Selasa, 29 Juli 2025

,


Adapun nyanyian atau senandung tanpa alat musik. Maka penulis membaginya menjadi dua macam;

Pertama, nyanyian yang tidak berlebihan dalam permainan nada dan tempo, seperti senandung syair penggembala, atau nyanyian ibu untuk menidurkan bayi, dan semacamnya. Maka hukum asalnya adadlah mubah. Dan hukum mubah ini bisa berubah;

a) Jika di dalam syairnya ada penyebutan perkara yang sifatnya maksiat, maka haram hukumnya.

b) Jika di dalam syairnya ada penyebutan perkara yang sifatnya kebaikan, seperti motivasi dalam ilmu dan jihad, atau bersifat zuhud dan wara’, atau semacamnya, maka sunnah hukumnya.

Beliau menyampaikan;

فهذا إذا سلم المغنى به من فحش و ذكر محرم كوصف الخمور و القينات لا شك في جوازه و لا يختلف فيه

“Maka hal ini jika senandung itu tidak ada perkara yang maksiat dan tidak menyebutkan hal haram, seperti miras dan biduan wanita, maka hukumnya boleh, tidak ada khilaf.” [ Hal, 32-33 ]

Dalil dalam hal ini, adalah syair-syair yang disenandungkan para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika membangun masjid, ketika membuat khondaq (parit saat perang Ahzab), dan selainnya yang sudah masyhur. [ Hal, 33 ]

Kedua, senandung atau nyanyian dengan permainan nada dan tempo yang kuat, sehingga orang yang mendengarnya akan tergerak tubuhnya untuk mengikuti irama dan berjoget. Maka ada 11 pendapat ulama dalam masalah ini, namun pendapat paling kuat dalam madzhab Syafii (adzhar) dan pendapat madzhab Hanbali, hal ini adalah makruh. [ Hal, 33-35 ]

Dan inilah pendapat yang menjadi pilihan madzhab. Beliau mengatakan;

اعلم أن مذهبنا أنه يكره الغناء و سماعه إلا إن اقترن به ما يأتي

“Ketahuilah bahwa dalam madzhab kami, makruh mendengarkan nyanyian tersebut kecuali ketika disandingkan dengan perkara yang akan kita sebutkan.” [ Hal,26 ]

و به يعلم أن كل شعر فبه الأمر بالطاعة أو كان حكمة أو كان في مكارم الأخلاق أو الزهد و نحو ذلك من خصال الخير ... يكون كل من إنشاءه و إنشاده و سماعه سنة ... إذ وسيلة الطاعة طاعة

“Dan diketahui bahwa setiap syair di dalamnya ada ketaatan, atau hikmah, atau akhlak baik seperti zuhud, dan semisalnya … maka membuat, menyenandungkannya, dan mendengarnya adalah sunnah … karena wasilah ketaatan adalah sebuah ketaatan juga.” [ Idem ]

***

Mendudukkan Riwayat Dari Sahabat Mereka Mendengar Nyanyian

Sebagian ulama, seperti Abu Tholib Al-Makkiy dalam kitabnya Quutul Qulub [ hal, 34 ], ada yang menukil riwayat dari sebagian sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam ataupun para tabiin dan ulama salaf, sebagian dari mereka mendengarkan nyanyian atau bahkan musik-musik. Maka kita katakan, disini ada dua kemungkinan;

Pertama, sahabat atau ulama tersebut mendengarkan sesuatu yang dihukumi mubah, yaitu yang masuk kategori nyanyian pertama, dan tidak ada unsur keharaman atau kemakruhan sama sekali.

Kedua, jika memang ada nukilan secara jelas bahwa alim tersebut tidak mendengarkan kategori nyanyian pertama, seperti yang dinukil dari Ibrahim bin Sa’d Az-Zuhri (w.73 H), maka ada problem entah pada periwayatnya atau orang yg diriwayatkan tersebut. [ Hal, 34 & 83 ]

Beliau berkata;

و أن من نقل عن الصحابة و غيرهم أنهم نصوا على إباحة الغناء المتنازع فيه و هو القسم السابق فقد أخطأ خطأ قبيحا و غلط غلطا فاحشا. لأن الغناء من أفراده المجمع على حله و المختلف في حرمته، فتخصيص ما جاء عنهم بالثاني تحكم فاسد لا تشهد له قاعدة أصولية و لا حديثية

