Minggu, 01 Juni 2025

,

Sebelum kita bahas hal ini, perlu dudukkan dahulu mana titik kesepakatan, dan mana titik perselisihannya (tahrīr mahallin nizā').

Pertama, ulama sepakat bahwa meski hari raya di hari jumat, tetap harus ada pelaksanaan shalat jumat.

Kedua, ulama sepakat bahwa orang yg tidak hadir shalat jumat, dia tetap shalat dhuhur.

Ketiga, ketika sudah ada pelaksanaan shalat jumat yg sah di sebuah tempat, lalu apakah sebagian warga lain tetap wajib hadir jumat ? Maka disinilah perselisihan muncul.


***
Pembahasan ini akan kita mulai, dari sebuah hadits yg diriwayatkan dari Abu Ubaid, dia mengatakan;


ثمَّ شهدتُ مع عُثمانَ بنِ عَفَّانَ، فكان ذلك يومَ الجُمُعةِ، فصلَّى قبْل الخُطبةِ، ثم خطَبَ فقال: يا أيُّها الناسُ، إنَّ هذا يومٌ قد اجتمَعَ لكم فيه عِيدانِ؛ فمَن أحبَّ أن يَنتظِرَ الجُمُعةَ مِن أهلِ العوالي فليَنتظرْ، ومَن أحبَّ أنْ يَرجِع فقدْ أَذِنْتُ له


"Saya hadir bersama Ustman bin Affan radhiyallahu anhu (shalat ied), dan saat itu adalah hari jumat. Maka beliau shalat ied sebelum khutbah, lalu beliau berkhutbah, dan mengatakan; ((Wahai manusia, hari ini terjadi dua hari raya. Maka, siapa yg ingin menunggu jumat dari para penduduk pinggiran kota, maka silahkan menunggu. Dan siapa yang menginginkan untuk kembali ke rumah, silahkan saya izinkan." [ HR.Bukhari (5571) ]


Juga hadits Iyyas bin Romlah As-Syami, dia mengatakan;


شهدتُ معاويةَ بنَ أبي سُفيانَ وهو يَسألُ زيدَ بن أرقمَ، قال: أشهدتَ مع رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عِيدَينِ اجتمعَا في يوم؟ قال: نعمْ، قال: فكيفَ صنَعَ؟ قال: صلَّى العِيدَ ثمَّ رخَّصَ في الجُمُعةِ، فقال: ((مَن شاءَ أنْ يُصلِّيَ، فليصلِّ))


"Aku bersama Muawiyyah bin Abi Sufyan radhiyallahu anhuma, beliau bertanya kepada Zaid bin Arqom radhiyallahu anhu; 'Apakah engkau pernah bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendapati dua hari raya dalam satu hari ?' Beliau menjawab; 'Iya.' Beliau bertanya; 'Apa yg beliau lakukan ?', beliau menjawab; 'Beliau shalat ied lalu beliau memberi keringanan bagi shalat jumat, sembari berkata ((Siapa yg ingin shalat jumat, silahkan shalat))." [ HR.Abu Dawud (1070), Ibnu Majah (1310) ]


Dari atsar ini, maka seolah memberikan isyarat, bahwa orang yg sudah shalat ied; maka tidak wajib shalat jumat. Karena diizinkan pulang ke kampungnya, dan tidak menunggu shalat jumat di masjid Nabawi. Namun, kita sampaikan, keringanan tidak hadir shalat jumat di atas berlaku, karena mereka adalah penduduk pinggiran kota Madinah di zaman itu (ahlul quro wal 'awāliy). Yang mana, jaraknya cukup jauh dari tempat tinggal mereka ke masjid Nabawi. Sehingga, akan menjadi berat jika hadir kembali lagi.


