan baik.”  Dan secara khusus adab adalah perkataan yang indah dan berpengaruh terhadap jiwa.

Dari pengertian-pengertian di atas maka bisa kita ambil kesimpulan bahwasanya adab adalah akhlak-akhlak terpuji yang manusia berhias diri dengannya dalam kehidupan sehari-hari. Sama saja apakah kehidupan sosial, kehidupan ilmiah, kehidupan rumah tangga, kehidupan ibadah dan segi-segi kehidupan yang lainnya.

PENTINGNYA ADAB
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengirimkan kepada manusia seorang rasul agar menjadi panutan bagi mereka. Allah Ta’ala berfirman ;

 لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا 
“Dan sungguh telah ada pada diri Rasulullah panutan terbaik bagi orang yang mengharapkan Allah dan Hari Akhir dan sering mengingat Allah.” [QS Al-Ahzab:21]

Tidaklah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjadi panutan terbaik hanya di dalam sisi ibadah saja, akan tetapi juga akhlak. Sebagaimana sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam ;

إنمما بعثت لأتمم صالح الأخلاق
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak.” [Adabul Mufrod, hadits no. 273]
Maka beliau juga menyeru manusia untuk berakhlak yang baik dan adab-adab yang mulia. Dan Allah Ta’ala telah memuji rasul-Nya atas hal tersebut dengan firman-Nya ;

 وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ 
“Dan sungguh engkau -Muhammad- di atas akhlak yang mulia.” [QS Al-Qolam: 4]

Adab-adab dalam Islam tidak hanya terbatas pada beberapa perkara saja melainkan di semua pergerakan manusia dari sejak bangunnya hingga tidur kembali. Semua hal di dalamnya tidaklah lepas dari tuntunan adab Islami. Maka seorang muslim seharusnya tahu bagaimana dia beradab terhadap Rabb-nya, terhadab orang tuanya, terhadap saudaranya, terhadap masyarakatnya, terhadap ustadznya, terhadap lingkungannya, bahkan juga bagaimana dia beradab terhadap hewan dan tumbuhan. Dan manusia yang paling butuh terhadap adab adalah seorang penuntut ilmu; karena mereka adalah pewaris para nabi dan panutan msyarakat. Berkata Dr. Raghib As-Sirjani ;

إن العلماء هم ورثة الأنبياء و هم قدوة المجتمع و هم بناة الأمة و قائدو التغيير و الإصلاح. لذا كان لزاما عليهم أن يكون لهم أخلاق خاصة يتفردون بها عن عموم الخلق سواء من المسلمين أو من غير المسلمين. إن هذا يعني هناك أخلاقا معينة و صفات خاصة، لا بد أن يتحلى بها العالم و المسلم و لا بد أن يصطبغ بها حياته و تكون غالبة عليه و منذ بداية الطريق. إهـ.
“Sesungguhnya ulama adalah para pewaris nabi dan panutan masyarakat, juga mereka adalah anak-anak umat ini dan pemimpin dalam perubahan dan perbaikan. Oleh karenanya wajib atas mereka memiliki akhlak khusus yang tidak dimiliki oleh kebanyakan manusia; apakah dari kalangan kaum muslimin atau non muslimin. Maksudnya adalah mereka memiliki akhlak tertentu dan sifat yang khusus, yang mana seorang ‘alim dan muslim untuk berhias diri dengannya. Dan wajib akhlak tersebut juga menjadi cerminan kehidupannya sejak dia memulai jalannya ( dalam belajar ).” [Al-Ilmu wa Bina`ul Umam, hal. 240]

Dan berkata pula Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari setelah beliau menukil atsar-atsar yang menunjukkan akan keutamaan adab dan pentingnya dalam adab dalam belajar ;