“Bahwa orang yang menukil dari sahabat atau selainnya, lalu ditetapkan hal tersebut berlaku untuk nyanyian yang ada khilaf di dalamnya, maka dia telah melakukan kesalahan yang fatal. Karena nyanyian, ada yang hukumnya disepakati kebolehannya, dan ada yang khilaf. Maka mengkhususkan nash yang ada pada jenis nyanyian kedua, adalah bentuk penetapan yang rusak yang tidak didukung oleh kaidah ushul ataupun hadits sama sekali.” [ Hal,37 ]

***

Hukum Senandung Suara Dari Wanita Non Mahram

Jika seorang wanita yang bersenandung, bagaimana hukum mendengarkan suaranya bagi laki-laki ajnabi ? Maka perlu diketahui, dalam internal madzhab ada khilaf, yang terbangun di atas sebuah masalah. Yaitu, apakah suara wanita ajnabiyyah aurot atau tidak ?

Pendapat pertama, menyatakan bahwa suara wanita adalah aurot. Ini adalah pendapat Ar-Rofii dan An-Nawawi dalam kitab Roudhoh. Maka dari sini, mendengarkan senandungnya juga dihukumi haram secara mutlak.

Pendapat kedua, menyatakan bahwa suara wanita bukanlah aurot. Dan ini pendapat yang lebih shahih dan menjadi mu’tamad madzhab. Maka, menurut pendapat kedua, mendengar senandung suara dari wanita, hukumnya tidak haram, kecuali jika khawatir fitnah, maka haram.

Beliau mengatakan;

يحرم سماع الغناء من حرة أو أمة أجنبية بناء على قول عندنا أن صوت المرأة عورة سواء أخاف فتنة بها أم لا، و كلام الشيخين في الروضة و أصلها في ثلاث مواضع يقتضي هذا هو الراجح في المذهب

“Haram hukumnya mendengar nyanyian dari wanita merdeka atau budak, terbangun di atas satu pendapat dalam madzhab, bahwa suara wanita adalah aurat. Sama saja, apakah khawatir fitnah atau tidak. Dan ucapan dua syaikh (Ar-Rofii dan An-Nawawi) dalam kitab Ar-Roudhoh, serta kitab Fathul Aziz Syarah Al-Wajiz di tiga tempat, mengarahkan bahwa pendapat ini yang kuat.”

و أما على أن صوتها غير عورة و هو الأصح فلا يحرم إلا إن خشي فتنة

“Adapun, jika dibangun atas dasar pendapat, bahwa suara wanita bukanlah aurot, dan ini pendapat paling shahih, maka hukum mendengar nyanyian wanita tidak haram, kecuali jika khawatir fitnah.” [ Hal,31 ]


***

Seri Bedah Kitab Kaff Ar-Ro'aa'  |  Chapter 2

Oleh Danang Santoso

Senin, 28 Juli 2025

,

Kitab ini dimulai, dari sebuah jamuan makan-makan di pertengan bulan Rabiul Awwal, tahun 958 H. Terjadilah sebuah obrolan ilmiyyah, hingga menyentuh kepada hukum masalah musik-musik dan nyanyian. Maka Ibnu Hajar (w.874 H) menjawab dengan jawaban yang cukup tajam, akan hal tersebut. Namun, sebagian yg hadir ada yang menyampaikan, bahwa ada kitab yang berjudul Farhul Asmaa' bi Rukhos As-Samaa' karya Syaikh Muhammad As-Syadzili, seorang syaikh dan mursyid dari thoriqoh tertentu. Maka, Ibnu Hajar pun membantah syubhat yang ada di dalam kitab tersebut.

Hingga jamuan pun selesai, dan Ibnu Hajar  pun kembali ke rumahnya. Selang beberapa waktu, ada seorang pembesar Makkah yang memberikan hadiah kepada beliau kitab Farhul Asmaa' tersebut. Maka, beliau pun membantah kitab tersebut, dengan membuat kitab tandingannya, yang berjudul Kaff Ar-Ro'aa' 'an Muharromaat As-Samaa'. Yang terjemahannya kurang lebih, Menahan Orang-Orang Bodoh Dari Hiburan Suara Yang Haram.

Di kitab ini pun, beliau membahas dalil-dalil yang berhubungan dengan nyanyian dan musik, hukum senandung suara tanpa alat musik, hukum alat musik yang dipukul, hukum alat musik yang ditiup, hukum alat musik yang berdawai, dan ditutup dengan beberapa alat-alat hiburan dan permaianan tertentu.