***
Dalam madzhab Syafii sendiri, Imam Nawawi (w.676 H) dalam Al-Majmū' (4/491);


اما الأحكام فقال الشافعي والأصحاب إذا اتفق يوم جمعة يوم عيد وحضر أهل القرى الذين تلزمهم الجمعة لبلوغ نداء البلد فصلوا العيد لم تسقط الجمعة بلا خلاف عن أهل البلد وفي أهل القرى وجهان الصحيح المنصوص للشافعي في الأم والقديم أنها تسقط، (والثاني) لا تسقط


"Adapun tentang hukum, maka Imam Syafii dan ulama Syafiiyyah menyatakan; jika hari jumat bertepatan dengan hari ied, lalu disitu penduduk kampung yang hadir yang mana suara adzan mencapai tempat mereka, dan mereka ikut shalat ied. Maka kewajiban jumat tidak gugur bagi penduduk kota. Adapun penduduk kampung, maka ada dua wajh (pendapat) dalam madzhab.

Pendapat pertama, gugur kewajiban hadir jumat sesuai pendapat yg shahih dan disebutkan Imam Syafii dalam Al-Umm dan qoul qodimnya.

Pendapat kedua, tetap wajib jumat."


Lebih jelas lagi, dalam Roudhotut Tholibin (2/79), Imam Nawawi (w.676 H) menjelaskan;


إذا وافق يوم العيد يوم جمعة، وحضر أهل القرى الذين يبلغهم النداء لصلاة العيد، وعلموا أنهم لو انصرفوا لفاتتهم الجمعة، فلهم أن ينصرفوا، ويتركوا الجمعة في هذا اليوم على الصحيح المنصوص في القديم والجديد. وعلى الشاذ: عليهم الصبر للجمعة.


"Jika hari ied bertepatan di hari jumat, dan penduduk kampung yang mendengar panggilan shalat ied, dan mengetahui bahwa kalau mereka kembali ke kampungnya, mereka tidak akan mendapatkan jumat. Maka boleh bagi mereka kembali ke kampungnya dan meninggalkan shalat jumat di hari tersebut, sesuai pendapat yang shahih terdapat dalam qoul qodim dan jadid. Adapun pendapat yg syadz (lemah) dalam madzhab; harus tetap sabar menunggu sampai pelaksanaan shalat jumat."

Khothib Syirbini (w.977 H) dalam Mughnil Muhtaj (1/539) mengatakan;


ولو وافق العيد يوم جمعة فحضر أهل القرية الذين يبلغهم النداء لصلاة العيد ولو رجعوا إلى أهلهم فاتتهم الجمعة فلهم الرجوع وترك الجمعة يومئذ على الأصح


"Seandainya hari ied bertepatan dengan hari jumat, lalu orang-orang kampung yg mendengar seruan ied ikut hadir. Seandainya mereka kembali, maka akan terlewat shalat jumat; maka boleh mereka pulang dan meninggalkan shalat jumat di hari itu, menurut pendapat yg paling shahih."


Syamsuddin Ar-Romli (w.1004 H) dalam Nihayatul Muhtaj (2/291) pun berkesimpulan dari hasil tahqīq-nya dengan mengatakan;


ولو وافق العيد يوم الجمعة فحضر أهل القرية الذين بلغهم النداء لصلاة العيد فلهم الرجوع قبل صلاتها وتسقط عنهم وإن قربوا منها وسمعوا النداء وأمكنهم إدراكها لو عادوا إليها لخبر «من أحب أن يشهد معنا الجمعة فليفعل ومن أحب أن ينصرف فليفعل» رواه أبو داود


"Jika hari ied bertepatan dengan hari jumat, dan penduduk kampung (pinggiran kota) yang mendengar seruan untuk shalat ied hadir, maka boleh bagi mereka kembali ke kampungnya setelah shalat, dan tidak wajib hadir jumat. Meski dekat dengan pelaksanaan jumat, bisa mendengar adzan, bisa mengejar waktu untuk bisa hadir. Landasannya hadits ((Siapa yg hadir shalat jumat bersama kami, silahkan lakukan. Dan siapa yg ingin pulang, silahkan pulang)), hadits riwayat Abu Dawud."