فهذه كلها نصوص صريح و أقوال مؤيدة بنور الإلهام مفصحة بعلو مكانة الأدب مصرحة بأن جميع الأعمال الدينية قلبية كانت أو بدنية، قولية أو فعلية لا يعتبر شيئ منها إلا أن يكون محفوفا بالمحاسن الأدبية و المحامد الصفاتية و المكارم الخلقية، بأن تحلية العمل بالأدب عاجلا علامة قبوله آجلا، و بأن الأدب كما يحتاج إليه المتعلم في أحوال تعلمه يتوقف عليه المعلم في مقامات تعليمه
“Ini semua adalah nash-nash yang jelas juga perkataan yang menguatkan dengan cahaya Ilahi secara fasih menjelaskan tingginya kedudukan adab. Bahwasanya segala macam amal agama baik itu hati atau fisik, baik itu perkataan atau perbuatan tidaklah dianggap amal ( yang manfaat ) kecuali diiringi dengan adab yang baik, sifat terpuji, dan akhlak yang mulia. Bahwasanya hiasan amal dengan adab merupakan tanda diterimanya amal tersebut. Sebagaimana seorang penuntut ilmu butuh terhadap adab dalam masa belajarnya, maka seorang guru juga butuh adab dalam masa mengajarnya.” [Adabul Alim wal Muta'allim, hal. 13]

Kesimpulannya bahwa tidaklah agama ini tegak kecuali dengan adab, sebagaimana dia adalah syarat yang wajib dimiliki bagi orang yang belajar agama.

Wallahu Ta'ala A'lam
-
Disadur dari buku Jalan Menuntut Ilmu
Karya Abu Harits al-Jawi

Sabtu, 23 Juli 2022

,
Telah kita ketahui bahwasanya ayat yang pertama kali turun atas Rasulillah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah lima ayat pertama dalam surat Al-Alaq dengan kata pertamnya yaitu iqra’ (اقرأ) . Oleh karenanya umat Islam seharusnya mendapat julukan ummat iqra (umat ‘bacalah’), karena perintah membaca ini telah Allah tempatkan di awal wahyu, agar orang yang telah diberikaan wahyu Allah senantiasa perhatian terhadapnya. Membaca adalah pintu terbesar untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.

Islam pun telah menempatkan ilmu dan pemiliknya pada derajat yang tinggi lagi mulia. Allah Ta’ala berfirman;

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“ … Allah Ta’ala mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan juga orang-orang yang berilmu beberapa derajat, dan Allah Maha Mengetahui atas yang kalian kerjakan.” [QS al-Mujadalah: 11]
Berkata Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari rahimahullah (w. 1366 H);

أي يرفع العلماء منكم درجات بما جمعوا من العلم و العمل
“Maksudnya Allah Ta’ala akan mengangkat para ulama dari kalian beberapa derajat karena mereka telah menggabungkan antara ilmu dan amal.” [Adabul Alim wal Mutaallim, hal.15]

Dan Allah Ta’ala telah berfirman;

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ (7) جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih merekalah sebaik-baiknya makhluk (7) Balasan mereka di sisi Rabb mereka adalah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, Allah pun ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah, demikianlah ( balasan ) bagi yang takut terhadap Rabb-nya (8).” [QS al-Bayyinah: 7-8]

Dan Allah Ta’ala juga berfirman;

إِنّمَا يَخْشَى اللَّه مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّه عَزِيزٌ غَفُورٌ
“... sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba Nya hanyalah para ulama sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” [QS Fathir: 28]

Berkata Syaikh Hasyim Asy’ari rahimahullah;

فاقتضت الآياتان إن العلماء هم الذين يخشون الله تعالى و الذين يخشون الله تعالى هم خير البرية فينتج أن العلماء هم خير البرية
“Maka dua ayat ini memberikan pengertian bahwa ulama adalah orang-orang yang takut kepada Allah Ta’ala dan orang-orang yang takut kepada Allah Ta’ala adalah sebaik-baiknya manusia. Maka jadilah para ulama adalah sebaik-baik manusia.” [Adabul Alim wal Muta'allim, hal.16]

Patut kita bersyukur kepada Allah Ta’ala karena pada hari ini kaum muslimin telah bangkit untuk menghidupkan kembali khazanah keilmuan Islam, juga menyebarkannya. Telah banyak berdiri ma’had, pondok pesantren, dan juga universitas keislaman di penjuru negara -negara Islam, dan juga dibuka beasiswa-beasiswa untuk belajar agama Islam. Para penuntut ilmu pun mulai keluar dari kampung dan negara mereka untuk belajar. Akan tetapi ada hal yang telah banyak dilupakan oleh kebanyakan penuntut ilmu, yang karenanya muncullah kegagalan dalam belajar atau hilangnya barokah ilmu yang didapatkannya. Hal tersebut adalah adab. Dan Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji rahimahullah (w. 591 H) telah memperhatikan hal ini ketika beliau mengatakan dalam muqaddimah kitabnya Ta’lim Muta’allim;