***
Sebelum beliau mulai membahas hukum, sebagai muqoddimah dan pengantar, beliau sebutkan dalil-dalil yg berhubungan dengan masalah terkait. Dimana, beliau menyebutkan, kurang lebih ada 24 riwayat hadits dan atsar, serta 2 ayat sebagai peringatan. Riwayat tersebut berasal dari 13 sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Salah satu yg menarik di bab ini, ketika beliau membawakan hadits Ibnu Mas'ūd radhiyallahu anhu yg marfū';

الغناء ينبت النفاق في القلب كما ينبت الماء البقل
"Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati, sebagaimana air menumbuhkan sayuran." [ HR.Abu Dawud, Ibn Abid Dunya dalam Dzammul Malāhiy, As-Suyūthiy dalam Al-Jāmi' As-Shoghīr ]

Beliau menyampaikan;

و اعلم أن بعض الصوفية الذين لا يعرفون مواقع الألفاظ و مدلولاتها قال؛ المراد بالغناء هنا غنى المال.اه‍ و كأنه لم يفرق بين الغناء الممدود و المقصور إذ الرواية إنما هي الغناء بالمد. و أما غنى المال فهو مقصور لا غير، ذكره الأئمة.
"Ketahuilah, bahwa sebagian orang shufi yg tidak mengetahui lafadz Arab dan maknanya, mengatakan; maksud kata al-ghinā adalah kekayaan harta.

Hal ini terjadi, seolah mereka tidak bisa membedakan antara kata al-ghinā dengan hamzah (isim mamdūd) dan al-ghinā dengan alif maqshūroh (isim maqshūr). Yg disebutkan dalam riwayat di atas itu, dengan hamzah, bukan alif, sedangkan kekayaan itu dengan alif, sebagaimana disebutkan oleh para ulama." (Hal,32)

Wallahu Ta'ala A'lam

***

Seri Bedah Kitab Kaff Ar-Ro'aa'  |  Chapter 1

Oleh Danang Santoso

Founder & Pengasuh Fiqhgram

Selasa, 22 Juli 2025

,

Alhamdulillah, bisa dipertemukan dengan Syaikhna Dr.Jamāl Mahmūd Al-'Adniy As-Syafii hafidzahullah, dan sempat men-sowan-kan dua kitab; Al-Arbaūn fil Ahkam karya Al-Mundzir dan Al-Luma' fi Ushūl Fiqh karya As-Syīrōziy yg sudah kami khatamkan dengan mengikuti dars beliau secara online.

Beberapa faedah fiqhiyyah yg didapatkan dari dauroh khataman kitab Al-Miftāh li Bāb An-Nikāh karya Habib Muhammad bin Sālim bin Hafīdz rahimahullah kali ini, menyimpulkan dari apa yg beliau sampaikan;

1. Masalah wanita yg menjalani masa iddah dengan hamil (dengan melahirkan). Iddahnya adalah wadh'ul haml (melahirkan). Bagaimana jika dia keguguran, apakah mutlak dihukumi juga sama seperti melahirkan ? Maka ada dua kondisi;

Pertama, jika janin masih berupa gumpalan darah ('alaqoh), maka tidak dianggap sudah selesai iddahnya. Alasannya, karena 'alaqoh tidak dianggap haml.

Kedua, jika janin sudah berupa segumpal daging mudhghoh) atau lebih, maka sudah dianggap selesai masa iddahnya.

2. Masalah, bahwa dalam akad nikah, tidak sah satu orang melakukan ijab dan qobul dirinya sendiri. Kecuali dalam satu kasus; yaitu ketika ada seorang kakek yang menikahkan cucu perempuan dari anak laki-lakinya, dengan cucu laki-laki nya dari anaknya yang lain (kedua mempelai adalah sepupu dari satu kakek yang sama), dengan syarat:

Pertama,  ayah dari kedua mempelai sudah meninggal sehingga kakeknya yang menjadi wali untuk kedua mempelai.

Kedua, kedua mempelai masih belum baligh.

Alasannya, karena kakek dalam kondisi ini memiliki rasa syafaqah (kasih sayang) yang kuat kepada kedua mempelai.

3. Tidak ada masalah jika ada aturan dari pemerintah, bahwa talak baru dianggap ketika dilaporkan ke pengadilan, dan ini masuk kategori maslahah mursalah. Namun dengan syarat, pengadilan menetapkan jumlah talak sesuai dengan ucapan talak yang sudah dilakukan oleh si laki-laki di rumah. Maka tidak benar, jika laki-laki sudah mentalak dua kali, lalu pengadilan menetapkan hanya satu kali, hanya dengan berlandaskan bahwa laporan yang masuk hanya sekali.