***
Dari beberapa literatur di atas, bisa kita lihat. Bahwa dalam madzhab Syafiiyyah di kasus ini, membagi jamaah shalat menjadi dua; penduduk kota dan penduduk desa. Dimana, penduduk kota di zaman itu adalah orang yang tinggal dekat dengan masjid Nabawi. Maka mereka wajib datang ke masjid untuk shalat jumat. Adapun penduduk desa, adalah orang yang tinggalnya lumayan jauh dari masjid Nabawi. Yang mana, kalau mereka harus pergi ke masjid Nabawi di pagi hari untuk shalat ied, lalu kembali lagi pulang ke rumah lalu kembali lagi ke masjid Nabawi untuk shalat jumat; hal tersebut menjadi perkara yang memberatkan. Atau diharuskan menunggu di masjid Nabawi sampai shalat jumat, maka juga memberatkan. Alasan masyaqqah ini juga sudah disampaikan oleh Syamsuddin Ar-Romli mengatakan dalam Nihayatul Muhtaj (2/79);


ولأنهم لو كلفوا بعدم الرجوع أو بالعود إلى الجمعة لشق عليهم والجمعة تسقط بالمشاق

"Dan karena seandainya penduduk kampung diperintahkan untuk tetap menunggu di masjid, atau boleh kembali ke rumah dan harus kembali lagi ke masjid untuk shalat jumat, akan memberatkan mereka. Dan kewajiban shalat jumat gugur dengan adanya kesulitan."


***
Maka dari sini, bisa kita simpulkan dalam beberapa point;

Pertama, kebolehan orang yang hadir shalat ied untuk shalat jumat di zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam berlaku ketika ada alasan; yaitu jarak rumahnya ke masjid tempat shalat jumat jauh dan memberatkan, yang mereka ini adalah ahlul qoryah dan awali Madinah. Dan bukan mutlak untuk semua orang.

Kedua, jika di tarik ke ranah modern, hampir semua orang sekarang jarak tempat tinggalnya dengan masjid untuk pelaksanaan shalat jumat tidaklah terlalu jauh. Karena hampir di setiap kampung sudah memiliki masjid masing-masing. Maka, hampir bisa kita pastikan hari ini, bahwa orang yang hadir shalat ied, tetap wajib shalat jumat, karena tidak ada alasan berat untuk kembali ke masjid. Wallahu ta'ala a'lam.


Jombang, 5 Dzulhijjah 1446

Oleh Danang Santoso

Alumni Mahad Aly Al-Aimmah Malang & Santri Mahad Al-Nawawi Takhossus Fiqh Syafii

Jumat, 23 Mei 2025

,


Bulan Dzulhijjah dalam sudut pandang Islam memiliki keistimewan. Diantara bentuk keistimewaan yang dimiliki, bahwasanya di bulan ini, berbagai macam ibadah terkumpulkan dan disyariatkan secara khusus. Dan secara spesifik, keistimewaan tersebut dimiliki pada tanggal 1 sampai 13 Dzulhijjah. Dan diantara bentuk keistimewaan har-hari di bulan Dzulhijjah ini, adalah;

 

Pertama, Allah Ta’ala menjadikannya sebagai sumpah-Nya. Dan ketika Allah menjadikan salah satu makhluk-Nya sebagai sumpah, menunjukkan akan keistimewaan akan makhluk tersebut. Allah Ta’ala berfirman;

وَالْفَجْرِ (1) وَلَيالٍ عَشْرٍ (2)

“Demi fajar (1) Demi malam-malam yang berjumlah 10 (2).”

[ QS Al-Fajr ayat 1-2 ]

 

Imam Al-Baghowi (510 H) dalam tafsirnya menyampaikan;

 رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّهَا الْعَشْرُ الْأُوَلُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ. وَهُوَ قَوْلُ مُجَاهِدٍ وَقَتَادَةُ وَالضَّحَّاكُ والسدي والكلبي

“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma; malam-malam itu adalah 10 hari pertama dari bulan Dzulhijjah. Dan ini pendapat Mujahid, Qotadah, Ad-Dhohhak, As-Suddiy, dan Al-Kalbiy.”

