Selasa, 29 November 2022

,

 

PERTANYAAN

Assalamualaikum ustadz, ingin bertanya.

Di mazhab Syafi'i kan menyentuh wanita yang bukan mahram itu membatalkan wudhu, lalu bagaimana dg hadits ini :


 عن ‌عائشة قالت: « فقدت رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة من الفراش، فالتمسته فوقعت يدي على بطن قدميه وهو في المسجد


 “Suatu malam aku kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau ternyata pergi dari tempat tidurnya dan ketika itu aku menyentuhnya. Lalu aku menyingkirkan tanganku dari telapak kakinya (bagian dalam), sedangkan ketika itu beliau sedang (shalat) di masjid …” 

(HR. Muslim, no. 486)


Mohon penjelasannya ustadz


Je'nan Qowiyyun, Kudus Jawa Tengah


JAWABAN

Waalaikumussalam warohmatullah wabarokatuh


Yang mu'tamad (pendapat resmi) dalam madzhab Syafii menyentuh wanita bukan mahram membatalkan wudhu, baik yang menyentuh maupun yang disentuh. Ini adalah pendapat jumhur fuqoha Syafiiyyah. Namun dalam hal ini sebenarnya ada dua qoul (pendapat) dalam madzhab. Adapun qoul satunya, maka batal orang yang menyentuh namun tidak membatalkan orang yang disentuh. 


Sesuai pendapat kedua yang ini adalah pendapat madzhab Syafii yg lemah, maka arah hadits tadi jelas. Wudhu Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak batal karena beliau yang disentuh. Bukan yang menyentuh. 


Namun sesuai pendapat yang mu'tamad madzhab, maka hadits ini ihtimalnya (takwil maknanya) bahwa sayyidah Aisyah menyentuh kaki Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan penghalang, tidak langsung kulit dengan kulit. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Majmu Syarah Muhadzdzab Cet.Darul Alamiyyah (2/31) ;

و أجاب هؤلاء عن حديث عائشة بأنه يحتمل كون اللمس كان فوق حائل

"Dan para ulama Syafiiyyah memberi jawaban terhadap hadits Aisyah. Bahwa hadits tersebut ditafsirkan dengan menyentuh namun terdapat penghalang (bukan langsung kulit dengan kulit)."


Wallahu Ta'ala A'lam


Dijawab Oleh Abu Harits Al-Jawi

_

Kirim pertanyaan melalui link berikut Tanya Ustadz

Senin, 28 November 2022

,

 


Pola pikir yang perlu diluruskan adalah ketika menganggap belajar fikih dari runutan kitab madzhab tertentu, berarti sama dengan mengajarkan fanatisme buta terhadap madzhab tersebut.


Perlu kita ketahui, bahwa sudah menjadi manhaj (metode) belajar para ulama, sejak zaman setelah imam madzhab yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafii, Ahmad rahimahumullah). Tidak ada satu ulama pun, dia awal mereka belajar fikih, kecuali belajar melalui fikih madzhab. Kemudian setelah itu barulah, ketika ilmu mereka mumpuni, mulai melakukan ijtihad-ijtihad dalam beberapa masalah fikih. Kendati demikian, tidak ada seorang pun dari mereka yang mendaku sebagai mujtahid mutlak seperti posisi imam madzhab empat. 


Oleh karenanya, perlu kita sadari. Belajar fikih melalui jalur madzhab tertentu dari empat madzhab yang ada adalah manhaj salaf (ulama terdahulu) dalam menapaki tangga fikih. Dan tidak ada satu orang pun yang mencela metode belajar ini. 


Adapun masalah fanatisme buta atau tidaknya, maka tidak bisa di pukul rata. Karena fanatisme sendiri, bukan dikembalikan kepada objek, namun kepada pelaku. Maka, ketika belajar fikih madzhab, lantas sang guru tidak bersikap lapang dalam menjelaskan khilaf fikih yang terjadi dan cara menyikapinya. Bahkan, condong menyampaikan madzhab yang kita pelajari inilah yang paling benar. Atau sang murid, yang salah mencerna dan memahami fikih dengan benar. Akhirnya memandang fikih saya yang sesuai sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sedang fikih lain adalah pendapat yang lemah dan tidak boleh diamalkan. Tentu ini bisa memunculkan sikap fanatisme. 


Jadi, sikap fanatisme tidak bisa dinisbatkan kepada objek. Namun kembali kepada person dalam memahami, mencerna, dan menyimpulkannya. 


Wallahu Ta'ala A'lam


Oleh Abu Harits Al-Jawi

Jumat, 25 November 2022

,

 


TANYA

Assalamualaikum
Hukum air PDAM bagaimana ya ?
Apakah air tersebut berubah menjadi thohir (bukan thohur) karena sudah tercampur zat kimia ketika proses penyulingan ? Karena hampir banyak masjid yg menggunakan air PDAM
Barokallahufiikum

Hamba Allah di Jakarta

JAWAB
Waalaikumussalam warohmatullah
Dari informasi yang kami dapatkan, memang pada air PDAM dicampurkan zat kimia yang berbentuk cair. Fungsinya adalah untuk menjernihkan air, karena biasanya air PDAM itu diambil dari air sungai yang keruh. Maka  dari sisi fikih, air PDAM ini adalah air mutlak yang dicampur ke dalamnya zat suci dalam bentuk mukhōlith (yang tidak bisa dipisahkan atau larut dalam air).

Hukum asalnya, bahwa air mutlak jika dicampur dengan dengan benda suci mukhōlith maka merubah status air menjadi tidak bisa mensucikan dengan syarat perubahan yang terjadi membuat air tadi tidak lagi disebut air secara mutlak. Berkata an-Nawawi :

فالمتغير بمستغنى عنه كزعفران تغيرا يمنع إطلاق اسم الماء غير طهور و لا يضر تغير لا يمنع الاسم

"Maka air yang berubah karena sesuatu yang tidak biasanya ada di air seperi safron dengan perubahan hingga level merubah penyebutan air mutlak adalah air yang tidak bisa digunakan untuk bersuci. Adapun jika perubahan tidak sampai merubah status nama air maka tidak masalah."
[ Minhajut Tholibin hal.12 ]

Berkata Ibn Qosim :

فإن لم يمنع إطلاق اسم الماء عليه بأن كان تغيره بالطاهر يسيرا ... فلا يسلب طهوريته فهو مطهر لغيره

"Jika tidak menghalangi penyebutan nama air secara mutlak dimana perubahan yang terjadi sedikit (taghoyyur yasīr)... maka tidak menghilangkan status air tersebut sebagai alat bersuci, dia bisa dipakai untuk mensucikan benda lainnya."
[ Fathul Qorib hal.11 ]

Kesimpulannya, air PDAM adalah air yang bisa digunakan untuk bersuci. Karena perubahan yang terjadi (seperti bau) tidak merubah status namanya dari air biasa. Maka perubahan yang terjadi masuk dalam kategori taghoyyur yasīr (perubahan sedikit).

Wallahu Ta'ala A'lam

Dijawab oleh Abu Harits al-Jawi

_
Silahkan kirim pertanyaan ada melalui link berikut: Tanya Ustad

Rabu, 09 November 2022

,


Berikut adalah sanad yang menyambungkan antara kami (Abu Harits Al-Jawi) kepada kitab Mukhtashor Lathif (fikih syafii) karya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Bafadhl rahimahullah.


تلقيت هذا الكتاب 

1) عن شيخي د. لبيب نجيب الشافعي العدني في ربيع الأخير 1440 هـ و أجازني به و هو 

2) عن الشيخ د.محمد بن أبي بكر باذيب 

3) عن عفيف الدين الناخي (1428 هـ) 

4) عن سالم بن مبارك الكلالي (1367 هـ) 

5) عن عمر بن مبارك بادباه (1360 هـ) 

6) عن علي بن محمد بن حسين الحبشي (1333 هـ) 

7) عن محمد بن حسين الحبشي (1281 هـ) 

8) عن عبد الله بن حسين بن طاهر (1272 هـ) 

9) عن عبد الرحمن بن علوي باعلوي (1216 هـ) 

10) عن عبد الرحمن بن عبد الله بلفقيه (1162 هـ) و الحسن بن عبد الله الحداد (1188 هـ) كلاهما 

11) عن عبد الله بن علوي الحداد (1132 هـ) 

12) عن عبد الله بن أبي بكر الخطيب التريمي (1098 هـ) 

13) عن أحمد بن عمر عديد ( بعد 1052 هـ) 

14) عن زين بن حسين بافضل (1026 هـ) 

15) عن أبيه الحسين بن عبد الله بافضل (979 هـ) 

16) عن أبيه المصنف عبد الله بن عبد الرحمن بلحاج بافضل الشافعي رحمهم الله جميعا

___


Kami mempelajari kitab ini secara langsung pada bulan Rabiul Awwal 1440 H dan mengijazahinya dari guru kami;

1. Syaikh Dr.Labib Najib Asy-Syafii Al-Yamani hafidzahullah

2. Dari Syaikh Dr.Muhammad bin Abi Bakr Bādzīb hafidzahullah

3. Dari Afīfuddīn An-Nākhī (w.1428 H) 

4. Dari Salim bin Mubarok Al-Kalālī (w.1367 H) 

5. Dari Umar bin Mubarok Bādibāh (w.1360 H) 

6. Dari Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi (w.1333 H) 

7. Dari Muhammad bin Husain Al-Habsyi (w.1281 H) 

8. Dari Abdullah bin Husain bin Thōhir (w.1272 H) 

9. Dari Abdurrahman bin Alwi Bā'alwi (w.1216 H) 

10. Dari Abdurrahman bin Abdullah Balfaqīh (w.1162 H) dan Al-Hasan bin Abdillah Al-Hadād (w.1188 H) 

11. Keduanya dari Abdullah bin Alwi Al-Haddād (w.1132 H)

12. Dari Abdullah bin Abi Bakr Al-Khothīb At-Tarīmī (w.1098 H) 

13. Dari Ahmad bin Umar 'Adīd (w. setelah tahun 1052 H) 

14. Dari Zain bin Husain Bāfadhl (w.1026 H) 

15. Dari ayahnya Al-Husain bun Abdillah Bāfadhl (w.979 H) 

16. Dari ayahnya penulis kitab Mukhtashor Lathīf Al-Allāmah Abdullah bin Abdurrahman Bāfadhl

Semoga Allah Ta'ala merahmati yang wafat dari mereka dan menjaga yang hidup dari mereka. Setiap orang dalam sanad ini mempelajari fikih Syafii dari gurunya tersebut. 


Oleh Abu Harits Al-Jawi

Jombang Kota Santri, 15 Rabiul Akhir 1444 H