4. Termasuk perkara yang hendaknya dihindari oleh wanita, adalah menyusui anak orang lain, kecuali kalau memang dibutuhkan. Karena banyaknya menyusui anak orang lain, akan menimbulkan iltibas (ketidakjelasan) yang cukup rumit dalam masalah kemahraman dari anak kita.

5. Dari sudut pandang fikih, memiliki banyak anak tidak mutlak dihukumi sunnah. Namun, ini sifatnya kondisional individual. Jika memang daya dan potensi finansial (materi) kedua mempelai dirasa cukup, maka dianjurkan memperbanyak anak. Namun, jika kondisi finansial tidak cukup, maka tidak dianjurkan. Alasannya;

Pertama, agar anak-anak tidak dalam kondisi kekurangan harta. Imam Syafii ketika menafsirkan firman Allah ta'ala;

ذلك أدنى ألا تعولوا
"Hal itu lebih memudahkan kalian dalam nafkah."

Beliau berkata;

أَنْ لَا يَكْثُرَ من تَعُولُونَ إذَا اقْتَصَرَ الْمَرْءُ على وَاحِدَةٍ ، وَإِنْ أَبَاحَ له أَكْثَرَ منها
"Supaya tidak banyak orang yang harus kalian nafkahi, ketika seorang itu cukup dengan satu istri saja, meskipun boleh saja dia menikah lebih dari satu istri." [ Lihat Al-Umm (6/275), Ahkamul Qur'an lis Syafii (1/274) ]

Kedua, dalam Al-Quran penyebutan keturunan selalu digandengkan dengan harta, dan harta disebutkan lebih awal. Allah ta'ala berfirman dalam surat Al-Kahfi ayat 46;

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
"Harta & keturunan adalah perhiasan dunia."

Juga firman Allah ta'ala dalam surat Al-Muddatstsir ayat 11-13;

ذَرْنِي وَمَنْ خَلَقْتُ وَحِيدًا (11) وَجَعَلْتُ لَهُ مَالًا مَّمْدُودًا (12) وَبَنِينَ شُهُودًا (13)

"Biarkan Aku dan ciptaa-Ku * Aku berikan untuknya harta melimpah * Dan keturunan yg menjadi saksinya."

6. Apakah laki-laki punya masa iddah (masa tunggu dan terhalang dari menikah lagi) ? Jawabannya, hukum asalanya laki-laki tidak punya masa iddah kecuali dalam dua kondisi;

Pertama, dia punya istri 4 lalu menceraikan salah satunya. Maka dia tidak boleh menikah dengan istri kelima, sampai selesai masa iddah istri yg diceraikan.

Kedua, dia menceraikan istrinya, lalu ingin menikahi saudari/bibi istrinya. Maka tidak boleh, dan harus menunggu sampai iddah istrinya selesai.

Ini beberapa faedah, dan sebenarnya banyak faedah yang didapatkan. Hanya saja faedah yang kami sebutkan disini yang secara pribadi, cukup menarik bagi penulis. Barokallahu fikum, wallahu ta'ala a'lam.

•••
Jombang, 22 Juli 2025
Danang Santoso

Rabu, 16 Juli 2025

,

 

Apa yang dipraktekkan oleh sebagian kaum muslimin, dimana ketika jenazah sudah diletakkan di liang lahat, lalu ada yang mengadzani jenazah sebelum dikuburkan. Maka, ini adalah pendapat sebagian fuqoha. Dengan dalil, qiyas kepada kesunnahan mengadzani bayi yang baru lahir. Sisi pendalilannya, sebagaimana manusia yang baru muncul di dunia didengarkan seruan adzan, maka akhir pertemuannya dengan dunia pun didengarkan adzan.

Namun, hal ini dibantah oleh Ibnu Hajar Al-Haitami (w.973 H), dan menyampaikan bahwa tidak disunnahkan adzan ketika menguburkan jenazah. Adapun landasan qiyas yang dipakai, tidak bisa dibenarkan. Hal ini karena, tidak sama antara kehidupan dan kematian, kemunculan dan kepergian. Bagaimana bisa disamakan ? Maka ini adalah qiyas ma'a al-fariq (qiyas dua hal yang berbeda), sehingga dalil qiyas tidak bisa dipakai. Dan ketetapan Ibnu Hajar ini pun, diaminkan oleh fuqoha Syafiiyyah setelahnya dan tidak ada penolakan dari mereka. Sehingga sangat memungkinkan sekali kita klaim, bahwa mu'tamad madzhab Syafiiyyah dalam hal ini, tidak disunnahkan mengadzani jenazah.