 

Kedua, 10 hari pertama bulan Dzulhijjah disebut sebagai hari yang sudah diketahui (ayyam ma’lumat), yang didalamnya banyak dzikir dilambungkan dalam memuji Allah Ta’ala dan mengagungkan-Nya. Allah Ta’ala berfirman;

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk diri mereka sendiri, dan menyebut nama Allah Ta’ala di hari-hari yang sudah diketahui, atas apa yang telah Allah Ta’ala berikan rezeki kepada mereka berupa hewan ternak, maka makanlah darinya, dan berikan kepada orang miskin yang tidak meminta dan yang meminta.”

[ QS Al-Hajj ayat 28 ]

 

Imam Al-Baghowi (510 H) dalam tafsirnya menyatakan;

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُوماتٍ، يَعْنِي عَشْرَ ذِي الْحِجَّةِ فِي قَوْلِ أَكْثَرِ الْمُفَسِّرِينَ

“{Dan mereka menyebut nama Allah di hari-hari yang diketahui} yaitu 10 hari pertama bulan Dzulhijjah menurut pendapat mayoritas ahli tafsir.”

 

Ketiga, 10 hari pertama bulan Dzulhijjah adalah hari paling utama dalam ibadah kepada Allah Ta’ala. Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ» يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ قَالَ: «وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ

“((Tidak ada hari yang amal-amal sholeh di dalamnya lebih dicintai Allah Ta’ala melebihi hari-hari ini -yaitu 10 hari pertama Dzulhijjah-)).’ Maka para sahabat bertanya; ‘Wahai Rasulullah tidakkah menyamai jihad di jalan Allah ?’. Maka beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab; ((Bahwa jihad tidak bisa menyamainya, kecuali jika dia jihad dengan nyawa dan hartanya, lalu dia tidak kembali dengan keduanya -dia mati dan hartanya habis -edt-)).”

[ HR.Abu Dawud (2438) ]

 

AMALAN SELAMA BULAN DZULHIJJAH

1. Menjalankan ibadah haji dan umroh

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ، وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

“Siapa ayng haji, lalu dia tidak berbuat keji dan tidak berbuat fasiq, maka dia kembali seperti hari dimana dia baru dilahirkan ibunya.”

[ HR.Bukhari (1521) ]

Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan;

الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ، وَالْعُمْرَتَانِ أَوِ الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ يُكَفَّرُ مَا بَيْنَهُمَا

“Haji mabrur, tidak ada balasan kecuali surga, dan umroh yang satu ke umroh berikutnya, menghapuskan dosa antara keduanya.”

[ HR.Ahmad (7354) ]

 

2. Berqurban

Sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam;

مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ، إِنَّهُ لَيَأْتِي يَوْمَ القِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلاَفِهَا، وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنَ الأَرْضِ، فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا

“Tidak ada amalan manusia di hari qurban (iedul adha) yang lebih dicintai Allah Ta’ala melebihi amal menumpahkan darah (qurban). Sungguh qurbannya akan datang padanya pada hari kiamat, dengan tanduknya, bulunya, kukunya. Dan bahwa darahnya sampai disisi Allah Ta’ala (pahalanya) sebelum terjatuh ke bumi. Maka hendaknya kalian berkurban.”

[ HR.Tirmidzi (1493) ]

Juga sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada sayyidah Fathimah radhiyallahu anha;

قَوْمِي إِلَى أُضْحِيَّتِكَ فَاشْهَدِيهَا فَإِنَّ لَكِ بِأَوَّلِ قَطْرَةٍ تَقْطُرُ مِنْ دَمِهَا يُغْفَرُ لَكِ مَا سَلَفَ مِنْ ذُنُوبُكَ» قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا لَنَا أَهْلَ الْبَيْتِ خَاصَّةً أَوْ لَنَا وَلِلْمُسْلِمِينَ عَامَّةً؟ قَالَ: «بَلْ لَنَا وَلِلْمُسْلِمِينَ عَامَّةً»

“((Wahai Fatimah, berdirilah dan saksikan qurbanmu, sesungguhnya sejak tetesan pertama dari darahnya, dosamu yang telah lalu akan diampuni)). Maka ada seorang sahabat yang bertanya; ‘Wahai Rasulullah, apakah ini berlaku hanya untuk keluargamu saja atau seluruh kaum muslimin ?’. Beliau menjawab; ((Ini berlaku untuk semua kaum muslimin)).”

