Rabu, 01 Mei 2024

STATUS HUKUM PENGADAAN SHALAT JUMAT OLEH PARA SANTRI ATAU MAHASISWA

Perlu difahami dalam hal, yang mu'tamad dalam madzhab Syafii (pendapat resmi dari kebanyakan ulama madzhab) diantara syarat sahnya shalat jumat adalah jumlah 40 orang yang kesemuanya berstatus mustauthin atau mutawatthin. Yaitu seseorang yang memang berdomisil tinggal tetap disitu. Maka, orang yang statusnya hanya mukim (tinggal sementara) di suatu tempat; tidak dianggap dalam hitungan 40 orang tadi. Oleh karenanya, kalau kesemua jamaah jumat berstatus santri atau mahasiswa yang mukim sementara, tanpa ada penduduk yang berdomisili disitu dengan jumlah 40 orang. Shalat jumat yang dilaksanakan tidaklah sah. Dan mereka harus mengulang shalat dhuhur. Syamsuddin Al-Romli mengatakan;

فَلَا تَنْعَقِدُ بِغَيْرِ الْمُتَوَطِّنِ كَمَنْ أَقَامَ عَلَى عَزْمِ عَوْدِهِ إلَى وَطَنِهِ بَعْدَ مُدَّةٍ وَلَوْ طَوِيلَةً كَالْمُتَفَقِّهَةِ وَالتُّجَّارِ لِعَدَمِ التَّوَطُّنِ

"Maka tidak dianggap sah shalat jumat tanpa adanya mutawaththin (penduduk sekitar). Seperti (tidak termasuk mutawatthin) adalah orang yang mukim sementara yang akan kembali ke kampung halamannya setelah beberapa waktu. Meski waktu yang panjang; seperti pembelajar (santri atau mahasiswa) atau para pedagang. Karena mereka tidak memenuhi syarat tawatthun (tinggal tetap)." 
[ Nihayatul Muhtaj. Cetakan Darul Fikr, Beirut. (2/306) ]

Hal yang senada juga disampaikan oleh banyak dari para fuqoha madzhab dari kalangan para pensyarah, diantaranya juga penulis Busyrol Karim Syarah Masail Ta'lim (2/6). Alasan dalam hal ini, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika haji wadda beliau tidak mendirikan shalat jumat. Padahal beliau pada saat itu tinggal lebih dari batas safar (3 hari) ketika haji.

Namun, sebagian fuqoha madzhab menyatakan, dalil dalam hal ini tidaklah kuat. Diantaranya Taqiyuddin As-Subki (w.756 H) dalam Al-Ibtihaj Syarah Minhajut Tholibin (manuskrip) menyatakan;

لم يقم عندي دليل على عدم انعقادها بالمقيم غير المتوطن
"Tidak ada dalil yang kuat menurut saya tentang ketidakabsahan shalat jumat yang dilakukan oleh jamaah mukim saja yang bukan mutawatthin." 
[ Lihat Busyrol Karim. Cetakan Darul Mukhtar, Surabaya. (2/6), lihat juga Hasyiyatul Jamal 'ala Fathil Wahhab. Cetakan Darul Fikr, Beirut. (2/21) ]

Hal ini pun disetujui beberapa ashab hawasyi seperti Sulaiman Al-Jamal (w.1204 H) dan Al-Qolyubi (w.1069 H), dan beliau berkata;

هَذَا مَا قَالَهُ تَبَعًا لِلْإِسْنَوِيِّ وَغَيْرِهِ وَأَطْبَقَ عَلَيْهِ الشُّرَّاحُ وَهُوَ لَا يَحْسُنُ أَنْ يَكُونَ دَلِيلًا عَلَى عَدَمِ انْعِقَادِهَا  بِالْمُقِيمِ  غَيْرِ الْمُسْتَوْطِنِ
"Dan pendapat ini (tidak sah jika hanya jamaah jumat yang mukim) mengikuti pendapat Al-Isnawi (w.772 H) dan selainnya, dan diikuti oleh kebanyakan para syurroh. Dan hal ini tidak benar dari sisi pendalilan bahwa tidak sah jumat dengan jamaah mukim tanpa mustauthin."
[ Hasyiyah Qolyubi ala Kanzur Roghibin. Cetakan Darul Fikr, Beirut. (1/317-318) ]

Alasan yang diberikan, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak melaksanakan shalat jumat. Karena memang status beliau di Haji Wada' adalah musafir bukan mukim. Buktinya beliau shalatnya dengan qoshor dan jamak. Kalau seandainya statusnya mukim, beliau tidak mungkin mengqoshor atau jamak.

Kesimpulannya, bahwa secara pribadi berdasarkan pendapat sebagian ulama madzhab maka dipersilahkan bagi jamaah mukim (seperti santri pondok atau mahasiswa) untuk melaksanakan shalat jumat, dengan syarat jika memang ada maslahat disitu. Jika tidak, maka kembali kepada pendapat mu'tamad madzhab Syafii (dan ini juga pendapat madzhab Hanbali dan Maliki). Wallahu ta'ala a'lam.

✍️ Oleh Abu Harits Al-Jawi
#fikihjumat #fikihsyafii

🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar