Adapun nyanyian atau senandung tanpa alat musik. Maka penulis membaginya menjadi dua macam;
Pertama, nyanyian yang tidak berlebihan dalam permainan nada dan tempo, seperti senandung syair penggembala, atau nyanyian ibu untuk menidurkan bayi, dan semacamnya. Maka hukum asalnya adadlah mubah. Dan hukum mubah ini bisa berubah;
a) Jika di dalam syairnya ada penyebutan perkara yang sifatnya maksiat, maka haram hukumnya.
b) Jika di dalam syairnya ada penyebutan perkara yang sifatnya kebaikan, seperti motivasi dalam ilmu dan jihad, atau bersifat zuhud dan wara’, atau semacamnya, maka sunnah hukumnya.
Beliau menyampaikan;
فهذا إذا سلم المغنى به من فحش و ذكر محرم كوصف الخمور و القينات لا شك في جوازه و لا يختلف فيه
“Maka hal ini jika senandung itu tidak ada perkara yang maksiat dan tidak menyebutkan hal haram, seperti miras dan biduan wanita, maka hukumnya boleh, tidak ada khilaf.” [ Hal, 32-33 ]
Dalil dalam hal ini, adalah syair-syair yang disenandungkan para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika membangun masjid, ketika membuat khondaq (parit saat perang Ahzab), dan selainnya yang sudah masyhur. [ Hal, 33 ]
Kedua, senandung atau nyanyian dengan permainan nada dan tempo yang kuat, sehingga orang yang mendengarnya akan tergerak tubuhnya untuk mengikuti irama dan berjoget. Maka ada 11 pendapat ulama dalam masalah ini, namun pendapat paling kuat dalam madzhab Syafii (adzhar) dan pendapat madzhab Hanbali, hal ini adalah makruh. [ Hal, 33-35 ]
Dan inilah pendapat yang menjadi pilihan madzhab. Beliau mengatakan;
اعلم أن مذهبنا أنه يكره الغناء و سماعه إلا إن اقترن به ما يأتي
“Ketahuilah bahwa dalam madzhab kami, makruh mendengarkan nyanyian tersebut kecuali ketika disandingkan dengan perkara yang akan kita sebutkan.” [ Hal,26 ]
و به يعلم أن كل شعر فبه الأمر بالطاعة أو كان حكمة أو كان في مكارم الأخلاق أو الزهد و نحو ذلك من خصال الخير ... يكون كل من إنشاءه و إنشاده و سماعه سنة ... إذ وسيلة الطاعة طاعة
“Dan diketahui bahwa setiap syair di dalamnya ada ketaatan, atau hikmah, atau akhlak baik seperti zuhud, dan semisalnya … maka membuat, menyenandungkannya, dan mendengarnya adalah sunnah … karena wasilah ketaatan adalah sebuah ketaatan juga.” [ Idem ]
***
Mendudukkan Riwayat Dari Sahabat Mereka Mendengar Nyanyian
Sebagian ulama, seperti Abu Tholib Al-Makkiy dalam kitabnya Quutul Qulub [ hal, 34 ], ada yang menukil riwayat dari sebagian sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam ataupun para tabiin dan ulama salaf, sebagian dari mereka mendengarkan nyanyian atau bahkan musik-musik. Maka kita katakan, disini ada dua kemungkinan;
Pertama, sahabat atau ulama tersebut mendengarkan sesuatu yang dihukumi mubah, yaitu yang masuk kategori nyanyian pertama, dan tidak ada unsur keharaman atau kemakruhan sama sekali.
Kedua, jika memang ada nukilan secara jelas bahwa alim tersebut tidak mendengarkan kategori nyanyian pertama, seperti yang dinukil dari Ibrahim bin Sa’d Az-Zuhri (w.73 H), maka ada problem entah pada periwayatnya atau orang yg diriwayatkan tersebut. [ Hal, 34 & 83 ]
Beliau berkata;
و أن من نقل عن الصحابة و غيرهم أنهم نصوا على إباحة الغناء المتنازع فيه و هو القسم السابق فقد أخطأ خطأ قبيحا و غلط غلطا فاحشا. لأن الغناء من أفراده المجمع على حله و المختلف في حرمته، فتخصيص ما جاء عنهم بالثاني تحكم فاسد لا تشهد له قاعدة أصولية و لا حديثية
“Bahwa orang yang menukil dari sahabat atau selainnya, lalu ditetapkan hal tersebut berlaku untuk nyanyian yang ada khilaf di dalamnya, maka dia telah melakukan kesalahan yang fatal. Karena nyanyian, ada yang hukumnya disepakati kebolehannya, dan ada yang khilaf. Maka mengkhususkan nash yang ada pada jenis nyanyian kedua, adalah bentuk penetapan yang rusak yang tidak didukung oleh kaidah ushul ataupun hadits sama sekali.” [ Hal,37 ]
***
Hukum Senandung Suara Dari Wanita Non Mahram
Jika seorang wanita yang bersenandung, bagaimana hukum mendengarkan suaranya bagi laki-laki ajnabi ? Maka perlu diketahui, dalam internal madzhab ada khilaf, yang terbangun di atas sebuah masalah. Yaitu, apakah suara wanita ajnabiyyah aurot atau tidak ?
Pendapat pertama, menyatakan bahwa suara wanita adalah aurot. Ini adalah pendapat Ar-Rofii dan An-Nawawi dalam kitab Roudhoh. Maka dari sini, mendengarkan senandungnya juga dihukumi haram secara mutlak.
Pendapat kedua, menyatakan bahwa suara wanita bukanlah aurot. Dan ini pendapat yang lebih shahih dan menjadi mu’tamad madzhab. Maka, menurut pendapat kedua, mendengar senandung suara dari wanita, hukumnya tidak haram, kecuali jika khawatir fitnah, maka haram.
Beliau mengatakan;
يحرم سماع الغناء من حرة أو أمة أجنبية بناء على قول عندنا أن صوت المرأة عورة سواء أخاف فتنة بها أم لا، و كلام الشيخين في الروضة و أصلها في ثلاث مواضع يقتضي هذا هو الراجح في المذهب
“Haram hukumnya mendengar nyanyian dari wanita merdeka atau budak, terbangun di atas satu pendapat dalam madzhab, bahwa suara wanita adalah aurat. Sama saja, apakah khawatir fitnah atau tidak. Dan ucapan dua syaikh (Ar-Rofii dan An-Nawawi) dalam kitab Ar-Roudhoh, serta kitab Fathul Aziz Syarah Al-Wajiz di tiga tempat, mengarahkan bahwa pendapat ini yang kuat.”
و أما على أن صوتها غير عورة و هو الأصح فلا يحرم إلا إن خشي فتنة
“Adapun, jika dibangun atas dasar pendapat, bahwa suara wanita bukanlah aurot, dan ini pendapat paling shahih, maka hukum mendengar nyanyian wanita tidak haram, kecuali jika khawatir fitnah.” [ Hal,31 ]
***
Seri Bedah Kitab Kaff Ar-Ro'aa' | Chapter 2
Oleh Danang Santoso
Tidak ada komentar:
Posting Komentar