[ HR.Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (7525 & 7526), dan beliau berkata; hadits ini shahih sanadnya ]

 

3. Puasa Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah)

Sebagaimana hadits Abu Ayyub Al-Anshori radhiyallahu anhu;

سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ؟ فَقَالَ: ((يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ))

“Nabi shallallahu alaihi wa sallam ditanya tentang puasa hari Arafah. Maka beliau berkata; ((Puasa Arafah bisa menghapus dosa setahun yang telah lalu dan yang akan datang)).”

[ HR.Muslim (1162) ]

 

4. Puasa tanggal 1-8 Dzulhijjah

Sebagaimana hal ini diriwayatkan dari sebagian istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam;

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ، وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ

“Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam puasa 9 hari bulan Dzulhijjah, hari Asyuro, 3 hari setiap bulan, hari senin dan kamis pertama setiap bulan.”

[ HR.Abu Dawud (2437), Ahmad (22334) ]

 

Juga hadits Hafshoh radhiyallahu anha berkata;

 أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صِيَامَ عَاشُورَاءَ، وَالْعَشْرَ، وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ

“Empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam; puasa Asyuro, puasa 10 hari Dzulhijjah, puasa 3 hari setiap bulan, shalat dua rakaat sebelum shubuh.”

[ HR.An-Nasai (2416) ]

 

 

Imam Nawawi (676 H) dalam Roudhotut Tholibin (2/388) menyatakan;

قُلْتُ: وَمِنَ الْمَسْنُونِ، صَوْمُ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ، غَيْرَ الْعِيدِ

“Dan saya katakan; disunnahkan pula puasa 10 hari bulan Dzulhijjah selain hari rayanya.”

 

Ibnu Hajar (974 H) dalam Tuhfatul Muhtaj (3/454) juga menyatakan;

(وَ) يُسَنُّ بَلْ يَتَأَكَّدُ صَوْمُ تِسْعِ الْحِجَّةِ لِلْخَبَرِ الصَّحِيحِ فِيهَا

“(Dan) disunnahkan bahkan ditekankan puasa sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah karena riwayat yang shahih dalam hal ini.”

Adapun hadits Aisyah radhiyallahu anha;

مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَائِمًا فِي الْعَشْرِ قَطُّ

“Aku tidak pernah melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam puasa di sepuluh hari Dzulhijjah sama sekali.”

[ HR.Muslim (1176), Tirmidzi (756), dan lainnya ]

 

Maka dijawab dengan dua jawaban;

 

Pertama, ketika dua hadits yang sama-sama shahih bertentangan, maka kaidah menyatakan bahwa riwayat yang menetapkan sebuah amalan lebih dikuatkan daripada yang menafikan amalan tersebut. Karena bagi yang menetapkan ada ziyadah ilm (tambahan informasi yang tidak diketahui oleh yang menafikan). Dan ini yang ditempuh oleh Imam Al-Baihaqi dalam Sunan Kubro-nya (8394), setelah meriwayatkan hadits Aisyah radhiyallahu anha di atas, beliau menyatakan;

وَالْمُثْبِتُ أَوْلَى مِنَ النَّافِي مَعَ مَا مَضَى مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ

“Dan yang menetapkan lebih didahulukan daripada yang menafikan, disertai hadits Ibnu Abbas yang telah berlalu.”

 

Kedua, hadits Aisyah ini ditakwilkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah terlihat puasa 10 hari Dzulhijjah disisinya, karena sakit, safar, atau udzur lain. Ini yang ditempuh oleh Imam Nawawi (676 H) dalam Syarah Shahih Muslim (8/71-72) menyatakan;