و بعد ؛ فلما رأيت كثيرا من طلاب العلم في زماننا يجدّون إلى العلم و لا يصلون و من منافعه و ثمراته و هي العمل به و النشر يحرمون لما أنهم أخطؤوا طرائقهم و تركوا شرائطهم و كل من أخطأ الطريق ضل و لا ينال المقصود قل أو جل
“Dan selanjutnya ; ketika saya melihat banyak dari penuntut ilmu di zaman kita ini bersungguh-sungguh dalam belajar tapi tidak sampai, dan tehalangi dari manfaat ilmu dan buahnya yang berupa amal dan menyebarkannya. Hal ini karena mereka telah salah dalam menyusuri jalan dan meninggalkan syarat-syaratnya. Dan setiap orang yang salah jalannnya maka dia akan tersesat dan tidak akan mendapatkan apa yang dituju baik itu kecil ataupun besar.” [Ta'lim al-Muta'allim, hal.2-3]

Marilah kita melihat para pendahulu kita dari para salaf, bagaimana mereka mendapatkan ilmu yang luar biasa, kalaulah kita membaca cerita-cerita tentang mereka tentu kita akan mengatakan “ini adalah dongeng saja” , padahal itu adalah nyata. Maka muncullah pertanyaan, “Bagaimana cara mereka bisa mendapatkan ilmu demikian ?”. Sebelum kita mengetahui jawaban tersebut, maka perlu kita mengerti sebuah kaidah yang agung yang diucapkan oleh Imam Malik ibn Anas rahimahullah (w. 179 H);

لا يصلح هذه الأمة إلا بما صلح به أوله
“Tidak menjadi baik ummat ini kecuali dengan cara yang menjadikan umat yang terdahulu menjadi baik.” 
Maka tidaklah mungkin seseorang yang berharap bisa menjadi seperti mereka ( para ulama salaf ) akan tetapi tidak mengikuti jalan dan metode mereka dalam belajar.

Kembali ke pertanyaan di atas, mengapa para ulama salaf bisa mendapatkan ilmu yang demikian banyak dan barokah ? Maka Imam Abdullah ibn Al-Mubarok rahimahullah telah memberikan jawabannya. Beliau berkata;

كانوا يتعلمون الأدب ثلاثون سنة و يتعلمون العلم عشرون سنة
“Mereka ( ulama salaf ) belajar adab selama 30 tahun dan belajar ilmu selama 20 tahun.”
Telah berkata pula Imam Ibnu Sirin rahimahullah;

كانوا يتعلمون الهدى كما يتعلمون العلم
“Mereka dahulu mempelajari petunjuk ( dalam belajar dan beradab ) sebagaimana mereka mempelajari ilmu itu sendiri.” 
Dan sebagian salafus shalih dahulu berkata kepada anaknya;

يا بني لأن تتعلم بابا من الأدب أحب إلي من أن تتعلم سبعين بابا من أبواب العلم
“Wahai anakku sungguh engkau belajar satu bab dalam hal adab itu lebih aku sukai daripada engkau belajar tujuh puluh bab dari ilmu.” [Tadzkiratus Sami wal Mutakallim, hal.2]

Para salaf sangatlah perhatian terhadap adab dalam belajar, bahkan hal tersebut melebihi perhatian mereka terhadap ilmu itu sendiri. Karena ilmu sejatinya adalah rezeki dari Allah Ta’ala dan juga cahaya dari-Nya sedangkan cahaya tersebut tidaklah diberikan kepada orang yang bermaksiat kepada-Nya, membangkang perintah rasul-Nya dan juga para ulama sebagai pewaris sepeninggalnya.

Wallahu Ta'ala A'lam

-
Disadur dari Buku Jalan Menuntut Ilmu
Karya Abu Harits al-Jawi