Dalam Tuhfatul Muhtaj (1/461), Ibnu Hajar mengatakan;


قد يسن الأذان لغير الصلاة  كما في آذان المولود ، والمهموم ، والمصروع ، والغضبان ومن ساء خلقه من إنسان ، أو بهيمة وعند مزدحم الجيش وعند الحريق قيل وعند إنزال الميت لقبره قياسا على أول خروجه للدنيا لكن رددته في شرح العباب
"Disunnahkan adzan untuk selain shalat, yaitu adzan di telinga bayi yg baru lahir, orang yang kalut dalam kesedihan, orang yang kesurupan, orang yang sedang marah, orang atau hewan yang buruk perangainya, ketika pasukan sedang berkumpul, ketika ada kebakaran, dan ketika menurunkan jenazah ke kuburnya dengan dalil qiyas kepada kondisi awal munculnya dia ke dunia; namun hal terakhir ini sudah saya bantah di kitab Syarh Al-Ubaab."


Berkata Sayyid Bakri dalam I'anatut Tholibin (1/268);


واعلم أنه لا يسن الأذان عند دخول القبر، خلافا لمن قال بنسبته قياسا لخروجه من الدنيا على دخوله فيها.قال ابن حجر: ورددته في شرح العباب، لكن إذا وافق إنزاله القبر أذان خفف عنه في السؤال
"Ketahuilah bahwa tidak disunnahkan adzan ketika memasukkan jenazah ke dalam kubur, tidak seperti pendapat yang menyelisihinya dengan dalil qiyas saat jenazah baru lahir ke dunia. Berkata Ibnu Hajar; 'saya sudah bantah hal ini di kitab Syarh Al-Ubaab.' Namun, jika ketika memasukkan jenazah, bertepatan dengan suara adzan (dari masjid -edt), diharapkan akan diringankan dalam pertanyaan kuburnya."

Kesimpulannya, bahwa sesuai kaidah madzhab Syafiiyyah, yang mu'tamad tidak disunnahkan mengadzani jenazah ketika menguburkannya. Wallahu ta'ala a'lam.


***
Jombang, 17 Juli 2025

Danang Santoso

Pengasuh Fiqhgram | Alumni Mahad Aly Al-Aimmah Malang | Santri Mahad Al-Nawawi Takhossus Fiqh Syafii

Sabtu, 05 Juli 2025

,


Secara asal, mubah hukumnya memanfaatkan sumber daya alam yg Allah Ta'ala ciptakan. Dalilnya, firman Allah Ta'ala;

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
"Dia-lah yg telah menciptakan untuk kalian apapun semua yg ada di bumi." [ Al-Baqarah ayat 29 ]

Al-Qurthūbi dalam tafsirnya menyatakan;

استدل من قال إن أصل الأشياء التي ينتفع بها الإباحة بهذه الآية وما كان مثلها ... حتى يقوم الدليل على الحظر
"Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini dan semisalnya, bahwa hukum asal dalam pemanfaatan bumi adalah mubah ... hingga ada dalil yg menunjukkan akan pelarangannya."

Termasuk di dalamnya adalah, pemanfaatan lahan untuk pertambangan sumber daya alam. Maka hukum asalnya adalah mubah, namun dengan beberapa syarat;

Pertama, tidak memberikan kemudharatan kepada penduduk sekitar, baik secara langsung ataupun tidak langsung.

Secara langsung, seperti tempat galian tambang yg sangat dekat dengan rumah warga. Yg berkemungkinan tanahnya longsor beserta rumah yg ada di dekatnya.

Secara tidak langsung, seperti dengan pencemaran terhadap sumber daya penduduk, seperti air. Sehingga tidak bisa dimanfaatkan lagi.

Jika tidak terpenuhi syarat ini, maka hukum tambang adalah haram. Karena hadits yg masyhur;

لا ضرر و لا ضرار
"Tidak boleh memberikan kemudaratan."