قَالَ الْعُلَمَاءُ هذا الحديث مما يوهم كراهة صوم العشر وَالْمُرَادُ بِالْعَشْرِ هُنَا الْأَيَّامُ التِّسْعَةُ مِنْ أَوَّلِ ذِي الْحِجَّةِ قَالُوا وَهَذَا مِمَّا يُتَأَوَّلُ فَلَيْسَ فِي صَوْمِ هَذِهِ التِّسْعَةِ كَرَاهَةٌ بَلْ هِيَ مستحبة استحبابا شديدا لاسيما التَّاسِعُ مِنْهَا وَهُوَ يَوْمُ عَرَفَةَ وَقَدْ سَبَقَتِ الْأَحَادِيثُ فِي فَضْلِهِ وَثَبَتَ فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قَالَ مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَفْضَلُ مِنْهُ فِي هَذِهِ يَعْنِي الْعَشْرَ الْأَوَائِلَ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ فَيُتَأَوَّلُ قَوْلُهَا لَمْ يَصُمِ الْعَشْرَ أَنَّهُ لَمْ يَصُمْهُ لِعَارِضِ مَرَضٍ أَوْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِمَا أَوْ أَنَّهَا لَمْ تَرَهُ صَائِمًا فِيهِ وَلَا يَلْزَمُ من ذَلِكَ عَدَمُ صِيَامِهِ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ

“Para ulama menyatakan, bahwa hadits ini termasuk hadits yang memberikan penjelasan secara lemah akan kemakruhan puasa 10 hari Dzulhijjah. Dan maksud 10 hari disini adalah tanggal 1-9 Dzulhijjah. Maka hadits ini termasuk hadits yang harus ditakwil, karena puasa di 9 hari tersebut tidak maruh, bahkan sunnah muakkadah, terlebih lagi tanggal 9-nya, yang dia hari Arofah. Dan telah berlalu hadits-hadits tentang keutamaan 10 hari Dzulhijjah, seperti dalam shahih Bukhari bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyataka ((Amal shalih didalamnya lebih utama daripada lainnya)). Maka, takwil yang benar dari hadits ini, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak puasa karena alasan sakit, safarm atau lainnya. Atau bisa jadi memang Aisyah yang tidak tahu puasanya beliau. Dan tidak harus ketika Aisyah tidak tahu puasanya Nabi shallallahu alaih wa sallam, berarti beliau tidak berpuasa.”

 

5. Shalat ied bersama kaum muslimin

Sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada hari iedul adha;

إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ بِهِ فِي يَوْمِنَا هَذَا نُصَلِّي، ثُمَّ نَرْجِعُ فَنَنْحَرُ، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ، فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا، وَمَنْ ذَبَحَ، فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّمَهُ لِأَهْلِهِ لَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فِي شَيْءٍ

“Hal yang pertama kali kita lakukan hari ini adalah shalat, lalu kita menyembelih qurban. Maka siapa yang melakukan demikian, maka dia sudah sesuai sunnah kita. Dan siapa yang menyembelih duluan sebelum shalat, maka dia adalah daging biasa yang dia berikan kepada keluarganya dan bukan dihukumi qurban.”

[ HR.Muslim (1961) ]

Juga hadits Ummu Athiyyah radhiyallahu anha;

أَمَرَنَا - تَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنْ نُخْرِجَ فِي الْعِيدَيْنِ، الْعَوَاتِقَ، وَذَوَاتِ الْخُدُورِ، وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ

“Kami dahulu diperintahkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk mengajak keluar dia dua hari raya (iedul fitri dan iedul adha); para budak wanita, para gadis, dan para wanita haidh, dan mereka menjauhi tempat shalat.”

[ HR.Muslim (890) ]

 

6. Bertakbir pada malam iedul adha, sejak tenggelam matahari di malam ied sampai shalat ied, dimanapun dan kapanpun.

Imam Nawawi (676 H) dalam Roudhotut Tholibin (2/79) menyatakan;

فَالْمُرْسَلُ لَا يُقَيَّدُ بِحَالٍ، بَلْ يُؤْتَى بِهِ فِي الْمَسَاجِدِ وَالْمَنَازِلِ وَالطُّرُقِ لَيْلًا وَنَهَارًا. وَالْمُقَيَّدُ يُؤْتَى بِهِ فِي أَدْبَارِ الصَّلَاةِ خَاصَّةً. فَالْمُرْسَلُ مَشْرُوعٌ فِي الْعِيدَيْنِ جَمِيعًا، وَأَوَّلُ وَقْتِهِ فِي الْعِيدَيْنِ بِغُرُوبِ الشَّمْسِ لَيْلَةَ الْعِيدِ

“Adapun takbir mursal maka tidak terikat dengan kondisi tertentu, bisa dilaksanakan di masjid, rumah, jalan, siang hari, dan malam hari. Sedang tabir muqoyyad dilakukan ketika setelah shalat saja. Dan takbir mursal disunnahkan di iedul fitri dan iedul adha, sejak tenggelamnya matahari malam ied.”

 

Taqiyuddin Al-Hishni (829 H) dalam Kifayatul Akhyar (hal.150) menyatakan;

يسْتَحبّ التَّكْبِير بغروب الشَّمْس لَيْلَتي الْعِيد الْفطر والأضحى وَلَا فرق فِي ذَلِك بَين الْمَسَاجِد والبيوت والأسواق وَلَا بَين اللَّيْل وَالنَّهَار وَعند ازدحام النَّاس ليوافقوه على ذَلِك وَلَا فرق بَين الْحَاضِر وَالْمُسَافر دَلِيله فِي عيد الْفطر قَوْله تَعَالَى {ولتكبروا الله على مَا هدَاكُمْ} وَفِي عيد الْأَضْحَى بِالْقِيَاسِ عَلَيْهِ

“Disunnahkan takbir sejak tenggalamnya matahari di dua malam iedul fitri dan iedul adha, dilaksanakan di masjid, rumah, pasar, siang hari, malam hari, ketika ramai orang supaya bisa bertakbir bersama-sama, dia sedang mukim, ataupun musafir. Dalil takbir iedul fitri, firman Allah Ta’ala {Dan hendaknya kalian bertakbir mengagungkan Allah atas hidayah kalian}, sedangkan iedul adha, diqiyaskan kepada iedul fitri.”

 

7. Takbir setiap selesai shalat sejak ba’da shalat shubuh tanggal 9 Dzulhijjah, sampai waktu ashar tanggal 13 Dzulhijjah

Sebagaimana hadits Jabir radhiyallahu anhu;

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكَبِّرُ يَوْمَ عَرَفَةَ صَلَاةَ الْغَدَاةِ إِلَى صَلَاةِ الْعَصْرِ آخِرَ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ

“Bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam takbir sejak hari Arafah setelah shalat shubuh hingga shalat ashar di akhir hari tasyriq.”

[ HR.Baihaqi dalam Sunan Kubro (6278) ]

Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma;

أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ مِنْ غَدَاةِ يَوْمِ عَرَفَةَ إِلَى آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ

“Beliau bertakbir sejak habis shubuh hari Arafah hingga akhir hari tasyriq.”

[ HR.Baihaqi dalam Sunan Kubro (6277) ]

 

Demikian juga dari sahabat Ali radhiyallahu anhu;

كَانَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يُكَبِّرُ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ غَدَاةَ عَرَفَةَ , ثُمَّ لَا يَقْطَعُ حَتَّى يُصَلِّيَ الْإِمَامُ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ , ثُمَّ يُكَبِّرُ بَعْدَ الْعَصْرِ

“Sahabat Ali radhiyallahu anhu bertakbir setelah shalat shubuh di hari Arafah dan tidak meninggalkannya hingga imam shalat di akhir hari tasyriq, dan bertakbir setelah shalat ashar.”

 

 

 

 

 

Khothib Syirbini (977 H) dalam Al-Iqna’ (2/223-224) menyatakan;

(وَ) يُكَبِّرُ (فِي) عِيدِ (الْأَضْحَى خَلْفَ صَلَاةِ الْفَرَائِضِ) وَالنَّوَافِلِ وَلَوْ فَائِتَةً وَصَلَاةِ جِنَازَةٍ (مِنْ) بَعْدِ صَلَاةِ (صُبْحِ يَوْمَ عَرَفَةَ إلَى) بَعْدِ صَلَاةِ (الْعَصْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ) الثَّلَاثَةِ

“Dan bertakbir di iedul adha setelah shalat wajib dan sunnah, meskipun shalat qodho atau shalat jenazah, sejak setelah shalat shubuh hari Arafah hingga setelah shalat ashar di hari tasyriq terakhir.”