Kedua, tidak memberikan kemudaratan kepada hewan-hewan yg ada disekitar tempat tersebut. Maka, harus ada relokasi atau perlindungan bagi satwa yg ada disana. Tidak boleh mereka dibiarkan mati begitu saja. Jika tidak, maka haram hukumnya. Dalam hadits yg marfu' disebutkan;

لَوْلا أَنَّ الْكِلابَ أُمَّةٌ مِنَ الأُمَمِ لأَمَرْتُ بِقَتْلِ كُلِّ أَسْوَدٍ بَهِيمٍ
"Seandainya bukan karena anjinh-anjing itu adalah satu umat dari umat-umat yg ada, tentu aku sudah perintahkan untuk memburu semua anjing hitam." [ HR.Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah ]

Al-Khotthōbiy dalam Ma'ālimus Sunan Syarh Abu Dawud (4/289) menyatakan;

معناه: أنَّه صلى الله عليه وآله وسلم كرِهَ إفناءَ أمةٍ مِن الأمم، وإعدام جيلٍ مِن الخلق حتى يأتي عليه كلِّه فلا يبقى منه باقية؛ لأنه ما مِن خلقٍ لله تعالى إلَّا وفيه نوعٌ مِن الحكمة وضربٌ مِن المصلحة
"Maknanya bahwa beliau shallallahu alaihi wa sallam membenci pemusnahan satu kelompok tertentu, pemusnahan satu generasi dari makhluk, hingga tidak tersisa. Karena, tidaklah Allah menciptakan makhluk, kecuali ada hikmah dan maslahat dibaliknya."

Dalam hadits lain lebih jelas, disebutkan;

مَن قَتَلَ عُصفُورًا عَبَثًا عَجَّ إلى اللهِ عَزَّ وجَلَّ يَومَ القِيامةِ يَقُولُ: يا رَبِّ إنَّ فُلاَنًا قَتَلَنِي عَبَثًا ولَم يَقتُلنِي لمَنفَعةٍ
"Siapa yg membunuh seekor burung secara sia-sia, dia akan mengadu kepada Allah Ta'ala pada hari kiamat dan mengatakan; 'Duhai Rabb, sungguh fulan membunuhku di dunia bukan untuk kemanfaatan."
[ HR.Ahmad & An-Nasai, dishahihkan oleh Al-Hakim ]

Oleh karenanya, para fuqoha memperhatikan nyawa dari makhluk Allah (hayawān muhtarom), tidak dibiarkan mati begitu saja. Bahkan, orang tidak boleh wudhu jika airnya digunakan untuk minum hewan yg akan mati kehausan.

Ketiga, tidak boleh melakukan aktifitas tambang habis-habisan, tanpa ada upaya untuk perbaikan alam yg sudah rusak. Jika tidak, maka aktifitas tambang semacam ini makruh dilakukan. Karena Allah Ta'ala melarang melakukan pengrusakan di bumi;

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا
"Dan jangan melakukan kerusakan di bumi setelah perbaikannya." [ Al-A'raf ayat 56 ]

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

لَا تَقْطَعُوا الشَّجَرَ، فَإِنَّهُ عِصْمَةٌ لِلْمَوَاشِي فِي الْجَدْبِ
"Jangan potong pepohonan, sungguh dia adalah tempat perlindungan hewan-hewan di masa kemarau." [ HR.Abdurrazaq dalam Al-Mushonnaf ]

Oleh karenanya, para fuqoha memakruhkan aktifitas-aktifitas yg berkonotasi "merusak" lingkungan. Seperti buang air di bawah pohon, buang air di air sumber air yg menggenang, berlebihan dalam penggunaan air untuk bersuci, dan lainnya.

Keempat, pemilik tambang jika dia muslim, wajib membayar zakat tambang; jika tambang tersebut adalah tambang emas dan perak. Dan jika bukan tambang emas atau perak, dia wajib membayar zakat perniagaan.

Zakat tambang, dikeluarkan 2,5 % dari hasil tambang, ketika jumlah perolehan tambang sudah mencapai nishob. Untuk emas, nishobnya 85 gr. Untuk perak, nishobnya 595 gr. Maka misal dalam sehari, tambang emasnya berhasil mengeruk 45 gr, maka setiap dua hari sekali, dia keluarkan zakatnya.

Jika tambang non emas & perak, maka setiap akhir tahun, dihitung jumlah aset dagang + uang niaga, lalu dikeluarkan 2,5 % dari keseluruhan. Wallahu Ta'ala A'lam.


***
Jombang, 9 Muharram 1446 H/ 5 Juli 2025 M
Danang Santoso
Alumni Ma'had Aliy Al-Aimmah | Santri Mahad Al-Nawawi Takhossus Fiqh Syafii | Founder Fiqhgram