 

8. Bertakbir tanggal 1-10 Dzulhijjah ketika melihat atau mendengar hewan ternak yang boleh untuk qurban (onta, sapi, kambing)

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya secara mu’allaq;

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ، وَأَبُو هُرَيْرَةَ: يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِي أَيَّامِ العَشْرِ يُكَبِّرَانِ، وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا

“Dan Ibnu Umar serta Abu Hurairah keduanya keluar ke pasar di 10 hari Dzulhijjah, bertakbir, sehingga orang-orang bertakbir bersama takbir keduanya.”

Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshori (926 H) dalam Asnal Matholib Syarh Ar-Roudh At-Tholib (1/284) menyatakan;

إذَا رَأَى شَيْئًا مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فِي عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ كَبَّرَ قَالَهُ فِي التَّنْبِيهِ وَغَيْرِهِ وَاحْتَجَّ لَهُ بِقَوْلِهِ تَعَالَى {وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأَنْعَامِ}

“Dan jika melihat hewan ternak (qurban) di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, disunnahkan bertakbir, sebagaimana disebutkan dalam kitab At-Tanbih (karya As-Syirozi -pent) dan lainnya. Berdalil dengan firman Allah Ta’ala {Dan hendaknya mereka menyebut nama Allah Ta’ala dia hari-hari yang diketahui -10 Dzulhijjah- atas apa yang Allah sudah berikan kepada rezeki berupa hewan ternak -yang bisa diqurbankan-}.”

 

Hal senada juga disampaikan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami (974 H) dalam Al-Manhaj Al-Qowim Syarah Muqoddimah Hadromiyyah (hal.195);

"ويكبر" ندبًا "لرؤية النعم" أي عند رؤية شيء منها وهي الإبل والغنم "في الأيام المعلومات وهي عشر ذي الحجة" لقوله تعالى: {وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأَنْعَامِ}

“Dan disunnahkan bertakbir ketika melihat hewan ternak (onta dan kambing) di 10 hari Dzulhijjah, berlandaskan firman Allah Ta’ala {Dan hendaknya mereka menyebut nama Allah Ta’ala dia hari-hari yang diketahui -10 Dzulhijjah- atas apa yang Allah sudah berikan kepada rezeki berupa hewan ternak -yang bisa diqurbankan-}.”

 

Wallahu Ta’ala A’alam

Ditulis pada hari Selasa

1 Dzulqo’dah 1446 H / 29 April 2025 M

Jombang


Referensi:

1. Ma’alimut Tanzil fi Tafsiril Quran. Al-Husain bin Masud Al-Baghowi As-Syafii. Beirut, Daar Ihyaut Turots. Cetakan pertama. Tahun 1420 H.

2. Roudhotut Tholibin wa Umdatul Muftin. Yahya bin Syaraf An-Nawawi As-Syafii. Beirut, Al-Maktab Al-Islamiy. Cetakan kedua. Tahun 1412 H.

3. Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj wa Hasyiyah Syarwani wa Abbadiy. Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar Al-Haitami. Tahun 1357 H.

4. Al-Manhaj Al-Qowim Syarh Masail At-Ta’lim. Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar Al-Haitami. Darul Kutub Al-Ilmiyyah. Cetakan pertama. Tahun 1420 H.

5. Asnal Matholib fi Syarh Roudhut Tholib. Zakariya bin Muhammad Al-Anshori. Darul Kitab Al-Islamiy.

6. Al-Iqna’ fi Halli Alfadz Abi Syuja’. Ahmad bin Muhammad Al-Khothib As-Syirbini. Beirut, Darul Fikr.

7. Kifayatul Akhyar fi Halli Ghoyatil Ikhtishor. Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al-Hishni. Damaskus, Darul Khoir. Cetakan pertama. Tahun 1994 M.

8. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Al-Hajjaj. Yahya bin Syaraf An-Nawawi. Beirut, Dar Ihyaut Turots Al-Arabiy. Cetakan kedua. Tahun 1329 H.